Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma adalah cedera mekanik yang disebabkan gaya eksternal. Setiap pasien
trauma memerlukan diagnosis dan penanganan yang segera oleh tim multidisiplin
yang didukung oleh peralatan yang memadai untuk mengurangi atau
mengeliminasi resiko kematian atau kecacatan. Salah satu jenis trauma yang
memiliki insiden yang cukup tinggi dan memerlukan penanganan khusus dan
intensif adalah luka bakar. 1

Luka bakar dapat disebabkan oleh cedera langsung oleh api, listrik, zat kimia yang
mengenai jaringan kulit, mukosa ataupun jaringan yang lebih dalam dengan
mekanisme cedera, penanganan dan prognosis yang berbeda-beda tergantung dari
penyebab dari luka bakar itu sendiri dengan atau tanpa komplikasi. Luka bakar
oleh karena api akan menyebabkan kerusakan jaringan melalui proses koagulasi
nekrosis sedangkan luka bakar oleh listrik dan zat kimia menyebabkan kerusakan
jaringan melalui proses destruksi membran sel.1,2

Luka bakar adalah suatu trauma yang membutuhkan perawatan yang intensif dan
multidisiplin karena luka bakar dapat menyebabkan kecacatan dan terutama
kematian pada penderita. Penyebab kematian pada pasien luka bakar dapat
diakibatkan oleh trauma inhalasi, sepsis,dan syok hipovolemik. Penyebab
kematian yang utama pada luka bakar adalah trauma inhalasi (12%) karena dapat
langsung menyebabkan gangguan perfusi oksigen ataupun sumbatan jalan nafas
yang berujung pada kematian selain tentunya karena kegagalan multiorgan dan
infeksi sekunder yang yang umumnya terjadi pada pasien dengan luka bakar yang
luas dan dengan pasien yang tidak mendapatkan perawatan yang adekuat.1,3,4

Setiap tahunnya di Amerika Serikat dilaporkan sekitar dua juta sampai tiga juta
penderita luka bakar dengan jumlah kematian lima ribu sampai enam ribu
kematian pertahun, sedangkan di Indonesia belum ada laporan tertulis tentang
insiden luka bakar. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada tahun 1998

1
di laporkan 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38 %,
sedangkan di Rumah Sakit Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 2000 dirawat 106
kasus luka bakar dengan angka kematian 26, 41 %. Oleh karena tingginya insiden
dari luka bakar,maka penanganan awal dan juga perawatan yang intensif saat di
rumah sakit akan sangat berperan dalan menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas yang disebabkan oleh luka bakar.5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Trauma akut yang disebabkan oleh panas, arus listrik atau bahan kimia yang
mengenai kulit, mukosa dan jaringan lebih dalam.5

2.2. Epidemiologi

Setiap tahunnya di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 45.000 pasien yang


memerlukan perawatan rumah sakit akibat luka bakar dengan jumlah kematian
lima ribu sampai enam ribu kematian pertahun, sedangkan di Indonesia belum ada
laporan tertulis. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada tahun 1998 di
laporkan 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38 %,
sedangkan di Rumah Sakit Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 2000 dirawat 106
kasus luka bakar dengan angka kematian 26, 41 %.1,3-5

2.3. Etiologi 3,5

Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis
penyebab, antara lain :
1. Luka bakar karena api
2. Luka bakar karena air panas
3. Luka bakar karena bahan kimia
4. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi
5. Luka bakar karena sengatan sinar matahari.
6. Luka bakar karena tungku panas/udara panas
7. Luka bakar karena ledakan bom.

3
2.4. Patofisiologi

Proses dasar yang terlibat dalam trauma luka bakar merupakan reaksi inflamatorik
lokal dan sistemik yang hasil akhirnya adalah perpindahan cairan intravaskuler ke
dalam ruang intersisial. Hal ini terjadi akibat perubahan permeabilitas kapiler
karena pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, prostaglandin,
produk platelet, komplemen. Proses ini terjadi pada area yang mengalami luka
bakar dan sebagian area di sekitarnya. Aktivasi dari neutrofil, makrofag dan
limfosit yang melepaskan mediator-mediator inflamasi tersebut yang
menyebabkan perubahan permeabilitas kapiler baik secara lokal maupun
sistemik.2

