Anda di halaman 1dari 29

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Usia : 44 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
: Nali Rt 08 Rw 09 Plumbon Kec. Suruh,
Alamat
Semarang
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk RS : 23 Desember 2019
No. RM : 13-14-249365

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh terdapat benjolan pada anus disertai nyeri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Salatiga dengan keluhan
terdapat benjolan disekitar anus sejak > 2 minggu SMRS. Benjolan
menetap, tidak dapat dimasukkan dengan didorong menggunakan jari.
Keluhan disertai nyeri disekitar benjolan. Nyeri dirasakan terus menerus
dan tidak menjalar, serta bertambah nyeri terutama ketika buang air besar.
Pasien juga mengeluh tidak nyaman dengan posisi duduk, lebih nyaman
dengan posisi berbaring. Pasien juga mengeluh pernah satu kali keluar
darah ketika buang air besar. Darah yang keluar berwarna merah agak
gelap, tidak terlalu kental, banyaknya < ½ gelas belimbing. Keluhan
lemas, demam, mual, muntah, nyeri perut dan keluhan pada buang air
kecil disangkal oleh pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan serupa sekitar 1 tahun yang lalu.
Namun dahulu benjolannya hanya muncul ketika pasien sedang buang air
besar dan dapat dimasukkan dengan didorong menggunakan jari.

1
Kemudian pasien berobat ke dokter umum, dan keluhan membaik. Pasien
memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. Riwayat diabetes
melitus, asma, penyakit jantung, penyakit paru-paru, penyakit ginjal,
riwayat alergi makanan dan obat disangkal oleh pasien. Pasien belum
pernah menjalani operasi sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama
seperti pasien. Riwayat diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung,
penyakit paru, penyakit ginjal, asma, riwayat alergi makanan dan obat
dalam keluarga pasien disangkal.
5. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak lama, sekitar lebih dari
10 tahun. Dalam satu hari pasien biasa menghabiskan 1-5 batang rokok.
Dalam sehari-harinya, pasien mengaku makan teratur yaitu 3x sehari.
Kebiasaan meminum alkohol dan obat-obatan terlarang disangkal oleh
pasien.
6. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien merupakan seorang petani padi. Pasien memiliki seorang
istri yang tidak bekerja dan empat anak. Pembiayaan perawatan pasien di
rumah sakit menggunakan asuransi kesehatan.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : E4V5M6, Compos mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi : 64 x/menit
Frekuensi Nafas : 19 x/menit
Suhu : 36,6oC
4. SpO2 : 99%

2
5. Head to toe
Kepala & Leher
Bentuk wajah simetris, konjungtiva anemis (-/-),
Inspeksi
sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3/3)
Pembesaran Limfonodi (-), pembesaran tiroid (-),
Palpasi
nyeri tekan (-)
Thorax (Cor)
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
Perkusi Batas kanan : SIC II linea parasternlis dextra
Batas kiri : SIC II linea mid clavicula sinistra
Batas bawah : SIC V linea midclavicula sinistra
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular, murmur (-),
gallop (-)
Thorax (Pulmo)
Inspeksi Pelebaran vena (-), retraksi dinding dada (-), barrel
chest (-)
Palpasi Pengembangan dada simetris, taktil fremitus baik
Perkusi Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar vesikular (+/+), ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi Datar, pelebaran vena (-), spider nevi (-)
Auskultasi Peristaltik usus (+) 10 x/menit
Perkusi Timpani seluruh lapang paru, nyeri tekan (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Anal
Inspeksi Tampak hiperemi, darah (-)
Palpasi Spinchter ani menjepit dengan kuat, benjolan arah
jam 3 dan 6, konsistensi lunak, permukaan rata, nyeri
tekan (+),feses (+), darah (-), lendir (-)

3
Ekstremitas (Superior, Inferior, Dextra, Sinistra)
Inspeksi Edema (-)
Palpasi Pitting non pitting edema (-), akral hangat (+)
Tabel 1.1 Pemeriksaan Fisik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 5,21 4,5 – 11,00 ribu/ul
Eritrosit 4,30 4,50 – 6,50 juta/ul
Hemoglobin 13,3 13 – 18 g/dl
Hematokrit 36,7 40 – 52 vol%
MCV 85,4 80 – 96 fl
MCH 30,9 28 – 33 pg
MCHC 36,2 33 – 36 g/dl
Trombosit 205 150 - 450 ribu/ul
Hitung Jenis
Eosinofil % 6,8 2–4 %
Basofil % 0,8 0–1 %
Limfosit % 25,6 25 – 60 %
Monosit % 3,4 2–8 %
Netrofil % 63,4 50-70 %
PT 15,2 11-18 detik
APTT 38,5 27-42 detik
Serologi
HbsAg (Rapid) Negatif Negatif
HIV Negatif Negatif
Tabel 1.2 Hasil Pemeriksaan Penunjang

4
E. ASSESSMENT
Hemorrhoid Grade IV dan berdasarkan status fisik, diklarifikasikan dalam
ASA II (pasien dengan penyakit sistemik ringan berupa riwayat hipertensi
tidak terkontrol).
F. TATALAKSANA
Terapi operatif Hemorrhoidectomy dengan anestesi spinal pada pasien
ASA II.

