Anda di halaman 1dari 62

MODEL – MODEL LINEAR DALAM STATISTIK

Tujuan Instruksional Khusus

BAB 1 ENDAHULIAN

1.1 Model Regresi Linear Sederhana


1.2 Model Regresi Linear Ganda
1.3 Model Analisis Variansi

BAB 2 Aljabar Matriks

2.1 Notasi matrik dan Notasi Vektor


2.1.1 Matriks, Vektor, dan Skalar
2.1.2 Matriks Sama
2.1.3 Matriks Tranpose
2.1.4 Matriks dari Bentuk Khusus
2.2 Operasi Matriks
2.2.1 Penjumlahan Dua Matriks atau Dua Vektor
2.2.2 Perkalian Dua Buah Matriks atau Dua Vektor
2.3 Partisi Matriks
2.4 Rank Matriks
2.5 Invers Matriks
2.6 Definisi Matriks Positif
2.7 Sistem Persamaan
2.8 Invers yang Digeneralisasi
2.8.1 Definisi dan Sifat-Sifat
2.8.2 Invers yang Digeneralisasi dan Sistem Persamaan
2.9 Determinan
2.10 Matriks dan Vektor Ortogonal
2.11 Trace
2.12 Nilai eigen dan Vektor Eigen
2.12.1 Definisi
2.12.2 Fungsi dari suatu Matriks
2.12.3 Product
2.12.4 Matriks simetrik
2.12.5 Matriks Defenite Positif dan Matriks Semidefenit Positif
2.13 Matriks Idempoten
2.14 Bentuk-Bentuk Turunan dari Fungsi Liear dan Fungsi Kuadratik

BAB 3 Matriks dan Vektor Random

3.1 Pendahuluan
3.2 Rata-Rata, Variansi, Kovariansi dan Korelasi
3.3. Rata-Rata Vektor dan Kovariansi Matriks untuk Vektor Random
3.3.1 Rata-Rata Vektor
3.3.2 Kovariansi Matrik
3.3.3 Variansi yang Digeneralisasi
3.3.4 Jarak yang Digeneralisasi
3.4 Matriks Korelasi
3.5 Rata-Rata Vektor dan Matriks Kovariansi untuk Vektor-Vektor Random yang Dipartisi
3.6 Fungsi Linear dari Vektor-Vektor Random
3.6.1 Rata-Rata
3.6.2 Variansi dan Kovariansi

BAB 4 DISTRIBUSI MULTIVARIATE NORMAL

4.1 Fungsi Densitas Univariate Normal


4.2 Fungsi Densitas Multivariate Normal
4.3 Fungsi Pembangkit Moment
4.4 Sifat-Sifat dari Distribusi Multivariate Normal
4.5 Korelasi Parsial

BAB 5 DISTRIBUSI DARI BENTUK_BENTUK KUADRAT DALAM y

5.1 Jumlah Kuadrat


5.2 Rata-Rata dan Variansi dari Bentuk-Bentuk Kuadrat
5.3 Distribusi Chi-Square Noncentral
5.4 Distribusi-F Noncntral dan Distribusi-t Noncentral
5.4.1 Distribusi-F noncentral
5.4.2 Distribusi-t noncentral
5.5 Distribusi dari Bentuk-Bentuk Kadratik
5.6 Indepen dari Bentuk-Bentuk Linear dan Bentuk-Bentuk Kuadratik

BAB 6 REGRESI LINEAR SEDERHANA

6.1 Model
6.2 Estimasi dari 𝛽0 , 𝛽1 𝑑𝑎𝑛 𝜎 2
6.3 Uji Hipotesis dan Interval Konfidensi untuk 𝛽1
6.4 Koefisien Determinasi

BAB 7 ESTIMASI REGRESI GANDA

7.1 Pendahuluan
7.2 Pemodelan
7.3 Estimasi 𝜷 𝑑𝑎𝑛 𝜎 2
7.3.1 Estimator Least Squares untuk 𝜷
7.3.2 Sifat-Sifat dar Estimator Least Squares 𝛽̂
7.3.3 Suatu Estimator untuk 𝜎 2
7.4 Geometry dari Least Squares
7.4.1 Ruang Variabel
7.4.2 Ruang sampel
7.5 Model Dalam Bentuk Terpusat
7.6 Model Normal
7.6.1 Asumsi-Asumsi
7.6.2 Estimator Maksimum Likelihood untuk 𝜷 𝑑𝑎𝑛 𝜎 2
7.6.3 Sifat-Sifat dari 𝛽̂ 𝑑𝑎𝑛 𝜎̂ 2
7.7 Regresi 𝑅 2 Dalam x Tertentu
7.8 Least Squares yang Digeneralisasi: 𝑐𝑜𝑣(𝑦) = 𝜎 2 𝑉
7.8.1 Estimasi dari 𝜷 𝑑𝑎𝑛 𝜎 2 Bila 𝑐𝑜𝑣(𝑦) = 𝜎 2 𝑉
7.8.2 Misspecifition dari Struktur Error
7.9 Model Misspecification
7.10 Orthogonalization

Daftar Pustaka, Alvin C Rences, Linear Model in Statistics


BAB 1 PENDAHULUN

Metode ilmiah sering digunakan sebagai penuntun untuk pendekatan pembelajaran. Metode linear
secara statistik adalah sebagai bagian perluasan yang digunakan dalam proses pembelajaran ini.
Dalam ilmu – ilmu biologi, fisika dan ilmu-ilmu sosial, dan juga dalam bisnis dan engeneering, model
linear digunakan keduanya dalam membuat perancangan riset dan dalam menganalisis data. Dalam
fasal 1.1, 1.2, dan 1.3 diberikan penjelasan singkat model regresi linear, model regresi ganda, dan
model analisis varians.

1.1 Model Regresi Linear Sederhana

Dalam regresi linear sederhana, kita mencoba untuk hubungan model antara dua variabel,
contohnya, jumlah penghasilan dan pendidikan dalam tahun, tinggi dan berat dari orang, lebar dan
panjang amplop, temperatur dan suatu luaran proses industri, perlakuan dan titik air mendidih, atau
dosis suatu obat dan response. Untuk suatu hubungan linear, kita dapat gunakan suatu model dari
bentuk
𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥 + 𝜀 (1.1)

di mana y adalah variabel dependen (respon) dan x adalah variabel independen atau variabel
prediktor. Variabel random 𝜀 adalah bentuk error dalam model.
Linearitas pada model dalam (1.1) adalah suatu asumsi. Kita tambahkan asumsi khusus lain
tentang distribusi dari bentuk-bentuk error, independen dari nilai-nilai pengamatan y, dan
sebagainya. Untuk nilai-nilai pengamatan x dan y, kita mengestimasi 𝛽0 dan 𝛽1 dan menggunakan
inferesi seperti interval konfidensi dan uji hipotesis untuk 𝛽0 dan 𝛽1 . Kita bisa juga menggunakan
model nilai peramalan atau nilai prediksi dari y untuk suatu nilai khusus x, yang mana kasus dari
suatu ukuran akurasi prediksi, juga bisa diperhatikan.
Prosedur estimasi dan inferensial untuk model regresi linear sederhana dilihat dan
diillustrasikan dalam BAB 6.

1.2 Model Regresi Linear Ganda

Respon y seringkali dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel prediktor. Contohnya, Hasil dari
suatu hasil panen bisa bergantung pada jumlah pupuk nitrogen, kalium karbohidrat (garam abu), dan
posfat yang dibuat. Variabel-variabel ini dikendalikan oleh peneliti, tetapi hasil juga bisa bergantung
pada variabel-variabel yang tidak dapat dikendalikan karena itu berhubungan dengan cuaca.
Suatu model linier menghubungkan respn y terhadap beberapa prediktor mempunyai
bentuk

𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥2 + … + 𝛽𝑘 𝑥𝑘 + 𝜀 (1.2)

Parameter-parameter 𝛽0 , 𝛽1 , 𝛽2 , … , 𝛽𝑘 disebut koefisien-koefisien regresi. Seperti dalam (1.1),


menetapkan 𝜀 untuk variasi random dalam y yang tidak dijelaskan oleh nilai x. Variasi random ini
seharusnya bisa sebagian pada variabel-variabel lain yang mempengaruhi y tetapi tidak diketahui
atau tidak diobeservasi.
Model dalam (1.2) adalah linier dalam nilai-nilai 𝛽; itu tidak perlu linier dalam nilai-nilai x. Jadi
model-model seperti

𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥12 + 𝛽3 𝑥2 + 𝛽4 𝑠𝑖𝑛𝑥2 + 𝜀

adalah termasuk dalam tanda model linier.


Suatu model diberikan suatu kerangka secara teoritis untuk pengertian lebih baik dari suatu
phenomena yang menarik. Jadi suatu model adalah suatu konstruk secara matematik yang kita
yakini bisa menggambarkan mekanisme tentang penurunan pada observasi-observasi yang baik.
Model dapat dipostulatkan merupakan suatu penyederhanaan yang dipikirkan dari situasi kerja
nyata yang kompleks, tetapi dalam banyak kasus seperti, model-model secara empirik berguna
memberikan perkiraan terhadap hubungan antara variabel. Relasi ini dapat menghubungkan salah
satu atau kausatif.
Model regresi seperti (1.2) digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk sebagai berikut:
1. Prediksi. Estimasi dari masing – masing parameter 𝛽0 , 𝛽1 , 𝛽2 , … , 𝛽𝑘 adalah kurang penting
untuk prediksi dari pada keseluruhan pengaruh nilai-nilai x terhadap y. Akan tetapi, kebaikan
estimasi diperlukan untuk pencapaian pelaksanaan prediksi yang baik.
2. Data deskripsi atau keterangan. Scientist atau engineer menggunakan model yang diestimasi
untuk meringkas atau menggambarkan data yang diestimasi.
3. Estimasi parameter. Nilai-nilai dari parameter yang diestimasi bisa mempunyai implikasi
secara teori untuk suatu model yang dipostulakan
4. Pemilihan variabel atau skrening. Perhatian adalah kepentingan pada perhitungan dari
setiap variabel prediktor dalam variasi pemodelan y. Prediktor – prediktor yang dihubungkan
dengan suatu jumlah keterangan dari variasi y disimpan; tentang sedikit kontribusi ini bisa
dihapus.
5. Control of Output. Jika suatu sebab dan pengaruh hubungan antara y dan x diasumsikan,
model dapat diestimasi lalu digunakan untuk kontrol output dari suatu proses dengan
berbagai output. Dengan percobaan secara sistematik, itu bisa memungkinkan untuk
mencapai output yang optimal.

Ada suatu perbedaan dasar diantara tujuan 1 dan 5. Untuk prediksi, kita hanya perlu asumsi
bahwa korelasi-korelasi yang sama diparalelkan bila data yang berkorelasi juga kontinu dalam bagian
bila prediksi dapat digunakan. Mempertunjukkan suatu hubungan yang signifikan diantara y dan
nilainya x dalam (1.2) tidak memerlukan bukti yang berkaitan sebab akibat. Untuk menetapkan
hubungan dalam urutan mengontrol hasil, periset (peneliti) harus memilih nilai-nilai dari nilainya x
dalam model dan gunakan secara random untuk menghindari pengaruh-pengaruh dari kemungkinan
variabel-variabel lain yang tidak mempunyai penjelasan. Yaitu , untuk mengetahui pengaruh dari
nilainya x pada y bila nilainya x dipilih, itu perlu untuk memilihnya.
Prosedur estimasi dan inferensial yang berkontribusi pada tujuan dia tas akan dijelaskan
dalam Bab 7 – 10.

1.3 Analisis dari Model – Model Variansi

Dalam analisis model – model variansi, kita berkepentingan dalam membandingkan beberapa
populasi atau membandingkan beberapa syarat dalam suatu eksperiment. Analisis dari model –
model variansi dapat dinyatakan seperti model-model linier dengan terbatas nilai-nilai x. Hkusus
nilainya x adalah nilainya 0 atau nilainya 1. Contohnya, andaikan seorang periset ingin
membandingkan hasil rata-rata empat macam katalisator dalam suatu proses industri. Jika n
observasi diperoleh untuk setiap katalisator, satu model untuk 4n observasi dapat dinyatakan seperti

𝑦𝑖𝑗 = 𝜇𝑖 + 𝜀𝑖𝑗 , 𝑖 = 1,2,3,4, 𝑗 = 1,2, … , 𝑛 (1.3)

di mana 𝜇𝑖 adalah rata-rata yang berkoresponden dengan katalisator ke i. Suatu hipotesis yang
menarik adalah 𝐻0 : 𝜇1 = 𝜇2 = 𝜇3 = 𝜇4 . Model dalam (1.3) dapat dinyatakan dalam bentuk
alternatif

𝑦𝑖𝑗 = 𝜇𝑖 + 𝛼𝑖 + 𝜀𝑖𝑗 , 𝑖 = 1,2,3,4, 𝑗 = 1,2, … , 𝑛 (1.4)

Dalam bentuk ini, 𝛼𝑖 pengaruh katalisator ke i, dan hipotesis dapat dinyatakan seperti 𝐻0 : 𝛼1 = 𝛼2 =
𝛼3 = 𝛼4 .
Andaikan juga periset ingin membandingkan pengaruh dari tiga tingkat temperatur dan n
observasi yang diambil pada setiap dari 12 kombinasi temperatur – katalisator. Maka model dapat
dinyatakan seperti

𝑦𝑖𝑗𝑘 = 𝜇𝑖𝑗 + 𝜀𝑖𝑗𝑘 = 𝜇 + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑗 + 𝛾𝑖𝑗 + 𝜀𝑖𝑗𝑘 (1.5)

𝑖 = 1,2,3,4, 𝑗 = 1,2,3 𝑘 = 1,2, … , 𝑛

di mana 𝜇𝑖𝑗 adalah rata-rata untuk kombinasi katalisator ke (ij), 𝛼𝑖 adalah pengaruh dari katalisator
ke i, 𝛽𝑗 adalah pengaruh dari tingkat temperatur ke j, dan 𝛾𝑖𝑗 adalah interaksi atau pengaruh
bersama dari katalisator ke i dan tingkat teperatur ke j.
Dalam contoh utama pada model (1.3), (1.4), dan (1.5) periset memilih tipe dari katalisator
atau tingkat dari temperatur dan kemudian mengaplikasikan perbedaan percobaan pada objek atau
satuan percobaan dibawah penelitian. Dalam pasangan lain, kita membandingkan rata-rata dari
variabel – variabel yang terukur pada kelompok-kelompok asli dari satuan, contonya, laki-laki dan
perempuan atau berbagai bidang geografik.
Analisis dari model-model variansi dapat diberlakukan sebagai suatu kasus khusus dari
model-model regresi, tetapi itu lebih cocok untuk menganalisis mereka yang terpisah. Ini dibuat
dalam Bab 11 – 14. Hubungan topik, seperti analisis dari covariansi dan model campuran, ditutup
dengan Bab 15 dan 16.
BAB 2 ALJABAR MATRIKS

Jika kita suatu model linier seperti (1.2) untuk setiap n observasi dalam suatu himpunan data, n hasil
model dapat dinyatakan dalam suatu bagian tunggal matriks yang dinyatakan. Maka hasil-hasil
estimasi dan pengujian dengan lebih mudah diperoleh bila menggunakan teori matiks.
Dalam bab sekarang, kita mempertimbangkan elemen-elemen dari dari teori matriks yang
diperlukan dalam buku yang tersisa. Bukti-bukti yang mengandung pelajaran yang diperlukan atau
disebut untuk dalam persoalan. Untuk bukti-bukti lain, lihat Graybill (1969), Searle (1982), Harville
(1997), Schott (1997), atau suatu teks umumpada teori matriks.

2.1 Notasi Matriks dan Vektor

2.1.1 Matriks, Vektor dan Skalar

Suatu matriks adalah suatu persegi panjang atau bujursangkar dari bilangan-bilangan atau variabel-
variabel. Kita gunakan huruf besar yang dibolt untuk menggambarkan matriks. Dalam buku ini,
semua elemen-elemen matriks akan berupa bilangan-bilangan riel atau variabel-variabel yang
menggambarkan bilangan-bilangan riel. Misalnya, tinggi (dalam inci) dan berat ( dalam pon) untuk
tiga mahasiswa didaftar dalam matriks berikut:

65 154
𝑨 = (73 182) (2.1)
68 167

Untuk menggambarkan elemen-elemen dari A seperti variabel, kita gunakan

𝑎11 𝑎12
𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ) = (𝑎21 𝑎22 ) (2.2)
𝑎31 𝑎32

Notasi 𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ) mengambarkan suatu matriks dengan maksud suatu elemen khusus. Tulisan di
bawah garis dalam 𝑎𝑖𝑗 mengindikasikan baris; ke dua mengindikasikan kolom.
Matriks A dalam (2.1) atau (2.2) memiliki tiga baris dan dua kolom, dan kita katakan bahwa
A adalah 3 × 2, atau A berukuran 3 × 2
Suatu vektor adalah suatu matriks dengan kolom tunggal. Elemen-elemen dalam suatu
vektor adalah sering diidentifikasi dengan tulisan dibawah yang tunggal, contohnya,

𝑥1
𝒙 = (𝑥2 )
𝑥3

Kita gunakan huruf kecil yang dibold untuk vektor-vektor kolom. Vektor-vektor baris dinyatakan
seperti vektor-vektor kolom yang ditraspose, misalnya,

𝒙′ = (𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 ) = (𝑥1 𝑥2 𝑥3 )
(traspose yang didefinisikan dalam fasal 2.1.3 di bawah). Kita gunakan salah satu koma atau elemen-
elemen yang terpisah dari suatu vektorr baris.
Secara geometrik, suatu vektor dengan elemen-elemen p dapat dihubungkan dengan suatu
titik dalam ruang yang berdimensi p. Elemen-elemen dalam vektor adalah koordinat-koordinat dari
titk. Kadang-kadang kita berkepentingan dalam bentuk jarak dari yang asli dengan titik (vektor), jarak
diantara dua titik (vektor), atau sudut dintara gambar anak panah dari asal pada dua titik.
Dalam konteks matriks dan vektor, suatu bilangan riel disebut suatu skalar. Jadi 2,5, - 9, 7,26
adalah skalar. Suatu variabel menggambarkan suatu skalar akan berupa dengan huruf kecil yang
tidak dibold (biasanya huruf kecil), seperti c.

2.1.2 Matriks Sama

Dua matriks atau dua vektor dikatakan sama jika ke dua matriks itu berukuran sama dan semua
unsur-unsur yang sesuai atau seletak juga sama. Contohnya,

3 −2 4 3 −2 4
( )=( )
1 3 7 1 3 7
Tetapi
5 2 −9 5 3 −9
( )≠( ).
8 −4 6 8 −4 6

2.1.3 Transpose

Jika kita merubah baris dan kolom dari suatu matriks A, menghasilkan matriks transpose yang
diketahui seperti matriks A dengan A’. Contohnya,

6 −2
6 4 1
𝑨 = (4 7 ), 𝑨′ = ( )
−2 7 3
1 3

Umumnya, jika A berupa dengan 𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ), maka 𝐴′ didefinisikan seperti


𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ) = (𝑎𝑗𝑖 ). (2.3)

Notasi (𝑎𝑗𝑖 ) mengindikasikan bahwa elemen dalam baris ke i dan kolom ke j dalam A dibangun
dalam baris ke j dan kolom ke i dari A’. Jika matriks A adalah 𝑛 × 𝑝, maka A’ adalah 𝑝 × 𝑛.
Jika suatu matriks ditranspose dua kali, hasil matriks menjadi matriks asli.

Teorema 2.1A. Jika A suatu matriks, maka

(𝐴′ )′ = 𝐴 (2.4)

Bukti.
Dari (2.3), 𝐴′ = (𝑎𝑖𝑗 )′, maka (𝐴′ )′ = (𝑎𝑗𝑖 )′ = (𝑎𝑖𝑗 ) = 𝐴. Terbukti
2.1.4 Matriks-Matriks dari Bentuk Khusus

Jika tranpose dari suatu matriks A adalah sama seperti matriks semula, yaitu 𝑨′ = 𝑨 atau equivalent
dengan (𝑎𝑗𝑖 ) = (𝑎𝑖𝑗 ), maka matriks A disebut matriks simerik. Contohnya,

3 2 6
𝑨 = (2 10 −7)
6 −7 9

adalah simetrik. Jelasnya, semua matriks-matriks simetrik adalah bujursangkar.


Diagonal dari suatu matriks bujursankar 𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ) yang berukuran 𝑝 × 𝑝 terdiri dari elemen-
elemen 𝑎11 , 𝑎22 , … 𝑎𝑝𝑝 :

𝑎11 𝑎12 ⋯ 𝑎1𝑝


𝑎21 𝑎22 ⋯ 𝑎2𝑝
𝑨=( )
⋮ ⋮ … …
𝑎𝑝1 𝑎𝑝2 … 𝑎𝑝𝑝

Jika suatu matriks memuat semua nol yang bukan diagonal, itu dikatakan matriks diagonal,
contohnya,

8 0 0 0
𝑨 = (0 −3 0 0)
0 0 0 0
0 0 0 4

Yang juga dapat berupa seperti

𝑫 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(8, −3, 0, 4).