Perubahan permeabilitas kapiler ini dapat menyebabkan migrasinya semua


komponen dalam darah ke dalam ruang intersisial, khususnya pada area yang
terkena luka bakar. Sebagai efek dari kebocoran kapiler, proses resusitasi cairan
akan menambah akumulasi dari edema yang mana hampir setengah dari cairan
kristaloid yang diberikan akan lari ke ruang intersisial.2

Pada pasien dengan luka bakar yang mencapai 15%-20% luas permukaan tubuh
pasien akan mengalami syok apabila pasien tidak mendapat resusitasi cairan yang
adekuat. 6-12 jam setelah terjadinya luka bakar permeabilitas kapiler akan mulai
pulih, hal ini menyebabkan berkurangnya kebutuhan pada resusitasi cairan yang
diimplementasikan dalam berbagai rumus resusitasi cairan pada pasien luka
bakar.2

Pada fase ini, secara teoritis pemberian adjuvan koloid untuk resusitasi akan
membantu mengurangi edema.

4
Gambar 1. Patofisiologi Gagal Multi Organ Pada Luka Bakar
Diutip dari : http://www. Artanto.com.

5
2.5. Klasifikasi Luka Bakar

Klasifikasi Luka bakar berdasarkan :


A. Dalam Luka Bakar
1. Luka bakar derajat I :
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis , kulit hiperemis, tidak
dijumpai bula, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.5-7
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bula, nyeri karena ujung-ujung
saraf sensorik teriritasi.5-7
Dibedakan atas 2 (dua) bagian :
A. Derajat II dangkal (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari dermis. Organ
– organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebasea masih banyak. Semua
ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan
dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk jaringan sikatrik.5-7
B. Derajat II dalam (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa jaringan
epitel tinggal sedikit. Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebasea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama
dan disertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu
lebih dari satu bulan.5-7
3. Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam
sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit
mengalami kerusakan, tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai
bula, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai
berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan
dermis yang dikenal sebagai eskar. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang
sensasi karena ujung – ujung sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama
karena tidak terjadi epitelisasi spontan.5-7

6
Gambar 2. Klasifikasi Luka Bakar
Dikutip dari :http://www. EIDCP.com.

B. Derajat Keparahan Luka Bakar 6


American Burn Association membagi derajat keparahan luka bakar menjadi :
1. Luka bakar ringan.
- Luka bakar derajat II <15 %
- Luka bakar derajat II < 10 % pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 2 %
2. Luka bakar sedang
- Luka bakar derajat II 15-25 % pada orang dewasa
- Luka bakar II 10 – 20 5 pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 10 %

3. Luka bakar berat


- Luka bakar derajat II 25 % atau lebih pada orang dewasa

7
- Luka bakar derajat II 20 % atau lebih pada anak – anak.
- Luka bakar derajat III 10 % atau lebih

2.6. Indikasi Perawatan Intensif pada Pasien dengan Luka Bakar 1,3,4

Indikasi perawatan pasien luka bakar di Burn Unit


 Luka bakar derajat II dan III yang melebihi 10% dari luas permukaan
tubuh pada orang dengan usia <10 tahun dan >50 tahun
 Luka bakar derajat II dan III yang melebihi 20% dari luas permukaan
tubuh pada orang dengan usia 10-50 tahun
 Luka bakar derajat III yang melebihi 5% dari luas permukaan tubuh pada
semua usia
 Luka bakar derajat II atau III yang mengenai wajah, tangan, kaki, telinga
atau area perineum yang dapat menyebabkan kecacatan baik secara
kosmetik maupun fungsional
 Luka bakar akibat bahan kimia atau listrik
 Trauma inhalasi
 Luka bakar dengan komorbid yang signifikan dapat meningkatkan resiko
morbiditas dan mortalitas pasien ( diabetes mellitus, penyakit paru
obstruktif kronis)

Pasien yang memenuhi kriteria dibawah ini juga dapat mendapat perawatan
di rumah sakit
 Luka bakar derajat II yang kurang dari 10% dari luas permukaan
tubuh
 Pasien dengan luka bakar pada area yang tidak beresiko tinggi

8
2.7. Penatalaksanaan Pasien dengan Luka Bakar

2.7.1.Penanganan Pre- Hospital

Penanganan penderita luka bakar sebelum dikirim ke rumah sakit meliputi


menilai keadaan pasien lalu melakukan bantuan hidup dasar, pemberian terapi
oksigen, mengganti pakaian pasien yang terkena luka bakar, dan transportasi
pasien ke rumah sakit 1,5

2.7.2. Survei Primer

A. Mengamankan Jalan Nafas


 Menilai ada tidaknya gangguan pernafasan dan adanya trauma inhalasi (
riwayat terjebak kebakaran dalam ruang tertutup, luka pada area wajah
dan leher, ditemukan suara patologis pada pemeriksaan fisik, apnoe dll)
 Pemberian terapi oksigen
 Indukasi intubasi pada pasien : edema pada area wajah dan leher,
ditemukan suara nafas patologis, trauma inhalasi.1,5
B. Bantuan Nafas

 Ventilasi dengan oksigen 100 % pada pasien dengan intubasi

 Mengambil sampel analisis gas darah ntuk menilai keadekuatan terapi


oksigen dan ada tidaknya gangguan asam basa

 Rontgen thorax dan bronkoskopi untuk menilai cedera bila diperlukan


1,5

C. Bantuan Sirkulasi

 Pemasangan jalur intravena untuk resusitasi cairan

 Umumnya hanya pasien dengan luka bakar yang melebihi 20 % TBSA


(Total Body Surface Area) yang memerlukan resusitasi cairan.

 Resusitasi cairan dengan formula Baxter atau Parkland berdasarkan luas


permukaan tubuh yang terkena luka bakar (Rule of Nine)

 Pemasangan Foley Catheter untuk memantau urin output.

9
 Pada pasien dengan trauma inhalasi yang banyak menghirup CO2 dan
pasien dengan luka bakar akibat listrik diperlukan jumlah resusitasi
cairan yang lebih banyak dari jumlah resusitasi cairan pasien luka bakar
yang tidak disertai trauma inhalasi ataupun pasien luka bakar yang tidak
disebabkan oleh listrik.

 Pemberian cairan rumatan 1,5 kali kebutuhan normal dengan komposisi


yang disesuaikan dengan kebutuhan elektrolit 1,5

2.7.3. Anamnesis

Anamnesis merupakan hal yang penting untuk mengetahui penyebab luka


bakar dan komorbid yang menyertai. Kita perlu mengetahui mekanisme
terjadinya luka bakar, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup
sehingga kecurigaan adanya trauma inhalasi yang dapat menimbulkan
obstruksi jalan napas, berapa lama pasien terjebak dalam kebakaran atau
menghirup asap kebakaran, penyebab luka bakar, adanya tanda-tanda
gangguan pernafasan. Selain itu kita juga perlu menanyakan riwayat penyakit
pasien, riwayat penyakit keluarga pasien dan riwayat sosial pasien agar kita
dapat memberikan penatalaksanaan luka bakar secara komprehensif .1,5

2.7.4. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan penderita diwajibkan memakai sarung tangan yang steril,


bebaskan penderita dari baju yang terbakar, penderita luka bakar dapat pula
mengalami trauma lain, misalnya bersamaan dengan trauma abdomen dengan
adanya perdarahan organ dalam ataupun trauma tulang belakang..1,5

2.7.5.Penatalaksanaan Luka pada Luka bakar

A. Penatalaksanaan awal
 Bersihkan luka dengan gauze yang dibasahi dengan cairan fisiologis
 Bersihkan kulit-kulit yang terkelupas
 Berikan agen topikal (basitracin, gentamycin, silver sulfadiazine atau agen
topikal lainnya)
 Tutup luka dengan dressing yang kering
 Berikan tetanus profilaksis 1,5

10
B. Penatalaksanaan Khusus
 Debridement luka dengan anastesi umum lalu diberi dressing tulle dengan
agen topikal silver sulfadiazine dan dibungkus dengan kasa steril yang
tebal lalu dibuka setelah 5 hari.
 Escharotomi atau fasciotomi dengan pasien yang mengalami kompartemen
sindrom
 Skin graft pada pasien dengan luka bakar yang berat dan pada area tubuh
yang terbuka 1,5

2.7.6. Resusitasi Cairan pada Luka Bakar

Pada pasien dengan luka bakar yang berat akan terjadi perubahan
permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstravasasi cairan (plasma
protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan intersisial mengakibatkan
terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial. Keseimbangan
tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal
terhambat yang akan menyebabkan gangguan perfusi sel . 1,2,5

Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang
hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial
menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami
defisit sehingga timbul gangguan proses transportasi oksigen ke jaringan.
Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam
waktu singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab
syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian. 2,5

Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalaksanaan syok dengan


metode resusutasi cairan konvensional (menggunakan regimen cairan yang ada)
dengan penatalaksanaan syok dalam waktu singkat, menunjukkan perbaikan
prognosis, derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam

11
laktat), hipotermi dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya,
ketiganya diketahui memiliki nilai prognostik terhadap angka mortalitas.5

Pada penanganan perbaikan sirkulasi pada luka bakar dikenal beberapa formula

berikut :

- Evans Formula

- Brooke Formula

- Baxter Formula 5

BAXTER formula
Hari Pertama :
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam
Anak : Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3
2 cc x berat badan x % luas luka ditambah kebutuhan faali.
½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
½ diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua
Dewasa : ½ hari I
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali

Menurut Evans - Cairan yang dibutuhkan :

1. RL / NaCl = luas luka bakar ……% X BB/ Kg X 1 cc


2. Plasma = luas luka bakar ……% X BB / Kg X 1 cc
3. Pengganti yang hilang karena penguapan D5 2000 cc
Hari I --- 8 jam X ½
--- 16 jam X ½
Hari II -- ½ hari I
Hari ke III ---sama dengan hari ke II

12
Gambar 3. Rule of Nine

Dikutip dari : Holmes JH, Heimbach DM. Burns/Inhalation Injury. In


:Trauma Manual : The Trauma and acute Care Surgery- 3rd edition.
NewYork. Lippincott William and Wilkins.2008.

2.7.7. Obat-obatan lain

Obat – obatan:
 Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
 Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai
hasil kultur.
 Analgetik : penatalaksanaan nyeri pada pasien dengan luka bakar adalah
dengan pemberian analgetik golongan opioid dan NSAID
 Antasida : pemberian antasida diperlukan untuk mengurangi stress
pada lambung akibat pemberian NSAID.
 Antioksidan : vitamin C 66 mg/kgBB/jam dalam 24 jam pertama 2,6

13
2.7.8. Monitoring Penderita Luka Bakar 5

Monitoring penderita luka bakar harus diikuti secara cermat. Pemeriksaan


fisik meliputi inspeksi, penderita palpasi, perkusi dan auskultasi adalah
prosedur yang harus dilakukan pada perawatan penderita. Pemeriksaan
laboratoris untuk monitoring juga dilakukan untuk mengikuti perkembanagn
keadaan penderita. Monitoring penderita kita dibagi dalam 3 situasi yaitu pada
saat di triage, selama resusitasi (0-72 jam pertama) dan post resustasi. 5

I. Triage – Intalasi Gawat Darurat

A. Survei primer : Pada waktu penderita datang ke Rumah sakit, harus dinilai
dan dilakukan penanganan untuk mengamankan jalan nafas, memberikan
bantuan nafas dan memberikan bantuan sirkulasi. Penderitaluka bakar dapat
pula mengalami trauma toraks atau mengalami pneumotoraks.

B. Monitoring tanda- tanda vital : Monitoring dan pencatatan tekanan darah,


respirasi, nadi, dan suhu tubuh pasien. Monitoring jantung terutama pada
penderita karena trauma listrik, dapat terjadi aritmia ataupun sampai terjadi
cardiac arrest.

C. Monitoring cairan keluar : Monitoring urin dapat dilakukan dengan


menghitung jumlah urin pasien, apabila jumlah urin tidak bisa diukur maka
dapat dilakukan pemasangan foley kateter. Urin produksi dapat diukur dan
dicatat tiap jam. Pada observasi urin kita harus memperhatikan warna urin
terutama pada penderita luka bakar derajat III atau luka bakar akibat trauma
listrik. Bila kita menemukan myoglobin, hemoglobin terdapat dalam urin
maka hal tersebut menunjukkan adanya kerusakaan sel yang hebat.5

II. Monitoring Dalam Fase Resusitasi(sampai 72 jam)

1. Mengukur urin produksi.

Urine produksi dapat sebagai indikator apakah resusitasi cukup adekuat /


tidak. Produsi urin yang normal menunjukkan proses resusitasi yang adekuat.
Produksi urin normal pada orang dewasa adalah 30-50 cc urine/jam atau 1
cc/kg BB/jam.

14
2. Vital sign

Monitoring dan pencatatan tekanan darah, respirasi, nadi, dan suhu tubuh
pasien untuk menilai keadaan fungsi vital pasien.

3. Analisis gas darah

Analisis gas darah dilakukan untuk menilai keadaan asam basa pasien. Pada
pasien luka bakar khususnya dengan trauma inhalasi dapat ditemukan adanya
respirasi asidosis yang ditandai dengan penurunan pH, peningkatan pCO2, dan
peningkatan kadar HCO3- .