G. TINDAKAN ANESTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi / informed consent tertulis (+).
b. Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu.
c. Puasa 6-8 jam sebelum anestesi.
d. Leher tidak kaku dan pendek.
e. IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar.
2. Induksi
a. Bipuvakain 0,5% hiperbarik 20 mg
3. Maintenance
a. Oksigen (O2) 3 lpm
b. Ondancentron 4 mg/IV
c. Torasic 30 mg/IV
4. Monitoring
a. Tanda vital setiap 15 menit
b. Pemberian cairan
c. Monitoring SpO2 selama prosedur operasi

H. PELAKSANAAN ANESTESI
1. Pukul 09.00 – 09.15
a. Pasien dibawa ke meja operasi dan diposisikan duduk membungkuk
b. Pasien diberikan preload cairan Hest 500 ml
c. Menentukan tempat tusukan untuk dilakukan tindakan anestesi yaitu
pada L4-L5

5
d. Mensterilkan tempat tusukan dengan povidon iodine dan alkohol
e. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah atas,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut
kemudian likuor keluar dan pasang spuit tanpa jarum yang berisi obat
anestesi. Masukkan obat secara perlahan yang diselingi aspirasi sedikit
untuk memastikan posisi jarum tetap dalam tempatnya
f. Pasien diposisikan tidur berbaring dengan bantal
g. Memasang monitor tekanan darah dan oksimetri pulse serta selang
oksigen dengan O2 3 liter/menit.
h. Mengukur tanda vital : Tekanan darah 150/80 mmHg, Nadi 60
kali/menit
i. Injeksikan ondancentron 4 mg secara iv
2. Pukul 09.20 (Operasi dimulai)
a. Tekanan darah : 150/80 mmHg
b. Nadi : 60 x/menit
c. SpO2 : 100%
d. Pemberian cairan asering 15 tpm
3. Pukul 09.35 - 09.50 (Operasi berjalan)
Pukul Tekanan darah Nadi SpO2
09.35 140/70 mmHg 76 x/menit 100%
09.50 130/80 mmHg 72 x/menit 100%

4. Pukul 10.00 (Operasi selesai)


a. Tekanan darah : 140/80 mmHg
b. Nadi : 68 x/menit
c. SpO2 : 100%
d. Injeksi obat torasic 30 mg secara iv
5. Post operasi
a. Pasien sampai di ruang Recovery pukul 10.05 WIB
b. Pernafasan : spontan
c. Tekanan darah : 140/80 mmHg
d. Nadi : 82 x/menit

6
e. SpO2 : 99%
6. Penilaian pemulihan pasca anestesi spinal menurut Bromage Score
2 : Tidak mampu fleksi lutut
7. Pasien pindah ke ruang perawatan pukul 10.30 WIB

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI SPINAL
1. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) atau yang sering kita sebut juga
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal adalah anestesi
regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam
ruang subaraknoid (cairan serebrospinal) (Latief, 2009).
2. Fisiologi Anestesi Spinal
Larutan anestesi local disuntikkan kedalam ruang subarachnoid yang
akan memblok konduksi impuls saraf walaupun beberapa saraf lebih
mudah diblok dibanding yang lain. Ada 3 kelas syaraf, yaitu motoris,
sensoris dan autonomik. Stimulasi saraf motorik menyebabkan kontraksi
otot dan ketika itu diblok akan menyebabkan paralisis otot. Saraf sensori
mentransmisikan sensasi seperti nyeri dan sentuhan ke spinal cord dan
dari spinal cord ke otak. Dan saraf autonomik mengontrol pembuluh
darah, heart rate, kontraksi usus, dan fungsi lainnya yang tidak disadari.
Secara umum pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu
ialah saraf simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa
dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir
yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif.
Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai
bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih (Morgan et
al, 2007).
3. Faktor yang mempengaruhi penyebaran anestesi spinal
Sejumlah factor yang mempengaruhi penyebaran injeksi anestesi lokal
kedalam CSF adalah (Latief, 2009) :
a. Baricitas larutan anestesi local
b. Posisi pasien
c. Konsentrasi dan volume injeksi