Kita gunakan notasi diag(A) untuk mengindikasikan suatu matriks diagonal dengan elemen-elemen
diagonal sama seperti A, contohnya,

3 2 6 3 0 0
𝑨 = (2 10 −7), 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝐴) = (0 10 0)
6 −7 9 0 0 9

Suatu matriks diagonal dengan mempunyai unsur-unsur diagonal utama bernilai sama dan 1 disebut
matriks Idenntis dan disingkat I, contohnya,

1 0 0
𝑰 = (0 1 0) (2.5)
0 0 1

Suatu matriks segitiga atas adalah suatu matriks bujursangkar dengan semua unsur matriks
segitiga bawah bernilai nol, contohnya
7 2 3 −5
𝑻 = ( 0 0 −2 6 )
0 0 4 1
0 0 0 8

dengan cara yang sama untuk matriks segitiga bawah.


Suatu vektor dengan nilainya 1 berupa dengan J

1
𝒋 = ( 1) (2.6)
1
1

Suatu matriks bujursangkar dengan semua unsur-unsurnya 1 yang berupa dengan J

1 1 1
𝑱 = (1 1 1) (2.7)
1 1 1

Suatu vektor dari 0 berupa 0 dan asuatu matriks dari 0 yang berupa 0, contohnya

0 0 0 0
𝑶 = (0), 𝑶 = (0 0 0) (2.8)
0 0 0 0

2.2 Operasi – Operasi

2.2.1 Jumlah dari Dua Matriks atau Dua Vektor

Jika dua matriks atau dua vektor adalah berukuran sama, jumlah ke duanya dibentuk dengan
menjumlahkan elemen-elemen yang bersesuaian. Jadi, jika A adalah 𝑛 × 𝑝 dan B adalah 𝑛 × 𝑝, maka
𝑪 = 𝑨 + 𝑩 juga adalah 𝑛 × 𝑝 dan dibangun seperti 𝑪 = (𝑐𝑖𝑗 ) = (𝑎𝑖𝑗 + 𝑏𝑖𝑗 ), contohnya,

7 −3 4 11 5 −6 18 2 −2
( )+( )=( )
2 8 −5 3 4 2 5 12 −3

Selisih D = A – B diantara dua matriks A dan B didefinisiksn yang sama 𝑫 = (𝑑𝑖𝑗 ) = (𝑎𝑖𝑗 − 𝑏𝑖𝑗 ).
Dua sifat dari penjumlahan matriks diberikan dalam teorema berikut.

Teorema 2.2A. Jika A dan B ke duanya adalah 𝑛 × 𝑚, maka

(i) 𝑨 + 𝑩 = 𝑩 + 𝑨 (2.9)
(ii) (𝑨 + 𝑩)′ = 𝑨′ + 𝑩′ (2.10)
2.2.2 Hasil Kali dari Dua Matriks atau Dua Vektor

Dalam urutan untuk definisi hasil kali AB, jumlah kolom dalam matriks A harus sama dengan jumlah
baris pada matriks B, yang mana kasus, A dan B dikatakan conformable. Maka elemen-elemen ke (ij)
dari hasil kali C = AB didefinisikan sebagai

𝑐𝑖𝑗 = ∑𝑘 𝑎𝑖𝑘 𝑎𝑘𝑗 , (2.11)

yang adalah jumlah dari hasil kali elemen-elemen dalam baris ke i dari matriks A dan elemen-elemen
dalam ke j dari matriks B. Jadi kita perkalikan setiap baris dari matriks A dengan setiap kolom pada
matriks B. Jika matriks A adalah 𝑛 × 𝑚 dan matrik B adalah 𝑚 × 𝑝, maka C = AB adalah 𝑛 × 𝑝. Kita
ilustrasikan perkalian matriks dalam contoh berikut.

Contoh 2.2.2
Misalkan
1 4
2 1 3
𝑨=( ) dan 𝑩 = (2 6).
4 6 5
3 8
Jadi
2.1 + 1.2 + 3.3 2.4 + 1.6 + 3.8 13 38
𝑨𝑩 = ( )=( )
4.1 + 6.2 + 5.3 4,4 + 6.6 + 5.8 31 92
sedangkan
1.2 + 4.4 1.1 + 4.6 1.3 + 4.5 18 25 23
𝑩𝑨 = (2.2 + 6.4 2.1 + 6.6 2.3 + 6.5) = (28 38 36).
3.2 + 8.4 3.1 + 8.6 3.3 + 8.5 38 51 49

Jika A adalah 𝑛 × 𝑚 dan B adalah 𝑚 × 𝑝, di mana 𝑛 ≠ 𝑝, maka AB adalah 𝑛 × 𝑛 dan BA


adalah 𝑝 × 𝑝. Dalam kasus ini, tentu, 𝑨𝑩 ≠ 𝑩𝑨, seperti yang diillustrasikan dalam Contoh 2.2.2. Jika
A dan B ke duanya adalah 𝑛 × 𝑛, maka AB dan BA adalah berukuran sama, tetapi, umumnya,

𝑨𝑩 ≠ 𝑩𝑨 (2.12)

[Ada sedikit pengecualian pada (2.12), contohnya, dua matriks diagonal atau suatu matriks
bujursangkar dan suatu matriks identitas.] Jadi perkalian matriks tidak komutatif, dan kadang-
kadang terkenal memanipulasi dengan bilangan-bilangan riel dengan tidak dapat menjadi matriks.
Akan tetapi, perkalian matriks adalah distributif atas penjumlahan atau pengurangan:

𝑨(𝑩 ± 𝑪) = 𝑨𝑩 ± 𝑨𝑪, (2.13)


(𝑨 ± 𝑩)𝑪 = 𝑨𝑪 ± 𝑩𝑪 (2.14)

Dengan menggunakan (2.13) dan (2.14) kita dapat perluas hasil kali seperti (A – B)(C – D):

(A – B)(C – D) = (A – B)C – (A – B)D [dengan (2.13)]


= AC – BC – AD + BD [dengan (2.14)] (2.15)
Perkalian yang melibatkan vektor-vektor selajutnya sama dengan hukum matriks. Andaikan
A adalah 𝑛 × 𝑝, b adalah 𝑝 × 1, c adalah 𝑝 × 1, dan d adalah 𝑛 × 1. Maka Ab adalah suatu vektor
kolom yang berukuran 𝑛 × 1, d’A adalah suatu vektor baris yang berukuran 1 × 𝑝, b’c adalah suatu
jumlah dari hasil kali (skalar), bc’ adalah suatu matriks 𝑝 × 𝑝, cd’ adalah suatu matriks 𝑝 × 𝑛. Karena
b’c adalah suatu jumlah dari hasil kali, itu adalah sama dengan c’b:

𝒃′ 𝒄 = 𝑏1 𝑐1 + 𝑏2 𝑐2 + … + 𝑏𝑝 𝑐𝑝
𝒄′ 𝒃 = 𝑐1 𝑏1 + 𝑐2 𝑏2 + … + 𝑐𝑝 𝑏𝑝

𝒃′ 𝒄 = 𝒄′ 𝒃 (2.16)

Matriks cd’ diberikan dengan

𝑐1 𝑑1 𝑐1 𝑑2 … 𝑐1 𝑑𝑛
𝑐 𝑑 𝑐 𝑑 … 𝑐2 𝑑𝑛
𝒄𝒅′ = ( 2 1 2 2 ) (2.17)
⋮ ⋮ ⋮ ⋮
𝑐𝑝 𝑑1 𝑐𝑝 𝑑2 … 𝑐𝑝 𝑑𝑛

Dengan cara yang sama

𝒃′ 𝒃 = 𝑏12 + 𝑏22 + … + 𝑏𝑝2 (2.18)

𝑏12 𝑏1 𝑏2 … 𝑏1 𝑏𝑝
𝑏2 𝑏1 𝑏22 … 𝑏2 𝑏𝑝
𝒃′ 𝒃 = (2.19)
⋮ ⋮ ⋮ ⋮
𝑏𝑝 𝑏1 𝑏𝑝 𝑏2 … 𝑏𝑝2
( )

Jadi, 𝒃′ 𝒃 adalah suatu jumlah dari kuadrat dan 𝒃𝒃′ adalah suatu matriks bujursangkar (simetrik).
Akar kuadrat dari jumlah elemen-elemen kuadrat suatu vektor b 𝑝 × 1adalah jarak dari asal
ke titik b dan juga ditunjukkan seperti perluasan dari b:

𝑝
Perluasan dari 𝒃 = √𝒃′ 𝒃 = √∑𝑖=1 𝒃2𝑖 (2.20)

Jika J adalah suatu vektor satuan 𝑛 × 1 seperti yang didefinisikan dalam (2.6), maka dengan (2.18)
dan (2.19) kita peroleh

1 1 … 1
𝑱′ 𝑱 = 𝑛, 𝑱𝑱′ = (1 1 … 1) = 𝑱 (2.21)
⋮ ⋮ ⋮ ⋮
1 1 … 1

di mana J adalah suatu matriks bujursangkar satuan 𝑛 × 𝑛 seperti yang diillustrasikan dalam (2.7).
Jika a adalah 𝑛 × 1 dan A adalah 𝑛 × 𝑝, maka

𝒂′ 𝑱 = 𝒋′ 𝒂 = ∑𝑛𝑖=1 𝑎𝑖 (2.22)
∑𝑗 𝑎1𝑗
∑𝑗 𝑎2𝑗
𝑱′ 𝑨 = (∑𝑖 𝑎𝑖1 , ∑𝑖 𝑎𝑖2 , … , ∑𝑖 𝑎𝑖𝑝 ), 𝑨𝑱 = . (2.23)

(∑𝑗 𝑎𝑛𝑗 )

Jadi a’J adalah jumlah dari elemen-elemen dalam a, J’A memuat jumlah kolom-kolom dari A, dan AJ
memuat jumlah baris dari A. Catatan bahwa dalam a’J, vektor J adalah 𝑛 × 1; dalam J’A, vektor J
adalah 𝑛 × 1; dan dalam AJ, vektor J adalah 𝑝 × 1.
Hasil kali dari satu skalar dan suatu matriks diperoleh dengan memperkalikan setiap elemen
dari matriks dengan skalar:

𝑐𝑎11 𝑐𝑎12 … 𝑐𝑎1𝑚


𝑐𝑎 𝑐𝑎22 … 𝑐𝑎2𝑚
𝑐𝑨 = (𝑐𝑎𝑖𝑗 ) = ( 21 ) (2.24)
⋮ ⋮ ⋮ ⋮
𝑐𝑎𝑛1 𝑐𝑎𝑛2 … 𝑐𝑎𝑛𝑚

Karena 𝑐𝑎𝑖𝑗 = 𝑎𝑖𝑗 𝑐 hasil kali dari suatu skalar dan suatu matriks komutatif:

cA = Ac (2.25)

Transpose dari hasil kali dua matriks adalah hasil kali dari transpose dalam urutan kebalikan.

Teorema 2.2B. Jika A adalah 𝑛 × 𝑝 dan B adalah 𝑝 × 𝑚, maka

(𝑨𝑩)′ = 𝑩′ 𝑨′ (2.26)

Bukti.
Misalkan C = AB. Maka dengan (2.11)

𝑝
𝑪 = (𝑐𝑖𝑗 ) = (∑𝑘=1 𝑎𝑖𝑘 𝑏𝑘𝑗 ).

Dengan (2.3) transpose dari C = AB menjadi


(𝑨𝑩)′ = (𝑐𝑖𝑗 ) = (𝑐𝑗𝑖 )

𝑝 𝑝
= (∑𝑘=1 𝑎𝑗𝑘 𝑏𝑘𝑖 ) = (∑𝑘=1 𝑏𝑘𝑖 𝑎𝑗𝑘 ) = 𝑩′ 𝑨′ terbukti

Kita illustrasikan dalam langkah pembuktian dari Teorema 2.2.B menggunakan suatu matriks A 2 ×
3 dan suatu matriks B 3 × 2.

𝑏11 𝑏12
𝑎11 𝑎12 𝑎13
𝐴𝐵 = (𝑎 𝑎22 𝑎23 ) (𝑏 21 𝑏22 )
21
𝑏31 𝑏32

𝑎 𝑏 + 𝑎12 𝑏21 + 𝑎13 𝑏31 𝑎11 𝑏12 + 𝑎12 𝑏22 + 𝑎13 𝑏23
= ( 11 11 )
𝑎21 𝑏11 + 𝑎22 𝑏21 + 𝑎23 𝑏31 𝑎21 𝑏12 + 𝑎22 𝑏22 + 𝑎23 𝑏32
𝑎 𝑏 + 𝑎12 𝑏21 + 𝑎13 𝑏31 𝑎11 𝑏12 + 𝑎12 𝑏22 + 𝑎13 𝑏23 ′
(𝑨𝑩)′ = ( 11 11 )
𝑎21 𝑏11 + 𝑎22 𝑏21 + 𝑎23 𝑏31 𝑎21 𝑏12 + 𝑎22 𝑏22 + 𝑎23 𝑏32

𝑏 𝑎 + 𝑏21 𝑎12 + 𝑏31 𝑎13 𝑏11 𝑎21 + 𝑏21 𝑎22 + 𝑏31 𝑎23
= ( 11 11 )
𝑏12 𝑎11 + 𝑏22 𝑎12 + 𝑏32 𝑎13 𝑏12 𝑎21 + 𝑏22 𝑎22 + 𝑏32 𝑎23

𝑎 𝑎12
𝑏 𝑏12 𝑏13 𝑎11
= ( 11 ) ( 21 𝑎22 )
𝑏21 𝑏22 𝑏23 𝑎 𝑏32
31

= 𝑩 ′ 𝑨′

Selanjutnya akibat dengan Teorema 2.2B memberikan transpose dari hasil kali tiga matriks.

Akibat 1. Jika A, B, dan C adalah conformable, maka (𝑨𝑩𝑪)′ = 𝑪′ 𝑩′ 𝑨′

Andaikan A adalah 𝑛 × 𝑚 dan B adalah 𝑚 × 𝑝. Misalkan 𝒂′𝒊 merupakan barisan ke i dari A


dan 𝒃𝒋 merupakan kolom ke j dari B sedemikian sehingga

𝒂′𝟏

𝑨 = (𝒂𝟐 ), 𝑩 = (𝒃𝟏 , 𝒃𝟐 , … , 𝒃𝒑 ).

𝒂′𝒏

Maka, dengan definisi, elemen ke (ij) dari AB adalah 𝒂′𝒊 𝒃𝒋 :

𝒂′𝟏 𝒃𝟏 𝒂′𝟏 𝒃𝟐 … 𝒂′𝟏 𝒃𝒑


𝒂′𝟐 𝒃𝟏 𝒂′𝟐 𝒃𝟐 … 𝒂′𝟐 𝒃𝒑
𝑨𝑩 =
⋮ ⋮ ⋮ ⋮
𝒂′𝒏 𝒃𝟏 𝒂′𝒏 𝒃𝟐 … 𝒂′𝒏 𝒃𝒑
( )

Hasil kali ini dapat ditulis dalam bentuk baris dari A

𝒂′𝟏 (𝒃𝟏 , 𝒃𝟐 , … , 𝒃𝒑 ) 𝒂′𝟏 𝑩 𝒂′𝟏


′ ′ ′
𝒂𝟐 (𝒃𝟏 , 𝒃𝟐 , … , 𝒃𝒑 )
𝑨𝑩 = = (𝒂𝟐 𝑩) = (𝒂𝟐 ) 𝑩 (2.27)
⋮ ⋮ ⋮
𝒂′𝒏 (𝒃𝟏 , 𝒃𝟐 , … , 𝒃𝒑 ) 𝒂′𝒏 𝑩 𝒂′𝒏
( )

Kolom pertama dari Ab dapat dinyatakan dalam bentuk dari A seperti

𝒂′𝟏 𝒃𝟏 𝒂′𝟏
′ ′
(𝒂𝟐 𝒃𝟏 ) = (𝒂𝟐 ) 𝒃𝟏 = 𝑨𝒃𝟏.
⋮ ⋮
𝒂′𝒏 𝒃𝟏 𝒂′𝒏
Demikian juga, kolom ke dua adalah 𝑨𝒃𝟐 , dan seterusny. Jadi AB dapat ditulis dalam bentuk dari
kolom dari B:

𝑨𝑩 = 𝑨(𝒃𝟏 , 𝒃𝟐 , … , 𝒃𝒑 ) = (𝑨𝒃𝟏 , 𝑨𝒃𝟐 , … , 𝑨𝒃𝒑 ) (2.28)

Sesuatu matriks dapat diperkalikan dengan transposenya dengan bentuk A’A atau AA’. Beberapa
sifat dari dua hasil kali ini diberikan dalam teorema berikut.

Teorema 2.2C

Misalkan A adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑝. Maka A’A dan AA’ mempunyai sifat-sifat berikut:

(i) A’A adalah 𝑛 × 𝑝 dan diperoleh seperti hasil kali dari kolom di A.
(ii) AA’ adalah 𝑛 × 𝑛 dan diperoleh seperti hasil kali dari baris di A.
(iii) Ke dua A’A dan AA’ adalah simetrik.
(iv) Jika A’A = 0, maka A = 0.

Misalkan A adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑛 dan misalkan 𝑫 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝑑1 , 𝑑2 , … , 𝑑𝑛 ). Dalam hasil


kali DA, baris ke i dari A diperkalikan dengan 𝑑𝑖 , dan dalam AD, kolom ke j dari A di perkalikan
dengan 𝑑𝑗 . Contohnya, jika n = 3, kita peroleh

𝑑1 0 0 𝑎11 𝑎12 𝑎13


𝑫𝑨 = ( 0 𝑑2 0 ) (𝑎21 𝑎22 𝑎23 )
0 0 𝑑3 𝑎31 𝑎32 𝑎33

𝑑1 𝑎11 𝑑1 𝑎12 𝑑1 𝑎13


= (𝑑2 𝑎21 𝑑2 𝑎22 𝑑2 𝑎23 ) (2.29)
𝑑3 𝑎31 𝑑3 𝑎32 𝑑3 𝑎33

𝑎11 𝑎12 𝑎13 𝑑1 0 0


𝑨𝑫 = (𝑎21 𝑎22 𝑎23 ) ( 0 𝑑2 0)
𝑎31 𝑎32 𝑎33 0 0 𝑑3

𝑑1 𝑎11 𝑑2 𝑎12 𝑑3 𝑎13


= (𝑑1 𝑎21 𝑑2 𝑎22 𝑑2 𝑎23 ) (2.30)
𝑑1 𝑎31 𝑑2 𝑎32 𝑑3 𝑎33

𝑑12 𝑎11 𝑑1 𝑑2 𝑎12 𝑑1 𝑑3 𝑎13


𝑫𝑨𝑫 = (𝑑2 𝑑1 𝑎21 𝑑22 𝑎22 𝑑2 𝑑3 𝑎23 ) (2.31)
𝑑3 𝑑1 𝑎31 𝑑3 𝑑2 𝑎32 𝑑32 𝑎33

Catatan bahwa 𝑫𝑨 ≠ 𝑨𝑫. Akan tetapi dalam kasus khusus di mana matriks diagonal adalah matriks
identitas, (2.29) dan (2.30) menjadi

IA = AI = A (2.32)
Jika A adalah persegi panjang, (2.32) masih dibold, tetapi dua identitas adalah berbeda ukuran.
Jika A adalah suatu matriks simetrik dan y adalah suatu vektor, hasil kali

𝒚′ 𝑨𝒚 = ∑𝑖 𝑎𝑖𝑖 𝑦𝑖2 + ∑𝑖≠𝑗 𝑎𝑖𝑗 𝑦𝑖 𝑦𝑗 (2.33)

disebut suatu bentuk kuadrat. Jika x adalah 𝑛 × 1, y adalah 𝑝 × 1, dan A adalah 𝑛 × 𝑝, hasil kali

𝒙′ 𝑨𝒚 = ∑𝑖𝑗 𝑎𝑖𝑗 𝑥𝑖 𝑦𝑗 (2.34)

disebut suatu bentuk bilinear

2.3 Matriks – Matriks yang Dipartisi

Itu kadang-kadang baik sekali untuk mempartisi suatu matriks ke dalam subsmatriks. Contohnya,
suatu partisi dari suatu matriks A ke empat (bujursangkar atau persegi panjang) subsmatriks dari
ukuran yang sesuai dapat dilambangkan secara simbolik sebagai berikut:

𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
𝑨=( )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐

Untuk illustrasi, misalkan matriks A 4 × 5 dipartisi seperti

7 2 5 8 4
𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨 = (−3
9 3
4 0 2
6 |5
7
−2) = ( 𝟏𝟏 )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐
3 1 2 1 6

di mana

7 2 5 8 4
𝑨𝟏𝟏 = ( ), 𝑨𝟏𝟐 = ( )
−3 4 0 2 7

9 3 6 5 −2
𝑨𝟐𝟏 = ( ), 𝑨𝟐𝟐 = ( )
3 1 2 1 6

Jika dua matriks A dan B dapat disesuaikan, dan jika A dan B dipartisi sedemikian sehingga
subsmatriks dengan cocok dapat disesuaikan, maka hasil kali AB dapat dibangun menggunakan pola
biasa dari perkalian pada baris dengan kolom dengan subsmatriks seperti jika yang elemen-elemen
tunggal mereka, contohnya;

𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 𝑩𝟏𝟏 𝑩𝟏𝟐


𝑨𝑩 = ( )( )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐 𝑩𝟐𝟏 𝑩𝟐𝟐

𝑨 𝑩 + 𝑨𝟏𝟐 𝑩𝟐𝟏 𝑨𝟏𝟏 𝑩𝟏𝟐 + 𝑨𝟏𝟐 𝑩𝟐𝟐


= ( 𝟏𝟏 𝟏𝟏 ) (2.35)
𝑨𝟐𝟏 𝑩𝟏𝟏 + 𝑨𝟐𝟐 𝑩𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟏 𝑩𝟏𝟐 + 𝑨𝟐𝟐 𝑩𝟐𝟐

Jika B diganti dengan suatu vektor b dipartisi ke dalam dua himpunan dari elemen-elemen, dan jika
A koresponden yang dipartisi ke dalam dua himpunan dari kolom-kolom, maka (2.35) menjadi
𝒃
𝑨𝒃 = (𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 ) ( 𝟏 ) = 𝑨𝟏 𝒃𝟏 + 𝑨𝟐 𝒃𝟐 , (2.36)
𝒃𝟐

di mana jumlah kolom dari 𝑨𝟏 adalah sama dengan jumlah elemen dari 𝒃𝟏 dan dengan cara yang
sama untuk 𝑨𝟐 dan 𝒃𝟐 . Catatan bahwa mempartisi dalam 𝑨 = (𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 ) adalah dicirikan dengan
koma.
Perkalian yang dipartisi dalam (2.36) dapat diperluas dengan kolom-kolom tersendiri dari A
dan elemen-elemen tersendiri dari b:

𝒃𝟏
𝒃
𝑨𝒃 = (𝒂𝟏 , 𝒂𝟐 , … , 𝒂𝒑 ) ( 𝟐 ) = 𝒂𝟏 𝒃𝟏 + 𝒂𝟐 𝒃𝟐 + … + 𝒂𝒑 𝒃𝒑. (2.37)

𝒃𝒑
Jadi 𝑨𝒃 dapat dinyatakan sebagai suatu kombinasi linier dari kolom-kolom di A, yang mana
koefisien-koefisien adalah elemen-elemen di b. Kita illustrasikan (2.37) dalam contoh berikut:

Contoh 2.3. Misalkan

6 −2 3 4
𝑨 = (2 1 0), 𝒃=( 2 )
4 3 2 −1
Maka

17
𝑨𝒃 = (10)
20

Menggunakan suatu kombinasi linier dari kolom-kolom di A seperti dalam (2.37), kita peroleh

𝑨𝒃 = 𝒂𝟏 𝒃𝟏 + 𝒂𝟐 𝒃𝟐 + … + 𝒂𝒑 𝒃𝒑

6 −2 3
= 𝟒 (2) + 2 ( 1 ) − (0)
4 3 2

24 −4 3 17
= ( 8 ) + ( 2 ) − (0) = (10). Terbukti
16 6 2 20

Dengan (2.28) dan (2.37) kolom-kolom dari hasil kali AB adalah kombinasi linier dari kolom-
kolom di A. Koefisien-koefisien untuk kolom ke j dari AB adalah elemen-elemen dari kolom ke j di B.
Hasil kali dari vektor a dan suatu matriks A, a’B, dapat dinyatakan sebagai suatu kombinasi
linier dari baris di B, yang mana koefisien-koefisien adalah elemen-elemendari a’:

𝒃′𝟏

𝒂′ 𝑩 = (𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑛 ) (𝒃𝟐 ) = 𝑎1 𝑏1′ + 𝑎2 𝑏2′ + … + 𝑎𝑛 𝑏𝑛′ (2.38)

𝒃′𝒏
Dengan (2.27) dan (2.38) baris dari hasil kali matriks AB adalah kombinasi linier dari baris di B.
Koefisien-koefisien untuk baris ke i dari AB adalah elemen-elemen dari baris ke i di A.
Akhirnya, kita catat bahwa jika suatu matriks A dipartisi seperti 𝑨 = (𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 ), maka

𝑨′𝟏
𝑨′ = (𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 )′ = ( ) (2.39)
𝑨′𝟐

2.4 RANK

Sebelum mendefinisikan rank dari suatu matriks, pertama kita perkenalkan notasi bergantung linier
dan bebas linier. Suatu himpunan dari vektor-vektor 𝒂𝟏 , 𝒂𝟐 , … , 𝒂𝒏 dikatakan bergantung liner jika
skalar 𝑐1 , 𝑐2 , … , 𝑐𝑛 (tidak semua nol) dapat dibangun sedemikian sehingga

𝑐1 𝒂𝟏 + 𝑐2 𝒂𝟐 + … + 𝑐𝑛 𝒂𝒏 = 𝟎 (2.40)

Jika bukan koefisien-koefisien 𝑐1 , 𝑐2 , … , 𝑐𝑛 (tidak semua nol) dapat dibangun yang memenuhi (2.40),
himpunan dari vektor-vektor 𝒂𝟏 , 𝒂𝟐 , … , 𝒂𝒏 dikatakan menjadi bebas secara linier. Dengan (2.37) ini
dapat diulangi sebagai berikut: kolom-kolom dari A adalah bebas secara linear jika Ac = 0 memenuhi
c = 0. (Jika suatu himpunan dari vektor-vektor yang termasuk 0, himpunan adalah bebas secara
linier.) Jika (2.40) mendukung, maka paling sedikit satu dari vektor-vektor 𝒂𝒊 dapat dinytakan seperti
suatu kombinasi llinier dari vektor-vektor lain dalam himpunan. Di antara vektor-vektor yang bebas
secara linier tidak ada rendundansi dari tipe ini.
Rank dari sesuatu matriks bujursangkar atau persegi panjang A didefinisikan sebagai

𝑹𝒂𝒏𝒌(𝑨) = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚 − 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑚 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑙𝑖𝑛𝑖𝑒𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑨


= 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑟𝑖𝑠 − 𝑏𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑙𝑖𝑛𝑖𝑒𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑨

Itu dapat ditunjukkan bahwa jumlah kolom-kolom yang bebas secara linier dari sesuatu matriks
adalah sama dengan jumlah baris-baris yang bebas secara linier.
Jika suatu matriks A mempunyai suatu elmen tunggal yang tidak nol, dengan semua elemen-
elemen lain sama dengan nol, maka rank (A) = 1. Vektor 0 dan matriks 0 mempunyai rank nol.
Andaikan suatu matriks persegi panjang A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank p, di mana p < n. (Kita
khususkan mempersingkat kementar ini untuk “A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank p < n.”) Maka A mempunyai
rank kemungkinan maksimum dan dikatakan dengan rank penuh. Umumnya, rank kemungkinan
maksimum dari suatu matriks A 𝑛 × 𝑝 adalah min(n, p). Jadi, dalam suatu matriks persegi panjang,
baris atau kolom (atau ke duanya) adalah bebas linier. Kita illustrasi ini dalam contoh berikut.

Contoh n2.4(a). Rank dari

1 −2 3
𝐴=( )
5 2 4

adalah 2 karena dua baris adalah bebas linier (tak ada baris adalah suatu perkalian dari yang lain).
Karena itu, dengan definisi rank, jumlah dari kolom-kolom yang bebas linier adalah juga 2. Untuk itu,
kolom-kolom yang bebas linier, dan dengan (2.40) ada konstanta 𝑐1 , 𝑐2 dan 𝑐3 sedemikian sehingga
1 −2 3 0
𝑐1 ( ) + 𝑐2 ( ) + 𝑐3 ( ) = ( ) (2.41)
5 2 4 0

Dengan (2.37) dapat kita tulis (2.41) dalam bentuk

𝑐1
1 −2 3 𝑐 0
( ) ( 2) = ( ) atau Ac = 0 (2.42)
5 2 4 𝑐 0
3

Solusi pada (2.42) diberikan dengan sesuatu perkalian dari 𝒄 = (14, −11, −12)′.Dalam kasus ini,
hasil kali Ac adalah sama dengan 0, sama meskipun 𝑨 ≠ 𝟎 dan 𝒄 ≠ 𝟎. Ini mungkin karena vektor-
vektor kolom A bergantung linier.

Kita dapat perluas (2.42) dengan hasil kali dari matriks-matriiks. Itu mungkin dengan
mendapatkan 𝑨 ≠ 𝟎 dan 𝑩 ≠ 𝟎, sedemikian sehingga

AB = 0 (2.43)

contohnya,

1 2 2 6 0 0
( )( )=( )
2 4 −1 −5 0 0

Kita dapat juga mengeksploitasi bergantung linier dari baris-baris atau kolom-kolom suatu
matriks dengan kreasi pernyataan seperti AB = CB, di mana 𝑨 ≠ 𝑪. Jadi dalam suatu matriks sama,
kita tidak dapat, secara umum, menghapus suatu matriks dari ke dua sisi persamaan. Ada dua
pengecualian untuk rumus ini. (1) Jika B adalah matriks nonsingular (definisi dalam fasal 2.5 di
bawah), maka AB = BC memenuhi A = C. (2) Khusus kasus lain terjadi bila pernyatan pegangan untuk
semua nilai-nilai yang mungkin dari matriks biasa pada ke dua sisi persamaan, contohnya.

Jika Ax = Bx untuk semua nilai-nilai yang mungkin dari x, maka A = B (2.44)

Untuk melihat ini, misalkan 𝑥 = (1, 0, … , 0)′ . Maka dengan (2.37) kolom pertama dari A sama
dengan kolom pertama dari B. Sekarang, misalkan 𝑥 = (0, 1, … , 0)′ dan kolom ke dua dari A sama
dengan kolom ke dua dari B. Kekontinuan dalam model ini, kita peroleh A = B.

Contoh 2.4(b).

Kita illustrasikan eksistensi matriks A, B, dan C sedemikian sehingga AB = CB, di mana 𝑨 ≠ 𝑪.


Misalkan

1 2
1 3 2 2 1 1
𝑨=( ), 𝑩 = (0 1), 𝑪=( )
2 0 −1 5 −6 −4
1 0

Maka
3 5
𝑨𝑩 = 𝑪𝑩 = ( )
1 4

Teorema selanjutnya diberikan suatu kasus khusus dan dua kasus khusus untuk rank dari suatu hasil
kali dari dua matriks.

Teorema 2.4A.

(1) Jika matriks A dan B adalah conformable, maka 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨𝑩) ≤ 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨) dan 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨𝑩) ≤
𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑩).
(2) Perkalian dengan suatu matriks nonsingular (suatu rank penuh matriks bujursangkar, lihat fasal
2.5 di bawah) tidak membuat pilihan rank; yaitu, jika B dan C adalah nonsingular, rank(AB) =
rank (CA) = Rank (A).
(3) Untuk sesuatu matriks A, rank (A’A) = rank (AA’) = rank (A)

Bukti: (Buktikan sendiri)

2.5 INVERS

Suatu matriks bujursangkar rank penuh dikatakan nonsingular. Suatu matriks nonsingular A
mempunyai suatu invers khusus berupa 𝑨−𝟏 , dengan sifat bahwa

𝑨𝑨−𝟏 = 𝑨−𝟏 𝑨 = 𝑰 (2.45)

Jika A adalah matriks bujursangkar dan kurang dari rank penuh, maka itu tidak mempunyai invers
dan dikatakan menjadi singular. Catatan bahwa rank penuh matriks persegi panjang tidak
mempunyai invers seperti dalam (2.45). Dari definisi dalam (2.45), itu jelas bahwa A adalah inversnya
dari 𝑨−𝟏 , yaitu

(𝑨−𝟏 )−𝟏 = 𝑨 (2.46)

Contoh 2.5. Misalkan

4 7
𝐴=( )
2 6
Maka
0,6 −0,7
𝐴−1 = ( )
−0,2 0,4

dan

4 7 0,6 −0,7 0,6 −0,7 4 7 1 0


( )( )=( )( )=( )
2 6 −0,2 0,4 −0,2 0,4 2 6 0 1
Dalam aplikasi, invers dibangun khusus dengan komputer. Banyak juga kalkulator yang
menghitung invers. Algoritma untuk perhitungan invers yang benar dapat dibangun dalam buku
pelajaran pada aljabar matriks.
Jika B adalah nonsingular dan AB = CB, maka kita bisa perkalikan pada kanan dengan 𝑩−𝟏
untuk memperoleh A = C. [Jika B adalah singular atau persegipanjang, kita tidak dapat menghapus
dari kedua di kiri pada AB = CB; lihat Contoh 2.4(b) dan paragraf contoh sebelumnya.] Dengan cara
yang sama, jika A adalah nonsingular, sistem persamaan Ax = c mempunyai penyelesaian khusus

𝒙 = 𝑨−𝟏 𝒄 (2.47)

karena itu kita dapat memperkalikan pada yang kiri dengan 𝑨−𝟏 untuk memperoleh

𝐴−1 𝑨𝒙 = 𝑨−𝟏 𝒄 atau 𝑰𝒙 = 𝑨−𝟏 𝒄.

Dua sifat dari invers dapat diberikan dalam dua teorema berikut.

Teorema 2.5A.

Jika A adalah nonsingular, maka A’ transpose adalah nonsingular dan inversnya dapat dibangun
seperti

(𝑨′ )−𝟏 = (𝑨−𝟏 )′ . (2.48)

Teorema 2.5B.

Jika A dan B adalah matriks nonsingular dari ukuran sama, maka AB adalah nonsingular dan

(𝐴𝐵)−1 = 𝐵−1 𝐴−1 (2.49)

Sekarang kita berikan invers dari beberapa matriks khusus. Jika A adalah simetriks dan
nonsingular dan dipartisi seperti

𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨 = ( 𝟏𝟏 )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐

dan jika 𝑩 = 𝑨𝟐𝟐 − 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏 −𝟏


𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐, maka diberikan 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑩
−𝟏
ada, invers A diberikan dengan

𝑨−𝟏 −𝟏 −𝟏 −𝟏
𝟏𝟏 + 𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 𝑩 𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟏𝟏 −𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 𝑩
−𝟏
𝑨−𝟏 = ( ) (2.50)
−𝑩−𝟏 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑩−𝟏

Seperti suatu kasus khusus dari (2.50), anggaplah matriks nonsingular simetriks

𝑨 𝒂𝟏𝟐
𝑨 = ( 𝟏𝟏 )
𝒂′𝟐𝟏 𝑎22
yang mana 𝑨𝟏𝟏 adalah bujursangkar, 𝑎22 adalah suatu skalar, dan 𝒂𝟏𝟐 adalah suatu vektor. Maka
𝑨−𝟏
𝟏𝟏 ada, 𝑨
−𝟏
dapat dinyatakan seperti

−𝟏
𝟏 𝒃𝑨 + 𝑨−𝟏 ′ −𝟏
𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐 𝒂𝟏𝟐 𝑨𝟏𝟏 −𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐
𝑨−𝟏 = ( 𝟏𝟏 ) (2.51)
𝒃 −𝒂′𝟏𝟐 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝟏

di mana 𝑏 = 𝑎22 − 𝒂′𝟏𝟐 𝑨−𝟏


𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐 . Seperti kasus khusus lain dari (2.50) kita peroleh

𝑨 𝟎 𝑨−𝟏 𝟎
( 𝟏𝟏 ) = ( 𝟏𝟏 ) (2.52)
𝟎 𝑨𝟐𝟐 𝟎 𝑨−𝟏
𝟐𝟐

Jika suatu matriks bujursangkar dari B + cc’ adalah nonsingular, di mana c adalah suatu
vektor dan B adalah suatu matriks nonsingular, maka

𝑩−𝟏 𝒄𝒄′𝑩−𝟏
(𝑩 + 𝒄𝒄′ )−𝟏 = 𝑩−𝟏 − 𝟏+𝒄′𝑩−𝟏 𝒄
(2.53)

2.6 Matriks Defenit Positif

Bentuk-bentuk kuadratik yang diperkenalkan dalam (2.33). Contohnya, bentuk kuadratik 3𝑦12 + 𝑦22 +
2𝑦32 + 4𝑦1 𝑦2 + 5𝑦1 𝑦3 − 6𝑦2 𝑦3 dapat dinyatakan seperti

𝑦12 + 𝑦22 + 2𝑦32 + 4𝑦1 𝑦2 + 5𝑦1 𝑦3 − 6𝑦2 𝑦3 = 𝒚′ 𝑨𝒚

di mana

𝑦1 3 4 5
𝒚 = (𝑦2 ), 𝑨 = (0 1 −6) .
𝑦3 0 0 2

Akan tetapi, bentuk kuadrat yang sama dapat juga dinyatakan dalam bentuk dari matriks simetrik

3 2 5/3
1
2
(𝐴 + 𝐴′) = ( 2 1 −6 ).
5/2 −3 2

Umumnya, suatu bentuk kuadratik 𝒚′ 𝑨𝒚 dapat dinyatakan seperti

𝑨+𝑨′
𝒚′ 𝑨𝒚 = 𝒚′ ( )𝒚 (2.54)
𝟐

dan jadi matriks dari suatu bentuk kuadrat selalu dapat dipilih untuk simetrik (dan dengan cara yang
unik)
Jumlah-jumlah dari pertemuan bujursangkar dalam regresi (Bab 6 – 10) dan analisis variansi
(Bab 11 – 14) dapat dinyatakan dalam bentuk 𝒚′ 𝑨𝒚, di mana y adalah suatu observasi vektor.
Seperti bentuk kuadratik tetapa positif (atau sekurang-kurangnya nonnegatif) unt semua
kemungkinan nilai-nilai y. Sekarang kita anggap bentuk-bentuk kuadratik dari tipe ini.
Jika matriks simetrik A mempunyai sifat 𝒚′ 𝑨𝒚 > 0 untuk semua kemungkinan y, kecuali y =
0, maka bentuk kuadratik 𝒚′ 𝑨𝒚 dikatakan defenit positif, dan A dikatakan suatu matriks defenit
positif. Dengan cara yang sama, jika 𝒚′ 𝑨𝒚 ≥ 𝟎, untuk semua y kecuali y = 0, maka 𝒚′ 𝑨𝒚 dan A
dikatakan semidefenit positif. Ke dua tipe dari matriks diillustrasikan dalam contoh berikut.

Contoh 2.6. Untuk illustrasi suatu matriks defenit positif, andaikan

2 −1
𝐴=( )
−1 3

dan bentuk asosiasi kuadrat

1 5
𝒚′ 𝑨𝒚 = 2𝑦12 − 2𝑦1 𝑦2 + 3𝑦22 = 2(𝑦1 − 𝑦2 )2 + 𝑦22,
2 2

Yang jelas positif selama 𝑦1 dan 𝑦2 tidak ke duanya nol.


Untuk illustrasi suatu matriks defenit positif, andaikan

(2𝑦1 − 𝑦2 )2 + (3𝑦1 − 𝑦3 )2 + (3𝑦2 − 2𝑦3 )2 .

Yang dapat dinyatakan seperti 𝒚′ 𝑨𝒚, dengan

13 −2 −3
𝐴 = (−2 10 −6).
−3 −6 5

Jika 2𝑦1 = 𝑦2 , 3𝑦1 = 𝑦3 , dan 3𝑦2 = 2𝑦3 , maka (2𝑦1 − 𝑦2 )2 + (3𝑦1 − 𝑦3 )2 + (3𝑦2 − 2𝑦3 )2 = 0.
Jadi 𝒚′ 𝑨𝒚 = 𝟎 untuk sembarang perkalian dari y = (1, 2, 3)’. Sebaliknya 𝒚′ 𝑨𝒚 > 0 (kecuali y = 0).

Dalam matriks pada Contoh 2.6, elemen-elemen diagonal adalah positif. Untuk definisi
matriks positif, pada umumnya ini adalah benar.

Teorema 2.6A.

(i) Jika A adalah defenit positif, maka semua elemen-elemen diagonal 𝑎𝑖𝑖 adalah positif
(ii) Jika A adalah semidefenit positif, maka semua 𝑎𝑖𝑖 ≥ 0.

Bukti

(i) Misalkan y’ = (0, ... , 1, 0, ... , 0) dengan suatu 1 dalam posisi ke i dan ditempat lain 0. Maka
𝒚′ 𝑨𝒚 = 𝒂𝒊𝒊 > 0.

Beberapa tambahan sifat-sifat dari matriks defenit positif dan matriks semidefenit positif
diberikan dalam teorema-teorema berikut.
Teorema 2.6B. Misalkan P adalah suatu matriks nonsingular.

(i) Jika A adalah defenit positif, maka P’AP adalah defenit positif
(ii) Jika A adalah semidefenit positif, maka P’AP adalah semidefenit positif.

Bukti:

(i) Untuk menunjukkan bahwa y’P’Apy > 0 untuk 𝒚 ≠ 𝟎, catatan bahwa y’(P’AP)y =
(Py)’A(Py). Karena A adalah defenit positif, (Py)’A(Py) > 0 asalkan bahwa 𝑷𝒚 ≠ 𝟎. Dengan
(2.47), 𝑷𝒚 = 𝟎 hanya jika y = 0. Karena itu 𝑷−𝟏 𝑷𝒚 = 𝑷−𝟏 𝟎 = 𝟎. Jadi Y’P’Apy > 0, jika 𝒚 ≠
𝟎. Terbukti.

Akibat 1. Misalkan A adalah suatu matriks defenit positif 𝑝 × 𝑝 dan misalkan B adalah suatu matriks
𝑘 × 𝑝 dari 𝑟𝑎𝑛𝑘 𝑘 ≤ 𝑝. Maka BAB’ defenit positif.