4. Perfusi perifer

Pemeriksaan perfusi perifer dilakukan dengan pemasangan pulse oxymetri


untuk menilai keadekuatan perfusi jaringan perifer.

5. Laboratorium

a. serum elektrolit
b. plasma albumin
c. darah lengkap
d. urine sodium
e. elektrolit
f. liver function test
g. renal function tes
h. total protein / albumin
i. pemeriksaan lain sesuai indikasi
6. Penilaian keadaan paru

Pemeriksaan kondisi paru perlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya

perubahan yang terjadi antara lain stridor, bronkhospam, adanya secret,


wheezing, atau dispnae merupakan adannya impending obstruksi.
Pemeriksaan toraks foto juga harus dilakukan untuk menilai adanya penyakit
komorbid yang menyertai yang dapat memperberat kondisi pasien.

15
7. Penilaian gastrointestinal.

Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk

mengetahui bising usus dan pemeriksaan sekresi lambung. Adanya darah dan
pH kurang dari 5 merupakan tanda adanya Culing Ulcer.

8. Penilaian luka bakarnya.

Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan
berbau atau ada tanda-tanda pus maka kasa perlu diganti. Bila bersih
perawatan selanjutnya dilakukan 5 hari kemudian.

2.8. Luka Bakar dengan Trauma Inhalasi

2.8.1.Mekanisme Kerusakan Saluran Napas Akibat Trauma Inhalasi

1. Trauma panas langsung


Terhirupnya sesuatu yang panas, produk dari bahan yang terbakar, seperti
jelaga dan bahan khusus menyebabkan kerusakan mukosa langsung pada
percabangan trakeobronkial.5,
2. Keracunan asap yang toksik
Akibat termodegradasi material alamiah dan material yang diproduksi
akan menyebabkan terbentuknya gas toksik (beracun), misalnya hydrogen
sianida, nitrogen dioksida, nitrogen klorida, akreolin yang bisa
mengakibatkan iritasi dan bronkokonstriksi saluran napas. Obstruksi jalan
napas akan menjadi lebih hebat akibat trakeobronkitis dan edema.
3. Intoksikasi karbon monoksida (CO)
Intoksikasi CO menyebabkan hipoksia jaringan. Gas CO memiliki afinitas
cukup kuat terhadap pengikatan hemoglobin (210-240 kali lebih kuat di
banding dengan O2). Intoksikasi CO akan menyebabkan berkurangnya
ikatan O2 dengan hemoglobin yang apabila tidak mendapatkan
penanganan yang segera dapat menyebabkan hipoksia jaringan.
Peningkatan kadar karboksihemoglobin (COHb) dapat dipakai untuk
evaluasi berat ringannya intoksikasi CO.

16
2.8.2. Gejala Klinis trauma Inhalasi 5,8-10

Kecurigaan adanya trauma inhalasi bila pada penderita luka bakar bila kita
mendapati keadaan berikut :
1. Riwayat terjebak dalam rumah atau ruangan yang terbakar
2. Sputum tercampur arang
3. Luka bakar perioral, hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. Penurunan kesadaran.
5. Tanda distress napas, rasa tercekik, tersedak, malas bernapas dan
adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan
(iritasi mukosa)
6. Sesak atau tidak ada suara.
 Pada fase awal → kerusakan saluran napas akibat efek toksik yang
langsung terhirup
 Pada fase lanjut → edema paru dengan terjadinya hpoksemia progresif
→ARDS

Gambar 4. Korelasi tingkat Keracunan CO dengan gejala klinis neurologis

2.8.3.Pemeriksaan tambahan 1,5, 10

1. Kadar karboksihemoglobin (COHb)


Pada trauma inhalasi, kadar COHb 35-45 % (berat), bahkan setelah 3 jam dari
kejadian, kadar COHb pada batas 20-25 %. Bila kadar COHb lebih dari 15 %
setelah 3 jam kejadian merupakan bukti kuat terjadi trauma inhalasi.

17
2. Analisis Gas Darah
PaO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50%, FiO2 =
0,5) mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase
awal, tetapi dapat meningkat pada fase lanjut.
Pada luka bakar yang luas atau trauma inhalasi dapat terjadi respiratori
asidosis yang ditandai dengan peningkatan pCO2 dan HCO3- dan penurunan
pH.
3. Foto toraks biasanya menunjukkan gambaran normal pada fase awal.
4. Bronkoskopi
Bila terdapat sputum berarang, edema mukosa, adanya bintik – bintik
pendarahan dan ulserasi memastikan adanya trauma inhalasi.