8
d. Level injeksi
e. Kecepatan injeksi
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis
CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area
penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat
yang sama di tempat penyuntikan. Gaya berat dari local anestesi dapat
dipengaruhin dengan penambahan dextrose. Konsentrasi 7,5 % dextrose
dapat membuat anestesi local yang hiperbarik relative dari CSF. Larutan
Isobaric dan hiperbarik dapat menghasilkan efek yang nyata (Latief,
2009).
4. Persiapan pra operasi
Pasien harus diberitahu atau diinformasikan mengenai anestesinya
pada kunjungan preoperasi. Hal ini penting untuk dijelaskan walaupun
anestesi spinal tanpa rasa nyeri namun harus hati hati dengan beberapa
sensasi pada area atau lokasi yang berkaitan yang mungkin akan
dirasakan tidak nyaman. Premedikasi biasanya tidak dibutuhkan namun
jika pasien gelisah benzodiazepine seperti 5-10 mg diazepam oral dapat
diberikan 1 jam sebelum operasi (Morgan et al, 2007).
Posisi pasien pada saat induksi obat anestesi spinal yaitu dengan
mendudukkan pasien pada meja operasi dan menempatkan kakiknya
pada kursi. Jika pasien tersebut mengistirahatkan lengan bawahnya pada
paha maka dia akan dapat mempertahankan kestabilan posisi dan berada
dalam kondisi nyaman. Alternatif lainnya, prosedur ini dapat dilakukan
dengan pasien berbaring pada satu sisi dengan pinggul dan lutut dalam
keadaan fleksi maksimal (Morgan et al, 2007).

9
Gambar 2.1 Posisi Pasien Anestesi Spinal
Alat alat yang dibutuhkan dalam keadaan sterile (Mansjoer, 2000):
a. Jarum spinal yang biasa digunakan 24-25 gauge dengan pencil
point tip untuk meminimalkan resiko pasien seperti sakit kepala
post-spinal.
b. Jika menggunakan jarum spinal dengan kualitas baik yang
fleksible dan ramping biasanya sangat susah jika secara langsung
akurat, oleh karna itu jarum spinal disposibble standard 19 gauge
cocok digunakan sebagai introducer
c. Syringe (suntikan) 5 ml untuk larutan anestesi spinal
d. Syringe (suntikan) 2 ml untuk larutan anestesi local yang
digunakan untuk infiltrasi di kulit
e. Pilih jarum yang akan digunakan untuk mengambil larutan local
anestesi dan untuk infiltrasi ke kulit
f. Sebuah gallipot dengan antiseptic yang cocok untuk
membersihkan kulit contohnya chlorhexidine, iodine, atau methyl
alcohol.

10
g. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada kulit di daerah
punggung pasien
h. Anestesi lokal yang akan diinjeksikan harus dalam dosisi tunggal.
Jangan pernah menggunakan local anestesi dengan injeksi multi
dose.
5. Teknik Anestesi Spinal
Sebelumnya sudah diperhatikan bahwa pasien sudah melakukan
prosedur yang dijelaskan, akses intravena yang memadai dan persiapan
alat resusitasi yang sudah disediakan (Mansjoer, 2000).
a. Pakai sarung tangan dan kemudian periksa alat alat apakah sudah
dalam kondisi steril
b. Ambillah obat anestesi local yang akan disuntikkan secara
intratekhal dengan jarum suntik 5 ml dari ampul dan pstikan
bahwa jarum tidak menyentuh bagian luar ampul yang tidak steril.
c. Ambillah obat anestesi local yang akan digunakan untuk infiltrasi
kulit kedalam jarum suntik 2 ml.
d. Bersihkan punggung pasien dengan kapas dan antispetik dan
pstikan sarung tangan tidak menyentuh bagian kulit yang tidak
steril
e. Carilah ruang interspinosa, mungkin akan dibutuhkan penekanan
yang lebih dalam pada pasien yang gemuk untuk menvari ruang
interspinosa
f. Suntikan sejumlah volum obat anestesi local kedalam tempat
suntikan yang ditentukan dengan menggunakan jarum dispossible
25-gauge
g. Gunakan introducer jika menggunakan jarum 24-25 gauge
h. Tusukkan jarum spinal (gunakan introducer jika ada), pastikan
bahwa stylet ada di tempat yang benar untuk memastikan bahwa
ujung jarum tidak akan terhalang oleh partikel dari jaringan atau
bekuan. Harus diperhatikan agar jarum tetap di garis tengah dan
BEVEL secara langsung kearah lateral, lalu buat sudut 100-300
derajat kearah kranial dan maju perlahan lahan. Peningkatan