Akibat 2. Misalkan A adalah suatu matriks defenit positif 𝑝 × 𝑝 dan misalkan B adalah suatu matriks
𝑘 × 𝑝. Jika k > p atau jika rank (B) = r, di mana r < k dan r < p, maka BAB’ adalah semi defenit positif

Teorema 2.6C. Suatu matriks simetriks A adalah defenit positif jika dan hanya jika ada suatu
matriks nonsingular P sedemikian sehingga A = P’P

Bukti.
Kita buktikan hanya jika sebagian. Andaikan A = P’P untuk P nonsingular.Maka

𝒚′ 𝑨𝒚 = 𝒚′ 𝑷′ 𝑷𝒚 = (𝑷𝒚)′ (𝑷𝒚).

Ini adalah suatu jumlah dari bujursangkar (lihat (2.18)) dan kecuali kalau positif Py = 0. Dengan
(2.47), Py = 0 hanya jika y = 0.

Akibat 1. Suatu matriks defenit positif adalah non singular.

Satu metode dari memfaktor suatu matriks defenit positif A ke dalam suatu hasil kali P’P
diberikan oleh dekomposisi Colesky [Seber (1977, pp, 304 – 305)], dengan yang A dapat difaktor
secara khusus ke dalam A = T’T, di mana T adalah suatu matriks segitiga atas nonsingular.
Untuk beberapa matriks bujursangkar B atau matriks persigi panjang B, matriks B’B adalah
defenit positif atau semidefenit positif.

Teorema 2.6D. Misalkan B adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑝.

(i) Jika rank(B) = p, maka B’B adalah defenit positif


(ii) Jika rank(B) < p, maka B’B adalah semidefenit positif.

Bukti.

(i) Untuk menunjukkan bahwa y’B’By > 0, untuk 𝒚 ≠ 𝟎 kita catat bahwa
y’B’By = (By)’(By),

yang mana adalah suatu jumlah dari kuadrat dan dengan demikian kecuali kalau By = 0. Dengan
(2.37), kita dapat nytakan By dalam bentuk

𝑩𝒚 = 𝑦1 𝑏1 + 𝑦2 𝑏2 + … + 𝑦𝑝 𝑏𝑝 .

Kombinasi linier ini adalah bukan 0 (untuk bebrapa 𝒚 ≠ 0) menjadi rank (B) = p, dan karena
itu kolom dari B adalah bergantung secara linier [lihat (2.40)].
(ii) Jika rank (B) < p, maka kita bisa mendapatkan 𝒚 ≠ 𝟎 sedemikian sehingga

𝑩𝒚 = 𝑦1 𝑏1 + 𝑦2 𝑏2 + … + 𝑦𝑝 𝑏𝑝 = 0
Karena itu, kolom dari B adalah bergantung linier (lihat (2.40)]. Karena 𝒚′𝑩′𝑩𝒚 ≥ 0. Terbukti.

Catatan bahwa jika B adalah suatu matriks bujursangkar, matriks 𝑩𝟐 = 𝑩𝑩 tidak perlu
semidefenit positif. Contohnya, misalkan

1 −2
𝐵=( ).
1 −2

Maka

−1 2 2 −4
𝑩𝟐 = ( ), 𝑩′ 𝑩 = ( ).
−1 2 −4 8

Dalam kasus ini, 𝑩𝟐 bukan semidefenit positif, tetapi 𝑩′ 𝑩 adalah semidefenit positif, karene itu,
𝒚′ 𝑩′ 𝑩𝒚 = 𝟐(𝒚𝟏 − 𝟐𝒚𝟐 )𝟐 .
Dua tambahan sifat matriks defenit positif diberikan dalam teorema beriku.

Teorema 2.6E. Jika A adalah defenit positif, maka 𝑨−𝟏 defenit positif.

Bukti.

Dengan Teorema 26C. A = P’P, di mana P adalah nonsingular. Dengan Teorema 2.6A dan 2.5B,
𝑨−𝟏 = (𝑷′ 𝑷)−𝟏 = 𝑷−𝟏 (𝑷′ )−𝟏 = 𝑷−𝟏 (𝑷−𝟏 )′ , yang adalah defenit positif dengan Teorema 2.6C.
Terbukti.

Teorema 2.6F. Jika A adalah defenit positif dan bentuk dalam yang dipartisi

𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨 = ( 𝟏𝟏 )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐

di mana 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah bujursangkar, maka 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah defenit positif.
Bukti.

Kita dapat menulis 𝑨𝟏𝟏 , contohnya , seperti

𝑰
𝑨𝟏𝟏 = (𝑰, 𝑶)𝑨 ( ),
𝑶

di mana I adalah berukuran sama seperti 𝑨𝟏𝟏 . Maka dengan Akibat 1 untuk Teorema 2.6B, 𝑨𝟏𝟏
adalah defenit positif. Terbukti.

2.7 Sistem Persamaan

Sistem dari n persamaan linier dalam p yang tidak diketahui

𝑎11 𝑥1 + 𝑎12 𝑥2 + … + 𝑎1𝑝 𝑥𝑝 = 𝑐1

𝑎21 𝑥1 + 𝑎22 𝑥2 + … + 𝑎2𝑝 𝑥𝑝 = 𝑐2

⋮ (2.55)

𝑎𝑛1 𝑥1 + 𝑎𝑛2 𝑥2 + … + 𝑎𝑛𝑝 𝑥𝑝 = 𝑐𝑛

dapat ditulis dalam bentuk matriks seperti

Ax = c (2.56)

di mana A adalah 𝑛 × 𝑝, 𝒙 adalah 𝑝 × 1, dan c adalah 𝑛 × 1. Catatan bahwa jika 𝑛 ≠ 𝑝, maka x dan c
adalah dari ukuran yang berbeda. Jika n = p dan A adalah nonsingular , maka dengan (2.47),
terdapat suatu solusi khusus vektor x diperoleh seperti 𝒙 = 𝑨−𝟏 𝒄. Jika n > p, sehinngga A
mempunyai baris lebih dari pada kolom, maka Ax = c tidak mempunyai penyesaian khusus. Jika n <
p, sehingga A mempunyai beberapa baris dari kolom, maka Ax = c mempunyai suatu jumlah
penyelesaian khusus yang takhingga.
Jika sistem persamaan Ax = c mempunyai satu atau lebih vektor-vektor penyelesaian, itu
dikatakan dengan konsisten. Jika sistem tidak mempunyai penyelesain, itu dikatakan dengan tidak
konsisten.
Untuk mengillustrasi struktur suatu sistem konsisten dari persamaan Ax = c, andaikan A
adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r < p. Maka baris-baris dari A adalah bergantung linier, dan terdapat
beberapa b sedemikian sehingga [lihat (2.38)]

𝒃′ 𝑨 = 𝒃𝟏 𝒂′𝟏 + 𝒃𝟐 𝒂′𝟐 + … + 𝒃𝒑 𝒂′𝒑 = 𝟎′

Maka kita juga harus memiliki 𝒃′ 𝒄 = 𝑏1 𝑐1 + 𝑏2 𝑐2 + … + 𝑏𝑝 𝑐𝑝 = 0, karena perkalian dari Ax = c


dengan b’ memberikan b’Ax = b’c, atau 0’x = b’c. Sebaliknya, jika 𝒃′𝒄 ≠ 𝟎, tidak terdapat x
sedemikian sehingga Ax = c. Karena itu, dalam urutan untuk Ax = c menjadi konsisten, sama
berhubungan linier, jika beberapa, yang ada antara baris-baris dari A harus ada diantara elemen-
elemen (baris) di c. Ini dirumuskan dengan membandingkan rank dari A dengan rank dari
penambahan matriks (A, c). Notasi (A, c) mengindikasikan bahwa c telah dilampirkan pada A seperti
suatu penambahan kolom.

Teorema 2.7A.
Sistem dari persamaan Ax = c mempunyai paling sedikit satu solusi vektor x jika dan hanya jika
rank(A) = rank(A c).

Bukti.
Andaikan rank (A) = rank (A, c), sedekian sehingga lampiran c bukan pilihan rank. Maka c adalah
suatu kombinasi linier dari kolom-kolom di A; yaitu, terdapat beberapa x sedemikian sehingga

𝑥1 𝑎1 + 𝑥2 𝑎2 + … + 𝑥𝑝 𝑎𝑝 = 𝑐

yang mana, dengan (2.37), dapat ditulis seperti

Ax = c.

Jadi x adalah suatu solusi.


Sebaliknya, ada suatu solusi vektor xsedemikian sehingga Ax = c. Biasanya, 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨) ≤
𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨, 𝒄) [Harville (1997, p, 41)]. Tetapi karena ada suatu x sedemikian sehingga Ax = c, kita
peroleh

𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨) = 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨, 𝒄) = 𝑟𝑎𝑛𝑘[𝑨(𝑰, 𝒙)]

≤ 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨) [dengan Teorema 2.4A (i)]

Karena itu,

𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨) ≤ 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝐴, 𝑐) ≤ 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨),

dan kita memiliki rank(A) = rank(A, c).

Suatu sistem terdiri dari persamaan yang dapat dipecahkan dengan metode yang biasa
diberikan dalam dasar-dasar aljabar untuk mengeliminasi variabel-variabel, seperti jumlah suatu
perkalian dari satu persamaan pada yang lain atau pemecahan untuk suatu variabel dan
mensubstitusi ke dalam persamaan yang lain. Dalam proses, satu atau lebih variabel dapat brakhir
pada perubahan konstanta, jadi membangkitkan suatu jumlah takhingga dari solusi-solusi. Suatu
metode dari pemecahan solusi, invers yang disamakan diberikan dalam Fasal 2.82. Beberapa
illustrasi sistem persamaan dan solusinya diberikan dalam contoh-contoh berikut.

Contoh 2.7(a). Andaikan sistem persamaan

𝑥1 + 2𝑥2 = 4
𝑥1 − 𝑥2 = 1
𝑥1 + 𝑥2 = 3
atau

1 2 𝑥1 4
(1 −1) (𝑥 ) = (1)
2
1 1 3

Penambahan matriks adalah

1 2 4
(𝑨, 𝒄) = (1 −1 1)
1 1 3

Yang mempunyai rank 2 karena kolom ke tiga adalah sama dengan dua kali kolom pertama ditambah
ke dua:

1 2 4
2 (1) + (−1) = (1)
1 1 3

Karena rank(A) = rank(A, c) = 2, maka terdapat paling sedikit satu solusi. Jika kita menambah dua kali
persamaan pertama dengan ke dua, hasilnya adalah suatu perkalian dari persamaan ke tiga. Jadi dua
pertama dengan mudah dapat dipecahkan untuk memperoleh solusi khusus x =(2, 1)’.
Garis ke tiga menggambarkan tiga persamaan yang diplot dalam Gambar 2.1. Perhatikan
bahwa tiga garis berpotongan pada titik (2,1), yang adalah solusi khusus dari tiga persamaan.

𝑥2 2

0 1 2 3 4
𝑥1

Gambar 2.1 tiga garis menggambarkan tiga persamaan dalam Contoh 2.7(a).
Contoh 2.7(b).
Jika kita memilih 3 pada 2 dalam persamaan ke tiga dalam Contoh 2.7(a), penambahan matriks
menjadi
1 2 4
(𝑨, 𝒄) = (1 −1 1)
1 1 2

Yang mempunyai rank 3, karena bukan kombinasi linier dari kolom-kolom adalah 0. [kemungkinan
lain, |(𝑨, 𝒄)| ≠ 0, dan (A, c) adalah nonsingular; lihat Teorema 2.9A(iii) dalam Fasal 2.9.] karena
𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨, 𝒄) = 3 ≠ 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨) = 2, dan sistem adalah tidak konsisten.
Tiga garis menggambarkan tiga persamaan yang diplot dalam Gambar 2.2, di mana kita lihat
bahwa tiga garis tidak mempunyai suatu titik biasa dari perpotongan. [Untuk terbaik, solusi
perkiraan, satu pendekatan adalah untuk menggunakan paling sidikit kuadrat, yaitu, kita
mendapatkan nilai-nilai dari 𝑥1 dan 𝑥2 yang meminimize [(𝑥1 + 2𝑥2 − 4)2 + (𝑥1 − 𝑥2 − 1)2 +
(𝑥1 + 𝑥2 − 2)2 ].

Contoh 2.7(c). anggaplah sistem

𝑥1 + 𝑥2 + 𝑥3 = 1
2𝑥1 + 𝑥2 + 3𝑥3 = 5
3𝑥1 + 2𝑥2 + 4𝑥3 = 6

Persamaan ke tiga adalah jumlah dari dua pertama, tetapi ke dua adalah bukan suatu perkalian dari
pertama. Jadi, rank (A, c) = rank (A) = 2, dan sistem adalah konsisten

𝑥2 2

0 1 2 3 4
𝑥1

Gambar 2.2 Tiga garis menggambarkan tiga persamaan dalam Contoh 2.7(b)
Dengan pemecahan dua persamaan pertama untuk 𝑥1 dan 𝑥2 dalam bentuk-bentuk 𝑥3 , kita
peroleh

𝑥1 = −2𝑥3 + 4, 𝑥2 = 𝑥3 − 3

Solusi vektor dapat dinyatakan seperti

−2𝑥3 + 4 −2 4
𝒙 = ( 𝑥3 − 3 ) = 𝑥3 ( 1 ) + (−3),
𝑥3 1 0

di mana 𝑥3 adalah suatu perubahan konstanta. Secara geometri, garis x yang menggambarkan
perpotongan dari dua bidang yang berhubungan untuk dua persamaan pertama.

2.8 Invers yang Disamakan

Sekarang kita anggap invers yang disamakan dari dua matriks bahwa tidak mempunyai invers dalam
pengertian biasa [lihat (2.45)]. Suatu solusi dari suatu sistem konsisten dari persamaan Ax = c dapat
dinyatakan dua bidang yang berhubungan dengan dua persamaan pertama.

2.8.1 Definisi dan Sifat-Sifat

Suatu invers yang disamakan dari suatu matriks A 𝑛 × 𝑝 adalah sesuatu matriks 𝑨− yang bersifat

𝑨𝑨− 𝑨 = 𝑨 (2.57)

A invers yang disamakan bukan pengecualian khusus bila A adalah nonsingular, yaqng mana kasus
𝑨− = 𝑨−𝟏 . A invers yang disamakan adalah juga disebut suatu invers bersyarat.
Setiap matriks, apakah bujursangkar atau persegi panjang, mempunyai suatu inverws yang
disamakan. Pegangan ini sama untuk vektor-vektor. Contohnya, misal

1
𝒙 = (2)
3
4

Maka 𝒙−
𝟏 = (1, 0, 0, 0) adalah suatu invers yang disamakan dari x memenuhi (2.57). Contoh-contoh
1 1 1 −
lain 𝒙− − −
𝟐 = (0, 2 , 0, 0), 𝒙𝟑 = (0, 0, 3 , 0), dan 𝒙𝟒 = (0, 0, 0, 4). Untuk setiap 𝑥𝑖 , kita peroleh

𝒙𝒙−
𝒊 𝒙 = 𝒙𝟏 = 𝒙, 𝑖 = 1,2,3,4.

Dalam illustrasi ini, x adalah suatu vektor kolom dan 𝑥𝑖− adalah suatu vektor baris. Pola ini disamakan
dalam teorema berikut.
Teorema 2.8A. Jika A adalah 𝑛 × 𝑝, sesuatu invers yang disamakan 𝑨− adalah 𝑝 × 𝑛.

Dalam contoh berikut kita berikan dua illustrasi dari invers yang disamakan pada suatu
matriks singular.

Contoh 2.8.1. Misal

2 2 3
𝑨 = (1 0 1). (2.58)
3 2 4

Baris ke tiga dari A adalah jumlah dari dua baris pertama, dan baris ke dua adalah bukan suatu
perkalian dari pertama; karena itu, A mempunyai rank 2. Misalkan

0 1 0 0 1 0
3 1
𝑨−
𝟏 = (0 −1 0) 𝑨−
𝟐 = ( 0 − 2 2 ). (2.59)
0 0 0 0 0 0

Itu mudah dibuktikan bahwa 𝐴𝑨− −


𝟏 𝑨 = 𝑨 dan 𝐴𝑨𝟐 𝑨 = 𝑨.

Metode-metode yang digunakan untuk memperoleh 𝑨− −


𝟏 dan 𝑨𝟐 dalam (2.59) digambarkan
dalam Teorema 2.8B dan Akibat 1 algoritma five-step sebagai berikut.

Teorema 2.8B. Andaikan A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r dan bahwa A dipartisi seperti

𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
𝑨=( ),
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐

di mana 𝑨𝟏𝟏 adalah 𝑟 × 𝑟 dari rank r. Maka suatu invers yang disamakan dari A diberikan dengan

−𝟏
𝑨− = (𝑨𝟏𝟏 𝑶),
𝑶 𝑶

di mana matriks tiga 0 adalah dari ukuran yang tepat sedemikian sehingga 𝑨− adalah 𝑝 × 𝑛.

Bukti.
Dengan memperkalikan dari matriks yang dipartisi, seperti dalam (2.35) kita peroleh

𝑰 𝑶 𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
𝐴𝑨− 𝑨 = ( )𝑨 = ( ).
𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑶 𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐

Untuk menunjukkan bahwa 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏


𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 = 𝑨𝟐𝟐 , kita perkalikan A dengan

𝑰 𝑶
𝑩=( ),
−𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑰
di mana O dan I adalah dari ukuran yang tepat, untuk memperoleh

𝑨𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐
𝑩𝑨 = ( ).
𝑶 𝑨𝟐𝟐 − 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐

Matriks B adalah nonsingular, dan oleh karena itu, rank dari BA adalah r = rank (A) [lihat Teorema
𝑨
2.4A(ii)]. Dalam BA submatriks ( 𝟏𝟏 ) adalah rank dari r, dan kolom atas dengan 𝑨𝟏𝟐 adalah
𝑶
kombinasi linier dari kolom atas dengan 𝑨𝟏𝟏 . Dengan suatu kementar Contoh 2.3 berikut, hubungan
ini dapat dinyatakan seperti

𝑨𝟏𝟐 𝑨
( ) = ( 𝟏𝟏 ) 𝑸 (2.60)
𝑨𝟐𝟐 − 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 𝑶

untuk beberapa matriks Q. Dengan (2.27), samping kanan dari (2.60) menjadi

𝑨 𝑨 𝑸 𝑨 𝑸
( 𝟏𝟏 ) 𝑸 = ( 𝟏𝟏 ) = ( 𝟏𝟏 ).
𝑶 𝑶𝑸 𝑶

Jadi 𝑨𝟐𝟐 − 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏


𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 = 𝑶, atau

𝑨𝟐𝟐 = 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏


𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 .

Akibat 1. Andaikan A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r dan bahwa A dipartisi seperti dalam Teorema 2.8B, di
mana 𝑨𝟐𝟐 adalah 𝑟 × 𝑟 dari rank r. Maka suatu invers yang disamakan dari A diberikan dengan

𝑶 𝑶
𝑨− = ( )
𝑶 𝑨−𝟏
𝟐𝟐

di mana tiga matriks O berukuran yang sesuai sedemikian sehingga 𝑨− adalah 𝑝 × 𝑛.

Submatriks nonsingular tidak perlu ada dalam posisi 𝐴11 atau 𝐴22 seperti dalam Teorema
2.8B atau Akibatnya. Teorema 2.8B dapat diperluas dengan algoritma berikut untuk mendapatkan
suatu syarat invers 𝑨− untuk beberapa matriks A 𝑛 × 𝑝 dari rank r (Searle 1982, p. 218):

1. Mendapatkan submatriks C nonsingular 𝑟 × 𝑟. Itu tidak perlu bahwa elemen-elemen dari C


mendekati baris-baris dan kolom-kolom dalam A.
2. Mendapatkan 𝑪−𝟏 dan (𝑪−𝟏 )′.
3. Menggantikan elemen-elemen dari C dengan elemen-elemen dari (𝑪−𝟏 )′.
4. Menggantikan semua elemen-elemen lain dalam A dengan nol.
5. Transpose menghasilksn matriks

Beberapa sifat-sifat dari invers yang disamakan diberikan dalam teoema berikut.
Teorema 2.8C. Misalkan A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r, misalkan 𝑨− adalah beberapa invers yang
disamakan dari A, dan misalkan (𝑨′ 𝑨)− adalah beberapa invers yang disamakan dari A’A. Maka

(i) 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨− 𝑨) = 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨𝑨− ) = 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨) = 𝑟


(ii) (𝑨− )′ adalah suatu invers yang disamakan dari A’; yaitu, (𝑨′ )− = (𝑨− )′ .
(iii) 𝑨 = 𝑨(𝑨′ 𝑨)− 𝑨′ 𝑨 dan 𝑨′ = 𝑨′ 𝑨(𝑨′ 𝑨)− 𝑨′.
(iv) (𝑨′ 𝑨)− 𝑨′ adalah suatu invers yang disamakan dari A; yaitu, 𝑨− = (𝑨′ 𝑨)− 𝑨′ .
(v) 𝑨(𝑨′ 𝑨)− 𝑨′ adalah simetrik, mempunyai rank = r, dan adalah invarian dengan pilihan dari
(𝑨′ 𝑨)−; yaitu, sisa yang sama 𝐴(𝑨′ 𝑨)− 𝑨′, bukab nilai yang digunakan sama (𝑨′ 𝑨)−.

