Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

1.) Stroke Non Hemoragik

Pasien mengeluhkan bahwa tangan dan kaki sebelah kanan tidak dapat digerakkan,
berbicara pelo, dan merasa kesulitan menelan. Keluhan tersebut muncul sejak 5 jam yang lalu
sejak bangun tidur. Pasien juga memiliki faktor resiko berupa riwayat hipertensi dan diabetes
melitus sejak 2 tahun yang lalu. Selain itu pasien juga sudah tidak mengonsumsi obat anti
hipertensi dan memiliki kondisi diet yang tidak baik.
Penegakan diagnosa pasien dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pasien pada saat datang ke rumah
sakit didapatkan tekanan darah pasien 190/100 mmHg dan kadar gula darah sewaktu 346
mg/dL. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan (skenario
hari ke-0) dokter mendiagnosis pasien dengan stroke non hemoragik.
Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko yang sangat berpengaruh terhadap
kejadian stroke baik hemoragik maupun non hemoragik. Rusaknya pembuluh darah akan
memudahkan terjadinya penyumbatan akibat terjadinya arterosklerosis atau bahkan pecahnya
pembuluh darah di otak (Junaidi, 2011). Selain hipertensi, diabetes melitus juga menjadi salah
satu faktor risiko yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya stroke. Hiperglikemi
menyebabkan terjadinya kerusakan pada pembuluh darah dan menyebabkan peningkatan
agregat platelet. Kedua peristiwa tersebut akan menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Selain
itu hiperglikemia juga meningkatkan viskositas darah yang akan meningkatkan tekanan darah
dan berpotensi terjadinya stroke iskemik (Ryden et al, 2007).
Pada hari ke-3 dilakukan visite pada pasien dengan mengecek tanda-tanda vital,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital
didapatkan:
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respiration rate : 24 x/menit
Suhu : 370 C
Hasil pemeriksaan penunjang adalah sebagai berikut:
Lekosit : 18.000
Netrofil segmen : 87%
Hb : 9,6 g/dl
Kolesterol : 180 mg/dl
Trigliserid : 90 mg/dl
HDL : 65 mg/dl
LDL : 60 mg/dl
SGPT : 20 unit/L
SGOT : 18 unit/L
BUN : 13 mg/dl
Gula darah : 160 x/menit
Pemeriksaan pada malam harinya terjadi perubahan sebagai berikut:
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Respiration rate : 28 x/menit
Suhu : 380 C
Pemeriksaan fisik pada hari ke-14 dilakukan untuk mengetahui perkembangan dari
kondisi stroke. Pertama-tama dengan melakukan pemeriksaan head to toe secara berurutan.
Pemeriksaan diawali dari area kepala, pada mata didapatkan mata anemis pada konjungtiva.
Dilanjutkan dengan pemeriksaan saraf kranialis:
N. V : sisi kiri wajah pasien dapat merasakan sensasi tajam, raba, dan tumpul.
Pada sisi kanan pasien tidak dapat merasakan sensasi tajam, raba, dan
tumpul.
N. VII : pada inspeksi wajah tampak mulut mencong ke kiri, dapat mengangkat
alis kanan kiri, dapat membuka mata melawan tahanan pemeriksa, mulut
dapat mencucu, dapat meniup dengan kuat, senyum dan meringis sudut
mulut tidak simetris (mencong ke kiri).
N. IX, X, XII : Dapat membuka mulut, dapat menjulurkan lidah mengarah ke kiri,
masih ada kesulitan menelan.
Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan motorik yaitu memeriksa kekuatan otot.
