Anda di halaman 1dari 11

Stroke Non Hemoragik et Causa Thrombus

Abstrak

Stroke merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan kematian terbanyak di
dunia dan penyebab utama ketiga kematian di Amerika Serikat, dengan jumlah kematian 90.000
wanita dan 60.000 pria setiap tahun. Di Indonesia, 8 dari 1000 orang menderita stroke. Stroke
dibagi menjadi dua, yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Sebagian besar (80%)
disebabkan oleh stroke non hemoragik. Stroke non hemoragik dapat disebabkan oleh trombus
dan emboli. Memahami patofisiologi stroke non hemoragik akibat trombus penting dalam
penatalaksanaan pasien, khususnya dalam memberikan terapi secara tepat.

Kata kunci : stroke non hemoragik trombus, patologi, penatalaksanaan

Abstract

Stroke is one of the major diseases that cause the most deaths in the world and the third leading
cause of death in the United States, with deaths of 90,000 women and 60,000 men every year. In
Indonesia, 8 out of 1000 people suffer from stroke. Stroke is divided into two, namely
hemorrhagic stroke and non hemorrhagic stroke. Most (80%) are caused by non hemorrhagic
stroke. Non hemorrhagic stroke can be caused by thrombus and embolism. Understanding the
pathophysiology of non hemorrhagic stroke due to thrombus is important in the management of
the patient, especially in providing appropriate therapy.

Keywords: non thrombus hemorrhagic stroke, pathology, management

Pendahuluan

Strok merupakan penyebab kematian ketiga tersering dinegara maju, setelah penyakit
jantung dan kanker. Usia lanjut merupakan salah satu faktor paling signifikan risiko stroke. 95%
dari stroke terjadi pada orang usia 45 tahun dan lebih tua, dua pertiga dari stroke terjadi pada
orang-orang diatas usia 65 tahun penyakit serebrovaskular meliputi pada gangguan are otak dan
secara sepintas atau permanen dipengaruhi oleh iskemik. Oklusi atau perdarahan dari satu atau
lebih pembuluh darah serebral pada proses patologis tersebut.
Anamnesis

Anamnesis adalah kegiatan wawancara antara dokter dengan pasien untuk mencari
keterangan tentang penyakitnya. Beberapa pertanyaan yang akan diajukan saat anamnesis adalah
nama, umur, alamat, agama, suku, dan riwayat kesehatan keluarga. Pada pasien ini dilakukan
autoanamnesis dan alloanamnesis oleh karena pasien tidak memiliki kapabilitas untuk berbicara,
sehingga mungkin memerlukan bantuan keluarga atau care giver untuk memberikan keterangan.
Keluhan pasien adalah kelemahan pada anggota gerak kiri dan bicara pelo sejak bangun tidur.
Dari anamnesis lebih lanjut ditemukan pasien masih dapat mengangkat tangan kanan nya dan
memegang gelas, tetapi tidak dapat berdiri. Adanya muntah dan nyeri kepala disangkal.

Secara umum ditanyakan riwayat penyakit terdahulu disertai dengan onset, yang dapat
meningkatkan faktor risiko kejadian stroke seperti; hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung
koroner, atrial fibrilasi, penyakit arteri perifer, sickle cell anemia dan alergi terhadap obat-obatan
tertentu. Melalui anamnesis ditemukan pasien memiliki hipertensi sejak tujuh tahun yang lalu.
Ditanyakan juga riwayat sosial pasien seperti merokok, konsumsi minuman beralkohol, diet,
aktivitas fisik dan rutinitas olahraga. Perlu ditanyakan juga apakah pasien telah meminum obat
untuk mengatasi penyakit atau gejala.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan kesadaranya
kompos mentis. Pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 190/110 mmHg, heart
rate 84x/ menit, dan suhu 36,5oC. Pemeriksaan fisik thoraks, abdomen, dan ekstremitas dalam
batas normal. Pemeriksaan yang terkait dengan gejala pasien adalah pemeriksaan neurologis.1

