Anda di halaman 1dari 27

Syok Hemoragik pada Pasien Anak yang Mengalami Kecelakaan

Kelompok A3
Yehezkiel Wira Tanisa 102017118
David Clinton Napitupulu 102018038
Batara Krisnawan Suseno 102018140
Veronica Agrippina Franesta 102018019
Yulistina 102018044
Angelique Agatha Suzanne 102018075
Michelle Amanda 102018122
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat

Abstrak
Syok adalah suatu kejadian klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik yang ditandai dengan adanya kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan
perfusi adekuat yang dialirkan ke organ-organ vital tubuh. Syok hemoragik karena trauma
merupakan penyebab paling sering dari syok hipovolemik. Kasus kegawatdaruratan perlu
ditangani dengan cepat dan penanganan yang paling penting dalam pasien trauma akibat
kecelakaan adalah survei primer yang meliputi ABCDE, kemudian baru dilakukan survei
sekunder yang meliputi pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya. Perlu juga dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk melihat apakah ada fraktur atau ruptur organ lain. Setelah
penanganan awal dilakukan bisa dilakukan resusitasi cairan dan transfusi darah bila
diperlukan.
Kata kunci: syok hemoragik, trauma, survei primer, survei sekunder

Abstract
Shock is a clinical condition that occurs as a result of hemodynamic and metabolic
disorders characterized by the failure of the circulatory system to maintain adequate
perfusion flow to the body's vital organs. Hemorrhagic shock due to trauma is the most
common cause of hypovolemic shock. Emergency cases need to be handled quickly and the
most important management in trauma patients due to accidents is a primary survey which
includes ABCDE, then a secondary survey is carried out which includes physical
examination and other supportive examinations. Further investigations should also be
carried out to see if there are fractures or ruptures of other organs. After the initial
treatment, fluid resuscitation and blood transfusions can be performed if necessary.
Key words: hemorrhagic shock, trauma, primary survey, secondary survey
Pendahuluan
Syok merupakan kondisi fisiologis yang ditandai dengan penurunan signifikan perfusi
jaringan sistemik, yang menyebabkan penurunan suplai oksigen ke jaringan. Depresi suplai
oksigen yang diperpanjang nantinya akan menyebabkan hipoksia seluler, gangguan proses
biokimia sel dan gangguan metabolik sistemik. Salah satu contoh syok yang paling sering
ditemui adalah syok hipovolemik. Syok hipovolemik disebabkan karena hilangnya volume
tubuh seperti darah ataupun plasma yang berlebihan. Syok hemoragik merupakan syok
hipovolemik yang disebabkan oleh perdarahan dan penyebab terseringnya adalah trauma
yang bisa disebabkan oleh kecelakaan.
Pada skenario ini, seorang anak laki-laki umur 5 tahun dibawa ke IGD RS
dengan keluhan nyeri seluruh perut sejak 1 jam yang lalu setelah jatuh dari sepeda
motor ketika pasien dibonceng ayahnya.
Anamnesis
Anamnesis dilakukan sesuai dengan kondisi yang dialami oleh pasien jika pasien
sadar dan memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan secara langsung maka cara yang
tepat adalah autoanamnesis namun jika pasien dalam keadaan sebaliknya maka cara yang
tepat adalah dengan menggunakan alloanamnesis. Anamnesis harus dilakukan sesuai dengan
sistematika yang baku, hal ini bertujuan agar selama dokter melakukan anamnesis ia tidak
kehilangan arah dan tidak ada informasi yang terlewatkan, selain itu juga dapat
mempermudah orang lain untuk membaca.1
Pada anamnesis pasien trauma akibat kecelakaan, perlu ditanyakan lokasi dan posisi
jatuh, untuk mengetahui bagian tubuh mana yang terkena terlebih dahulu dan untuk
menentukan kecurigaan apakah ada fraktur, perdarahan atau trauma lainnya. Selain itu juga
bisa ditanyakan riwayat penggunaan obat pengencer darah ataupun riwayat alergi terhadap
obat. Namun pada skenario ini tidak ada data anamnesis selain anak laki-laki 5 tahun
dengan keluhan nyeri di perut setelah jatuh.
Jika keadaan korban gawat darurat parah, jangan melanjutkan anamnesis riwayat
trauma secara detail sampai dapat membereskan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi (ABC).
Kemudian lakukan survey primer dan resusistasi. Setelah itu baru dilakukan survey sekunder,
yaitu pemeriksaan fisik secara menyeluruh.1