Pemeriksaan dilakukan pada kedua tangan dan kedua kaki pasien untuk mengetahui ada atau
tidaknya kelemahan otot pada pasien. Hasil pemeriksaan didapatkan:
Kekuatan otot tangan kanan :4
Kekuatan otot tangan kiri :5
Kekuatan kaki kanan :4
Kekuatan kaki kiri :5
Berdasarkan pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelemahan otot yang terjadi pada
pasien hingga hari ke-14 masih belum membaik sepenuhnya. Kelemahan otot atau bahkan
kelumpuhan merupakan salah satu gejala pada pasien stroke. Kelumpuhan akan terjadi di sisi
yang berlawanan dengan sisi otak yang mengalami kerusakan. Keadaan tersebut dapat
mempengaruhi wajah, tangan, kaki atau seluruh sisi tubuh pasien. Kelemahan otot yang terjadi
akibat adanya kerusakan jaringan otak sehingga akan mengganggu fungsi organ yang
dikendalikan oleh jaringan tersebut.
Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan reflek fisiologis dan reflek patologis pada
tangan dan kaki pasien. Reflek fisiologis pada kedua tangan dan kaki pasien didapatkan dalam
batas normal. Pemeriksaan reflek patologis Babinski, Chadok, dan Oppenheim didapatkan
hasil negatif. Pemeriksaan tanda-tanda meningeal berupa pemeriksaan kaku kuduk juga
didapatkan hasil negatif.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada pasien stroke antara lain CT-scan,
pemeriksaan gula darah, pemeriksaan kolesterol, fungsi ginjal, fungsi hepar. Fungsi
pemeriksaan CT-scan adalah untuk memantau sumbatan yang terjadi pada pembuluh darah di
otak. Pemeriksaan gula darah dan kolesterol dilakukan selain karena kedua penyakit tersebut
adalah faktor resiko dari stroke, tetapi pasien juga memiliki riwayat diabetes melitus dan
kolesterol. Apabila hasil pemeriksaan keduanya masih tinggi, maka akan sangat beresiko untuk
kembali terjadi sumbatan pada pembuluh darah otak.
Pada pemeriksaan hari ke-14 pasien sudah mengalami perkembangan yang baik, tetapi
gejala dari stroke masih dijumpai pada pasien. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital adalah
sebagai berikut:
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Respiration rate : 18 x/menit
Suhu : 36,80 C
Kekuatan otot pada tangan dan kaki kanan pasien masih dengan skor 4, sedangkan tangan kiri
dan kaki kiri didapati skor tonus otot adalah 5. Pasien masih mengalami inkontinensia urin.
Pada pemeriksaan abdomen pasien masih merasakan adanya nyeri pada palpasi epigastrik.
Pada pemeriksaan reflek fisiologis tangan kiri didapati hasil +3 dan tangan kanan +2.
Sedangkan pada kaki kiri didapati hasil +3 dan kaki kanan +2. Hal tersebut menunjukkan
bahwa sisi tubuh sebelah kanan masih memiliki reflek yang lebih lemah jika dibandingkan
dengan sisi tubuh sebelah kiri.
2.) Hematemesis
Pada hari ke-3 perawatan didapati pasien mengalami muntah darah, kondisi ini disebut
sebagai hematemesis. Keadaan seperti ini biasanya disebabkan oleh perdarahan saluran
pencernaan atas. Kasus hematemesis biasanya diikuti dengan melena yang merupakan
pengeluaran feses berwarna hitam. Apabila terjadi perdarahan sebanyak 50-100 ml maka baru
akan dijumpai keadaan melena. Pada kasus ini muntah darah yang terjadi disebabkan oleh
perdarahan di lambung. Hematemesis dapat disebabkan oleh kelainan esophagus, tukak
lambung, keganasan saluran pencernaan atas, leukemia, maupun akibat pemakaian obat-
obatan. Maka dari itu dalam mengidentifikasi penyebab hematemesis perlu ditanyakan terkait
riwayat penyakit terdahulu seperti hepatitis, penyakit hati menahun, alkoholisme, penyakit
lambung, obat-obatan ulserogenik, dan penyakit darah seperti leukemia. Faktor resiko
terjadinya hematemesis antara lain usia, jenis kelamin, penggunaan OAINS, penggunaan obat
anti platelet, merokok, konsumsi alkohol, riwayat ulkus, diabetes melitus, infeksi bakteri H.
pylori.