Pemeriksaan neurologis dimulai dari pemeriksaan kesadaran dilakukan dengan melihat


ransang pupil kanan dan kiri dengan disinari cahaya, normalnya kedua pupil berukuran 3mm dan
akan mengecil saat disinari cahaya. Pada pasien ditemukan kedua pupil isokor dengan refleks
cahaya langsung dan tidak langsung normal. Untuk melihat apakah terdapat lesi pada batang otak
dapat dilakukan pemeriksaan doll’s eye maneuver (membaringkan pasien kemudian
memiringkan kepala ke kanan atau kiri, normalnya pupil akan bergerak melawan arah) atau
okulovestibuler test (memasukkan air dingin atau hangat kedalam telinga pasien, maka pasien
akan melirik kearah telinga yang di masukkan air).
Pemeriksaan yang selanjutnya dilakukan adalah ransangan meningeal, pemeriksaan yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan kaku kuduk, brudzinski, lasegue’s sign, dan kernig’s sign.
Pada pemeriksaan kaku kuduk pasien dibaringkan kemudian diminta untuk menundukan
kepalanya. Apabila terdapat nyeri maka ransang meningeal positif. Pemeriksaan brudzinski
pasien dibaringkan kemudian diminta untuk menundukan kepalanya apabila pasien
memfleksikan femur maka ransang meningeal positif. Pemeriksaan lasegue’s sign pasien
dibaringkan kemudian diminta untuk memfleksikan panggulnya, apabila pasien tidak bisa
meluruskan femur nya maka (<70o) maka ransang meningeal positif.

Kemudian dilakukan pemeriksaan dua belas saraf kranialis. Saraf pertama (olfaktorius)
diperiksan dengan memberikan ransangan bau seperti bau-bauan (jeruk, kopi, amoniak hati-hati
dapat menimbulkan bersin). Normal nya pasien dapat membaui bau-bauan tersebut, pemeriksaan
ini jarang dilakukan dan dilakukan apabila ada curiga trauma kapitis atau tumor pada lobus
frontalis. Saraf kedua (optikus) diperiksa dengan cara konfrontasi, melihat ketajaman penglihatan
pasien. Penilaian dilakukan dengan kemampuan pasien melihat jari atau tangan pada jarak
tertentu. Apabila pasien bisa melihat jari pemeriksa pada jarak 6 meter maka hasilnya adalah
6/60. Apabila pasien bisa melihat tangan pemeriksa pada jarak 6 meter maka hasilnya adalah
6/300. Jika pasien hanya bisa melihat cahaya maka hasilnya adalah 1/~. Jika pasien tidak bisa
melihat cahaya maka hasilnya adalah 0.

Saraf ketiga (okulomotor), keempat (troklearis), dan keenam (abducens) diperiksa


dengan meminta pasien untuk mengikuti jari pemeriksa yang membentuk huruf “H” didepan
pasien. Pemeriksaan lain yang berhubungan dengan ketiga saraf ini adalah dengan menyinari
mata kanan dan melihat miosis pada mata kanan (langsung) dan mata kiri (konsensual), normal
nya pada saat disinari satu mata keduanya akan miosis. Saraf kelima (trigeminal) diperiksa
secara sensorik maupun motorik, pasien diberikan ransangan pada wajah dengan kapas halus dan
jarum, apabila terasa maka sensibilitas wajah normal. Pemeriksaan sensorik lainya adalah refleks
kornea dengan menyentuhkan kapas pada kelopak mata, normal akan timbul refleks menutup
mata. Pemeriksaan motorik dengan jaw jerk refleks melihat refleks mandibular saat diberikan
ransangan.1

Saraf ketujuh (facialis) diperiksa dengan meminta pasien untuk mengangkat alis,
mengerutkan dahi, memejamkan mata, menyeringai, mencucukan bibir, dan menggembungkan
pipi. Normalnya pasien dapat mengikuti permintaan pemeriksaan. Apabila terdapat lesi sentral
saraf facialis maka terdapat kelumpuhan pada wajah bagian bawah di mana disekitar mata dan
dahi tidak ada kelumpuhan, lesi sentral biasanya ditemukan pada stroke. Apabila terdapat lesi
perifer maka semua gerakan otot wajah lumpuh, lesi perifer biasanya ditemukan pada Bell’s
palsy. Pada pasien ini ditemukan adanya parese saraf facialis dekstra sentral. Saraf kedelapan
(vestibulochoclear) diperiksan dengan tes pendengaran rinne, weber, dan schwabach dengan
garpu tala 560Hz. Normal nya ketiga tes dalam batas normal.1

Saraf kesembilan (glossofaringeal) dan sepuluh (vagus) diperiksa dengan meminta pasien
untuk menyebutkan huruf vocal, untuk memeriksa adakah disfonia atau afonia, dan ada tidak nya
gangguan artikulasi (disartria). Pemeriksaan lainya adalah gag reflex dengan menyentuh dinding
uvula pasien. Normalnya uvula akan naik sebagai jawaban atas ransangan. Saraf kesebelas
(accessorius) diperiksa dengan meminta pasien untuk menoleh ke kanan dan kiri dan
mengangkat bahu, normal apabila pasien dapat mengikuti gerakan yang diminta oleh pemeriksa.
Saraf keduabelas (hipoglossus) diperiksa dengan melihat pada lidah pasien, apabila terdapat
fasikulasi dan atrofi dextra maka terdapat lesi perifer dekstra. Apabila terdapat deviasi pada saat
menjulurkan lidah maka terdapat lesi sentral dekstra. Pada pasien ditemukan terdapat parese
saraf hipoglossus dekstra sentral.1

Pemeriksaan berikutnya adalah pemeriksaan motorik, pada pemeriksaan ini dilakukan


dengan inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerakan pasif, dan gerakan aktif. Pada inspeksi yang
dilihat adalah sikap, bentuk, ukuran, dan gerakan abnormal. Palpasi digunakan untuk melihat ada
tidaknya atrofi, hipotrofi, ataupun hipertrofi pada otot serta keadaan tonus otot. Pemeriksaan
gerak pasif berfungsi untuk melihat apakah terdapat rigidity, dan cogwheel phenomena. Pada
pasien pemeriksaan motorik, ekstremitas kanan dalam batas normal, sementara itu pada
ekstremitas kiri pergerakan pasien tertinggal dan melemah, motorik ekstremitas kiri bawah lebih
lemah daripada ekstremitas kiri atas. Refleks fisiologis kaki dan tangan kiri meningkat, disertai
dengan peningkatan tonus. Refleks patologis ekstremitas kiri positif.

Pada pemeriksaan motorik apabila pasien bisa mengimbangi tahanan pemeriksa maka
nilainya adalah 5. Apabila pasien bisa melawan tahanan ringan maka nilainya adalah 4. Apabila
pasien bisa melawan gravitasi, tetapi tidak mampu menahan tahanan ringan maka nilainya adalah
3. Apabila pasien tidak kuat melawan gravitasi namun dapat menggeser maka nilainya adalah 2.
Apabila pasien ada sedikit kontraksi otot maka nilainya adalah 1. Apabila tidak ada kontraksi
sama sekali maka nilainya adalah 1.

Pemeriksaan fisik yang selanjutnya adalah pemeriksaan sensorik, pemeriksaan sensorik


terbagi atas pemeriksaan protopatik dan pemeriksaan propioseptik. Pemeriksaan protopatik
meliputi nyeri, tekan superfisial, suhu, dan raba. Pemeriksaan propioseptik meliputi tekan, getar,
posisi, dan nyeri dalam. Pemeriksaan sensorik dilakukan pada berkas-berkas saraf (dermatom)
berdasarkan masalah, sebagai contoh; kanan banding kiri, radikuler, distribusi saraf, dan distal
banding proksimal. Untuk nyeri superfisial digunakan jarum sebagai alat pemeriksaan. Kapas
digunakan sebagai ransang raba, botol air panas atau dingin atau logam dapat digunakan sebagai
ransang suhu. Garpu tala 128Hz digunakan sebagai alat pemeriksaan getar. Untuk pemeriksaan
diskriminatif dapat digunakan jangka sebagai alat pemeriksaan. Pada pasien pemeriksaan
sensorik dalam batas normal apabila tidak ada anestesia (tidak ada ransang sama sekali),
hipestesia (ransangan berkurang), hiperstesia (ransangan bertambah), parastesia (ransangan
berubah seperti kesemutan), dan analgesia (ransangan berkurang).

Pemeriksaan Penunjang

Pasien dengan gejala gangguan neurologis dan diagnosis kerja nya mengarah pada stroke
dilakukan pemeriksaan penunujang untuk menegakan diagnosis pasti yaitu; darah perifer lengkap
(complete blood count), radiologi, EKG, dan echocardiogram. Untuk pemeriksaan faktor risiko
stroke dapat dilakukan pemeriksaan glukosa puasa dan glukosa dua jam post prandial, A1C,
profil lemak, protein C dan protein S, homosistein, anti-phospholipid antibodies syndrome,
activated partial thromboplastin time (APTT), prothrombin time (PT), dan antithrombin III.2,3

Pada pemeriksaan darah perifer lengkap ditemukan; Hb 14gr/dL, leukosit 7800/μL,


hematokrit 38%, trombosit 250.000/μL. Pada foto polos thoraks terdapat kesan kardiomegali,
sementara itu pada gambaran CT-scan terlihat lesi hipodens di korteks cerebri kanan. Pada
pemeriksaan EKG pasien dalam batas normal. Echocardiogram digunakan untuk melihat apabila
terdapat curiga adanya kardioemboli. Pemeriksaaan definitive dari stroke adalah dengan CT-scan
atau MRI otak, pemeriksaan ini sangat berguna untuk membedakan penyebab dari stroke
(hemoragik atau non-hemoragik) juga menentukan lokasi lesi pada otak.
Pemeriksaan EKG perlu dilakukan pada penderita stroke, hal ini dikarenakan kebanyakan
pasien dengan stroke juga memiliki penyakit jantung koroner. Pemeriksaan EKG membantu
pemeriksa dalam diagnosis dan penatalaksanaan gangguan jantung. Selain itu EKG juga dapat
digunakan untuk melihat apakah terdapat aritmia jantung. Pemeriksaan echocardiogram
berfungsi untuk mendeteksi adanya emboli yang berasal dari aorta. Atrium fibrilasi adalah
kondisi yang menimbulkan risiko tinggi untuk terjadinya pembekuan darah dan stroke iskemia.
Pada beberapa pasien gambaran atrium fibrilasi tidak terlihat pada pemeriksaan EKG, tetapi
dapat terlihat pada pemeriksaan e chocardiogram.2

Pemeriksaan faktor risiko stroke digunakan sebagai deteksi awal penyakit stroke.
Sindroma metabolik dapat menyebabkan kejadian stroke melalui peningkatan sitokin pro-
inflamatori. Inflamasi pada pembuluh darah dapat meningkatkan artherosklerosis dan kejadian
kardiovaskuler, salah satunya adalah stroke. Tekanan darah tinggi adalah komponen sindroma
metabolik yang dapat dipantau melalui pemeriksaan fisik, sementara resistensi insulin dan
dyslipidemia adalah komponen sindroma metabolic yang dapat dipantau melalui pemeriksaan
penunjang. Pasien disebut hipertensi apabila tekanan sistolik >140mmHg atau tekanan diastolic
>90mmHg. Pasien dengan diabetes mellitus atau resistensi insulin dapat didiagnosis melalui
pemeriksaan glukosa puasa dengan nilai rujukan <100mg/dL, glukosa dua jam post prandial
dengan nilai rujukan <140mg/dL, dan HbA1C dengan nilai rujukan <5.7%. Dislipidemia dapat
didiagnosis melalui penilaian profil lemak yang terdiri atas trigliserid (TG) dengan nilai rujukan
<150mg/dL, low density lipoprotein (LDL) dengan nilai rujukan <100mg/dL, high density
lipoprotein (HDL) dengan nilai rujukan 35-65/80mg/dL, dan total cholesterol (TC) dengan nilai
rujukan <200mg/dL.