2.8.4. Penatalaksanaan Trauma Inhalasi tanpa Distres Pernafasan 1,5

1. Pemasangan pipa endotrakeal


2. Pemberian oksigen 100%
3. Penghisapan sekret secara berkala.
4. Humidifikasi dengan nebulizer.
5. Pemberian bronkodilator (Ventolin ® inhalasi)
6. Pemantauan gejala dan tanda distress pernapasan
A. Gejala Subyektif : gelisah, sesak napas.
B. Gejala Obyektif : Frekuensi napas meningkat ( > 30 kali / menit),
sianotik, stridor, aktivitas otot pernapasan tambahan, perubahan nilai
hasil pemeriksaan analisis gas darah.
C. Pemeriksaan :
1. Analisa gas darah
a. pada saat pertama kali (resusitasi)
b. 8 jam pertama
c. Setelah 24 jam kejadian
d. Selanjutnya sesuai kebutuhan
2. foto toraks 24 jam pasca kejadian.

18
7. Pemeriksaan radiologik (foto toraks) dikerjakan bila ada masalah pada jalan
napas.
8. Pelaksanaan di ruang resusitasi gawat darurat

2.8.5. Penatalaksanaan trauma Inhalasi dengan Distres Pernafasan 1,5

Untuk mengatasi masalah distress pernapasan yang dijumpai :

1. Dilakukan intubasi atau trakeostomi dengan anestesi lokal, dengan atau


tanpa kanul trakeostomi.
2. Pemberian oksigen 100%
3. Pembersihan sekret saluran pernapasan secara berkala.
4. Humidifikasi dengan nebulizer.
5. Pemberian bronkodilator (Ventolin ® inhalasi) setiap 6 jam.
6. Pemantauan gejala dan tanda distress pernapasan.
A. Gejala subyektif : gelisah, sesak napas (dispnea)
B. Gejala obyektif : frekuensi napas meningkat (30-40 kali / menit),
sianotik, stridor, aktivitas otot pernapasan tambahan, perubahan hasil
pemeriksaan analisis gas darah 98 jam pertama). Gambaran hasil infitrat
paru dijumpai > 24 jam samapi 4-5 hari.
7. Pemeriksaan radiologik (foto toraks) dikerjakan bila masalah pernapasan
telah diatasi.
8. Pelaksanaan di ruang resusitasi instalasi gawat darurat.

19
TINJAUAN PUSTAKA

1. Holmes JH, Heimbach DM. Burns/Inhalation Injury. In :Trauma Manual :


The Trauma and acute Care Surgery- 3rd edition. NewYork. Lippincott
William and Wilkins.2008.

2. Oliver RI. Burns, Resucitation dan Early Managemet. 2009. (dikutip


tanggal 22 Agustus 2010). Dikutip dari : http:// www. emedicine.
com.overview-1223760.htm

3. Wolf SE, Herndon DN. Burn and Radiation Injury.In : Trauma E.Moore-
5th edition. NewYork.McGraw-Hill.2004.

4. Lee JO, Herndon DN. Burn and Radiation Injury.Trauma-sixth edition.


NewYork. McGraw-Hill.2008.

5. Kartohartmojo S. Luka Bakar (Combustio). (dikutip tanggal 22 Agustus


2010). Dikutip dari : http://www. UNAIR University Press.com.htm.

6. Artanto. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Luka Bakar. (dikutip


tanggal 22 Agustus 2010). Dikutip dari : http://www. Artanto.com.

7. Meiriani N. Manajemen Luka Bakar. (dikutip tanggal 22 Agustus 2010).


Dikutip dari : http://www. EIDCP.com.

8. Church D, Elsayed S. Burn Wound Infection. Clinical Microbiology


Reviews, Apr. 2006, P. 403–434
9. Serebrisky D. Inhalation Injury-overview.2009. (dikutip tanggal 22
Agustus 2010). Dikutip dari : http://www.emedicine.com.overview-
1002413.htm

10. Serebrisky D. Inhalation Injury-Diagnosis and differential diagnosis.2009.


(dikutip tanggal 22 Agustus 2010). Dikutip dari :
http://www.emedicine.com.diagnosis and differential diagnosis-
1002413.htm

20

Anda mungkin juga menyukai