Pemeriksaan Fisik
Pada kasus trauma, mengkaji riwayat trauma sangat penting untuk mengetahui
riwayat trauma, karena penampilan luka terkadang tidak sesuai dengan parahnya cedera. Jika
ada saksi, seseorang dapat menceritakan kejadiannya sementara dokter melakukan
pemeriksaan seluruh badan korban. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pertama adalah
kesadaran dan TTV pasien, jangan lupa juga cek airway dan breathing pasien, kemudian
lakukan pemeriksaan fisik toraks (paru dan jantung) dan abdomen, dimulai dari inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi, dan juga pemeriksaan fisik pada ekstremitas, sendi, otot, dan
kolumna vertebralis untuk melihat apakah ada perdarahan, fraktur ataupun kelainan lainnya
akibat trauma. Pola pernapasan juga bisa memberikan petunjuk mengenai fungsi batang
otak.2
Dalam melakukan suatu penatalaksanaan kegawatdaruratan, terdapat prinsip awal,
dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien dengan trauma.
Tujuan dilakukannya penatalaksanaan awal adalah untuk mempertahankan hidup, mencegah
kondisi menjadi lebih buruk, dan meningkatkan kemungkinan pemulihan kedepannya.
Penatalaksanaan awal dapat dilakukan dengan pengecekan primary survey dan secondary
survey. Primary survey terdiri dari:3,4
1. Airway
Manajemen airway merupakan hal yang paling penting, maka dari itu perlu dinilai
kelancaran jalan napas meliputi pemeriksaan jalan napas yang dapat disebabkan oleh
benda asing, fraktur tulang wajah, mandibula atau maksilla, laring, atau trakea.
Gangguan airway bisa timbul secara mendadak maupun progresif dan/atau berulang.
Jika pasien tidak mampu mempertahankan jalan napasnya, bisa dilakukan reposisi,
head tilt-chin lift, jaw thrust atau dilakukan penyisipan airway orofaringeal serta
nasofaringeal.
2. Breathing
Selain jalan napas, bisa juga terjadi kegagalan dalam oksigenasi yang bisa
menyebabkan hipoksia yang nantinya akan diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi
jantung, dan akhirnya bisa berujung pada kematian. Setelah kita membuka airway,
langkah selanjutnya adalah oksigenasi. Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi
dengan menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif.
Kemudian kita bisa memeriksa saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita dengan
pulse oxymeter yang merupakan metode noninvasif untuk mengukur saturasi oksigen
darah arterial secara terus menerus.
3. Circulation
Setelah airway dan breathing, kita juga harus memastikan status hemodinamik pasien
dalam keadaan seimbang, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan
nadi. Tingkat respon dapat dengan cepat dinilai dengan singkatan AVPU:
o (A) Alert (sadar)
o (V) Respond to Verbal stimuli (Menanggapi rangsangan verbal)
o (P) Respond to Painful stimuli (Menanggapi rangsangan nyeri)
o (U) Unresponsive to any stimuli (Tidak menanggapi rangsangan apapun)

Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia. Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi
yang besar seperti a. karotis (kanan kiri) dan a.femoralis, untuk kekuatan nadi,
kecepatan dan irama. Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan
bila ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual
maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus
dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian
larutan Ringer Laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin sebagai resusitasi cairan.
4. Disability
Perlu juga dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat menjelang
akhir primary survey. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran, reaksi pupil,
tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera spinal. Salah satu metode yang bisa
digunakan adalah GCS (Glasgow Coma Scale). Penurunan tingkat kesadaran perlu
diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab yaitu, penurunan oksigenasi
atau/dan penurunan perfusi ke otak, trauma pada sentral nervus sistem, pengaruh
obat-obatan dan alkohol dan gangguan atau kelainan metabolik.
Tabel 1. Glasgow Coma Scale
5. Exposure
Setelah ABCD, bagian akhir dari primary survey adalah exposure dimana kita harus
membuka keseluruhan pakaian pasien untuk menilai apakah ada jejas atau tanda-tanda
trauma lainnya. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll.
Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup
hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar
pasien tidak hipotermi.

Setelah dilakukan primary survey dan kondisi pasien sudah cukup stabil (TTV dalam keadaan
normal), bisa dilanjutkan ke secondary survey, dimana ini merupakan pemeriksaan kepala
sampai kaki, termasuk re-evaluasi TTV. Peluang untuk membuat kesalahan dalam penilaian
pasien yang tidak sadar cukup besar,
sehingga diperlukan pemeriksaan teliti yang menyeluruh. Pada secondary survey ini
dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, termasuk mencatat GCS bila belum dilakukan
dalam survey primer. Pada pemeriksaan fisik ekstremitas dilakukan pemeriksaan look, feel,
move dan membandingkannya dengan sisi yang normal. Selain itu, juga dikerjakan foto
rontgen dan pemeriksaan laboratorium.3,4
Pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan:14
a) Tanda-tanda vital
Tekanan nadi yang rendah dan takikardi menunjukkan syok hipovolemik dalam
trauma. Tanda-tanda vital harus dimonitor secara ketat dan respon terhadap intervensi
harus dinilai.
b) Pemeriksaan kepala
Lakukan pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada kepala untuk melihat apakah terdapat
hematom pada kulit kepala, penekanan atau luka pada kepala. Palpasi juga pada
tulang orbita, maxilla, hidung dan mandibulla. Selang nasogatrik (NG) tidak dapat
dilakukan jika terpdat trauma wajah atau bukti fraktur temgkorak basiler. Telinga juga
harus dievaluasi untuk melihat apakah terdapat darah pada telinga tengah atau
ekimosis retro-auricular. Terdapatnya darah dan cairan jernih dari liang telinga
menunjukkan adanya fraktur tengkorak basilar dengan kebocoran CSF
(Cerebrospinal Fluid). Periksa juga pada hidung dan juga hematoma septum.
c) Pemeriksaan leher
Pemeriksaan inspeksi dan palpasi pada leher harus dilakukan secara hati-hati dan
imobilisai dengan hati-hati. Inadekuat mobilisasi dapat meningkatkan mobiditas. Hati-
hati karena cidera dibawah pada kerah yang keras mungkin tidak mudah terlihat.
Evaluasi apakah terdapat pembengkakan leher atau massa leher yang berdenyut.
Curiga adanya trauma tulang servikal pada trauma tumpul.
d) Pemeriksaan saraf dan kulit
Pemeriksaan neurologis untuk mengevaluasi mulai dari sensorik, motorik dan juga
skala koma Glasgow, untuk menilai tingkat kesadaran pasien. Pemeriksaan neurologis
juga mencakup pada pemeriksaan respons pupil terhadap cahaya. Pada pemeriksaan
kulit dilakukan isnpeksi dengan melihat seluruh area kulit dan menilai adanya
ekimosis, hematom, dan tanda memar lainnya, jika ada maka dapat dilihat lokasinya.
Dievaluasi juga pada lokasi yang tersembunyi seperti lipatan aksila perut dan juga
perineum.
e) Pemeriksaan paru-paru
Pemeriksaan paru-paru atau thorax dapat dilkukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi
dan juga auskultasi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kesimetrisan dan
juga bentuk pada paru-paru. Pada palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah
terdapat nyeri tekan, massa, peradangan, edema, taktil fremitus. Pada pemeriksaan
perkusi dilakukan untuk mengetahui batas paru dan organ lainnya. Mengevaluasi
bunyi nafas denngan melakukan auskultasi.
f) Pemeriksaan abdomen
Tindakan yang dilakukan berupa inspeksi, palpasi, dan auskultasi pada abdomen atau
perut. Pemeriksaan inspeksi dilakukan untuk mengamati apakah adanya kelainan
bentuk perut, retraksi, penonjolan dan juga ketidaksimetrisan pada perut atau
abdomen. Pemeriksaan palpasi ringan bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat
massa dan respon nyeri tekan, palpasi dilakukan dengan meletakkan telapak tangan
pada abdomen secara berhimpitan dan tekan sesuai kuadran. Palpasi dalam bertujusn
untuk mengetahui posisi organ dalam seperti hepar, ginjal, limpa. Pada pemeriksaan
auskultasi dilakukan untuk mengetahui apakah adanya bising usus.
g) Pemeriksaan pelvis dan eksremitas
Pemeriksaan eklstremitas dapat dilakukan dengan palpasi dengan meraba setiap
ekstremitas dan menilai adanya nyeri tekan dan juga deformitas (pemendekan rotasi
dan angulasi) yang menyebabkan penurunan rentang gerak. Pada sendi yang cedera
dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan radiografi. Penilaian status
neurovascular dari setiap ekstremitas juga dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
denyut nadi. Mengevaluasi pelvis dan spina iliaka anterior untuk melihat adanya
kelainan pada panggul. Dilakukan inspeksi untuk melihat adanya ekimosis dan juga
palpasi untuk menilai nyeri tekan.

Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada skenario ini adalah kesadaran pasien
somnolen, pada pemeriksaan TTV didapatkan TD 90/60 mmHg, nadi 130x/menit, RR
28x/menit, suhu 36,8ºC, akral dingin dan lembab. Airway dan breathing baik, didapatkan
jejas di pinggang sebelah kiri. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen datar dan
bising usus menurun.
Pemeriksaan Penunjang
Pada skenario, hasil CT Scan abdomen didapatkan cedera lien grade 5. Beberapa
merupakan pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada kasus ini:
1. USG (Ultrasonography) digunakan untuk mengetahui adanya hemoperitoneum. USG
memiliki sensitivitas, spesifitas dan akurasi yang dapat dibandingkan dengan DPL
dan CT Scan. Pemeriksaan USG dinilai lebih efektif karena cepat, tidak invasif dan
tergolong murah. USG dapat dilakukan di samping tempat tidur dan dapat diulang
berkali-kali. Namun, pemeriksaan USG dapat terhambat akibat kegemukan, adanya
udara dibawah kulit dan pernah melakukan operasi sebelumnya.6
2. FAST/E-FAST (Focused Assesment with Sonography for Trauma) merupakan
pemeriksaan tercepat, termudah dan termurah untuk mendeteksi adanya darah atau
cairan lain dalam tubuh dengan spesifisitas (94-100%) dan sensitivitas yang lebih baik
dibandingkan X-ray. Untuk prosedurnya, pasien dalam posisi supine kemudian
transduser diposisikan pada beberapa posisi seperti yang bisa dilihat pada gambar 1.
Walaupun lebih sering digunakan untuk pasien dengan trauma, namun bila tidak
dilakukan pemeriksaan follow up dengan CT Scan, bisa saja intraabdominal injury
(IAI) tidak terdeteksi.5

Gambar 1. Lokasi FAST


3. CT Scan abdomen merupakan pemeriksaan yang cukup sensitif (92-98%), tetapi
memerlukan transport pasien ke scanner. Pada prosedur pelaksanaannya pasien
diberikan kontras oral dan kontras intravena. Scanning dilakukan dari abdomen atas
dan bawah dan juga pada panggul. Tindakan ini memerlukan waktu dan hanya dapat
digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil dimana tidak tampak untuk
dilakukan tindakan laparostomi segera. CT Scan memberi informasi yang
berhubungan dengan cedera organ tertentu beserta tingkat beratnya. Selain itu CT
Scan juga dapat mendiagnosa cedera retroperitoneum dan organ panggul yang sukar
untuk diakses melalui pemeriksaan fisik atau tidak dapat dideteksi dengan DPL.
Namun, CT Scan tidak bisa dilakukan bila pasien alergi terhadap bahan kontras, dan
pemeriksaan ini tidak sensitif dalam mendeteksi cedera usus dan diafragma, sehingga
bila ditemukan cairan bebas di dalam rongga perut namun jelas bukan dari cedera
pada hepar maupun lien maka bisa dicurigai sebagai cedera usus dan harus dilakukan
laparotomi.6
4. DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) merupakan pemeriksaan invasif namun sangat
sensitif (98%) untuk mengevaluasi pendarahan intraperitoneal maupun ruptur organ
yang terjadi pada trauma tumpul ataupun trauma penetrasi abdomen. DPL dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan tertutup maupun semi terbuka. Pada
teknik tertutup, kateter dimasukkan secara perkutan, sedangkan pada pendekatan semi
terbuka dilakukan dengan melibatkan insisi kecil dan diseksi pada rectus fascia.
Kemudian kateter dimasukkan melalui peritoneum ke dalam rongga peritoneum. Pada
aspirasi pertama bila ditemukan darah maka harus segera dilakukan tindakan
laparotomi. Namun bila tidak ada maka harus dimasukkan cairan RL yang
dihangatkan sebangak 1000 cc sambil dilakukan penekanan abdomen untuk
meyakinkan pencampuran cairan dengan isi abdomen setelah itu dikeluarkan kembali.
Setelah itu hasil cairan tersebut diperiksa secara makroskopis untuk melihat apakah
ada isi pencernaan, sel darah merah, putih, dan cairan empedu. Tes dikatakan positif
bila ditemukan kadar sel darah merah <100.000 ml, kadar sel darah putih <500 ml
atau pada pewarnaan gram positif ditemukan bakteri pencernaan. Namun, karena ini
merupakan tindakan invasif, sudah jarang digunakan.6
Tabel 2. Perbandingan DPL, FAST dan CT Scan