Protein C merupakan antikoagulan fisiologis, yang berfungsi untuk mengahambat faktor


pembekuan darah Va dan VIIa, nilai rujukan protein C adalah 5μg/mL. Protein S adalah kofaktor
protein C yang berfugnsi untuk menghambat faktor Va dan VIIa, nilai rujukan protein S adalah
25μg/mL. Defisiensi protein C dan S dapat menyebabkan pembentukan thrombus yang
menimbulkan stroke. Homosistein adalah suatu asam amino sulfhidril yang dengan bantuan B6
akan diubah menjadi sistein dan B12 diubah menjadi methionine, nilai rujukan homosistein
adalah 4-15μmol/L. Defisiensi dari vitamin tersebut dapat meningkatkan kadar homosistein
dalam darah. Peningkatan homosistein memperkuat aktivitas faktor V dan VII, dan menekan
aktivasi protein C, hal ini dapat menyebabkan terjadinya thrombus dan kerusakan pada endotel.2

Phospolipid dalam darah diperlukan dalam proses pembekuan darah. Pada pasien dengan
antiphospholipid antibodies syndrome, terjadi suatu keadaan hiperkoagulabilitas yang dapat
menyebabkan terjadinya thrombosis. Pemeriksaan antiphospolipid antibodies syndrome adalah
dengan pemeriksaan anti cardiolipin antibodies (ACA) dengan teknik ELISA. APTT adalah
pemeriksaan yang menilai waktu yang dibutuhkan untuk faktor intrinsik untuk membentuk
bekuan, nilai rujukan normalnya adalah 20-120 detik bergantung dari laboratorium. Faktor
ekstrinsik dinilai dengan prothrombin time (PT), dan baik APTT maupun PT digunakan untuk
menghitung international normalized ratio (INR), dengan nilai rujukan 1.0-2.0.2

Diagnosis Kerja

Berdasarkan gejala yang nampak, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang, pasien mengalami suatu stroke non-hemoragik et causa thrombus.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari stroke non-hemoragik et causa thrombus adalah stroke hemoragik
dan stroke non-hemoragik et causa emboli.

Stroke hemoragik dan stroke non-hemoragik memiliki onset yang mendadak, tetapi
menimbulkan gejala yang berbeda. Stroke hemoragik biasanya terjadi pada saat pasien sedang
beraktivitas dan dapat menimbulkan nyeri kepala, muntah, dan kejang. Sementara itu stroke non-
hemoragik biasanya terjadi pada saat pasien beristirahat dan tidak menimbulkan gejala nyeri
kepala, muntah, dan kejang. Kebanyakan dari pasien dengan stroke hemoragik mengalami
penurunan kesadaran, tetapi hanya sedikit dari pasien dengan stroke non-hemoragik yang
mengalami penurunan kesadaran. Pemeriksa harus dapat membedakan antara stroke hemoragik
dan non-hemoragik hal ini dikarenakan algoritma penatalaksanaan yang berbeda antara
keduanya. Kesalahan dalam mendiagnosis jenis stroke pada pasien dapat menimbulkan
kesalahan yang fatal pada saat penatalaksanaan.

Perbedaan gejala antara stroke non-hemoragik yang disebabkan oleh thrombosis dan
emboli adalah pada stroke yang disebabkan oleh karena thrombosis biasanya sebelum paralisis
pasien mengalami gejala prodromal seperti pusing dan malaise. Perjalanan penyakit thrombosis
relatif lebih lambat (dalam hitungan menit-jam) dibandingkan dengan emboli, pasien juga
kebanyakan disertai dengan hipertensi atau penyakit kardiovaskuler lainya seperti coronary
artery disease (CAD) atau peripheral artery disease (PAD). Pasien dengan emboli biasanya
disertai oleh gangguan irama jantung seperti atrium fibrilasi. Stroke non-hemoragik yang
disebabkan oleh emboli biasanya terjadi dalam waktu yang cepat (hitungan detik) tanpa disertai
gejala prodromal. Stroke biasanya disertai dengan deep vein thrombosis (DVT) yang disebabkan
oleh emboli.

Etiologi

1. Vaskuler : Arterosklerosis, displasi fibromuskuler, inflamasi (giant cell arteritis, SLE,


poliarteritis sifilitika, AIDS), diseksi arteri, penyalahgunaan obat, sindrom moyamoya,
thrombosis sinus, atau vena)

2.Kelainan jantung : thrombus mural, aritmia jantung, endokarditis infeksiosa dan noninfeksiosa,
penyakit jantung rematik, penggunaan katup jantung prostetik, miksoma atrial, dan fibrilasi
atrium.

3. Kelainan darah: trombositosis, polisitemia, anemia sel sabit, leukositosis, hiperkoagulasi, dan
hiperviskositas darah.1

Epidemiologi

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di negara maju, setelah penyakit
jantung dan kanker. Insidensi tahunan adalah 2 per 1000 populasi. Mayoritas stroke adalah infark
serebral. Insiden stroke meningkat secara eksponensial dari 30 tahun, dan etiologi bervariasi
menurut usia. Usia lanjut adalah salah satu faktor paling signifikan risiko stroke. 95% dari stroke
terjadi pada orang usia 45 dan lebih tua, dan dua-pertiga dari stroke terjadi pada orang-orang di
atas usia 65. Risiko seseorang mati jika dia tidak memiliki stroke juga meningkat dengan usia.
Namun, stroke dapat terjadi pada semua usia, termasuk pada janin. Pria 25% lebih mungkin
untuk menderita stroke daripada wanita.2

Patofisiologi
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar (termasuk
sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior).
Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral
utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat
menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah. Energi yang diperlukan untuk menjalankan
kegiatan neuronal berasal dari metabolisme glukosa dan disimpan di otak dalam bentuk glukosa
atau glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit. Bila tidak ada aliran darah lebih dari
30 detik gambaran EEG akan mendatar, bila lebih dari 2 menit aktifitas jaringan otak berhenti,
bila lebih dari 5 menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan bila lebih dari 9 menit manusia
dapat meninggal. Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang
diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K + ATP-ase,
sehingga membran potensial akan menurun.3 K + berpindah ke ruang ekstraselular, sementara
ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih
negatif sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran sel masih
reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian
jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas
kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit.
Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim,
karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai
pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu
terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga
terjadi perluasan daerah iskemik.4

Penatalaksanaan

Terapi Trombolitik streptokinase 1,5 juta unit. Antikoagulan Warfarin 40 mg (loading


dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari. Heparin 500 mg (50.000 unit)/
hari,Pentoxyfilline. Antiplatelet Aspirin, mulai dari 50 mg/hari kemudia dosis dinaikan
menjadi80 mg/hari. Dapat juga dilakukan pembedahan. Dekompresi bedah adalah suatu
intervensi drastis yang masih menjalani uji klinis depan di cadangkan untuk stroke yang paling
massif. Pada prosedur ini, salah satu sisi tengkorak di angkat sehingga jaringan otak mengalami
infark dan edema mengembang tanpa di batasi oleh struktur tengkorak yang kaku.5
Komplikasi

Beberapa komplikasi yang sering terjadi yaitu; edema serebral adalah suatu
pembengkakan otak yang terjadi pasca stroke. Komplikasi lainnya adalah pneumonia,
pneumonia dapat menyebabkan pasien kesulitan dalam bernafas.6 Pneumonia biasanya terjadi
oleh karena ketidakmampuan dalam bergerak yang pada saat atau post stroke. Kesulitan dalam
menelan terkadang dapat menyebabkan beberapa masalah, salah satunya adalah tersedak yang
kemudian disusul dengan pneumonia aspirasi. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah infeksi
saluran kencing yang dapat terjadi sebagai dampak pemasangan catheter foley saat pengumpulan
urin.7

Komplikasi lain adalah kejang yang disebabkan oleh aktivitas elektrik yang abnormal
dalam otak. Biasanya kejang terjadi pada stroke dengan area luas. Stroke yang tidak terkangani
dengan baik serta gangguan emosi juga dapat menimbulkan depressi. Komplikasi dari bed rest
dalam jangka panjang adalah ulkus decubitus yang disebabkan oleh penekanan dari anggota
tubuh, selain itu bed rest juga dapat menimbulkan kontraktur ekstremitas sehingga terjadi atrofi
ataupun hipotrofi pada otot. Komplikasi lain yang ditimbulkan adalah deep vein thrombosis
(DVT) yang disebabkan karena kurangnya mobilitas dari pasien.7

Prognosis

Prognosis dipengaruhi usia pasien, penyebab stroke dan kondisi medis lainnya yang
mengawali atau menyertai stroke. Penderita yang selamat memiliki resiko tinggi mengalami
stroke kedua.

Kesimpulan

Stroke non hemoragik akibat trombus terjadi karena penurunan aliran darah pada tempat
tertentu di otak melalui proses stenosis sehingga terjadi kaskade molekular yang bersifat multi
fisiologi. Keseluruhan mekanisme patofisiologi dari stroke bersifat kompleks dan hasil akhir dari
kaskade iskemia adalah kematian neuronal dan diikuti oleh hilangnya fungsi normal dari neuron
yang terkena. Daerah penumbra inilah yang menjadi sasaran terapi pada penderita dengan stroke.
Faktor kecepatan dan ketepatan dalam mendiagnosis dan menatalaksana penderita stroke sangat
menentukan keberhasilan terapi, prognosis, dan kemungkinan komplikasi pada penderita.
Melalui pemahaman mengenai mekanisme selular pada otak, seorang praktisi kesehatan akan
dapat membuat keputusan klinis yang cepat dan tepat terutama dalam memutuskan tatalaksana
dini pasien dengan kecurigaan stroke, khususnya stroke non-hemoragik tipe trombus.

Daftar Pustaka
1. Nuartha, AABN. Samatra, DPGP. Kondra, W. Penyakit Serebrovaskular. Dalam:
Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Saraf. Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf FK
UNUD/RSUP Denpasar Bali.2006. Hlm: 31-43
2. Anderson D, Larson D, Bluhm J, Charipar R, Fiscus L, Hanson M, Larson J,
Rabinstein A, Wallace G, Zinkel A. Institute for Clinical Systems Improvement.
Diagnosis and Initial Treatment of Ischemic Stroke. Updated July 2012.
3. Kernan W, Ovbiagele B, Black H, Bravata D, Chimowitz M, Ezekowitz M, et al.
American Heart Association/ American Stroke Association. Guidelines for the
prevention of stroke in patient with stroke ant transient ischemic attack. 2014; 45
4. Maas, MB. Safdieh, JE. Ischemic Stroke: Pathophysiology and Principles of
Localization. Neurology Board Review Manual. Neurology. 2009; 13(1): 2-16
5. Misbach J, Lamsudin R, Allah A, Basyiruddin A, Suroto, Alfa A, et al. Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke tahun 2011
6. Woodruff T, Thundyil J, Tang S, Sobey C, Taylor S, Arumugam T. Pathophysiology,
treatment, and animal and cellular models of human ischemic stroke. Molecular
Neurodegeneration 2011, 6:11
7. Kneebone I and Lincoln N. Psychological problems after stroke and their management:
State of knowledge. Neuroscience & Medicine, 2012; 3, 83-9.

Anda mungkin juga menyukai