11
resistensi akan dirasakan ketika jarum menembus kedalam
ligamentum flavum diikuti menghilangnya resistensi ketika
memasuki epidural space. Hilangnya resistensi yang lain mungkin
dirasakan ketika dura ditembus dan CSF mengalir/menetes keluar
dari jarum ketika stylet dicabut. Jika tulang disentuh maka jarum
harus ditarik beberapa sentimeter lagi kemudian dimasukkan
kembali perlahan dengan sudut lebih kearah kepala untuk
memastikan bahwa jarum tetap berada pada garis tengah. Jika
jarum 25 gauge digunakan maka tunggulah selama 20 – 30 detik
hingga csf muncul setelah stylet ditarik. Jika csf tidak mengalir
maka gantikan stylet dan kemudian majukan atau masukkan
jarum lebih jauh dan coba lagi.
i. Suntikan obat anestesi local yang sudah disiapkan secara perlahan
(0,5 ml/detik) dengan diselingi aspirasi untuk memastikan bahwa
tempat tusukan tetap baik.

Gambar 2.2 Posisi Jarum Anestesi Spinal


6. Evaluasi Obat Anestesi
Beberapa pasien mungkin tidak bisa menggambarkan apa yang
mereka lakukan atau yang mereka rasakan, karena itu, tanda-tanda
objektif sangat diperlukan. Jika, misalnya, pasien tidak dapat mengangkat
kakinya dari tempat tidur, blok setidaknya hingga pertengahan-daerah
lumbalis. Perlu untuk menguji sensasi dengan jarum yang tajam. Lebih
baik untuk menguji hilangnya sensasi temperatur menggunakan kapas
direndam baik dalam eter atau alkohol. Lakukan hal ini dengan pertama-

12
tama menyentuh pasien dengan kapas basah pada dada atau lengan
(tempat sensasi adalah normal), sehingga mereka merasakan bahwa
kapas tersebut terasa dingin. Lakukan dari kaki dan perut bagian bawah
sampai pasien merasakan bahwa kapas tersa dingin (Morgan et al.,
2007).
Jika jawaban tidak konsisten atau samar-samar, lakukan cubitan
dengan forsep arteri atau jari pada daerah yang diblokir dan tidak diblokir
dan segmen dan tanyakan apakah mereka merasa sakit. Dengan
menggunakan metode ini, jarang ada kesulitan dalam memastikan tingkat
blok (Morgan et al., 2007).
7. Monitoring
Monitoring merupakan tahapan yang penting untuk memonitor
respirasi,, pulse dan tekanan darah. Tanda tanda penting dari turunnya
tekanan darah adalah pucat, berkeringat, mual atau merasakan badan
yang tidak enak secara keseluruhan. Turunnya tekanan darah ringan
berkisar antara sistolik 80-90 mm Hg pada pasien usia muda, pasien
sehat atau 100 mmHg pada pasien tua. Jika pasien merasa baik dan
tekanan darah dapat dipertahankan, maka tidak dibutuhkan pemberian
atropine. Namun jika heart rate turun dibawah 50 beats per menit atau
ada hypotensi maka atropine 300-600 mcg diberikan secara intravena.
Jika heart rate tidak juga meningkat maka cobalah berikan efedrin.
Secara umum baik dilakukan pemberian oxygen dengan masker 2-4
liter/menit, terutama jika pemberian sedasi dilakukan (Morgan et al.,
2007).
8. Perawatan post-operatif
Pasien harus diijinkan untuk berada di ruang pemulihan bersama
dengan pasien anestesi lainnya. Jika terjadi hipotensi diruang
pemulihan ,kaki pasien harus dinaikkan atau ditinggikan. Pasien harus
mengetahui seberapa lama efek dari blockade spinal dan pasien harus
tetap ditempat tidur samapau seluruh sensasi dan kekuatan otot kembali
(Mansjoer, 2000).

13
9. Keuntungan Anestesi Spinal
a. Harga relative murah
b. Kepuasan pasien
c. Efek samping yang ringan pada system pernapasan
d. Penggunaan spinal anestesi mengurangi resiko obstruksi jalan
nafas atau aspirasi lambung. Namun keuntungan ini tidak akan
berarti jika terlalu banyak sedasi yang diberikan.
e. Spinal anestesi merupakan muscle relaxan yang baik untuk
pembedahan abdomen dan anggota badan bagian bawah.
f. Berkurangnya pendarahan selama operasi dibandingkan dengan
menggunakan anestesi umum, hal ini disebabkan menurunnya
tekanan darah dan heart rate juga perbaikan drainase vena dengan
hasil menurunnya pengeluaran darah.
g. Kembalinya fungsi usus dengan cepat
h. Dalam hal koagulasi spinal anestesi mengurangi resiko
thrombosis vena dalam dan emboli pulmoner (Mansjoer, 2000).
10. Kerugian Anestesi Spinal
a. Terkadang akan sangat sulit untuk menetukan lokasi dural space
dan mendapatkan cerebrospinal fluid. Dan untuk beberapa
keadaan prosedur spinal anestesi dihindari.
b. Anestesi spinal tidak baik jika digunakan untuk pembedahan
dengan jangka waktu lebih dari 2 jam. Jika operasi atau
pembedahan lebih lama dari 2 jam maka disarankan
menggantinya dengan anestesi umum atau memberikan ketamin
intravena atau infuse propofol sebagai supplement jika obat
obatan ini tersedia.
c. Dapat terjadi hipotensi karna overload ataupun pemberian
anestesi dosis tinggi dan meningitis karna peralatan medis yang
digunakan tidak dalam keadaan steril.
d. Spinal anestesi mungkin tidak cocok untuk beberapa pasien
bahkan jika mereka dalam keadaan sedasi hal ini dikarnakan tiap

14
orang memiliki reaksi yang berbeda terhadapa berbagai cara
anestesi (Mansjoer, 2000).
11. Indikasi
Spinal anestesi paling baik digunakan pada tindakan yang melibatkan
tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada
keadaan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum,
perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak. Spinal
anestesi sebagian besar cocok untuk pasien tua dan dengan penyakit
sistemik seperti penyakit respiratory kronik, hepatic, ginnjal dan kelainan
endokrin seperti diabetes. Spinal anestesi juga cocok untuk menangani
pasien trauma jika pasien tersebut memiliki resusitasi yang adekuat dan
tidak dalam keadaan hypovolemik. Di bidang gynekologi, anestesi spinal
pada umumnya digunakan untuk mengeluarkan placenta secara manual
dimana tidak dalam keadaan hypovolemik, selain itu akan sangat
menguntungkan bagi ibu dan anaknya jika menggunakan spinal anestesi
pada section caesaria.Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan
setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum (Latief, 2009).
12. Kontraindikasi
Anestesi spinal umumnya digunakan untuk prosedur bedah
melibatkan daerah abdomen bagian bawah, perineum, dan ekstremitas
bawah. Meskipun teknik ini juga bisa digunakan untuk operasi abdomen
bagian atas, sebagian menganggap lebih baik untuk menggunakan
anestesi umum untuk memastikan kenyamanan pasien. Selain itu, blok
ekstensif diperlukan untuk operasi abdomen bagian atas dan cara ini
mungkin memiliki dampak negatif pada ventilasi dan oksigenasi (Latief,
2009).
Bila dipertimbangkan untuk melakukan neuroaksial anestesi, resiko
dan keuntungan harus didiskusikan dengan pasien, dan informed consent
harus dilakukan. Mempersiapkan mental pasien adalah hal yang penting
karena pilihan teknik anestesi bergantung pada tipe pembedahan. Pasien
harus mengerti bahwa mereka akan merasa lumpuh sampai efek blokade
hilang (Latief, 2009).

15
Ada kontraindikasi absolut dan relatif terhadap anestesi spinal.
Kontraindikasi absolut anestesi spinal adalah penolakan pasien, infeksi
pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis tertentu,
koagulopati darah, dan peningkatan tekanan intrakranial. Kontraindikasi
relatif meliputi sepsis yang berbeda dari tempat tusukan (misalnya,
korioamnionitis atau infeksi ekstremitas bawah) dan lama operasi yang
waktunya belum bisa diperkirakan (Morgan et al., 2007).
Sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa
kembali pasien untuk mencari tanda-tanda infeksi kulit di tempat
suntikan karena dapat beresiko menyebabkan infeksi SSP akibat tindakan
anestesi spinal. Ketidakstabilan hemodinamik pra-operasi atau
hipovolemia meningkatkan resiko hipotensi setelah tindakan anestesi
spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi meningkatkan resiko herniasi
unkal ketika CSF (Cerebro Spinal Fluid) hilang melalui jarum spinal.
Kelainan koagulasi meningkatkan resiko pembentukan hematoma. Hal
ini juga penting untuk berkomunikasi dengan ahli bedah dalam
menentukan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan operasi,
sebelum dilakukan tindakan anestesi spinal. Anestesi spinal yang
diberikan tidak dapat berlangsung lama sehingga jika durasi operasi tidak
bisa diperkirakan lamanya maka anestesi spinal tidak dapat dipergunakan
pada operasi tersebut. Mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi
menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan seperti
epinefrin, dan apakah kateter spinal diperlukan atau tidak (Morgan et al.,
2007).
Pasien dengan stenosis mitral, hipertrofi idiopatik stenosis subaorta,
dan stenosis aorta, tidak toleran terhadap penurunan akut dari resistensi
vaskuler sistemik. Dengan demikian, meskipun bukan merupakan
kontraindikasi, blok neuraksial harus digunakan hati-hati dalam kasus
tersebut. Penyakit jantung secara signifikan dapat menimbulkan
kontraindikasi relatif untuk anestesia ketika tingkat sensorik mencapai
lebih dari T6. Cacat parah dari tulang belakang dapat meningkatkan
kesulitan dalam memasukkan obat anestesi spinal. Artritis, kifoskoliosis,

16
dan operasi fusi lumbal sebelumnya bukan kontraindikasi untuk anestesi
spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien dalam
menentukan kelainan anatomi sebelum melakukan anestesi spinal (Latief,
2009)

B. Hemorrhoid
1. Definisi
Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal.
Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di
daerah anus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis. Di bawah atau
diluar linea dentate pelebaran vena yang berada di bawah kulit
(subkutan) disebut hemoroid eksterna. Sedangkan diatas atau di dalam
linea dentate, pelebaran vena yang berada di bawah mukosa (submukosa)
disebut hemoroid interna (Sundaru, 2014).
2. Etiologi
Faktor risiko terjadinya hemoroid antara lain faktor mengedan pada
buang air besar, pola buang air besar yang salah (lebih banyak memakai
jamban duduk, terlalu lama duduk di jamban sambil membaca,
merokok), peningkatan tekanan intra abdomen, karena tumor (tumor
usus, tumor abdomen), kehamilan (disebabkan tekanan janin pada
abdomen dan perubahan hormonal), usia tua, konstipasi kronik, diare
kronik atau diare akut yang berlebihan, hubungan seks peranal, kurang
minum air, kurang makan makanan berserat (sayur dan buah), kurang
olahraga atau imobilisasi (Sundaru, 2014).
3. Faktor Resiko
a. Keturunan: dinding pembuluh darah yang tipis dan lemah.
b. Anatomi: vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus
hemorrhoidalis kurang mendapat sokongan otot atau fasi sekitarnya.
c. Pekerjaan: orang yang harus berdiri atau duduk lama, atau harus
mengangkat barang berat, mempunyai predisposisi untuk
hemorrhoid.

17
d. Umur: pada umur tua timbul degenerasi dari seluruh jaringan tubuh,
otot sfingter menjadi tipis dan atonis.
e. Endokrin: misalnya pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas
anus (sekresi hormone relaksin).
f. Mekanis: semua keadaan yang mengakibatkan timbulnya tekanan
meninggi dalam rongga perut, misalnya pada penderita hipertrofi
prostate.
g. Fisiologis: bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada
derita dekompensasio kordis atau sirosis hepatic.
h. Radang adalah factor penting, yang menyebabkan vitalitas jaringan
di daerah berkurang (Sundaru, 2014).
4. Klasifikasi
a. Hemoroid interna
Pleksus hemorrhoidalis interna dapat membesar, apabila
membesar terdapat peningkatan yang berhubungan dalam massa
jaringan yang mendukungnya, dan terjadi pembengkakan vena.
Pembengkakan vena pada pleksus hemorrhoidalis interna disebut
dengan hemorrhoid interna (Isselbacher, dkk, 2000). Hemorrhoid
interna jika varises yang terletak pada submukosa terjadi proksimal
terhadap otot sphincter anus. Hemorrhoid interna merupakan
bantalan vaskuler di dalam jaringan submukosa pada rectum sebelah
bawah. Hemorrhoid interna sering terdapat pada tiga posisi primer,
yaitu kanan depan, kanan belakang, dan kiri lateral. Hemorrhoid
yang kecil-kecil terdapat diantara ketiga letak primer tersebut
(Sjamsuhidajat, 1998). Hemorrhoid interna letaknya proksimal dari
linea pectinea dan diliputi oleh lapisan epitel dari mukosa, yang
merupakan benjolan vena hemorrhoidalis interna. Pada penderita
dalam posisi litotomi terdapat paling banyak pada jam 3, 7 dan 11
yang oleh Miles disebut: three primary haemorrhoidalis areas
(Sjamsuhidajat, 2005).
Trombosis hemorrhoid juga terjadi di pleksus hemorrhoidalis
interna. Trombosis akut pleksus hemorrhoidalis interna adalah

18
keadaan yang tidak menyenangkan. Pasien mengalami nyeri
mendadak yang parah, yang diikuti penonjolan area trombosis
(Sjamsuhidajat, 2005).
Berdasarkan gejala yang terjadi, terdapat empat tingkat
hemorrhoid interna, yaitu; (Sudarsono, 2015)
1) Tingkat I : perdarahan pasca defekasi dan pada anoskopi terlihat
permukaan dari benjolan hemorrhoid.
2) Tingkat II : perdarahan atau tanpa perdarahan, tetapi sesudah
defekasi terjadi prolaps hemorrhoid yang dapat masuk sendiri.
3) Tingkat III : perdarahan atau tanpa perdarahan sesudah defekasi
dengan prolaps hemorrhoid yang tidak dapat masuk sendiri,
harus didorong dengan jari.
4) Tingkat IV : hemorrhoid yang terjepit dan sesudah reposisi akan
keluar lagi.
b. Hemoroid eksterna
Pleksus hemorrhoid eksterna, apabila terjadi pembengkakan maka
disebut hemorrhoid eksterna (Isselbacher, 2000). Letaknya distal dari
linea pectinea dan diliputi oleh kulit biasa di dalam jaringan di
bawah epitel anus, yang berupa benjolan karena dilatasi vena
hemorrhoidalis. Ada 3 bentuk yang sering dijumpai: (Sudarsono,
2015)
1) Bentuk hemorrhoid biasa tapi letaknya distal linea pectinea.
2) Bentuk trombosis atau benjolan hemorrhoid yang terjepit.
3) Bentuk skin tags.
Biasanya benjolan ini keluar dari anus kalau penderita disuruh
mengedan, tapi dapat dimasukkan kembali dengan cara menekan
benjolan dengan jari. Rasa nyeri pada perabaan menandakan adanya
trombosis, yang biasanya disertai penyulit seperti infeksi, abses
perianal atau koreng. Ini harus dibedakan dengan hemorrhoid
eksterna yang prolaps dan terjepit, terutama kalau ada edema besar
menutupinya. Sedangkan penderita skin tags tidak mempunyai
keluhan, kecuali kalau ada infeksi (Sudarsono, 2015).

19
Hemorrhoid eksterna trombotik disebabkan oleh pecahnya venula
anal. Lebih tepat disebut hematom perianal. Pembengkakan seperti
buah cery yang telah masak, yang dijumpai pada salah satu sisi
muara anus. Tidak diragukan lagi bahwa, seperti hematom, akan
mengalami resolusi menurut waktu (Djumhana, 2010).
Trombosis hemorrhoid adalah kejadian yang biasa terjadi dan
dapat dijumpai timbul pada pleksus analis eksternus di bawah tunika
mukosa epitel gepeng, di dalam pleksus hemorrhoidalis utama dalam
tela submukosa kanalis analis atau keduanya. Trombosis analis
eksternus pada hemorrhoid biasa terjadi dan sering terlihat pada
pasien yang tak mempunyai stigmata hemorrhoid lain. Sebabnya
tidak diketahui, mungkin karena tekanan vena yang tinggi, yang
timbul selama usaha mengejan berlebihan, yang menyebabkan
distensi dan stasis di dalam vena. Pasien memperlihatkan
pembengkakan akuta pada pinggir anus yang sangat nyeri
(Djumhana, 2010).

Gambar 2.3 Klasifikasi Hemoroid


5. Patofisiologi
Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan oleh
gangguan aliran balik dari vena hemoroidalis. Terdapat beberapa faktor
etiologi yaitu konstipasi, diare, sering mengejan, kongesti pelvis pada
kehamilan, pembesaran prostat, fibroid uteri, dan tumor rektum. Penyakit