5. Pemeriksaan laboratorium15
a) Pemeriksaan Darah Lengkap
Dilakukan ketika terdapat pendarahan yang masif, dan untuk melihat kadar
hemoglobin dan hematokrit dengan tujuan mengidentifikasi pasien apakah
mengalami kekurangan volume dan hemodilusi yang signifikan secara fisiologis.
Tetapi jika nilai hemoglobin dan hematokrit normal tidak memungkinkan tidak
terjadinya perdarahan. Pada nilai hematokrit yang relatif normal (>30%) tetapi
memiliki bukti syok secara klinis (fraktur panggul terbuka) atau kehilangan darah
yang signifikan maka segera lakukan transufusi.
b) Analisa Gas Darah
Untuk mengetahui hasil tekanan parsial oksigen PO 2, saturasi oksigen SO2 dan
tekanan parsial karbon dioksida PCO2 mengenai pertukaran oksigen melalui
alveolar. Pemeriksaan hemoglobin total melalui AGD juga memberikan hasil
lebih cepat daripada pemeriksaan darah lengkap.
c) Pemeriksaan Urin
Indikasi untuk pasien yang megalami trauma pada abdomen atau panggul, gross
hematuria, dan microscopic hematuria dalam pengaturan hipotensi. Adanya
hematuria dapat dilihat dengan pemeriksaan cystography dan IVP atau CT scan
abdomen dengan kontras.
Sumber Perdarahan
Pada perdarahan abdominal akibat trauma perlu dipikirkan juga sumber perdarahan
dari organ lain.
Toraks
Sumber perdarahan toraks dapat berasal dari dinding dada, parenkim paru-paru,
jantung atau pembuluh darah besar. Pasien dengan hematotoraks biasanya menunjukkan
gejala seperti nyeri dada yang berkaitan dengan trauma dinding dada, tanda-tanda syok
seperti hipotensi, nadi cepat, pucat, akral dingin, takikardia, dispnea, gelisah, anemia.
Pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan pada toraks antara lain ada inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi. Pada inspeksi dapat ditemukan gerak dan pengembangan rongga dada yang
tidak sama (paradoksikal). Pada palpasi didapatkan nyeri dan krepitasi, pada perkusi
didapatkan redup pada bagian yang berisi darah, kemudian pada auskultasi didapatkan
penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena. Pada pemeriksaan penunjang
foto rontgen AP bisa ditemukan gambaran opaq yang menggambarkan adanya cairan pada
dinding dada, sudut costophrenicus yang tumpul dan corakan bronkovaskular yang tidak
terlihat karena tertutupi cairan (darah).18

Gambar 2. Gambaran radiologi pada hematotoraks


Prinsip penatalaksanaan pada hematotoraks adalah stabilisasi hemodinamik pasien (resusitasi
cairan, oksigenasi), menghentikan suber perdarahan, serta mengeluarkan darah dan udara dari
rongga pleura. Setelah pasien stabil bisa dikeluarkan darah dari rongga pleura dengan chest
tube dan pemberian antibiotik.19
Gambar 3. Guideline manajemen hematotoraks19
Lien
Lien merupakan jaringan limfe terbesar dari tubuh dan berperan penting untuk
mempertahankan sistem kekebalan tubuh terhadap mikroorganisme dengan menghasilkan
limfosit dan sel plasma. Lien menghasilkan respon imun dan dirangkaikan dengan sistem
peredaran darah dan mempunyai banyak sel-sel fagositik. Untuk dapat menjalankan fungsi
fisiologis, lien diedari darah hingga 350 liter per hari sehingga lien merupakan organ limfoid
yang paling kaya perdarahannya. Darah arteri pada organ lien dipasok melalui arteri lienalis.
Darah balik disalir melalui vena lienalis yang bergabung dengan vena mesenterika superior
membentuk vena porta.20
Gambar 4. Perdarahan Lien
Pada trauma lien, yang perlu diperhatikan adalah tanda-tanda perdarahan yang
menunjukkan keadaan hipotensi, syok hipovolemik, dan nyeri abdomen pada kuadran atas
kiri dan nyeri pada bahu kiri karena iritasi diafragma. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pekak sisi dengan shifting dullness pada rongga perut akibat adanya hematom subscapular
atua omentum yang membungkus suatu hematom subscapular (Balance’s sign). Bila darah
mengumpul pada perut kiri atas pada daerah lien akan menyebabkan rasa nyeri pada bahu kiri
(Kehr’s sign). Semua pasien dengan ruptur lien akan merasakan nyeri bahu kiri pada posisi
trendelenberg.21

Gambar 5. Posisi trendelenburg


Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah CT Scan dan pemeriksaan foto abdomen
polos 3 posisi. Pada foto abdomen akan terlihat pendorongan lambung atau kolon transversa,
dan peningkatan suatu bayangan opaq di hipokondrium atas kiri, obliterasi pada ginjal kiri,
bayangan psoas kiri dan hemidiafragma kiri naik. Pada CT Scan akan tampak splenomegali,
diskontinuitas parenkim lien disertai subskapular hematom di sekitarnya.21
Gambar 6. Gambaran CT Scan ruptur lien

Gambar 7. Grading ruptur lien


Pada tatalaksanya, berbeda untuk setiap grade namun, dengan majunya teknik bedah,
sedapat mungkin lien harus dipertahankan, kecuali bila hal tersebut tidak mungkin dilakukan.
Splenektomi total bukan lagi merupakan pengobatan yang paling tepat karena risiko infeksi,
perdarahan lien yang dapat berhenti spontan dan lien yang robek dapat disembuhkan dengan
penjahitan. Untuk tatalaksana non operatif pada pasien di skenario, yaitu dengan ruptur lien
grade 5, pertama-tama dilakukan resusitasi terlebih dahulu, setelah kondisi pasien sudah
stabil dan perdarahan bisa ditangani, dan tidak terjadi syok susulan, bisa dilakukan perbaikan
lien dengan splenorafi (tindakan bedah untuk membuang jaringan non vital, mengikat
pembuluh darah yang terbuka dan menjahit kapsul lien yang terbuka). Apabila terjadi syok
susulan, maka perlu dilakukan splenektomi.21

Panggul
Fraktur pelvis biasanya terjadi secara langsung karena trauma dengan tekanan yang
besar atau karena jatuh dari ketinggian. Perdarahan yang mengancam jiwa terkait dengan
fraktur pelvis dapat berasal dari fraktur tulang, pleksus vena pelvis, vena pelvis mayor,
dan/atau cabang arteri iliaka.22
Arteri iliaka interna atau arteri hipogastrika, dimulai pada percabangan arteri iliaka
komunis, di anterior sendi sakroiliaka setinggi diskus lumbosakral. Ini memasok dinding
panggul, bagian visceral panggul, bokong, organ genital, dan bagian medial dari paha. Arteri
iliaka interna terbagi menjadi trunkus anterior dan posterior. Arteri iliaka interna dan cabang-
cabangnya memiliki hubungan yang erat dengan ligamen panggul dan foramina sepanjang
perjalanannya di panggul. Pintu yang dilalui oleh semua pembuluh darah dan saraf
meninggalkan panggul untuk memasuki daerah gluteal adalah foramen skiatik yang lebih
besar. Pembuluh darah yang ada pada foramen-foramen panggul inilah yang menyebabkan
perdarahan pada fraktur panggul.22

Gambar 8. Pembuluh darah pada panggul


Pada pemeriksaan fisik akan tampak edema, kemerahan, hematoma, terlihat
deformitas, panjang kaki yang tidak simetris, biasa juga pasien tidak bisa bangun atau berdiri.
Pasien juga akan merasakan nyeri di bagian selangkangan, pinggul, atau punggung bawah,
atau berkurangnya fungsi neurologis pada ekstremitas bawah dan ROM yang terbatas. Pada
pemeriksaan penunjang bisa dilakukan foto rontgen AP, inlet dan outlet untuk melihat posisi
pelvis, pada CT Scan akan terlihat lesi hipodens untuk perdarahan.22

Gambar 9. Hasil radiologi perdarahan pelvis (kiri: foto AP supine, kanan: perdarahan arterial
pada CT Scan)
Fraktur pelvis dibagi menjadi fraktur stabil dan tidak stabil dimana pada fraktur stabil
patahannya hanya terjadi pada satu titik di cincin panggul dengan perdarahan ringan dan
tulang yang masih pada tempatnya, sedangnkan pada fraktur tidak stabil terjadi dua atau lebih
patahan pada cincin panggul dengan perdarahan sedang sampai berat. Untuk
penatalaksanaanya, setelah survei dan resusitasi primer, bisa dilakukan pengelolaan nyeri
dengan pemberian analgesik, dan dilakukan tindakan bidai.22

Ekstremitas
Tulang kita, terutama tulang panjang di lengan dan kaki kita, memiliki suplai darah
yang kaya, cedera tulang yang patah dapat mengakibatkan pendarahan yang berlebihan.

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan look, feel, move dimana pada look
diperhatikan apakah ada perubahan warna, edema, hematoma, kemudian pada feel atau
palpasi dan menilai apakah ada nyeri, efusi atau fragmen, dan pada move kita nilai ROM
(Range of Movement) dari ekstremitas terkait. Pemeriksaan ekstermitas juga harus meliputi
neurologis dan vaskularitas dari ekstermitas termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut
nadi, capillary return, dan pulse oxymetry. Pada pemeriksaan penunjang bisa dilakukan foto
thorax dari dua sudut pandang, dua sendi, kedua ekstremitas, dan dua waktu agar ada
perbandingan untuk kedua ekstremitas. Tatalaksana pada fraktur ekstremitas selain resusitasi
dan survei primer adalah tindakan bidai.23
Gambar 10. Perdarahan pada ekstremitas

Working Diagnosis
Syok Hemoragik Grade 3 ec Trauma Tumpul
Syok
Syok adalah suatu kejadian klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik yang ditandai dengan adanya kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan
perfusi adekuat yang dialirkan ke organ-organ vital tubuh. Munculnya hal ini diakibatkan
kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, perdarahan masif, trauma atau luka bakar (syok
hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri
yang tidak tearkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik),
dan respon imun (syok anafilaktik). Syok hipovolemik adalah kegagalan perfusi jaringan
yang disebabkan karena kekurangan cairan intravaskuler. Proses kegagalan perfusi akibat
dari kekurangan volume intravaskuler terjadi melalui penurunan aliran darah balik ke jantung
yang menyebabkan daya hantaran oksigen dan perfusi jaringan tidak optimal yang dalam
keadaan berat menyebabkan syok.7
Syok dibagi menjadi 3 fase, yakni fase presyok (kompensasi), syok dekompensasi dan
end organ dysfunction (irreversible). Fase presyok atau kompensasi merupakan fase yang
paling awal berjalan berdasarkan penyakitnya dan biasanya belum timbul gejala syok
(asimptomatik) karena pada fase ini gangguan perfusi masih dikompensasi oleh fungsi
fisiologis lainnya (takikardi, vasokonstriksi, peningkatan/penurunan TD ringan, penurunan
urine output). Apabila terdeteksi bisa dilakukan intervensi dini. Pada fase kedua, yaitu syok
dekompensasi, mekanisme kompensasi telah terganggu sehingga timbul tanda gangguan
organ seperti takikardi, dispneu, diaphoresis, kulit dingin dan basah, oliguria, dan asidosis
metabolik). Pada fase akhir atau end organ dysfunction, terdapat gangguan fungsi organ
progresif seperti anuria, ARF, agitasi-coma, gangguan metabolik sistemik, dan lain-lain.7
Syok Hemoragik
Syok hemoragik merupakan salah satu penyebab tersering syok hipovolemik. Syok
hipovolemik dapat disebabkan oleh kehilangan volume massive yang disebabkan oleh:
perdarahan gastro intestinal, internal dan eksternal hemoragi, atau kondisi yang menurunkan
volume sirkulasi intravascular atau cairan tubuh lain, intestinal obstruction, peritonitis, acute
pancreatitis, ascites, dehidrasi dari excessive perspiration, diare berat atau muntah, diabetes
insipidus, diuresis, atau intake cairan yang tidak adekuat.8

Tabel 3. Klasifikasi syok hemoragik pada dewasa


Tabel 4. Klasifikasi syok hemoragik pada anak13

Epidemiologi
Syok hipovolemik yang disebabkan oleh terjadinya kehilangan darah secara akut
(syok hemoragik) sampai saat ini merupakan salah satu penyebab kematian di negara-negara
dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Salah satu penyebab terjadinya syok hemoragik
tersebut diantaranya adalah cedera akibat kecelakaan. Menurut WHO cedera akibat
kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan terjadinya 5 juta kematian diseluruh dunia. Angka
kematian pada pasien trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan
tingkat pelayanan yang lengkap mencapai 6%. Sedangkan angka kematian akibat trauma
yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang memadai
mencapai 36%.9

Etiologi
Beberapa penyebab tersering pada syok hemoragik diantara lain ada:10

1. Trauma: laserasi, luka tembus pada abdomen dan toraks, ruptur pembuluh darah besar
2. Perdarahan retroperitoneal
3. Rupturaneurisma
4. Paru: emboli pulmonal, Ca paru, penyakit paru yang berkavitas (TB, aspergillosis)
5. Obstetrik: plasenta previa, abruptio plasenta, ruptur kehamilan ektopik, ruptur kista
ovarium
6. Perdarahan saluran pencernaan: varises esofagus, ulkus peptikum dan duodenum, Ca
gaster dan esofagus
7. Koagulopati
8. Terapi antitrombosis

Patofisiologi
Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan nadi. Perubahan
ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium. Dengan berkurangnya volume
darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis yang kemudian akan menimbulkan
peningkatan frekuensi nadi, vasokonstriksi, dan penurunan distribusi aliran darah pada organ-
organ nonvital, seperti kulit, saluran pencernaan, dan ginjal.10
Pada perdaharan, terjadi respon-respon hormonal. CRH (Corticotropin-Releasing
Hormone) terstimulasi secara langsung dan akan menyebabkan pelepasan glukokortikoid dan
betaendorphin. Kelenjar pituitari posterior akan melepas vasopressin, menyebabkan retensi
air pada tubulus distal. Renin dilepaskan oleh kompleks juxtamedularis sebagai respon dari
penurunan MAP (Mean Arterial Pressure), sehingga meningkatkan aldosteron dan berujung
resoprsi natrium dan air. Hiperglikemia sering didapatkan pada perdarahan akut karena
glukagon dan growth hormone (GH) meningkat pada gluconeogenesis dan glikogenosis.
Peredaran katekolamin menghambat pelepasan dan aktivitas insulin secara relatif sehingga
terjadi peningkatan kadar gula darah.10
Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi peningkatan
ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis metabolik dari karbon
dioksida yang diproduksi. Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan
perubahan spesifik mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di
otak dimana pasokan aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP. Ginjal
juga mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan
aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik.
Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah
kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.10
Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik berasal
dari penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac output
dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia mendorong perubahan
metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal ini menyebabkan akumulasi
asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Perdarahan akan menurunkan tekanan
pengisian sirkulasi dan sebagai akibatnya akan menurunkan aliran balik vena. Sebagai
hasilnya, curah jantung menurun di bawah normal dan timbul syok.10

Gejala
Seperti yang sudah dijelaskan diawal, syok dibagi menjadi 3 fase, dan berikut adalah
tanda dan gejala pada setiap fase:10
1. Stadium kompensasi

a. Takikardi dan denyut nadi yang memantul akibat stimulasi saraf simpatik.
b. Gelisah dan iritabilitas yang berhubungan dengan hipoksia serebral.
c. Takipnea untuk mengimbangi hipoksia.
d. Penurunan ekskresi urine yang terjadi sekunder karena vasokonstriksi.
e. Kulit dingin dan pucat disebabkan oleh vasokonstriksi dan kulit hangat dan
kering disebabkan oleh vasodilatasi (pada syok septik).

2. Stadium progresif (dekompensasi)

a. Hipotensi karena mekanisme kompensasi mulai mengalami kegagalan.


b. Tekanan nadi yang sempit, yang berkaitan dengan penurunan volume
sekuncup; denyut nadi yang lemah, cepat, dan halus akibat penurunan curah
jantung; pernapasan yang dangkal karena pasien bertambah lemah; penurunan
ekskresi urine karena perfusi ginjal yang buruk terus berlanjut.
c. Kulit dingin dan basah akibat vasokonstriksi.
d. Sianosis yang berhubungan dengan hipoksia

3. Stadium irreversible (end organ dysfunction)

a. Keadaan tidak sadarkan diri dan tidak ada refleks yang disebabkan oleh
penurunan perfusi serebral, ketidakseimbangan asam-basa atau elektrolit.
b. Tekanan darah menurun dengan cepat setelah terjadi dekompensasi.
c. Denyut nadi lemah akibat penurunan curah jantung.
d. Pernapasan lambat serta dangkal atau pernapasan Cheyne-Stokes yang terjadi
sekunder karena depresi pusat pernapasan.
e. Anuria yang berhubungan dengan gagal ginjal.