Manifestasi klinis hematemesis adalah muntah darah segar dana tau disertai hematin
berwarna hitam. Biasanya kemudian akan dilanjutkan dengan timbulnya melena. Manifestasi
seperti ini timbul akibat perdarahan yang bersumber dari esophagus atau gaster. Apabila
sumber perdarahan berasal dari duodenum, maka bermanifestasi dalam bentuk melena atau
hematochezia.
Pada kasus ini hematemesis yang terjadi disebabkan oleh efek yang ditimbulkan dari
konsumsi obat terapi stroke, yaitu aspirin dan clopidogrel. Penggunaan aspirin dosis rendah
(75 mg per hari) dapat menyebabkan faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat, bahkan
dosis subterapi 10 mg per hari masih dapat menghambat siklooksigenase. Penggunaan obat-
obatan antiplatelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk
oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang menyebabkan meningkatnya
perlukaan mukosa gaster.
Pada pemeriksaan fisik perlu diketahui terkait kesadaran, tanda-tanda vital, tanda-tanda
anemia, gejala hipovolemik, hipertensi, asites, hepatosplenomegali, dan edema tungkai. Pada
pemeriksaan tekanan darah dan nadi dapat memperkirakan seberapa banyak kehilangan darah
yang terjadi. Apabila kenaikan nadi > 20 / menit dan tekanan sistolik turun > 10 mmHg
menandakan bahwa telah banyak terjadi kehilangan darah. Pada kasus ini pasien tidak
mencapai kondisi tersebut perubahan nadi tidak sampai 20 kali / menit.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pertama adalah pemeriksaan darah untuk menilai
kadar hemoglobin dan hematokrit. Pemeriksaan dilakukan setiap 6 sampai 8 jam sebagai
antisipasi jika perlu dilakukannya transfusi. Pemeriksaan fungsi hepar juga perlu dilakukan
untuk menyingkirkan penyebab lain dari hematemesis. Pemeriksaan gold standard untuk
mendiagnosis hematemesis adalah dengan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan endoskopi
dalam 24 jam pertama merupakan standar perawatan yang direkomendasikan. Tujuan dari
pemeriksaan endoskopi ini selain menemukan penyebab da nasal perdarahan, juga digunakan
untuk menentukan aktivitas perdarahan. Klasifikasi perdarahan gaster atas temuan endoskopi
menurut Forest adalah sebagai berikut:
Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopi
Forest Ia Perdarahan aktif Perdarahan arteri
menyembur
Forest Ib Perdarahan aktif Perdarahan merembes
Forest II Perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada dasar
masih ada sisa perdarahan tukak atau terlihat pembuluh
darah
Forest III Perdarahan berhenti tanpa Lesi tanpa tanda sisa
sisa perdarahan perdarahan

Sekilas IPE
Menurut WHO (2010), IPE atau Interprofesional Education adalah suatu proses yang
melibatkan sekelompok mahasiswa atau profesi kesehatan dengan latar belakang yang berbeda
dan melakukan proses pembelajaran bersama dalam periode tertentu. Tujuan utama dari IPE
antara lain untuk saling berinteraksi dan berkolaborasi untuk tercapainya usaha promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Melalui IPE, antar profesi dapat saling bertukar pikiran,
kemampuan, maupun keterampilan dalam proses kolaborasi. Praktek kolaborasi terjadi ketika
penyelenggara pelayanan kesehatan bekerja dengan orang yang berasal dari 9 profesinya
sendiri, luar profesinya sendiri, dan dengan pasien atau klien serta keluarganya. Salah satu
aspek penting dalam interprofesional education ini adalah komunikasi. Maka untuk tercapainya
pelayanan kesehatan yang paripurna harus terdapat komunikasi yang baik antar profesi
kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai