Anda di halaman 1dari 7

PROSIDING HIMPUNAN AHLI GEOFISIKA INDONESIA

Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-25, Bandung 3 - 4 Oktober 2000

CITRA TAHANAN-JENIS DAERAH VOLKANIK BANDUNG SELATAN


BERDASARKAN DATA MAGNETOTELLURIK FREKUENSI AUDIO (AMT)

Hendra Grandis 1), Djedi S. Widarto 2), Nugroho D. Hananto 1,2)


1)
Jurusan Geofisika dan Meteorologi - ITB
2)
Puslitbang Geoteknologi - LIPI

Abstrak
Survey magnetotellurik frekuensi audio (AMT) dengan jangkauan frekuensi 17.4 kHz sampai 4.2 Hz dilakukan
untuk pencitraan tahanan-jenis bawah-permukaan di daerah volkanik Cimanggu, Bandung selatan. Data dari 19
titik pengukuran dianalisa melalui pemodelan inversi MT 1-D dan 2-D yang menerapkan kendala kehalusan
model (smoothness constraint). Hasil inversi 1-D dan 2-D menunjukkan citra tahanan-jenis bawah-permukaan
yang tidak terlalu jauh berbeda dan berkorelasi baik dengan kondisi geologi permukaan setempat.

Abstract
Audio-frequency magnetotelluric (AMT) survey, in the frequency range of 17.4 kHz to 4.2 Hz, was carried out
to image subsurface electrical resistivity structure beneath the Cimanggu volcanic area in southern Bandung.
Data from 19 sites were analyzed using 1-D and 2-D MT inversion modelling employing smoothness constraint.
The results show that subsurface resistivity images both from 1-D and 2-D models are fairly identical and
correlate well with the actual surface geological condition.

Pendahuluan

Daerah Cimanggu di wilayah Bandung selatan, sekitar 30 km baratdaya Bandung, didominasi oleh
perbukitan volkanik Kuarter dengan beberapa kerucut gunungapi seperti misalnya G. Patuha. Beberapa
kenampakan panasbumi permukaan seperti kolam air panas (hot pool), kolam lumpur panas (hot-mud pool) dan
mata-air panas (hot spring) dijumpai di kaki perbukitan, seperti yang terlihat di Cimanggu dan sekitarnya.
Kenampakan panasbumi permukaan ini diduga berkaitan erat dengan sisa aktivitas volkanik tua maupun dengan
kegiatan volkanik muda seperti G. Patuha. Kenampakan geologi lain yang dapat diamati di sekitar jalur
Cimanggu-Rancabali adalah ditemukannya singkapan batuan volkanik andesitik yang berongga.

Makalah ini membahas pemodelan data magnetotellurik frekuensi audio (AMT) yang diukur pada suatu
lintasan yang melalui mata-air panas Cimanggu. Metoda inversi MT 1-D dan 2-D yang digunakan menerapkan
kendala kehalusan model (smoothness constraint) sehingga variasi spasial tahanan-jenis dibuat seminimum
mungkin. Metoda inversi MT 1-D didasarkan pada pendekatan inferensi Bayes dengan menggunakan algoritma
rantai Markov untuk menghitung probabilitas model posterior (Grandis dkk., 1999), sedangkan metoda inversi
2-D menerapkan kriteria informasi Akaike-Bayes (ABIC) yang dikembangkan oleh Uchida (1993). Secara
umum, penampang tahanan-jenis hasil korelasi model 1-D di bawah setiap titik pengamatan dan penampang
tanahan-jenis hasil inversi 2-D menunjukkan kemiripan. Perbedaan struktur tahanan-jenis secara lokal
merupakan akibat pengabaian efek struktur multi-dimensi (2-D atau 3-D) namun tidak terlalu berpengaruh
terhadap hasil interpretasi.