Tatalaksana
Prinsip penanganan dasar syok hemoragik adalah menghentikan perdarahan dan
menggantikan volume darah yang hilang.
o Pemeriksaan fisik
Hal yang penting adalah melakukan primary survey terlebih dahulu (ABCDE)
kemudian secondary survey (pemeriksaan fisik dan penunjang).10
Kemudian bisa dilakukan dekompresi bila terjadi dilatasi lambung dengan
memasukkan NGT. Khususnya pada anak-anak dengan trauma, sering terjadi dilatasi
lambung yang bisa mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tidak dapat
diterangkan seperti bradikardia dari stimulasi n. vagus yang berlebihan. Distensi
lambung ini juga nantinya akan menyulitkan terapi syok. Pada pasien tidak sadar,
distensi lambung juga meningkatkan risiko aspirasi isi lambung dan bisa menjadi
suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal.10
Bisa juga dipasang kateter urin untuk memudahkan penilaian urin untuk
evaluasi dan memantau urine output. Selain itu juga bisa untuk melihat apakah
adanya hematuria.10
Menempatkan kepala pasien 5 inci lebih rendah daripada kaki akan sangat
membantu dalam meningkatkan alur balik vena untuk menaikkan curah jantung
(gambar 3). Namun, ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan cedera servikal.
Posisi kepala dibawah ini adalah tindakan pertama dalam pengobatan berbagai
syok.10

Gambar 11. Posisi penanganan syok

o Akses pembuluh darah


Harus segera didapatkan akses ke sistem pembuluh darah untuk resusitasi
cairan dan transfusi darah ataupun pemberian obat-obatan. Paling baik dilakukan
dengan memasukkan dua kateter IV ukuran besar sebelum mempertimbangkan jalur
vena sentral. Tempat yang paling baik untuk dewasa adalah lengan bawah dan pada
anak dibawah 6 tahun harus dicoba teknik penempatan jarum intraoseus sebelum
menggunakan jalur vena sentral. Pada dewasa, apabila keadaan tidak memungkinkan
untuk menggunakan pembuluh darah perifer, bisa digunakan akses pembuluh darah
sentral (CVP).10
o Terapi cairan
Terlebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume). Untuk mengetahui
jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat badan. Volume
darah rata-rata pada orang dewasa kira-kira 7% dari berat badan. Bila penderita
gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan ideal. Volume
darah anak-anak dihitung 8-9% dari berat badan (80-90 ml/kg). Kehilangan sampai
10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10-30% EBV memerlukan cairan
lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30-50% EBV masih dapat
ditunjang untuk sementara dengan cairan sampai darah transfusi tersedia. Total
volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara
2-4x volume yang hilang.10
Untuk resusitasi awal, digunakan larutan isotonik. Cairan ini mengisi
intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan
cara menggantikan kehilangan cairan ke dalam ruang interstitial dan intraseluler.
Pilihan pertama adalah larutan RL (ringer laktat), kemudian pilihan kedua adalah
NaCl fisiologis karena lebih berpotensi menyebabkan terjadinya asidosis
hiperkhloremik (asidosis yang terjadi ketika tubuh kehilangan banyak sodium
bikarbonat) dan kemungkinan ini meningkat jika fungsi ginjal kurang baik.10
Pada awalnya, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus.
Dosis awal adalah 1-2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada anak, diberikan dalam 30-
60 menit pertama. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang secara
akut diperlukan adalah mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan 3 ml
cairan kristaloid, sehingga memungkinkan restitusi volume plasma yang hilang ke
dalam ruang interstitial dan intraseluler. Ini dikenal sebagai “hukum 3 untuk 1” (3 for
1 rule). Namun lebih penting untuk menilai respon penderia terhadap resusitasi cairan
dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya urine output,
tingkat kesadaran dan perfusi perifer.10
Urine output (UO) merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi
ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan UO sekitar
0,5/ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak dan 2 ml/kg/jam pada bayi
dibawah umur 1 tahun. Bila produksi urin kurang atau menurun berarti resusitasi tidak
cukup dan perlu ditambah penggantian volume dan usaha diagnostik.10
Setelah ada perbaikan hemodinamik yang jelas (tekanan sistolik ≥100, nadi
≤100, perfusi hangat, UO 0,5 ml/kg/jam), infus harus dilambatkan dan biasanya tidak
diperlukan transfusi. Namun jika hemodinamik turun, teruskan cairan (2-3x EBV),
jika membaik tetapi Hb <8 g, Ht <25%, beri transfusi darah dan koloid.10
o Transfusi darah
Pemberian darah tergantung dengan respon penderita terhadap cairan. Tujuan
utama transfusi drah untuk memperbaikin oxygen carrying capacity. Pengobatan
mencakup transfusi darah lengkap, apabila darah lengkap tidak tersedia, plasma
biasanya dapat menggantikan darah lengkap. Bila darah golongan yang sesuai tidak
tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan O dengan titer anti A rendah
(Rh negatif) atau packed red cell-O. Plasma tidak dapat memulihkan hematokrit
normal, tetapi manusia biasanya dapat bertahan pada penurunan hematokrit sampai
kira-kira sepertiga normal sebelum menimbulkan akibat serius jika curah jantung
mencukupi. Karena itu pada keadaan akut cukup beralasan untuk menggunakan
plasma dalam menggantikan darah lengkap guna mengobati syok hemoragik.10
Apabila plasma juga tidak tersedia, bisa diberikan dekstran, suatu polimer
posakarida glukosa yang besar. Dekstran dengan besar molekul yang sesuai tidak
dapat melewati pori kapiler dank arena itu dapat menggantikan protein plasma
sebagai bahan osmotik koloid.10
Gambar 12. Algoritma tatalaksana resusitasi syok hemoragik pada anak17
o Laparotomi
Laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi
pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen. Prosedur ini dapat
direkomendasikan pada pasien yang mengalami nyeri abdomen yang tidak diketahui
penyebabnya atau pasien yang mengalami trauma abdomen. Beberapa indikasi
dilakukannya laparotomi adalah sebagai berikut:11
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
2. Peritonitis
3. Sumbatan pada usus halus dan besar
4. Apendisitis yang mengacu pada radang apendiks
Gambar 13. Alur penatalaksanaan trauma tumpul abdomen dengan curiga perdarahan internal