Suatu invers yang disamakan dari suatu matriks simetrik adalah tidak perlu simetrik, Akan
tetapi, itu juga benar bahwa suatu invers yang disamakan simetrik bisa selalu dibangun untuk suatu
matriks simetrik; lihat soal 2.45. Dalam buku ini, kita akan asumsikan bahwa invers yang disamakan
dari matriks simetrik adalah simetrik.

2.8.2 Invers yang Disamakan dan Sistem Persamaan

Suatu olusi untuk suatu suistem dari persamaan dapat dinyatakan dalam bentuk-bentuk dri suatu
invers yang disamakan.

Teorema 2.8D. Jika sistem persamaan Ax = c adalah konsisten dan jika 𝐴− adalah beberapa invers
yang disamakan untuk A, maka untuk suatu solusi adalah 𝒙 = 𝑨− 𝒄.

Bukti.
Karena 𝑨𝑨− 𝑨 = 𝑨, kita peroleh

𝑨𝑨− 𝑨𝒙 = 𝑨𝒙

Dengan mensubstitusikan pada ke dua sisi, kita peroleh

𝑨𝑨− 𝒄 = 𝒄

Penulisan dalam bentuk ini 𝑨(𝑨− 𝒄) = 𝒄, kita perhatikan bahwa 𝑨− 𝑐 adalah suatu solusi pada Ax = c.

Perbedaan pilihan dari 𝑨− akan menghasilkan dalam solusi-solusi yang berbeda untuk Ax = c.

Teorema 2.8E. Jika sistem persamaan Ax = c adalah konsisten, maka semua solusi yang mungkin
dapat diperoleh dalam dua cara berikut:

(i) Gunakan suatu 𝑨− dalam 𝒙 = 𝑨− 𝒄 + (𝑰 − 𝑨− 𝑨)𝒉, dan gunakan semua nilai-nilai kemungkinan
dari perubahan vektor h.
(ii) Gunakan semua nilai-nilai kemungkinan dari 𝑨− dalam 𝒙 = 𝑨− 𝒄.

Bukti.
Perhatikan Swarle (1982, p. 238).
Syarat perlu dan cukup untuk sistem persamaan Ax = c dengan konsisten dapat diberikan
dalam bentuk-bentuk dari suatu invers yang disamakan dari A (Graybill 1976, p. 36).

Teorema 2.8F. Sistem persamaan Ax = c mempunyai suatu solusi jika dan hanya jika untuk beberapa
invers yang disamakan 𝑨− dari A

𝑨𝑨− 𝒄 = 𝒄.

Bukti.
Andaikan Ax = c adalah konsisten. Maka dengan Teorema 2.8D, 𝒙 = 𝑨− 𝒄 adalah suatu solusi.
Perkalian c = Ax dengan 𝑨𝑨− untuk memperoleh

𝑨𝑨− 𝒄 = 𝑨𝑨− 𝑨𝒙 = 𝑨𝒙 = 𝒄.

Sebaliknya, andaikan 𝑨𝑨− 𝒄 = 𝒄. Perkalian 𝒙 = 𝑨− 𝒄 dengan A untuk memperoleh

𝑨𝒙 = 𝑨𝑨− 𝒄 = 𝒄.

Karena itu, suatu ada , yaitu 𝒙 = 𝑨− 𝒄.

Teorema 2.8F memberikan suatu alternatif untuk Teorema 2.7A untuk menghitung apakah suatu
sitem persamaan adalah konsisten

2.9 Determinan

Determinan dari suatu matriks A 𝑛 × 𝑛 adalah suatu fungsi skalar dari A yang didefinisikan sebagai
jumlah semua hasil kemungkinan n ! dari n elemen-elemen sedemikian sehingga

1. Setiap hasil memuat satu elemen dari setiap baris dan setiap kolom di A dan
2. Faktor-faktor dalam setiap hasil ditulis sehingga tulisan di bawah garis kolom muncul dalam
urutan yang besar dan setiap hasil didahului oleh suatu tanda plus atau minus menurut apakah
bilangan dari inversi dalam tulisan di bawah garis baris adalah genap atau ganjil. (suatu invers
terjadi kapan saja suatu bilangan yang lebih besar mendahului yang terkecil.)

Determinan dari A berupa dengan |𝑨| atau det(A). Definisi di atas tidak sangat
bergunadalam mengevaluasi determinan, kecuali dalam kasus matriks 2 × 2 atau 3 × 3. Untuk
matriks-matriks yang lebih besar, khusus determinan di bangun dengan komputer. Beberapa
kalkulator juga menghitung determinan.
Determinan dari beberapa matriks khusus bujursangkar diberikan dalam teorema berikut.

Teorema 2.9A.

(i) Jika 𝑫 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝑑1 , 𝑑2 , … , 𝑑𝑛 ), |𝑫| = ∏𝑛𝑖=1 𝑑𝑖 (2.61)


(ii) Determinant dari suatu matriks segitiga adalah hasilo kali dari elemen-elemen diagonal.
(iii) Jika A adalah singular, |𝑨| = 0 (2.62)
Jika A adalah nonsingular, |𝑨| ≠ 0 (2.63)
(iv) Jika A adalah defenit positif |𝑨| > 0 (2.64)
(v) |𝑨′| = |𝑨| (2.65)
(vi) Jika A adalah nonsingular, ||𝑨−𝟏 | =| 1/|𝑨| (2.66)

Contoh 2.9(a). Kita illustrasikan setiap dari sifat – sifat dalam Teorema 2.9A:

2 0
(i) Diagonal | | = (2)(3) − (0)(0) = (2)(3).
0 3
2 1
(ii) Matriks segitiga atas | | = (2)(3) − (0)(0) = (2)(3).
0 3
1 2
(iii) Matriks singular | | = (1)(6) − (3)(2) = 0.
3 6
1 2
Matriks nonsingular | | = (1)(4) − (3)(2) = −2.
3 4
3 −2
(iv) Matriks defenit positif | | = (3)(4) − (−2)(−2) = 8 > 0.
−2 4
3 −7
(v) Matriks transpose | | = (3)(1) − (2)(−7) = 17
2 1
3 2
| | = (3)(1) − (−7)(2) = 17
−7 1
3 2 −1 0,4 −0,2 3 2 0,4 −0,2
(vi) Matriks Invers ( ) =( ) | | = 10, | | = 0,1.
1 4 −0,1 0,3 1 4 −0,1 0,3

Seperti suatu kasus khusus dari (2.61), andaikan semua elemen-elemen diagonal adalah
sama , katakanlah 𝑫 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝑐, 𝑐, … , 𝑐) = 𝑐𝐼. Maka

|𝑫| = |𝑐𝐼| = ∏𝑛𝑖=1 𝑐 = 𝑐 𝑛 (2.67)

Dengan eksistensi, jika suatu materiks 𝑛 × 𝑛 diperkalikan dengan suatu skalar, determinan menjadi

|𝒄𝑨| = 𝑐 𝑛 |𝑨| (2.68)

Determinan dari beberpa matriks yang dipartisi diberikan dalam teorema berikut.

Teorema 2.9B. Jika matriks bujursangkar A yang dipertisi seperti

𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨 = ( 𝟏𝟏 ), (2.69)
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐

dan jika 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah bujursangkar dan nonsingular (tetapi tidak perlu berukuran sama),
maka

|𝑨| = |𝑨𝟏𝟏 ||𝑨𝟐𝟐 − 𝑨𝟐𝟏 𝑨−𝟏


𝟏𝟏 𝑨𝟏𝟐 | (2.70)

= |𝑨𝟐𝟐 ||𝑨𝟏𝟏 − 𝑨𝟏𝟐 𝑨−𝟏


𝟐𝟐 𝑨𝟐𝟏 |. (2.71)
Secara analogi dicatat dari (2.70) dan (2.71) untuk kasus determinan dari suatu matrik 2 ×
2.

𝑎11 𝑎12
|𝑎
21 𝑎22 | = 𝑎11 𝑎22 − 𝑎21 𝑎12

𝑎21 𝑎12
= 𝑎11 (𝑎22 − 𝑎11
)

𝑎12 𝑎21
= 𝑎22 (𝑎11 − 𝑎22
)

Akibat 1. Andaikan

𝑨𝟏𝟏 𝑶 𝑨 𝑨𝟏𝟐
𝑨=( ) atau 𝑨 = ( 𝟏𝟏 )
𝑨𝟐𝟏 𝑨𝟐𝟐 𝑶 𝑨𝟐𝟐

di mana 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah bujursangkar (tetapi tidak perlu berukuran sama). Maka dalam ke dua
kasus,

|𝑨| = |𝑨𝟏𝟏 ||𝑨𝟐𝟐 | (2.72)

Akibat 2. Misalkan

𝑨 𝑶
𝑨 = ( 𝟏𝟏 ),
𝑶 𝑨𝟐𝟐

di mana 𝑨𝟏𝟏 dan 𝑨𝟐𝟐 adalah bujursangkar (tetapi tidak perlu berukuran sama). Maka

|𝑨| = |𝑨𝟏𝟏 ||𝑨𝟐𝟐 | (2.73)

Akibat 3. Jika A mempunyai bentuk

𝑨𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐
𝑨=( ′ )
𝒂𝟏𝟐 𝑎22

di mana 𝑨𝟏𝟏 adalah suatu matriks nonsingular, 𝒂𝟏𝟐 adalah suatu vektor, dan 𝑎22 adalah suatu
skalar, maka

𝑨𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐
|𝑨| = | | = |𝑨𝟏𝟏 |(𝑎22 − 𝒂′𝟏𝟐 𝑨−𝟏
𝟏𝟏 𝒂𝟏𝟐 ). (2.74)
𝒂′𝟏𝟐 𝑎22

Akibat 4. Jika A mempunyai bentuk

𝑩 𝒄
𝑨=( ),
𝒄′ 1

di mana c adalah suatu vektor Dan B adalah suatu matriks nonsingular, maka
|𝑩 = 𝒄𝒄′| = ⌈𝑩⌉(1 + 𝒄′ 𝑩−𝟏 𝒄) (2.75)

Determinan dari hasil kali dua matriks bujursangkar diberikan dalam teorema berikut.

Teorema 2.9C. Jika A dan B adalah bujursangkar dan berukuran sama, maka determinan dari hasil
kali adalah hasil kali dari determinan.

|𝑨𝑩| = |𝑨||𝑩|. (2.76)

Akibat 1.

|𝑨𝑩| = |𝑩𝑨| . (2.77)

Akibat 2.

|𝑨𝟐 | = |𝑨|𝟐 . (2.78)

Contoh 2.9(b). Untuk mengillustrasi Teorema 2.9C, misalkan

1 2 3 −2
𝑨=( ) dan 𝑩 = ( )
3 4 1 2

Maka

5 2 |𝑨𝑩| = −16
𝑨𝑩 = ( ),
13 2

|𝑨| = −2, |𝑩| = 8, |𝑨||𝑩| = −16. Terbukti.

2.10 Matriks dan Vektor Orthogonal

Dua vektor 𝑛 × 1 a dan b dikatakan orthogonal jika

𝒂′ 𝒃 = 𝑎1 𝑏1 + 𝑎2 𝑎2 + … + 𝑎𝑛 𝑏𝑛 = 0 (2.79)

Catatan bahwa bentuk penggunaan orthogonal untuk dua vektor, bukan untuk suatu vektor tunggal.
Secara geometrik, dua vektor orthogonal adalah garis tegak lurus untuk setiap yang lain. Ini
diillustrasikan dalam Gambar 2.3 untuk vektor-vektor 𝒙𝟏 = (4,2)′ dan 𝒙𝟐 = (−1,2)′. Catatan
bahwa 𝒙′𝟏 𝒙𝟐 = (4)(−1) + (2)(2) = 0’
Untuk menunjukkan bahwa dua vektor orthogonal garis tegak lurus, misalkan 𝜃 adalah sudut
diantara vektor a dan b dalam Gambar 2.4. Vektor dari titik asal a ke titik asal b dapat digambarkan
seperti c = b – a. Di bawah cosinus untuk hubungan 𝜃 dengan sisi segitiga yang dapat ditetapkan
dalam bentuk vektor seperti
𝒂′ 𝒂+𝒃′ 𝒃−(𝒃−𝒂)′ (𝒃−𝒂)
𝑐𝑜𝑠𝜃 =
𝟐√(𝒂′ 𝒂)(𝒃′ 𝒃)

𝒂′ 𝒂+𝒃′ 𝒃−(𝒃′ 𝒃+𝒂′𝒂−𝟐𝒂′𝒃)


=
𝟐√(𝒂′ 𝒂)(𝒃′ 𝒃)

𝒂′ 𝒃
= (2.80)
√(𝒂′ 𝒂)(𝒃′ 𝒃)

Bila 𝜃 = 90𝑜 , 𝒂′ 𝒃 = 𝟎, karena cos(90𝑜 ) = 0. Jadi a dan b adalah garis tegak lurus bila 𝒂′ 𝒃 = 𝟎.

(-1,2) 2

𝒙𝟐
𝒙𝟏
1

−𝟏 0 1 2 3 4
Gambar 2.3 Dua vektor orthogonal (garis tegak lurus)

c=b–a

𝛉 b
x
z Gambar 2.4 Vektor a dan b dalam ruang
Jika a’a = 1, vektor a dikatakan dengan dinormalkan. Suatu vektor b dapat dinormalkan
dengan memberikan perluasan, √𝒃′𝒃. Jadi

𝒃
𝒄= (2.81)
√𝒃′𝒃

Dinormalkan sedemikian sehingga c’c = 1


Suatu himpunan dari vektor 𝑝 × 1 𝒄𝟏 , 𝒄𝟐 , … , 𝒄𝒑 yang dinormalisasi (𝒄′𝒊 𝒄𝒊 = 1 untuk semua
i) dan saling orthogonal (𝒄′𝒊 𝒄𝒋 = 1 untuk semua 𝑖 ≠ 𝑗) dikatakan dengan suatu himpunan
orthonormal dari vektor-vektor. Jika matriks 𝑪 = (𝒄𝟏 , 𝒄𝟐 , … , 𝒄𝒑 ) 𝑝 × 𝑝 mempunyai kolom-kolom
orthonormal, C disebut suatu matriks orthonormal. Karena itu C’C adalah hasil kali dari kolom-kolom
C [lihat Teorema 2.2C(i)], suatu matriks orthogonal C mempunyai sifat

C’C = I (2.82)

Itu dapat ditunjukkan bahwa suatu matriks orthogonal C juga mempunyai sifat

CC’ = I (2.83)

Jadi suatu matriks orthogonal C mempunyai baris-baris orthonormal seperti kolom-kolom


orthonormal. Itu juga jelas dari (2.82) dan (2.83) bahwa 𝑪′ = 𝑪−𝟏 jika C adalah orthogonal.

Contoh 2.10. Untuk mengillustrasikan suatu matriks orthogonal, kita mulai dengan

1 1 1
𝑨 = (1 −2 0 )
1 1 −1

yang mana kolom-kolom adalah orthogonal, tetapi tidak orthonormal. Untuk menormalisasi tiga
kolom, kita bagi masing-masing mereka dengan panjang, √3, √6 dan √2, untuk memperoleh
matriks

1/√3 1/√6 1/√2


𝑪 = (1/√3 −2/√6 0 )
1/√3 1/√6 −1/√2

Yang mana kolom-kolom adalah orthogonal. Catatan bahwa baris-baris dari C adalah juga
orthonormal, sehingga C memenuhi (2.83) seperti (2.82).

Perkalian dari suatu vektor dengan suatu matriks orthogonal mempunyai pengaruh sumbu;
yaitu, jika suatu titik x ditransformasi dengan z = Cx, di mana C adalah orthogonal, maka jarak dari
asal ke z adalah sama seperti jarak dengan x:
Z’z = (Cx)’(Cx) = x’C’Cx = x’Ix = x’x (2.84)

Karena itu, transformasi dari x ke z adalah suatu rotasi.


Beberapa sifat dari matriks-matriks orthogonal diberikan dalam teorema berikut.

Teorema 2.10A. Jika matriks C 𝑝 × 𝑝 adalah orthogonal dan jika A adalah suatu matriks 𝑝 × 𝑝, maka

(i) |𝑪| == 1 𝑎𝑡𝑎𝑢 − 1,


(ii) |𝑪′ 𝑨𝑪| = |𝑨|
(iii) −1 ≤ 𝑐𝑖𝑗 ≤ 1, di mana 𝑐𝑖𝑗 adalah suatu elemen dari C.

2.11 TRACE

Trace dari suatu matriks 𝐴 = (𝑎𝑖𝑗 ) 𝑛 × 𝑛 adalah suatu skalar yang mendefinisikan fungsi seperti
jumlah dari elemen-elemen diagonal dari A; yaitu, 𝑡𝑟(𝑨) = ∑𝑛𝑖=1 𝑎𝑖𝑖 . Contohnya, andaikan

8 4 2
𝑨 = (2 −3 6).
3 5 9

Maka

Tr(A) = 8 – 3 + 9 = 14.

Beberapa sifat dari trace diberikan dalam teorema berikut.

Teorema 2.11A.

(i) Jika A dan B adalah 𝑛 × 𝑛, maka

𝑡𝑟(𝑨 ± 𝑩) = 𝑡𝑟(𝑨) ± 𝑡𝑟(𝑩) (2.85)

(ii) Jika A adalah 𝑛 × 𝑝 dan B adalah 𝑝 × 𝑛, maka

𝑡𝑟(𝑨𝑩) = 𝑡𝑟(𝑩𝑨) (2.86)

Catatan bahwa dalam (2.86) n adalan kecil dari p, sama dengan p, atau besar dari p.

(iii) Jika A adalah 𝑛 × 𝑝

𝑝
𝑡𝑟(𝑨′ 𝑨) = ∑𝑗=1 𝑎𝑗′ 𝑎𝑗 , (2.87)

di mana 𝑎𝑗 adalah kolom ke j dari A


(iv) Jika A adalah 𝑛 × 𝑝,

𝑡𝑟(𝑨𝑨′ ) = ∑𝑛𝑖=1 𝑎𝑖′ 𝑎𝑖 (2.88)


di mana 𝑎𝑖′ adalah baris ke i dari A

(v) Jika 𝑨 = (𝑎𝑖𝑗 ) adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑝 dengan mewakili elemen 𝑎𝑖𝑗 , maka

𝑡𝑟(𝑨′ 𝑨) = 𝑡𝑟(𝑨𝑨′ ) = ∑𝑛𝑖=1 ∑𝑛𝑗=1 𝑎𝑖𝑗


2
(2.89)

(vi) Jika A adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑛 dan P adalah suatu matriks nonsingular 𝑛 × 𝑛, maka

𝑡𝑟(𝑷−𝟏 𝑨𝑷) = 𝑡𝑟(𝑨) (2.90)

(vii) Jika A adalah matriks 𝑛 × 𝑛 dan C adalah suatu matriks orthogonal 𝑛 × 𝑛, maka

𝑡𝑟(𝑪′𝑨𝑪) = 𝑡𝑟(𝑨) (2.91)

(viii) Jika A adalah matriks 𝑛 × 𝑝 dari rank r dan 𝑨− adalah suatu invers yang disamakan dari A,
maka

𝑡𝑟(𝑨− 𝑨) = 𝑡𝑟(𝑨𝑨− ) (*2.92)

Bukti. Kita buktikan bagian (ii), ((iii) dan (iv).

(ii) Dengan (2.11) elemen diagonal ke i dari E = AB adalah 𝑒𝑖𝑖 = ∑𝑘 𝑎𝑖𝑘 𝑏𝑘𝑖 . Maka

𝑡𝑟(𝑨𝑩) = 𝑡𝑟(𝐸) = ∑𝑖 𝑒𝑖𝑖 = ∑𝑖 ∑𝑘 𝑎𝑖𝑘 𝑏𝑘𝑖

Dengan cara yang sama, elemen diagonal ke i dari F = BA adalah 𝑓𝑖𝑖 = ∑𝑘 𝑏𝑖𝑘 𝑎𝑘𝑖 , dan

𝑡𝑟(𝑨𝑩) = 𝑡𝑟(𝐹) = ∑𝑖 𝐹𝑖𝑖 = ∑𝑖 ∑𝑘 𝑏𝑖𝑘 𝑎𝑘𝑖

= ∑𝑘 ∑𝑖 𝑎𝑖𝑘 𝑏𝑘𝑖 = 𝑡𝑟(𝐸) = 𝑡𝑟(𝑨𝑩)

(iii) Dengan Teorema 2.2(i), A’A diperoleh seperti hasil kali kolom-kolom dari A. Jika 𝑎𝑗 adalah
kolom ke j dari A, maka elemen diagonal ke j dari A’A adalah 𝑎𝑗′ 𝑎𝑗 .
(iv) Dengan (2.86),

𝑡𝑟(𝑷−𝟏 𝑨𝑷) = 𝑡𝑟(𝑨𝑷𝑷−𝟏 ) = 𝑡𝑟(𝑨).

Contoh 2.11. Kita illustrasikan bagian (ii) dan (Viii) dari Teorema 2.11A.

(ii). Misalkan
1 3
3 −2 1
𝑨 = (2 −1) dan 𝑩 = ( )
2 4 5
4 6

Maka

9 10 16
3 17
𝑨𝑩 = ( 4 −8 −3), 𝑩𝑨 = ( )
30 32
24 16 34

Tr(AB) = 9 – 8 +34 =35, tr(BA) = 3 +32 = 35

(viii) Menggunakan A dalam (2.58) dan 𝑨−


𝟏 dalam (2.59), kita peroleh

1 0 1 1 0 0
− 1
𝑨 𝑨 = (0 1 2
), 𝑨𝑨− = (0 1 0),
0 0 0 1 1 0

𝑡𝑟(𝑨− 𝑨) = 1 + 1 + 0 = 2 = 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨)

𝑡𝑟(𝑨𝑨− ) = 1 + 1 + 0 = 2 = 𝑟𝑎𝑛𝑘(𝑨)

2.12 NILAI Eigen dan Vektor Eigen

2.12.1 Definisi

Untuk setiap matriks bujursangkar A, suatu skalar 𝝀 dan suatu vektor bukan nol x dapat dibangun
sedemikian sehingga

𝑨𝒙 = 𝝀𝒙 (2.93)

𝒙𝟐

𝛌x

𝒙𝟏
Gambar 2.5 Suatu vektor eigen x ditransformasi pada 𝛌x.

Dalam (2.93) 𝛌 disebut suatu nilai eigen dari A dan x adalah suatu vektor eigen. (Ini kadang-kadang
dihubungkan maing-masing dengan akar karateristik dan vektor karateristik.) Catatan bahwa dalam
(2.93) vektor x ditransfom (diubah) dengan A ke dalam suatu perkalian sendiri, sehingga titik Ax
adalah pada garis sambungan x dan asal. Ini dillustrasikan dalam Gambar 2.5.
Untuk mendapatkan 𝛌 dan x untuk suatu matriks A, kita tulis (2.93) seperti

(𝑨 − 𝝀𝑰)𝒙 = 𝟎. (2.94)

Dengan (2.37) (𝑨 − 𝝀𝑰)𝒙 adalah suatu kombinasi linier dari kolom 𝑨 − 𝝀𝑰, dan dengan (2.40) dan
(2.94), kolom-kolom ini adalah secara bergantung linier. Jadi matriks bujursangkar 𝑨 − 𝝀𝑰 adalah
nonsingular, dan dengan Teorema 2.9A(iii), kita dapat menentukan 𝛌 dengan menggunakan

|𝑨 − 𝝀𝑰| = 𝟎, (2.95)

Yang mana diketahui seperti persamaan karateristik.


Jika A adalah 𝑛 × 𝑛, persamaan karateristik (2.95) akan mempunyai akar n; yaitu, A akan
mempunyai n nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 . 𝛌 nya tidak perlu semua jelas, atau semua bukan nol, atau
semua sama riel. (Akan tetapi, nilai-nilai eigen dari suatu matriks simetrik adalah riel; lihat Teorema
2.12C.) Setelah mendapatkan 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 dengan menggunakan (2.95), beserta vektor-vektor eigen
𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 dapat dibangun menggunakan (2.94).
Jika suatu nilai eigen adalah 0, berkoresponden vektor eigen adalah bukan 0. Untuk melihat
ini, catatan bahwa jika 𝛌 = 0, maka (𝑨 − 𝝀𝑰)𝒙 = 𝟎 menjadi Ax = 0, yang mempunyai solusi untuk x
sebab A adalah singular, dan kolom-kolom sebelumnya adalah bergantung secara linier. [A adalah
singular sebab ia mempunyai suatu nilai eigen nol; lihat (2.62) dan (2.106).]
Jika kita perkalikan ke dua sisi dari (2.94) dengan suatu skalar k, kita peroleh

𝑘(𝑨 − 𝝀𝑰)𝒙 = 𝒌𝟎 = 𝟎,

yang dapat ditulis seperti

(𝑨 − 𝝀𝑰)𝒌𝒙 = 𝟎 [dengan (2.25)]

Jadi jika x adalah suatu vektor eigen dari A, kx juga adalah suatu vektor eigen. Vektor- vektor eigen
sebelumnya adalah hanya khusus terhadap perkalian dengan suatu skalar. (ada banyak solusi vektor
x sebab 𝑨 − 𝝀𝑰 adalah singular; lihat Fasal 2.7.) Karena itu, panjang x adalah berubah-ubah, tetapi
petunjuknya dari asli adalah khusus; yaitu, nilai-nilai relatif dari elemen-elemen 𝒙 = (𝒙𝟏 , 𝒙𝟐 , … , 𝒙𝒏 )′
adalah khas. Secara khusus, suatu vektor eigen x dipertimbangkan dengan bentuk normal seperti
dalam (2.81): x’x = 1

Contoh 2.12.1. Untuk mengillustrasikan nilai-nilai eigen dan vektor-vektor eigen, anggaplah matriks

1 2
𝑨=( ).
−1 2
Dengan (2.95) persamaan karateristik adalah

|𝑨 − 𝝀𝑰| = |1 − 𝜆 2
| = (1 − 𝝀)(𝟒 − 𝝀) + 𝟐 = 𝟎
−1 4−𝜆
Yang menjadi

𝜆2 − 5𝝀 + 𝟔 = (𝝀 − 𝟑)(𝝀 − 𝟐) = 𝟎,

dengan akar-akar 𝜆1 = 3 𝑑𝑎𝑛 𝜆2 = 2.


Untuk mendapatkan vektor eigen 𝒙𝟏 berkoresponden dengan 𝜆1 = 3, kita gunakan (2.94),

(𝑨 − 𝝀𝟏 𝑰)𝒙𝟏 = 𝟎,

𝟏−𝟑 𝟐 𝒙𝟏 𝟎
( )( ) = ( )
−𝟏 𝟒 − 𝟑 𝒙𝟐 𝟎

yang dapat ditulis seperti

−2𝑥1 + 2𝑥2 = 0
−𝑥1 + 𝑥2 = 0.

Persamaan ke dua adalah suatu perkalian dari yang pertama, dan hasil persamaan salah satunya
𝑥1 = 𝑥2 . Solusi vektor dapat ditulis dengan 𝑥1 = 𝑐 seperti suatu perubahan konstanta:

𝑥1 𝑥1 1 1
𝒙𝟏 = (𝑥 ) = (𝑥 ) = 𝒙𝟏 ( ) = 𝑐 ( ).
2 1 1 1

Jika c adalah himpunan sama dengan 1/√2 normalisasi vektor eigen, kita peroleh

1/√2
𝒙𝟏 = ( ).
1/√2

Dengan cara yang sama, hubungan dengan 𝜆2 = 2, kita peroleh

2/√5
𝒙𝟐 = ( ).
1/√5

2.12.2 Fungsi-Fungsi dari Suatu Matriks

Jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari matriks bujursangkar A dengan hubungan vektor eigen x, maka
pasti fungsi-fungsi g(A), suatu nilai eigen yang diberikan dengan g(𝛌) dan x berkoresponden vektor
eigen dari g(A) dan juga A. Kita illustrasikan beberapa dari kasus ini:
1. Jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A, maka c𝛌 adalah suatu dari cA, di mana c suatu konstanta
yang berubah-ubah sedemikian sehingga 𝑐 ≠ 0. Ini mudah didemonstrasikan dengan
memperkalikan hubungan definisi Ax = 𝛌x dengan c:

cAx = c𝛌x. (2.96)

Catatan bahwa x adalah vektor eigen dari A berkoresponden dengan 𝛌, dan x juga adalah suatu
vektor eigen dari cA berkoresponden dengan c𝛌.
2. Jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A dan x adalah berkoresponden vektor eigen di A, maka c𝛌+k
adalah suatu nilai eigen dari matriks cA + kI dan x adalah suatu vektor eigen dari cA + kI, di
mana c dan k adalah skalar. Untuk menunjukkan ini, kita tambah kx pada (2.96):

cAx + kx = c𝛌x + kx,

(cA + kI)x = (c𝛌 + k)x. (2.97)

Jadi c𝛌 + k adalah suatu nilai eigen dari cA + kI dan x adalah berkoresponden vektor eigen dari
cA + kI. Catatan bahwa (2.97) bukan perluasan A + B untuk perubahan matriks A dan B 𝑛 × 𝑛
; yaitu, A + B tidak memiliki 𝜆𝐴 + 𝜆𝐵 untuk suatu nilai eigen, di mana 𝜆𝐴 adalah suatu nilai eigen
dari A dan 𝜆𝐵 adalah suatu nilai eigen dari B.
3. Jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A, maka 𝜆2 adalah suatu nilai eigen dari 𝐴2 . Ini dapat
didemonstrasikan dengan perkalian hubungan definisi Ax = 𝛌x dengan A:

A(Ax) = A(𝛌x),
𝐴2 𝑥 = 𝝀𝑨𝒙 = 𝝀(𝝀𝒙) = 𝝀𝟐 𝒙. (2.98)

Jadi 𝝀𝟐 adalah suatu nilai eigen dari 𝑨𝟐 , dan x adalah berkoresponden vektor eigen di 𝑨𝟐 . Ini
dapat diperluas dengan kekuatan dari A:

𝐴𝑘 𝑥 = 𝜆𝑘 𝑥 (2.99)

yaitu, 𝝀𝒌 adalah suatu nilai eigen dari 𝝀𝒌 , dan x adalah berkoresponden vektor eigen
4. Jika 𝛌 suatu nilai eigen dari matriks nonsingular A, maka 1/𝛌 adalah suatu nilai eigen dari 𝐴−1 .
Untuk mendemonstrasikan ini, kita perkalikan 𝐴𝑥 = 𝝀𝒙 dengan 𝐴−1 untuk memperoleh

𝑨−𝟏 𝑨𝒙 = 𝑨−𝟏 𝝀𝒙,

𝒙 = 𝝀𝑨−𝟏 𝒙,

𝟏
𝑨−𝟏 𝒙 = 𝝀 𝒙. (2.100)

Jadi 1/𝛌 adalah suatu nilai eigen dari 𝑨−𝟏 , dan x adalah suatu vektor eigen dari ke dua A dan
𝑨−𝟏 .
5. Hasil-hasil dalam (2.96) dan (2.99) dapat digunakan untuk memperoleh nilai eigen dan vektor
eigen dari suatu polinomial dalam A. Contohnya, jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A, maka

(𝑨𝟑 + 𝟒𝑨𝟐 − 𝟑𝑨 + 𝟓𝑰)𝒙 = 𝑨𝟑 𝒙 + 𝟒𝑨𝟐 𝒙 − 𝟑𝑨𝒙 + 𝟓𝒙

= 𝝀𝟑 𝒙 + 𝟒𝝀𝟐 𝒙 − 𝟑𝝀𝒙 + 𝟓𝒙

= (𝝀𝟑 + 𝟒𝝀𝟐 − 𝟑𝝀 + 𝟓)𝒙.

Jadi 𝝀𝟑 + 𝟒𝝀𝟐 − 𝟑𝝀 + 𝟓 adalah suatu nilai eigen dari 𝑨𝟑 + 𝟒𝑨𝟐 − 𝟑𝑨 + 𝟓𝑰, dan x adalah
berkoresponden vektor eigen.

Untuk matriks-matriks tertentu, sifat 5 dapat diperluas dengan suatu barisan takhingga. Contohnya,
jika 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari A, maka, dengan (2.97), 1 – 𝛌 adalah suatu nilai eigen dari I – A.
Jika I – A adalah nonsingular, maka, dengan (2.100), 1/(1 – 𝛌) adalah suatu nilai eigen dari (𝑰 − 𝑨)−𝟏 .
Jika −1 < 𝝀 < 1, maka 1/(1 – 𝛌) dapat ditunjukkan dengan barisan

1
1−𝜆
= 1 + 𝝀 + 𝝀𝟐 + 𝝀𝟑 + … ,

Dengan cara yang sama, jika semua nilai eigen dari A memenuhi −1 < 𝝀 < 1, maka

(𝑰 − 𝑨)−𝟏 = 𝑰 + 𝑨 + 𝑨𝟐 + 𝑨𝟑 + … . (2.101)

2.12.3 Hasil Kali

Itu dicatat dalam suatu kementar (2.97) selanjutnya bahwa nilai eigen dari A + B bukan dari bentuk
𝜆𝑨 + 𝝀𝑩, di mana 𝝀𝑨 adalah suatu nilai eigen dari A dan 𝝀𝑩 adalah suatu nilai eigen dari B. Dengan
cara yang sama nilai eigen dari AB bukan hasil kali dari bentuk 𝝀𝑨 𝝀𝑩. Akan tetapi nilai eigen dari AB
adalah sama seperti dari BA.

Teorema 2.12A.
Jika A dan B adalah 𝑛 × 𝑛 atau jika A adalah 𝑛 × 𝑝 dan B adalah 𝑝 × 𝑛, maka nilai eigen (tidak nol)
dari AB adalah sama seperti dari BA. Jika x adalah suatu vektor eigen dari AB, maka Bx adalah suatu
vektor eigen dari BA

Dua tambahan hasil-hasil penyelesaian nilai-nilai eigen dari hasil kali diberikan dalam teorema
berikut.

Teorema 12B. Misalkan A adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑛.

(i) Jika P adalah suatu matriks nonsingular 𝑛 × 𝑛, maka 𝑷−𝟏 𝑨𝑷 mempunyai nilai-nilai eigen
yang sama.
(ii) Jika C adalah suatu matriks orthogonal 𝑛 × 𝑛, maka 𝑪−𝟏 𝑨𝑪 mempunyai nilai-nilai eigen
yang sama
2.12.4 Matriks-Matriks Simetriks

Dua sifat dari nilai-nilai eigen dan vektor-vektor eigendari suatu matriks simetrik diberikan dalam
teorema berikut.

Teorema 2.12C. Misalkan A adalah suatu matriks simetrik 𝑛 × 𝑛.

(i) Nilai-nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 dari A adalah riel.


(ii) Vektor-vektor eigen 𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 dari A adalah saling orthogonal; yaitu, 𝒙′𝒊 𝒙𝒋=𝟎 untuk 𝑖 ≠
𝑗.

Jika vektor-vektor eigen dari suatu matriks simetriks A dinormalisasi dan dmasukkan seperti
kolom-kolom dari suatu matriks C, maka, dengan Teorema 2.12C(ii), C adalah suatu matriks
orthogonal. Matriks orthogonal ini dapat digunakan untuk menyatakan A dalam bentuk nilai
eigennya dan vektor eigennya.

Teorema 2.12D. Jika A adalah suatu matriks simetrik 𝑛 × 𝑛 dengan nilai-nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 dan
vektor-vektor 𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 dinormalisasi, maka A dapat dinyatakan seperti

𝑨 = 𝑪𝑫𝑪′ (2.102)

= ∑𝑛𝑖=1 𝝀𝒊 𝒙𝒊 𝒙′𝒊 (2.103)

di mana 𝑫 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 ) dan C adalah matriks orthogonal 𝑪 = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ). Hasil dalam


salah satu (2.102) atau (2.103) sering disebut dekomposisi spectral dari A.

Bukti.
Dengan Teorema 2.12C(ii), C adalah orthogonal. Maka, dengan (2.83), I = CC’, dan perkalian dengan
A diberikan

A = ACC’.

Sekarang kita substitusi 𝑪 = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 ) untuk memperoleh

𝑨 = 𝑨(𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )𝑪′

= (𝑨𝑥1 , 𝐴𝑥2 , … , 𝑨𝑥𝑛 )𝑪′ [dengan (2.28)]

= (𝜆1 𝑥1 , 𝜆2 𝑥2 , … , 𝜆𝑛 𝑥𝑛 )𝑪′ [dengan (2.93)]

= 𝑪𝑫𝑪′ (2.104)
Karena memperkalikan pada sisi kanan dengan perkalian kolom-kolom 𝑫 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 ) dari
C dengan elemen-elemen dari D [lihat (2.30)]. Sekarang tulis C’ dalam bentuk

𝑥1′

𝑪′ = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑛 )′ = (𝑥2 ) [dengan (2.39)],

𝑥𝑛′

(2.104) menjadi

𝑥1′

𝑨 == (𝜆1 𝑥1 , 𝜆2 𝑥2 , … , 𝜆𝑛 𝑥𝑛 ) ( 𝑥2 ) = 𝜆1 𝑥1 𝑥1′ + 𝜆2 𝑥2 𝑥2′ + … + 𝜆𝑛 𝑥𝑛 𝑥𝑛′

𝑥𝑛′

Akibat 1.
Jika A adalah simetrik dan C dan D didefinisikan seperti dalam Teorema 2.12D, maka C diagonalisasi,
yaitu,

𝑪′ 𝑨𝑪 = 𝑫. (2.105)

Kita dapat nytakan determunan dan trace dari suatu matriks bujursangkar A dalam bentuk
dari nilai-nilai eigennya:

Teorema 2.12E. Jika A adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑛 dengan nilai-nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 , maka

(i) |𝑨| = ∏𝑛𝑖=1 𝜆𝑖 (2.106)

(ii) 𝑡𝑟(𝑨) = ∑𝑛𝑖=1 𝜆𝑖 (2.107)

Kita telah memasukkan Teorema 2.12E disisni karena itu adalah mudah untuk membuktikan
untuk suatu matrik simetrik A menggunakan Teorema 2.12D (lihat soal 2.71). Akan tetapi, teorema
adalah benar untuk suatu matriks bujursangkar (Searle 1982, p,278).

Contoh 2.12.4. Untuk mengillustrasikan Teorema 2.12E, anggaplah matriks A dalam Contoh 2.12.1,

1 2
𝑨=( ),
−1 4

yang mempunyai nilai-nilai eigen 𝜆1 = 3 dan 𝜆2 = 2. Hasil kali 𝜆1 𝜆2 = 6 adalah sama seperti |𝑨| =
4 − (−1)(2) = 6. Jumlah 𝜆1 + 𝜆2 = 3 + 2 = 5 adalah sama seperti 𝑡𝑟(𝑨) = 1 + 4 = 5.

2.12.5 Matriks- Matriks Defenit Positif dan Semidefenit Positif

Nilai-nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 dari matriks defenit (semidefenit) positif (fasal 2.6) adalah positif
(nonnegative)
Teorema 2.12F. Misalkan A adalah 𝑛 × 𝑛 dengan nilai-nilai eigen 𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 .

(i) Jika A adalah defenit positif, maka 𝜆𝑖 > 0 untuk i = 1, 2, ... , n.


(ii) Jika A adalah semidefenit positif, maka 𝜆𝑖 ≥ 0 untuk i = 1, 2, ... , n. Bilangan dari nilai-nilai
eigen 𝜆𝑖 yang mana 𝜆𝑖 > 0 adalah rank dari A.
Bukti.

(i) Untuk suatu 𝜆𝑖 , kita mempunyai 𝑨𝑥𝑖 = 𝜆𝑖 𝑥𝑖 . Memperkalikan dengan 𝑥𝑖′ , kita peroleh

𝑥𝑖′ 𝑨𝒙𝒊
𝒙′𝒊 𝑨𝒙𝒊 = 𝝀𝒊 𝒙′𝒊 𝒙𝒊 atau 𝜆𝑖 = > 0.
𝑥𝑖′ 𝑥𝑖

Dalam pernyataan ke dua, 𝒙′𝒊 𝑨𝒙𝒊 adalah positif karena A adalah defenit positif, 𝒙′𝒊 𝒙𝒊 adalah
positif karena 𝑥𝑖 ≠ 0.

Jika suatu matriks A adalah defenit positif, kita dapat menentukan suatu akar matriks
bujursangkar 𝑨1/2 sebagai berikut. Karena nilai-nilai eigen dari A adalah positif, kita dapat substitusi
akar-akar kuadrat √𝜆𝑖 untuk 𝜆𝑖 dekomposisi spectral dari A dalam (2.102) untuk memperoleh

𝑨𝟏/𝟐 = 𝑪𝑫𝟏/𝟐 𝑪′, (2.108)

di mana 𝑫1/2 = 𝑑𝑖𝑎𝑔(√𝜆1 , √𝜆2 , … . √𝜆𝑛 ). Matriks 𝑨𝟏/𝟐 adalah simetriks dan mempunyai sifat

𝟏
𝑨𝟏/𝟐 𝑨𝟏/𝟐 = (𝑨𝟐 )𝟐 = 𝑨. (2.109)

2.13 Matriks-Matriks Idempoten

Suatu matriks bujursangkar A dikatakan idempoten jika 𝑨𝟐 = 𝑨. Sebagian besar matriks idempoten
dalam buku ini adalah simetrik. Banyak jumlah kuadrat dalam regresi (Bab 6 – 10) dan analisis
varians (Bab 11 – 14) dapat dinyatakan seperti bentuk – bentuk kuadrat y’Ay. Idempotensi dari A
atau dari suatu hasil kali yang menyangkut A akan digunakan untuk membuat bahwa y’Ay (atau
suatu perkalian dari y’Ay) memiliki suatu distribusi Chi-square.

Teorema 2.13A. Hanya matriks idempoten nonsingular adalah matriks identitas I

Bukti.
Jika A adalah idempoten dan nonsingular, maka 𝑨𝟐 = 𝑨 dan invers 𝑨−𝟏 ada. Jika kita perkalikan
𝑨𝟐 = 𝑨 dengan 𝑨−𝟏 , kita peroleh

𝑨−𝟏 𝑨𝟐 = 𝑨−𝟏 𝑨 atau A = I

Banyak matriks dari bentuk-bentuk kuadrat dipertemukan dalam bab-bab sebelumnya


adalah matrks idempoten singular. Dalam tiga teorema berikut, diberikan beberapa sifat dari matriks
Teorema 2.13B. Jika A adalah singular, simetriks, dan idempoten, maka A adalah semidefenit
positif.

Bukti.
Karena A = A’ dan 𝑨 = 𝑨𝟐 , kita peroleh

𝑨 = 𝑨𝟐 = 𝑨𝑨 = 𝑨′𝑨,

yang dengan Teorema 2.6D(ii) adalah semidefenit positif.

Jika a adalah suatu bilangan riel sedemikian sehingga 𝑎 = 𝑎2 , maka a ke duanya adalah 0
atau 1. Sifat yang sama untuk matriks adalah jika 𝑨𝟐 = 𝑨, maka niai eigen dari A adalah satuan 0 dan
1.

Teorema 2.13C. Jika A adalah suatu matriks idempoten simetrik 𝑛 × 𝑛 dari rank r, maka A
mempunyai nilai eigen yang sama dengan 1 dan nilai eigen n – r sama dengan 0.

Bukti.
Dengan (2.98), jika Ax = 𝛌x, maka 𝑨𝟐 𝒙 = 𝝀𝟐 𝒙. Karena 𝑨𝟐 = 𝑨, kita peroleh 𝑨𝟐 𝒙 = 𝑨𝒙 = 𝝀𝒙.
Menyamakan sisi kanan dari 𝑨𝟐 𝒙 = 𝝀𝟐 𝒙 dan 𝑨𝟐 𝒙 = 𝝀𝒙, kita peoleh

𝝀𝒙 = 𝜆2 𝑥 atau (𝝀 − 𝝀𝟐 )𝒙 = 𝟎

Tetapi 𝑥 ≠ 0, dan oleh karena itu 𝝀 − 𝝀𝟐 , dari yang 𝛌 adalah ke duanya adalah 0 atau 1.
Dengan Teorema 2.13B, A adalah semidefenit positif, dan oleh karena itu, dengan Teorema
2.12F(ii), jumlah nilai-nilai eigen nonnegatif adalah sama dengan rank(A). Jadi r nilai-nilai eigen dari
A adalah sama dengan 1 dan nilai-nilai eigen sisanya n – r adalah sama dengan 0.

Kita bisa gunakan Teorema 2.12E dan 2.13C untuk mendapatkan rank dari suatu matriks
idempoten simetrik.

Teorema 2.13D. Jika A adalah suatu matriks idempoten simetrik 𝑛 × 𝑛 dari rank r, maka rank(A) =
tr(A) = r.

Bukti.
Degnan Teorema 2.12E(ii), 𝑡𝑟(𝑨) = ∑𝑛𝑖=1 𝜆𝑖 , dan dengan Teorema 2.13C, ∑𝑛𝑖=1 𝜆𝑖 = 𝑟.

Beberapa tambahan sifat dari matriks idempoten diberikan dalam empat teorema berikut.

Teorema 2.13E. Jika A adalah suatu matriks idempoten 𝑛 × 𝑛, P adalah suatu nonsingular 𝑛 × 𝑛 dan
C adalah suatu matriks orthogonal 𝑛 × 𝑛, maka

(I) I – A adalah idempoten,


(II) A(I – A)= 0 dan (I – A)A = 0,
(III) 𝑨−𝟏 𝑨𝑷 adalah idempoten
(IV) 𝑪′𝑨𝑪 adalah idempoten (Jika A adalah simetrik, C’AC adalah matriks idempoten simetrik)

Teorema 2.13F.
Misalkan A adalah 𝑛 × 𝑝 dari rank r, misalkan 𝑨− suatu invers yang disamakan dari A, dan misalkan
(𝑨′ 𝑨)− adalah suatu invers yang disamakan dari 𝑨′ 𝑨. Maka 𝑨− 𝑨, 𝑨𝑨− , dan 𝑨(𝑨′ 𝑨)− 𝑨′ semua
adalah idempoten.

Teorema 2.13G. Andaikan matriks simetrik A 𝑛 × 𝑛 dapat ditulis seperti 𝑨 = ∑𝑘𝑖=1 𝑨𝑖 , untuk semua
k, di mana setiap 𝑨𝒊 adalah suatu matriks simetrik 𝑛 × 𝑛. Maka dua dari syarat berikut memenuhi
syarat ke tiga:

1. A adalah idempoten
2. Setiap dari 𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 , … , 𝑨𝒌 adalah idempoten
3. 𝑨𝒊 𝑨𝒋 = 𝟎 untuk 𝑖 ≠ 𝑗.

Teorema 2.13H. Jika 𝑰 = ∑𝒌𝒊=𝟏 𝑨𝒊 , di mana setiap matriks 𝑨𝒊 𝑛 × 𝑛 adalah simetrik dari rank 𝑟𝑖 , dan
jika 𝑛 = ∑𝑘𝑖=1 𝑟𝑖 , maka ke dua dari berikutnya adalah benar:

1. Setiap dari 𝑨𝟏 , 𝑨𝟐 , … , 𝑨𝒌 adalah idempoten.


2. 𝑨𝒊 𝑨𝒋 = 𝟎 untuk 𝑖 ≠ 𝑗.

2.14 Turunan dari Fungsi – Fungsi Linier dan Bentuk – Bentuk Kuadrat

Mialkan U = f(x) adalah suatu fungsi dari variabel 𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑝 dalam 𝑥 = (𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑝 )′ , dan
𝜕𝑢 𝜕𝑢 𝜕𝑢
misalkan 𝜕𝑥 , 𝜕𝑥 , … , 𝜕𝑥 adalah turunan parsial. Kita definisikan 𝜕𝑢/𝜕𝑥 seperti
1 2 𝑝

𝜕𝑢/𝜕𝑥1
𝜕𝑢 𝜕𝑢/𝜕𝑥2
=( ) (2.110)
𝜕𝑥 ⋮
𝜕𝑢/𝜕𝑥𝑝

Dalam beberapa kasus kita dapat menentukan suatu maksimum atau minimum dari u dengan
𝜕𝑢
penyelesaian = 0.
𝜕𝑥
Perhatikan dua fungsi adalah 𝒖 = 𝒂′𝒙 dan 𝒖 = 𝒙′𝑨𝒙. Turunan ke duanya terhadap x diberikan
dalam dua teorema berikut.

Teorema 2.14A. Misalkan u = a’x = x’a, di mana 𝒂′ = (𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑝 ) adalah suatu vekor dari
konstanta. Maka

𝜕𝑢 𝜕(𝒂′ 𝒙) 𝜕(𝑥 ′ 𝑎)
𝜕𝑥
= 𝜕𝑥
= 𝜕𝑥
=𝒂 (2.111)
Bukti.
𝜕𝑢 𝜕(𝑎1 𝑥1 +𝑎2𝑥2 + …+𝑎𝑝 𝑥𝑝 )
𝜕𝑥𝑖
= 𝜕𝑥𝑖
= 𝑎𝑖 .

Jadi dengan (2.110),

𝑎1
𝜕𝑢 𝑎
= ( 2) = 𝑎
𝜕𝑥 ⋮
𝑎𝑝

Teorema 2.14B. Misalkan u = x’Ax, di mana A adalah suatu matriks simetrik dari konstanta-
konstanta . Maka

𝜕𝑢 𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙)
𝜕𝑥
= 𝜕𝑥
= 2𝑨𝒙 (2.112)

Bukti.
Kita demonstrasikan bahwa pegangan (2.112) untuk kasus khusus dalam A adaalah 3 × 3. Illustrasi
dapat disamakan dengan suatu matriks simetriks A dari suatu ukuran. Misalkan

𝑥1 𝑎11 𝑎12 𝑎13 𝑎1′


𝒙 = (𝑥2 ) dan 𝑨 = (𝑎21 𝑎22 𝑎23 ) = (𝑎2′ ).
𝑥3 𝑎31 𝑎32 𝑎33 𝑎3′

Maka 𝒙′ 𝑨𝒙 = 𝑎11 𝑥12 + 2𝑎12 𝑥1 𝑥2 + 2𝑎13 𝑥1 𝑥3 + 𝑎22 𝑥22 + 2𝑎23 𝑥2 𝑥3 + 𝑎33 𝑥32, dan kita peroleh

𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙)
= 2𝑎11 𝑥1 + 2𝑎12 𝑥2 + 2𝑎13 𝑥3 = 2𝑎1′ 𝑥
𝜕𝑥1

𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙)
𝜕𝑥2
= 2𝑎12 𝑥1 + 2𝑎22 𝑥2 + 2𝑎23 𝑥3 = 2𝑎2′ 𝑥

𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙)
𝜕𝑥3
= 2𝑎13 𝑥1 + 2𝑎23 𝑥2 + 2𝑎33 𝑥3 = 2𝑎3′ 𝑥

Jadi dengan (2.25) da (2.110),

𝜕(𝑥 ′ 𝐴𝑥)
𝜕𝑥1
𝑎1′ 𝑥
𝜕(𝒙′ 𝑨𝒙) 𝜕(𝑥 ′ 𝐴𝑥)
𝜕𝑥
= 2 𝜕𝑥2
= 2 (𝑎2′ 𝑥 ) = 2𝑨𝒙
𝜕(𝑥 ′ 𝐴𝑥) 𝑎3′ 𝑥
( 𝜕𝑥3 )
BAB 3 VEKTOR – VEKTOR DAN MATRIKS – MATRIKS RANDOM

3.1 Pendahuluan

Seperti yang kita kerjakan dengan model linier, itu sesuai dengan kenyataan data yang diobservasi
(atau data yang akan diobservasi) dalam bentuk dari suatu vektor atau matriks. Suatu vektor random
atau matriks random adalah suatu vektorr atau matriks yang elemen-elemennya adalah variabel
random. Formalnya, suatu variabel random didefinisikan seperti suatu nilai variabel yang bergantung
pada hasil dari suatu eksperimen. (formalnya, suatu variabel random adalah suatu fungsi untuk
mendefinisikan setiap elemen dari suatu ruang sampel.)

Dalam bentuk dari Struktur Eksperimental, kita dapat membedakan dua macam vektor
random:

1. Suatu vektor memuat suatu ukuran pada setiap n individu yang berbeda atau unit-unit
eksperimental. Bila variabel sama diobservasi pada setiap pilihan random n unit, n variabel
𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑛 dalam vektor khusus yang tidak berkorelasi dan mempunyai variansi sama.
2. Suatu vektor terdiri dari p ukuran yang berbeda pada satu individu atau unit eksperimental.
Variabel random p yang diperoleh adalah khusus yang berkorelasi dan mempunyai variansi
yang berbeda.

Untuk mengillustrasikan tipe tertama dari vektor random, anggaplah model regresi ganda

𝑦𝑖 = 𝛽𝑖 + 𝛽1 𝑥𝑖1 + 𝛽2 𝑥𝑖2 + … + 𝛽𝑘 𝑥𝑖𝑘 + 𝜀𝑖 , 𝑖 = 1,2, … , 𝑛,

seperti diberikan dalam (1.2). Dalam Bab 7 – 9, kita coba konstanta-konstanta x, dalam kasus, kita
memiliki dua vektor random:
𝑦1 𝜀1
𝑦2 𝜀2
𝒚=( ) dan 𝜺=( ) (3.1)
⋮ ⋮
𝑦𝑛 𝜀𝑛

Nilai 𝑦𝑖 adalah yang kelihatan, tetapi nilai 𝜀𝑖 adalah tidak kelihatan kecuali kalau nilai 𝛽 diketahui.

Untuk mengillustrasikan tipe ke dua dari vektor random, anggaplah regresi y pada beberapa
nilai x, di mana nilai x adalah variabel random (kasus regresi ini akan didiskusikan pada Bab 10).
Untuk individu ke i dalam sampel, kita amati variabel random k + 1 𝑦𝑖 , 𝑥𝑖1 , 𝑥𝑖2 , … , 𝑥𝑖𝑘 , yang
merupakan vektor random (𝑦𝑖 , 𝑥𝑖1 , 𝑥𝑖2 , … , 𝑥𝑖𝑘 )′ . Dalam beberapa kasus, variabel k + 1
𝑦𝑖 , 𝑥𝑖1 , 𝑥𝑖2 , … , 𝑥𝑖𝑘 menggunakan semua ukuran unit yang sama atau skala ukuran, tetapi khusus
skala-skala yang berbeda.

3.2 Rata-Rata, Variansi, Covariansi dan Korelasi

Dalam fasal ini, kita meninjau beberpa sifat variabel random univariate dan bivariate. Kita mulai
dengan suatu variabel random univariate y. Kita tidak dapat membedakan secara angka-angka di
antara variabel random y dan suatu nilai yang diobservasi dari y. Dalam banyak teks, suatu huruf
besar digunakan untuk variabel random, dan huruf keci menghubungkan gambaran suatu realisasi
dari variabel random, sperti dalam pernyataan 𝑃(𝑌 ≤ 𝑦). Penulisan ini adalah sesuai dalam suatu
konteks, tetapi akan membingungkan uji sekarang di mana kita gunakan huruf besar untuk matriks
dan huruf kecil untuk vektor.

Jika f(y) adalah densitas dari variabel random y, mean atau nilai ekspektasi didefinisikan
sebagai

𝜇 = 𝐸(𝑦) = ∫−∞ 𝑦𝑓(𝑦)𝑑𝑦 (3.2)

Ini adalah mean populasi. Yang belakangan (permualaan dalam Bab 5), kita gunakan juga mean
sampel dari y, diperoleh dari suatu sampel random pada n nilai-nilai yang diobservasi dari y.

Nilai ekspektasi dari suatu fungsi y seperti 𝑦 2 dapat dibangun langsung tanpa mendapatkan
densitas pertama dari 𝑦 2 . Biasanya, untuk suatu fungsi u(y), kita memiliki

𝐸[𝑢(𝑦)] = ∫−∞ 𝑢(𝑦)𝑓(𝑦)𝑑𝑦. (3.3)

Untuk suatu konstanta a dan fungsi u(y) dan v(y), itu selanjutnya dari (3.3) bahwa

𝐸(𝑎𝑦) = 𝑎𝐸(𝑦) (3.4)

𝐸[𝑢(𝑦) + 𝑣(𝑦)] = 𝐸[𝑢(𝑦) + 𝐸[𝑣(𝑦)]. (3.5)

Untuk variansi dari suatu variabel random y didefinisikan seperti

𝜎 2 = 𝑣𝑎𝑟(𝑦) = 𝐸(𝑦 − 𝜇)2 (3.6)

Ini adalah variansi populasi. Yang lalu (dimulai dalam Bab 5), kita gunakan juga variansi sampel dari
y, diperoleh dari suatu sampel random dari n nilai-nilai observasi pada y. Akar kuadrat dari variansi
diketahui seperti standar deviasi

𝜎 = √𝑣𝑎𝑟(𝑦) = √𝐸(𝑦 − 𝜇)2 (3.7)

Menggunakan (3.4) dan (3.5), varians y dapat dinyatakan dalam bentuk

𝜎 2 = 𝑣𝑎𝑟(𝑦) = 𝐸(𝑦 2 ) − 𝜇2 . (3.8)

Jika a adalah suatu konstanta, kita dapar gunakan (3.4) dan (3.6) untuk menunjukkan bahwa

𝑣𝑎𝑟(𝑎𝑦) = 𝑎2 𝑣𝑎𝑟(𝑦) = 𝑎2 𝜎 2 . (3.9)

Untuk dua variabel 𝑦𝑖 dan 𝑦𝑗 dalam suatu vektor random 𝑦 = (𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 )′ , kita
mendefinisikan kovariansi seperti

𝜎𝑖𝑗 = 𝑐𝑜𝑣(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ) = 𝐸[(𝑦𝑖 − 𝜇𝑖 )(𝑦𝑗 − 𝜇𝑗 )]. (3.10)

di mana 𝜇𝑖 = 𝐸(𝑦𝑖 ) dan 𝜇𝑗 = 𝐸(𝑦𝑗 ). Menggunakan (3.4) dan (3.5), 𝜎𝑖𝑗 dapat dinyatakan dalam
bentuk

𝜎𝑖𝑗 = 𝑐𝑜𝑣(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ) = 𝐸(𝑦𝑖 𝑦𝑗 ) − 𝜇𝑖 𝜇𝑗 . (3.11)


Dua variabel 𝑦𝑖 dan 𝑦𝑗 dikatakan menjadi independen jika faktor- faktordensitas bersamanya
ke dalam hasil kali untuk densitas-densitas marginal bersamanya:

𝑓(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ) = 𝑓𝑖 (𝑦𝑖 )𝑓𝑗 (𝑦𝑗 ), (3.12)

di mana densitas marginal 𝑓𝑖 (𝑦𝑖 ) didefinisikan seperti



𝑓𝑖 (𝑦𝑖 ) = ∫−∞ 𝑓(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ) 𝑑𝑦𝑗 .

Dari definisi independen dalam (3.12), kita peroleh sebagai sifat berikut

1. 𝐸(𝑦𝑖 𝑦𝑗 ) = 𝐸(𝑦𝑖 )𝐸(𝑦𝑗 ) jika 𝑦𝑖 dan 𝑦𝑗 adalah independen. (3.13)


2. 𝜎𝑖𝑗 = 𝑐𝑜𝑣(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ) = 0 jika 𝑦𝑖 dan 𝑦𝑗 adalah independen (3.14)

Sifat ke dua selanjutnya dari pertama.

Dalam tipe pertama terhadap vektor random didefinisikan dalam Fasal 3.1, variabel-variabel
𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑛 khusus akan menjadi independen jika diperoleh dari variabel sampel, dan sehingga kita
akan memiliki 𝜎𝑖𝑗 = 0, untuk semua 𝑖 ≠ 𝑗. Akan tetapi, untuk variabel-variabel dalam tipe ke dua
dari vektor random, khusus kita akan memiliki 𝜎𝑖𝑗 ≠ 0 sekurang-kurangnya untuk beberapa nilai i
dan j.

Konvers dari sifat dalam (3.14) adalah tidak benar; yaitu, 𝜎𝑖𝑗 = 0 secara tidak langsung menjadi
independen. Ini diillustrasikan dalam contoh berikut.

Contoh 3.2.

Andaikan variabel random bivariate(x, y) berdistribusi uniformal pada daerah 0 ≤ 𝑥 ≤ 2, 2𝑥 − 𝑥 2 ≤


𝑦 ≤ 1 + 2𝑥 − 𝑥 2 ; lihat Gambar 3.1.

𝑦 = 1 + 2𝑥 − 𝑥 2

𝑦 = 2𝑥 − 𝑥 2

0 1 2 x

Gambar 3.1 Daerah untuk f(x, y) dalam Contoh 3.2.


Wilayah daerah diberikan dengan

2 1+2𝑥−𝑥 2
𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ = ∫0 ∫2𝑥−𝑥 2 𝑑𝑦𝑑𝑥 = 2.

Kaena itu, untuk suatu distribusi uniform di atas daerah, himpunan kita
1
𝑓(𝑥, 𝑦) = , 0 ≤ 𝑥 ≤ 2, 2𝑥 − 𝑥 2 ≤ 𝑦 ≤ 1 + 2𝑥 − 𝑥 2 ,
2

Sehingga ∫ ∫ 𝑓(𝑥, 𝑦)𝑑𝑥𝑑𝑦 = 1.

Untuk mendapatkan 𝜎𝑥𝑦 dengan menggunakan (3.11), kita memerlukan E(xy), E(x), dan E(y).
Pertama di sini diberikan dengan

2 1+2𝑥−𝑥 2 1
𝐸(𝑥𝑦) = ∫0 ∫2𝑥−𝑥 2 𝑥𝑦 ( ) 𝑑𝑦𝑑𝑥
2

2𝑥 7
= ∫0 (1 + 4𝑥 − 2𝑥 2 )𝑑𝑥 = .
4 6

Untuk mendapatkan E(x) dan E(y), pertama kita menentukan distribusi marginal dari x dan y. Untuk
𝑓1 (𝑥), kita peroleh

1+2𝑥−𝑥 2 1 1
𝑓1 (𝑥) = ∫2𝑥−𝑥2 𝑑𝑦 = , 0 ≤ 𝑥 ≤ 2.
2 2

Untuk 𝑓2 (𝑦), hasil yang berbeda untuk 0 ≤ 𝑦 ≤ 1, 𝑑𝑎𝑛 1 ≤ 𝑦 ≤ 2:

1−√1−𝑦 1 2 1
𝑓2 (𝑦) = ∫0 2
𝑑𝑥 + ∫1−√1−𝑦 2 𝑑𝑥 = 1 − √1 − 𝑦, 0≤𝑦≤1 (3.15)

1+√2−𝑦 1
𝑓2 (𝑦) = ∫1− 𝑑𝑥 = √2 − 𝑦, 1≤𝑦≤2 (3.16)
√2−𝑦 2

Jadi

2 1
𝐸(𝑥) = ∫0 𝑥 (2) 𝑑𝑥 = 1.

1 2 7
𝐸(𝑦) = ∫0 𝑦( 1 − √1 − 𝑦)𝑑𝑦 + ∫1 𝑦√2 − 𝑦 𝑑𝑦 = 6.

Sehingga dengan (3.11) diperleh

𝜎𝑥𝑦 = 𝐸(𝑥𝑦) − 𝐸(𝑥)𝐸(𝑦)

7 7
= 6 − (1) (6) = 0.

Akan tetapi, x dan y ternyata tergantung karena range dari y untuk setiap x bergantung pada nilai-
nilai x.

Seperti suatu indikasi selanjutnya dari ketergantungan y pada x, kita uji 𝐸(𝑦|𝑥), nilai
ekspektasi y dengan diberikan nilai x, yang mana dibangun seperti

𝐸(𝑦|𝑥) = ∫ 𝑦𝑓(𝑦|𝑥) 𝑑𝑦,


di mana densitas bersyarat 𝑓(𝑦|𝑥) didefinisikan seperti

𝑓(𝑥,𝑦)
𝑓(𝑦|𝑥) = .
𝑓1 (𝑥)

Dalam kasus ini,


1/2
𝑓(𝑦|𝑥) = = 1, 2𝑥 − 𝑥 2 ≤ 𝑦 ≤ 1 + 2𝑥 − 𝑥 2 .
1/2

Jadi

1+2𝑥−𝑥 2
𝑓(𝑦|𝑥) = ∫2𝑥−𝑥2 𝑦(1)𝑑𝑦

1
= (1 + 4𝑥 − 2𝑥 2) .
2

𝑦 = 1 + 2𝑥 − 𝑥 2
1
𝐸(𝑦|𝑥) = 2 (1 + 4𝑥 − 2𝑥 2)

𝑦 = 2𝑥 − 𝑥 2

0 1 2 x

Gambar 3.2 𝐸(𝑦|𝑥) dalam Contoh 3.2


1
Karena 𝐸(𝑦|𝑥) bergantung pada x, dua variabel adalah dependen. Catatan bahwa 𝐸(𝑦|𝑥) = 2 (1 +
4𝑥 − 2𝑥 2 ) adalah rata – rata dua kurva 𝑦 = 2𝑥 − 𝑥 2 dan 𝑦 = 1 + 2𝑥 − 𝑥 2 . Ini diillustrasikan dalam
Gambar 3.2.

Dalam Contoh 3.2, kita mempunyai variabel random x dan y untuk 𝜎𝑥𝑦 = 0. Dalam kasus
seperti ini, 𝜎𝑥𝑦 buka suatu hubungan ukuran yang baik. Akan tetapi, jika x dan y mempunyai suatu
distribusi normal bivariate (lihat Fasaal 4.2), maka 𝜎𝑥𝑦 = 0 secara tidak langsung x daan y
independen (lihat sifat 1 pada Teorema 4.2C). dalam kasus normal bivariate, 𝐸(𝑦|𝑥) adalah suatu
1
fungsi linier dari x (lihat Teorema 4.4D), dan kurva seperti 𝐸(𝑦|𝑥) = 2 (1 + 4𝑥 − 2𝑥 2 ) tidak terjadi.

Kovariansi 𝜎𝑖𝑗 seperti yang didefinisikan dalam (3.10) bergantung pada skala ukuran antara 𝑦𝑖
dan 𝑦𝑗 . Untuk standardisasi 𝜎𝑖𝑗 , kita membaginya dengan (hasil kali) standar deviasi dari 𝑦𝑖 dan 𝑦𝑗
untuk memperoleh korelasi
𝜎
𝜌𝑖𝑗 = 𝐶𝑜𝑟(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ) = 𝜎 𝑖𝑗
𝜎
. (3.17)
𝑖 𝑗
3.3 Veoktor Rata-Rata Dan Matriks Koarians Untuk Vektor-Vektor Random

3.3.1 Vektor Rata-Rata

Nilai ekspektasi dari suatu suatu vektor random y 𝑝 × 1 didefinisikan seperti vektor dari nilai
ekspektasi variabel random p 𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 dalam y:

𝑦1 𝐸(𝑦1 ) 𝜇1
𝑦 𝐸(𝑦2 ) 𝜇
𝐸(𝑦) = 𝐸 ( 2 ) = ( ) = ( 2) = 𝝁 (3.18)
⋮ ⋮ ⋮
𝑦𝑝 𝐸(𝑦𝑝 ) 𝜇𝑝

di mana 𝐸(𝑦) = 𝜇𝑖 diperoleh seperti 𝐸(𝑦𝑖 ) = ∫ 𝑦𝑖 𝑓𝑖 (𝑦𝑖 ) 𝑑𝑦𝑖 menggunakan 𝑓𝑖 (𝑦𝑖 ), densitas marginal
dari 𝑦𝑖 .

Jika x dan y adalah vektor random 𝑝 × 1, selanjutnya dari (3.18) bahwa nilai ekspektasi dari
jumlah mereka adalah jumlah dari nilai-nilai ekspektasi mereka:

E(x + Y) = E(x) + E(y). (3.19)

3.3.2 Matriks Kovarians


𝑝
Varians-varians 𝜎12 , 𝜎22 , … , 𝜎𝑝 dari 𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 dan kovarian 𝜎𝑖𝑗 untuk semua 𝑖 ≠ 𝑗 dengan baik
dapat ditunjukkan dalam matriks kovarians, yang berupa dengan ∑, versi besar dari 𝜎𝑖𝑗 :

𝜎11 𝜎12 … 𝜎1𝑝


𝜎21 𝜎22 … 𝜎2𝑝
∑ = 𝑐𝑜𝑣(𝑦) = ( ) (3.20)
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝜎𝑝1 𝜎𝑝2 … 𝜎𝑝𝑝

Baris ke i dari ∑ memuat varians dari 𝑦𝑖 dan kovarians dari 𝑦𝑖 dengan setiap dari nilai y yang lain.
Untuk menjadi konsiten dengan notasi 𝜎𝑖𝑗 , kita telah menggunakan 𝜎𝑖𝑖 = 𝜎𝑖2 , 𝑖 = 1,2, … , 𝑝 untuk
varians-varians. Varians- varians adalah pada diagonaldari ∑, dan kovarians menempati posisi-posis
diluar diagonal. Ada suatu perbedaan dalam suatu tempat yang digunakan untuk ∑ seperti matriks
kovarians dan ∑ seperti simbol penjumlahan. Catatan berbeda juga dalam mengartikan di antara
notasi cov(y) = ∑ dan 𝑐𝑜𝑣(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ) = 𝜎𝑖𝑗 .

Matriks kovarians ∑ adalah simetrik karena 𝜎𝑖𝑗 = 𝜎𝑗𝑖 [lihat (3.10)]. Dalam banyak aaplikasi, ∑
diasumsikan menjadi defenit posistif. Ini biasanya tetap jika nilai y adaah variabel random
kontinu dan jika tidak ada hubungan linier antara nilai y. (Jika ada hubungan linier antara nilai
y, ∑ akan menjadi semidefenit positif.) Dengan analog oleh (3.18), kita mendefinisikan nilai
ekspektasi dari suatu variabel random Z seperti matriks dari nilai-nilaai ekspektasi

𝑧11 𝑧12 … 𝑧1𝑝 𝐸(𝑧11 ) 𝐸(𝑧12 ) ⋯ 𝐸(𝑧1𝑝 )


𝑧 𝑧 … 𝑧2𝑝 𝐸(𝑧21 ) 𝐸(𝑧22 ) ⋯ 𝐸(𝑧2𝑝 )
𝐸(𝑍) = ( 21 22 )= (3.21)
⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝑧𝑝1 𝑧𝑝2 ⋯ 𝑧𝑝𝑝 𝐸(𝑧 𝐸(𝑧 ⋯ 𝐸(𝑧
( 𝑝1 ) 𝑝2 ) 𝑝𝑝 ) )

Kita dapat nyatakan ∑ daalam (3.20) seperti nilai yang diekspektasi dari suatu matriks random.
Dengan elemen ke (ij) dari matriks 𝑦 − 𝜇)(𝑦 − 𝜇)′ adalah (𝑦𝑖 − 𝜇𝑖 )(𝑦𝑗 − 𝜇𝑗 ). Jadi, dengan (3.10)
dan (3.21), elemen ke (ij) dari 𝐸[(𝑦 − 𝜇)(𝑦 − 𝜇)′ ] adalah 𝐸[(𝑦𝑖 − 𝜇𝑖 )(𝑦𝑗 − 𝜇𝑗 )] = 𝜎𝑖𝑗 . Karea itu
𝜎11 𝜎12 … 𝜎1𝑝
𝜎 𝜎22 … 𝜎2𝑝
𝐸[(𝑦 − 𝜇)(𝑦 − 𝜇)′ ] = ( 21 )=∑ (3.22)
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝜎𝑝1 𝜎𝑝2 … 𝜎𝑝𝑝

Kita illustrasikan (3.22) untuk p = 3

∑ = 𝐸[(𝑦 − 𝜇)(𝑦 − 𝜇)′ ]


𝑦1 − 𝜇1
= 𝐸 [(𝑦2 − 𝜇2 ) (𝑦1 − 𝜇1, 𝑦2 − 𝜇2 , 𝑦3 − 𝜇3 )]
𝑦3 − 𝜇3

(𝑦1 − 𝜇1 )2 (𝑦1 − 𝜇1 )(𝑦2 − 𝜇2 ) (𝑦1 − 𝜇1 )(𝑦3 − 𝜇3 )


= 𝐸 [ (𝑦2 − 𝜇2) (𝑦1 − 𝜇1 ) (𝑦2 − 𝜇2 )2 (𝑦2 − 𝜇2 )(𝑦3 − 𝜇3 )]
(𝑦3 − 𝜇3 )(𝑦1 − 𝜇1 ) (𝑦3 − 𝜇3 )(𝑦2 − 𝜇2 ) (𝑦3 − 𝜇3 )2

𝐸(𝑦1 − 𝜇1 )2 𝐸[(𝑦1 − 𝜇1 )(𝑦2 − 𝜇2 )] 𝐸[(𝑦1 − 𝜇1 )(𝑦3 − 𝜇3 )]


= [ 𝐸[(𝑦2 − 𝜇2) (𝑦1 − 𝜇1 )} 𝐸(𝑦2 − 𝜇2 )2 𝐸[(𝑦2 − 𝜇2 )(𝑦3 − 𝜇3 )]]
𝐸[(𝑦3 − 𝜇3 )(𝑦1 − 𝜇1 )} 𝐸[(𝑦3 − 𝜇3 )(𝑦2 − 𝜇2 )] 𝐸(𝑦3 − 𝜇3 )2

𝜎12 𝜎12 𝜎13


= (𝜎21 𝜎22 𝜎23 )
𝜎31 𝜎32 𝜎32

Kita dapat tulis (3.22) dalam bentuk

∑ = 𝑬[(𝒚 − 𝝁)(𝒚 − 𝝁)′ ] = 𝑬(𝒚𝒚′ ) − 𝝁𝝁′ (3.23)

Yang secara analogous dengan (3.8) dan (3.11)

3.3.3 Generalized Variance (Variansi Yang Disamakan)

Suatu ukuran variabilitas secara keseluruhan dalam populasi dari nilai y apat didefinisikan
seperti determinan dari ∑:

Generalized variance =|∑|. (3.24)

Jika |∑| adalah kecil, nilai y dikonsentrasikan pada 𝝻 dari pada jika |∑| adalah besar. Suatu nilai
kecil dari |∑| bisa juga mengindikasikan bahwa variabel-variabel 𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 dalam y adalah
saling berkorelasi tinggi, yang mana nilai y cenderung untuk mengisi suatu subruang dari
dimensi p [ini berkoresponden dengan satu atau nlebih nilai eigen kecil; lihat Rencher
(1998,Fasaal 2.1.3)].

3.3.4 Standarszed Distance (Jarak Yang Distandardisasi)

Untuk memperoleh suatu mafaat dari ukuran jarak antara y dan 𝝻, kita perlu mengambil ke
dalam laporan varians dan kovarians dari nilai y dalam y. Dengan cara yang sama pada variabel
yang distandardisasi univariate (y – 𝝻)/𝜎 yang mempunyai rata- rata 0 dan variansi 1, jarak
yang distandardisasi didefinisikan seperti

𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟𝑑𝑖𝑧𝑒𝑑 𝑑𝑖𝑠𝑡𝑎𝑛𝑐𝑒 = (𝑦 − 𝜇)∑−1 (𝑦 − 𝜇)−1 . (3.25)


Menggunakan ∑−1 dari yang distandardisasi (transformasi) nilai y sehingga mereka
mempunyai rata-rata yang sama dengan 0 dan variansi sama dengan 1 dan juga tidak
berkorelasi (lihat soal 3.11). Suatu jarak seperti (3.25) sering di katakan suatu jarak
Mahalanobis (Mahalanobis, 1936).

3.4 Matriks – Matriks Korelasi

Dengan cara yang sama terhadap ∑ dala (3.20), matriks korelasi didefinisikan seperti

1 𝜌12 … 𝜌1𝑝
𝜌21 1 … 𝜌2𝑝
𝑃𝜌 = (𝜌𝑖𝑗 ) = ( ) (3.26)
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝜌𝑝1 𝜌𝑝2 … 1

di mana 𝜌𝑖𝑗 = 𝜎𝑖𝑗 /𝜎𝑖 𝜎𝑗 adalah korelasi dari 𝑦𝑖 dan 𝑦𝑗 yang didefinisikan dalam (3.17). Baris ke
dua dari 𝑃𝜌 , ontohnya, memuat korelasi dari 𝑦2 dengan setiap nilai y yang lain. Kita gunakan 𝜌 di
bawah garis dalam 𝑃𝜌 untuk menegaskan bahwa P adalah versi besar dari 𝜌.

Jika kita mndefinisikan

𝐷𝜎 = √𝑑𝑖𝑎𝑔(∑) = 𝑑𝑖𝑎𝑔(𝜎1 , 𝜎2 , … , 𝜎𝑝 ), (3.27)

maka dengan (2.31), dapat kita peroleh 𝑃𝜌 dan ∑ dan mempunyai sifat:

𝑃𝜌 = 𝐷𝜎−1 ∑𝐷𝜎−1, (3.28)

∑ = 𝐷𝜎 𝑃𝜌 𝐷𝜎 (3.29)

3.5 Vektor Rata-Rata dan Matriks Kovarians Untuk Vektor Random Yang Dipartisi

Andaikan bahwa vektor random v yang dipartisi ke dalam dua subset dari variabel-variabel,
yang berupa dengan y dan x:
𝑦1

𝑦 𝑦𝑝
𝑣=( )=
𝑥 𝑥1

(𝑥𝑞 )

Jadi ada p + q variabel random dalam v.

Vektor rata-rata dan matriks kovarians untuk v yang dipartisi seperti di ata dapat
dinytakan dalam bentuk sebagai berikut:

𝑦 𝐸(𝑦) 𝜇𝑦
𝜇 = 𝐸(𝑣) = 𝐸 ( ) = ( ) = (𝜇 ), (3.30)
𝑥 𝐸(𝑥) 𝑥

𝑦 ∑𝑦𝑦 ∑𝑦𝑥
∑ = 𝑐𝑜𝑣(𝑣) = 𝑐𝑜𝑣 ( ) = ( ), (3.31)
𝑥 ∑𝑥𝑦 ∑𝑥𝑥

di mana ∑𝑥𝑦 = ∑′𝑦𝑥 . Dalam (3.30), submatriks 𝜇𝑦 = [𝐸(𝑦1 ), 𝐸(𝑦2 ), … , 𝐸(𝑦𝑝 )]′ memuat rata – rata
dari 𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 . Dengan cara yang sama 𝜇𝑥 memuat rata-rata dari nilai x. Dalam (3.31).
submatriks ∑𝑦𝑦 = 𝑐𝑜𝑣(𝑦) adalah matriks kovarians 𝑝 × 𝑝 untuk y memuat varians dari
𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 pada diagonal dan kovarians daari setiap 𝑦𝑖 , dengan setiap 𝑦𝑗 (𝑖≠𝑗) diluar diagonal:

𝜎𝑦21 𝜎𝑦12 … 𝜎𝑦1𝑝


𝜎𝑦21 𝑦𝑦22 … 𝜎𝑦2𝑝
∑𝑦𝑦 = .
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝜎𝑦𝑝1 𝜎𝑦𝑝2 … 𝜎𝑝2
( )

Dengan cara yang sama, ∑𝑥𝑥 = 𝑐𝑜𝑣(𝑥) adalah matriks kovarians 𝑞 × 𝑞 dari 𝑥1 , 𝑥2 , … , 𝑥𝑞 . Matriks
∑𝑦𝑥 dalam (3.31) adalah 𝑝 × 𝑞 dan memuat kovarians dari setiap 𝑦𝑖 dengan setiap 𝑥𝑗 :

𝜎𝑦1 𝑥1 𝜎𝑦1 𝑥2 … 𝜎𝑦1 𝑥𝑞


𝜎𝑦 𝑥 𝜎𝑦2 𝑥2 … 𝜎𝑦2 𝑥𝑝
∑𝑦𝑥 =( 2 1 ).
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝜎𝑦𝑝 𝑥1 𝜎𝑦𝑝 𝑥2 … 𝜎𝑦𝑝 𝑥𝑞

Jadi ∑𝑦𝑥 adalah empat pesegi panjang, kecuali kaalau p = q. Matriks kovarians ∑𝑦𝑥 juga adalah
berupa cov(y, x) dan dapat diberoleh seperti

∑𝑦𝑥 = 𝑐𝑜𝑣(𝑦, 𝑥) = 𝐸[(𝑦 − 𝜇𝑦 )(𝑥 − 𝜇𝑥 )′ ]. (3.32)

𝑦
Catatan bahwa perbedaan dalam mengartikan antara 𝑐𝑜𝑣 ( ) dalam (3.31) dan 𝑐𝑜𝑣(𝑦, 𝑥) = ∑𝑦𝑥
𝑥
dalam (3.32). Kita telah menggunakan tiga cara notasi kovarians: (1) 𝐶𝑜𝑣(𝑦𝑖 , 𝑦𝑗 ), (2) 𝑐𝑜𝑣(𝑦),
dan (3) 𝑐𝑜𝑣(𝑦, 𝑥). Pertama dari ini adalah suatu skalar, ke dua adalah suatu matrik simetrik
(biasanya defenit positif), dan ke tiga ialah suatu matriks empat persegi panjang.

3.6 Fungsi-Fungsi Linier dari vektor-Vektor Random

Kita sering menggunakan kombinasi linier dari variabel-variabel 𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 dari suatu vektor
random y. Misalkan 𝒂 = (𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑝 )′ merupakan suatu vektor konstanta. Maka dengan suatu
pernyataan (2.16) sebelumnya, kombinasi linier menggunakan nilai a seperti koefisien yang
dapat ditulis

𝑧 = 𝑎1 𝑦1 + 𝑎2 𝑦2 +, … + 𝑎𝑝 𝑦𝑝 = 𝒂′𝒚 (3.33)

Kita anggap rata-rata, varians, dan kovarians yang sperti kombinasi lininer dalam Fasal 3.1 dan
3.6.2.

3.61 Means (Rata-Rata)

Karena y adalah suatu vektor random, kombinasi linier z = a’y adalah suatu variabel
(univariate). Rata-rata dari a’y diberikan dalam teorema berikut.

Teorema 3.6A.

Jika a adalah suatu vektor 𝑝 × 1 dari konstanta dan y adalah suatu vektor random 𝑝 × 1 dengan
vektor rata-rata 𝝻, maka rata-rata z = a’y diberikan dengan

𝜇𝑧 = 𝐸(𝒂′ 𝒚) = 𝒂′ 𝐸(𝒚) = 𝒂′𝝁 (3.34)


Bukti.

Dengan menggunakan (3.4), (3.5), dan (3.33), kita peroleh

𝐸(𝒂′ 𝒚) = 𝐸(𝑎1 𝑦1 + 𝑎2 𝑦2 +, … + 𝑎𝑝 𝑦𝑝 )

= 𝐸(𝑎1 𝑦1 ) + 𝐸(𝑎2 𝑦2 )+, … + 𝐸(𝑎𝑝 𝑦𝑝 )

= 𝑎1 𝐸(𝑦1 ) + 𝑎2 𝐸(𝑦2 )+, … + 𝑎𝑝 𝐸( 𝑦𝑝 )

𝐸(𝑦1 )
𝐸(𝑦2 )
= (𝑎1 , 𝑎2 , … , 𝑎𝑝 ) ( )

𝐸(𝑦𝑝 )

= a’E(y) = a’𝝻. Terbukti

Agar kita memiliki beberapa kombinasi linier dari y dengan koefisien-koefisien konstant

𝑧1 = 𝑎11 𝑦1 + 𝑎12 𝑦2 +, … + 𝑎1𝑝 𝑦𝑝 = 𝒂′𝟏 𝒚

𝑧2 = 𝑎21 𝑦1 + 𝑎22 𝑦2 +, … + 𝑎2𝑝 𝑦𝑝 = 𝒂′𝟐 𝒚

⋮ ⋮

𝑧𝑘 = 𝑎𝑘1 𝑦1 + 𝑎𝑘2 𝑦2 +, … + 𝑎𝑘𝑝 𝑦𝑝 = 𝒂′𝒌 𝒚

di mana 𝒂′𝒊 = (𝑎𝑖1 , 𝑎𝑖2 , … , 𝑎𝑖𝑝 ) dan 𝒚 = (𝑦1 , 𝑦2 , … , 𝑦𝑝 )′ . Ada k fungsi-fungsi linier dapat ditulis
dalam bentuk

z = Ay (3.35)

di mana

𝑧1 𝑎1′ 𝑎11 𝑎12 … 𝑎1𝑝


𝑧2 𝑎2′ 𝑎21 𝑎22 … 𝑎2𝑝
𝑧 = ( ), 𝐴=( )=( )
⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝑧𝑘 𝑎𝑘′ 𝑎𝑘1 𝑎𝑘2 … 𝑎𝑘𝑝

Anda mungkin juga menyukai