Data Lapangan

Data AMT didapatkan dari 19 titik pengamatan yang membentuk satu lintasan baratdaya-timurlaut di
anatar G. Tikukur dengan G. Patuha. Jarak rata-rata antar titik ukur adalah sekitar 150-200 m dengan panjang
lintasan sekitar 3800 m (gambar 1). Pengukuran menggunakan AMT 4-Channel Receiver System Model JCR-
103 buatan Japan Crust Research Co. yang merekam secara simultan komponen ortogonal medan magnet dan
listrik pada kisaran frekuensi 17.4 kHz – 4.2 Hz. Dua pasang elektrode tembaga masing-masing sepanjang 30
cm digunakan sebagai sensor medan listrik, dipasang dengan spasi antara 20 sampai 40 meter. Dua pasang
sensor medan magnetik horisontal adalah berupa koil induksi. Filter Notch digunakan untuk menghilangkan
pengaruh frekuensi tegangan listrik 50 Hz. Empat komponen medan magnet dan listrik (Hx, Hy, Ex, dan Ey)
tersebut diukur secara simultan pada 13 frekuensi berbeda, yakni 17.4 kHz, 8700 Hz, 4300 Hz, 2100 Hz, 1000
Hz, 545 Hz, 272 Hz, 136 Hz, 68 Hz, 34 Hz, 17 Hz, 8.5 Hz, dan 4.2 Hz. Harga tahanan-jenis semu dan fasa
didapatkan langsung pada saat pengukuran, sehingga kualitas data dapat dikontrol selama pekerjaan lapangan
berlangsung. Untuk mendapatkan data dengan kualitas cukup baik pada seluruh frekuensi dan untuk satu titik
pengamatan dibutuhkan waktu rata-rata 1 jam 30 menit.

Dalam makalah ini, hanya data tahanan-jenis semu dan fasa invarian yang digunakan dalam pemodelan
inversi. Parameter invarian yang tidak dipengaruhi oleh orientasi koordinat pengukuran ditentukan berdasarkan
harga determinan dari tensor impedansi. Secara praktis dapat dikatakan bahwa harga invarian tersebut
merupakan reduksi dari dua harga tahanan-jenis dan dua harga fasa (TE- dan TM-mode) menjadi satu tahanan-
jenis dan satu fasa yang memberikan gambaran umum mengenai distribusi tahanan-jenis bawah-permukaan
(Ranganayaki, 1984). Hubungan antara data tahanan-jenis semu dan fasa invarian terhadap frekuensi untuk
seluruh titik ukur digambarkan dalam bentuk penampang tahanan-jenis semu (pseudosection) seperti ditunjukkan
pada gambar 2. Penampang tahanan-jenis semu ini dapat digunakan untuk interpretasi kualitatif keadaan bawah-
permukaan sepanjang lintasan pengukuran.

Metoda Inversi MT 1-D

Umumnya inversi data MT 1-D dilakukan melalui pendekatan linier meskipun hubungan antara data
dengan parameter model sangat tidak linier. Parameter model adalah tahanan-jenis dan ketebalan lapisan,
sedangkan jumlah lapisan ditentukan secara "a priori" berdasarkan pola kurva sounding MT. Hasil inversi
sangat bergantung pada pemilihan model awal dan dapat konvergen ke solusi yang tidak optimum sehingga
pendekatan linier dianggap kurang memadai (Pedersen & Rasmussen, 1989). Permasalahan inversi MT 1-D
dapat diformulasikan dalam kerangka inferensi Bayes serta diselesaikan secara non-linier dengan menggunakan
algoritma stokastik untuk menghitung probabilitas model posterior (Tarits dkk., 1994). Metoda inversi data MT
1-D menggunakan metoda Monte Carlo Markov Chain (MCMC) dibahas oleh Grandis dkk. (1999) yang secara
singkat dideskripsikan pada beberapa paragraf berikut.

Diasumsikan bumi terdiri dari N lapisan "tipis" dengan ketebalan lapisan membesar sesuai dengan
kedalaman untuk mengakomodasi berkurangnya resolusi terhadap kedalaman. Dalam inversi, ketebalan lapisan
dibuat tetap sehingga parameter model yang dicari adalah tahanan-jenis tiap lapisan. Dengan jumlah lapisan
yang cukup besar maka variasi tahanan-jenis terhadap kedalaman tercermin pada perubahan tahanan-jenis dari
satu lapisan ke lapisan lainnya. Pada setiap iterasi, tahanan-jenis semua lapisan dibuat tetap, kecuali lapisan ke-j
yang tahanan-jenisnya akan ditentukan / dimodifikasi. Harga tahanan-jenis untuk lapisan ke-j dipilih dari
sejumlah M harga tahanan-jenis antara 1 - 10000 Ohm.m yang didiskretisasi secara homogen dalam skala
logaritmik (umumnya digunakan 20 harga tahanan-jenis tiap dekade sehingga M = 81).

Probabilitas setiap harga tahanan-jenis yang mungkin untuk lapisan ke-j tersebut dihitung menggunakan
persamaan berikut

1  1 ND
 d i  f i (m j  k ) 
2

p( k ) 
Z
exp  
 2  
 i
   (log m j  log m j 1 )  ; k = 1,2, …, M
 
(1)
 i 1

dimana d,  dan ND masing masing adalah data, standar deviasi dan jumlah data, f(k) menyatakan fungsi
forward modelling MT 1-D dengan tahanan-jenis lapisan ke-j (mj) berharga k dan Z adalah konstanta
normalisasi. Tahanan-jenis lapisan ke-j dipilih secara acak dari k yang telah diberi bobot p(k) (k = 1,2, …, M)
sehingga tahanan-jenis yang menghasilkan misfit minimum dan tidak jauh berbeda dengan tahanan-jenis lapisan
di bawahnya (mj+1) memiliki peluang yang besar untuk dipilih. Faktor  menentukan perimbangan antara
minimisasi misfit dan minimisasi kekasaran (roughness) model yang akan menentukan model yang akan dipilih.
Semakin besar maka akan dihasilkan model dengan variasi tahanan-jenis dari satu lapisan ke lapisan lain tidak
terlalu besar (smooth). Dalam hal ini dipilih setelah melalui proses coba-coba dan besarnya berkisar antara 1.0
sampai 3.0 bergantung pada kualitas data dan validitas asumsi 1-D.

Iterasi dimulai dengan model setengah-ruang homogen dan model-model yang diperoleh dengan
algoritma di atas membentuk rantai Markov dengan probabilitas invarian konvergen ke probabilitas model
posterior. Untuk setiap iterasi, perhitungan forward modelling pada persamaan (1) harus dilakukan M kali
dengan konfigurasi tahanan-jenis lapisan yang sama kecuali lapisan ke-j. Perhitungan tersebut membutuhkan
waktu yang cukup lama jika jumlah lapisan (N) dan jumlah data (ND) cukup besar. Alternatif algoritma forward
modelling MT 1-D yang dapat mempercepat proses iterasi tersebut telah dibahas oleh Grandis (1999). Dengan
menggunakan hubungan rekursif medan elektromagnetik (EM) di permukaan dua lapisan yang berurutan, medan
EM di permukaan bumi yang terdiri dari N lapisan dapat ditulis sebagai berikut
~
 E1  N 1
 EN   1  exp ( 2k j h j ) Z I , j (1  exp ( 2k j h j )) 
 ~ 
H   T j   , T j   1  (2)
 1 j 1  HN   Z I , j (1  exp (2k j h j )) 1  exp ( 2k j h j ) 

dimana T j dan Z I , j masing-masing adalah matriks transfer dan impedansi intrinsik lapisan ke-j yang
merupakan fungsi dari tahanan-jenis (  j ) dan ketebalan ( h j ) lapisan tersebut dan k j  Z I , j  j 1 . Dalam hal ini,
~ ~ ~ ~
E1  E1 , H 1  H 1 jika N ganjil dan E1  2 exp ( k1 h1 ) E1 , H 1  2 exp (  k1 h1 ) H 1 jika N genap, namun perbedaan
tersebut tidak perlu diperhitungkan karena hasil akhir yang diperlukan adalah impedansi, yaitu hasil bagi antara
medan listrik dan medan magnetik. Hasil perkalian N-1 matriks T j (2×2) adalah matriks S (2×2) sehingga
impedansi di permukaan lapisan pertama (permukaan bumi) adalah
~
E E s E s H s Z s
Z 1  1  ~1 , Z 1  11 N 12 N  11 I , N 12 (3)
H1 H1 s 21 E N  s22 H N s21 Z I , N  s 22

Pada persamaan (1) hanya tahanan-jenis lapisan ke-j yang diubah-ubah sehingga persamaan (2) dapat
ditulis sebagai berikut
~
 E1  j 1 N 1
 EN   EN 
 ~  
H   Ti  T j   T k 
 HN
  S   T j  S 


 HN


(4)
 1 i  1 k  j 1
_
+
dimana hasil perkalian matriks transfer lapisan lain di atas dan di bawah lapisan ke-j (S dan S ) cukup dihitung
satu kali yang dapat mempercepat perhitungan pada setiap iterasi. Sebagai gambaran, penggunaan algoritma
standar pada inversi data dengan ND = 50, NL = 50 dan M = 81 diperlukan waktu lebih dari 30 menit sedangkan
algoritma alternatif hanya memerlukan waktu kurang dari 5 menit pada komputer Pentium III 550 Hz.

Metoda Inversi MT 2-D

Uchida (1993) mengemukakan metoda inversi data MT 2-D yang pada dasarnya meminimumkan fungsi
obyektif berikut
2 2
U  W d  F( m )  2 C m (5)
dimana W adalah matriks pembobot, d adalah vektor data dan F(m) adalah fungsi forward modelling MT 2-D
yang memetakan vektor model m menjadi data teoritis. Matriks C pada persamaan (5) menyatakan kekasaran
(roughness) model sehingga minimisasi U akan menghasilkan model yang halus, yaitu model dengan variasi
spasial tahanan-jenis minimum. Dalam hal ini perhitungan forward modelling MT 2-D dilakukan dengan
menggunakan metode elemen hingga. F(m) adalah fungsi non-linier sehingga digunakan pendekatan linier dan
solusi diperoleh melalui perturbasi suatu model awal secara iteratif. Model pada iterasi ke k+1 diperoleh dari


m k 1  A W A   2 C
T T

1
A W  d  F( m k )  A m k
T
 (6)

dimana A adalah matriks Jacobi yang menyatakan turunan parsial respons MT terhadap setiap parameter model.
Faktor  identik dengan faktor  pada persamaan (1) sehingga disebut sebagai faktor penghalusan (smoothing).
Dalam hal ini pemilihan  optimum dilakukan melalui perhitungan parameter yang disebut ABIC (Akaike
Bayesian Information Criterion). Parameter ABIC dihitung untuk beberapa  yang berbeda, kemudian dipilih
 yang menghasilkan ABIC minimum dan digunakan untuk menghitung persamaan (6). Perhitungan ABIC
membutuhkan penyelesaian forward modelling MT 2-D sehingga penerapan metoda inversi ini secara
keseluruhan memerlukan waktu yang cukup lama (Uchida, 1993).

"Smoothness constraint" sebagaimana diterapkan pada inversi 1-D dan 2-D di atas diperlukan untuk
menstabilkan proses inversi matriks yang bersifat "ill-condition". Disamping itu ketidak-stabilan inversi juga
merupakan akibat jumlah parameter model yang lebih besar dari pada jumlah data (under-determined) dan
adanya masalah ekivalensi yang inheran dalam metoda geo-elektrik (Fischer & LeQuang, 1982; Constable dkk.,
1987; Smith & Booker, 1988).

Hasil dan Pembahasan

Penampang tahanan-jenis yang diperoleh dari hasil inversi 1-D dan 2-D diperlihatkan pada gambar 3. Korelasi
antara model 1-D pada tiap titik pengukuran dalam satu lintasan dilakukan dengan membuat kontur tahanan jenis
(gambar 3) sedangkan hasil inversi 2-D ditampilkan dalam bentuk tahanan-jenis blok-blok elemen
hingga(gambar 4). Pembahasan terutama didasarkan pada hasil inversi 2-D dengan kenampakan utama sebagai
berikut.
1. Anomali konduktif (< 10 Ohm.m) di bawah titik 3, 4 dan 5 pada kedalaman 200 m sampai 600 m. Anomali
tahanan-jenis rendah ini diduga berhubungan dengan aliran air panas (hidrotermal) dari Kawah Putih menuju
ke arah utara melalui produk gunungapi muda yang belum terpadatkan.
2. Anomali tahanan-jenis tinggi (3000-10000 Ohm.m) di bawah titik 7 sampai titik 12 pada kedalaman 150 m
hingga 1600 m dari permukaan yang diduga merupakan terobosan andesit atau dasit.
3. Anomali tahanan-jenis tinggi (3000-10000 Ohm) di bagian barat lintasan pada kedalaman 50 m hingga 1000
m. Anomali ini diduga berkaitan dengan aliran lava sebagai hasil kegiatan volkanik Kuarter di Pegunungan
Selatan Jawa Barat.
4. Lapisan dengan tahanan-jenis rendah sampai sedang (30-100 Ohm.m) diperkirakan merupakan zona
penyimpan air bawah-permukaan atau akuifer.