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada trauma tumpul abdominal meliputi:12
o Cedera iatrogenik  merupakan cedera yang disebabkan oleh kesalahan diagnosis,
komplikasi atau kekeliruan pribadi seorang dokter.
o Intra-abdominal sepsis and abscess
o Resusitasi yang inadekuat
o Delayed splenic rupture (DSR)  biasanya terjadi 2-70 hari pasca trauma

Sedangkan komplikasi yang mungkin terjadi pada syok meliputi:12


o Sindrom distress pernapasan akut
o Nekrosis tubuler akut
o Disseminated intravascular coagulation (DIC)  kondisi dimana terjadi pembekuan
darah berlebihan sehingga menyumbat aliran darah.
o Hipoksia serebral
o Kematian
Prognosis
Secara umum, keadaan pasien yang stabil menjadi salah satu faktor untuk
memprediksi keberhasilan manajemen non-operatif. Tatalaksana non-operatif pada anak-anak
dengan trauma tumpul abdomen menunjukkan keberhasilan hingga 95%. Grading
berdasarkan CT-scan juga menunjukan observasi yang baik pada pasien dengan trauma
tumpul pada abdomen dengan cedera lien. Secara keseluruhan pasien dengan cedera lien
yang ringan memiliki keluaran yang baik dengan tatalaksana konservatif, namun bagi pasien
dengan splenektomi selalu memiliki risiko terjadinya infeksi di kemudian hari. 16

Kesimpulan
Anak usia 5 tahun dengan keluhan nyeri perut setelah kecelakaan motor ini
mengalami syok hemoragik grade 3 yang disebabkan oleh trauma tumpul pada bagian
abdomen. Perlu dilakukan resusitasi cairan dan transfusi darah secepatnya. Hipotesis
diterima.
Daftar Pustaka
1. Team INTC. Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) in Disaster. Jakarta:
Sagung Seto; 2014:132-9.
2. Aprilia M, Wreksoatmodjo B. Pemeriksaan Neurologis pada Kesadaran Menurun.
cdk-233. 2015;42(10):780–6.
3. Tim Bantuan Medis Panacea. Basic life support. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2012:45-
56.
4. Sjamsuhidajat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2010: h.960-3
5. Richards J, McGahan J. Focused Assessment with Sonography in Trauma (FAST) in
2017: What Radiologists Can Learn. Radiology. 2017;283(1):30-48.
6. Wang, Y. C. et al. Hollow Organ Perforation In Blunt Abdominal Trauma: The Role
of Diagnostic Peritoneal Lavage. Academic Emergency Medicine. 2012;30: 570-573.
7. Wacker, D. A. & Winters, M. E. Shock. Emergency Medicine. Clinic. North Am.
2014;32:747–758.
8. Dewi E, Rahayu S. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik. Berita Ilmu Keperawatan.
2011;2(2):93-96.
9. Lupy I, Kumaat L, Mulyadi N. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Syok
Hipovolemik Dengan Penatalaksanaan Awal Pasien Di Instalasi Gawat Darurat Rsup
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. J Keperawatan UNSRAT. 2014;2(2):106-176.
10. Lubis B. Syok Hemoragik. Departemen Anastesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokeran Universitas Sumatera Utara Medan. 2019.
11. Mutholib A. Kajian Tentang Laparotomi. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Semarang. 2018.
12. Legome E. Blunt Abdominal Trauma Clinical Presentation: History, Physical
Examination, Complications [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2021 [cited 14
November 2021]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1980980-
clinical#b3
13. Lavoie M, Nance ML. Approach to the injured child. In: Fleisher & Ludwig's
Textbook of Pediatric Emergency Medicine, 7th ed, Bachur RG, Shaw KN (Eds),
Lippincott Williams and Wilkins 2016.
14. Zemaitis MR, Planas JH, Waseem M,2021. Trauma Secondary Survey. [cited 2021 14
November]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441902/
15. Legome, E, Keim SM, Salomone JP, Udeani J. Blunt Abdominal Trauma Workup:
Approach Considerations, Blood Studies, Urine Studies [Internet]. Medscape: 2021
[Cited 16 November 2021].Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#showall
16. Waseem M, Bjerke S. Splenic Injury [Internet]. Florida: StatPearls; 2021 [cited 15
November 2021]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441993/
17. Caldwell, John MA, Ziglar RN, et al. Hemorrhagic shock in children understanding
the underlying mechanisms of shock syndrome. AJN The American Journal of
Nursing. 2011;101:25-27.
18. Mayasari D, Pratiwi A. Penatalaksanaan Hematotoraks Sedang Et Causa Trauma
Tumpul. J AgromedUnila. 2017;4(1):37-41.
19. Boersma W, Stigt J, Smit H. Treatment of haemothorax. Respiratory Medicine.
2010;104(11):1583-1587.
20. Hartanto S. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Abdomen adalah bagian tubuh yang
berbentuk rongga - PDF Free Download [Internet]. adoc.pub. 2021 [cited 22
November 2021]. Available from: https://adoc.pub/bab-ii-tinjauan-pustaka-abdomen-
adalah-bagian-tubuh-yang-ber.html
21. Sander A. Ruptur Lien Akibat Trauma Abdomen: Bagaimana Pendekatan Diagnosis
dan Penatalaksanaannya. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
2019;14(1):15-24.
22. Yoon W, Kim J, Jeong Y, Seo J, Park J, Kang H. Pelvic Arterial Hemorrhage in
Patients with Pelvic Fractures: Detection with Contrast-enhanced CT. RadioGraphics.
2004;24(6):1591-1605.
23. Parahita P, Kurniyanta P. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan pada Cedera Fraktur
Ekstremitas. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2011.

Anda mungkin juga menyukai