Secara umum kenampakan utama tersebut di atas dapat pula diidentifikasi pada penampang tahanan-jenis hasil
inversi 1-D (gambar 3), kecuali pada beberapa lokasi terutama di ujung-ujung lintasan. Hal tersebut
kemungkinan merupakan akibat efek tepi (edge effect) yang tidak diperhitungkan pada pemodelan 1-D.
Perbedaan lain timbul akibat efek penghalusan pada pembuatan kontur tahanan-jenis hasil inversi 1-D.
Kesimpulan

Data MT pada frekuensi audio telah dapat mencitrakan distribusi tahanan-jenis bawah-permukaan yang dapat
menjelaskan kondisi geologi setempat. Metoda inversi 1-D yang diterapkan pada data AMT tersebut
menghasilkan penampang tahanan-jenis yang mirip dengan hasil inversi menggunakan model 2-D, kecuali pada
beberapa bagian yang tidak berpengaruh pada interpretasi. Hal tersebut dimungkinkan karena inversi 1-D
diterapkan pada data yang memenuhi kriteria 1-D atau faktor pemilihan tipe data MT yang representatif
(invarian). Metoda inversi 1-D dapat memberikan informasi mengenai struktur tahanan-jenis daerah survey
secara relatif mudah dan cepat sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai petunjuk untuk kelanjutan survey atau
interpretasi menggunakan model-model yang lebih kompleks (2-D atau 3-D). Untuk keperluan studi yang lebih
teliti dan kuantitatif tetap diperlukan inversi 2-D.

Daftar Pustaka
Constable, S.C., Parker, R.L., Constable, C.G., 1987, Occam's inversion, A practical algorithm for generating
smooth models from electromagnetic sounding data, Geophysics, 52, 289 - 300.
Fischer, G., Le Quang, B.V., 1982, Parameter trade-off in one-dimensional magnetotelluric modelling, Journal
of Geophysics, 51, 206 - 215.
Grandis, H., 1999, An alternative algorithm for one-dimensional magnetotelluric response calculation, Computer
and Geosciences, 25, 119 - 125.
Grandis, H., Menvielle, M., Roussignol, M., 1999, Bayesian inversion with Markov chains-I.: The
magnetotelluric one-dimensional case, Geophysical Journal International, 138, 757 - 768.
Pedersen, L.B., Rasmussen, T.M., 1989, Inversion of magnetotelluric data : a non-linear least-squares approach,
Geophysical Prospecting, 37, 669 - 695.
Rangayanaki, R.P., 1984, An Interpreting Analysis of Magnetotelluric Data, Geophysics, 49, 1730-1748.
Smith, J.T., Booker, J.R., 1988, Magnetotelluric inversion for minimum structures, Geophysics, 53, 1565 - 1576.
Tarits, P., Jouanne, V., Menvielle, M., Roussignol, M., 1994, Bayesian statistics of non-linear inverse problems:
example of the magnetotelluric 1-D inverse problem, Geophysical Journal International, 119, 353 -
368.
Uchida, T., 1993, Smooth 2-D inversion of magnetotelluric data based on statistical criterion ABIC, Journal of
Geomagnetism & Geoelectricity, 45, 841 - 858.
N
Bandung
Study area

Gambar 1. Peta lokasi titik pengukuran data magnetotellurik frekuensi audio (AMT) di daerah Cimanggu,
Bandung selatan.
1

cm 12
cm _13
cm 14
15

9
_0

_0

_0

_0

_0

_0

_0

_0

_0

_1

_1

_1

_1

_1

_1
3000
g_

g_
g_
g

g
cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

cm

2000

1000
4 500
LOG FREQUENCY (Hz)

400

300
3
200

100
2 70

50

30
1
20

0 5 10 15 20 25 30 35 40 10
App. Resisitivity
DISTANCE (x 100 m) (Ohm.m)

Gambar 2. Penampang tahanan-jenis semu (pseudosection) dari data sounding AMT.


5000

3000

2000

15 1000
ELEVATION (x 100 m)

500

300
10
200

100

5 50

30

20
0 10

5
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Resisitivity
DISTANCE (x 100 m) (Ohm.m)

Gambar 3. Penampang tahanan-jenis hasil inversi 1-D.

Cimanggu
Cimanggu hot spring
Spa Ciwalini hot spring

ENE WSW
Cm g - 01

ESE WN W
Cm g - 05

Cm g - 06

Cm g - 07

Cm g - 08

Cm g - 09

Cm g - 10

Cm g - 11

Cm g - 12
Cm g - 13
Cm g -02

Cm g -04

Cm g -14
Cm g -03

Cm g -15

Cm g -16

Cm g -17

Cm g -18

Cm g - 18
E L EV A TIO N [ x 10 0 m ]

RE FE R EN CE
15
0 [ohm-m]
3
10 10
30
100
5 300
1000
3000
0 10000

0 5 10 15 20 25 30 35
D ISTAN CE [x 100 m]

Gambar 4. Penampang tahanan-jenis hasil inversi 2-D.

Anda mungkin juga menyukai