20
hati kronis yang disertai hipertensi portal sering mengakibatkan
hemoroid, karena vena hemoroidalis superior mengalirkan darah ke
sistem portal. Selain itu sistem portal tidak mempunyai katup, sehingga
mudah terjadi aliran balik (Sundaru, 2014).
Hemoroid dapat dibedakan atas hemoroid eksterna dan interna.
Hemoroid eksterna di bedakan sebagai bentuk akut dan kronis. Bentuk
akut berupa pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus dan
sebenarnya merupakan suatu hematoma, walaupun disebut sebagai
hemoroid trombosis eksternal akut. Bentuk ini sering terasa sangat nyeri
dan gatal karena ujung-ujung saraf pada kulit merupakan reseptor nyeri.
Kadang-kadang perlu membuang trombus dengan anestesi lokal, atau
dapat diobati dengan “kompres duduk” panas dan analgesik. Hemoroid
eksterna kronis atau skin tag biasanya merupakan sekuele dari hematom
akut. Hemoroid ini berupa satu atau lebih lipatan kulit anus yang terdiri
dari jaringan ikat dan sedikit pembuluh darah (Price, 2005).
Hemoroid interna dibagi berdasarkan gambaran klinis atas : derajat 1,
bila terjadi pembesaran hemoroid yang tidak prolaps keluar kanal anus,
hanya dapat dilihat dengan anorektoskop. Derajat 2, pembesaran
hemoroid yang prolaps dan menghilang atau masuk sendiri ke dalam
anus secara spontan. Derajat 3, pembesaran hemoroid yang prolaps dapat
masuk lagi ke dalam anus dengan bantuan dorongan jari. Derajat 4,
prolaps hemoroid yang permanen. Rentan dan cenderung untuk
mengalami thrombosis dan infark. (Sudarsono, 2015)

Gambar 2.4 Derajat Hemoroid Interna

21
6. Manifestasi Klinis
Hemoroid menyebabkan rasa gatal dan nyeri, dan sering
menyebabkan perdarahan berwarna merah terang pada saat defekasi.
Hemoroid eksternal dihubungkan dengan nyeri hebat akibat inflamasi
dan edema yang disebabkan oleh thrombosis. Thrombosis adalah
pembekuan darah dalam hemoroid. Ini dapat menimbulkan iskemia pada
area tersebut dan nekrosis. Hemoroid internal tidak selalu menimbulkan
nyeri sampai hemoroid ini membesar dan menimbulkan perdarahan atau
prolaps (Sundaru, 2014).
Perdarahan umumnya merupakan tanda utama pada penderita
hemorrhoid interna akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang
keluar berwarna merah segar dan tidak tercampur dengan feses, dapat
hanya berupa garis pada anus atau kertas pembersih sampai pada
pendarahan yang terlihat menetes atau mewarnai air toilet menjadi
merah. Walaupun berasal dari vena, darah yang keluar berwarna merah
segar. Pendarahan luas dan intensif di pleksus hemorrhoidalis
menyebabkan darah di anus merupakan darah arteri. Datang pendarahan
hemorrhoid yang berulang dapat berakibat timbulnya anemia berat.
Hemorrhoid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat
menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awal penonjolan ini
hanya terjadi pada saat defekasi dan disusul oleh reduksi sesudah selesai
defekasi. Pada stadium yang lebih lanjut hemorrhoid interna didorong
kembali setelah defekasi masuk kedalam anus. Akhirnya hemorrhoid
dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps menetap dan
tidak dapat terdorong masuk lagi. Keluarnya mucus dan terdapatnya
feses pada pakaian dalam merupakan ciri hemorrhoid yang mengalami
prolaps menetap. Iritasi kulit perianal dapat menimbulkan rasa gatal yang
dikenal sebagai pruritus anus dan ini disebabkan oleh kelembaban yang
terus menerus dan rangsangan mucus. Nyeri hanya timbul apabila
terdapat trombosis yang meluas dengan udem meradang (Sjamsuhidajat,
2005).

22
Apabila hemorrhoid interna membesar, nyeri bukan merupakan
gambaran yang biasa sampai situasi dipersulit oleh trombosis, infeksi,
atau erosi permukaan mukosa yang menutupinya. Kebanyakan penderita
mengeluh adanya darah merah cerah pada tisu toilet atau melapisi feses,
dengan perasaan tidak nyaman pada anus secara samar-samar.
Ketidaknyamanan tersebut meningkat jika hemorrhoid membesar atau
prolaps melalui anus. Prolaps seringkali disertai dengan edema dan
spasme sfingter. Prolaps, jika tidak diobati, biasanya menjadi kronik
karena muskularis tetap teregang, dan penderita mengeluh mengotori
celana dalamnya dengan nyeri sedikit. Hemorrhoid yang prolaps bias
terinfeksi atau mengalami trombosis, membrane mukosa yang
menutupinya dapat berdarah banyak akibat trauma pada defekasi
(Sudarsono, 2015).
Hemorrhoid eksterna, karena terletak di bawah kulit, cukup sering
terasa nyeri, terutama jika ada peningkatan mendadak pada massanya.
Peristiwa ini menyebabkan pembengkakan biru yang terasa nyeri pada
pinggir anus akibat trombosis sebuah vena pada pleksus eksterna dan
tidak harus berhubungan dengan pembesaran vena interna. Karena
trombus biasanya terletak pada batas otot sfingter, spasme anus sering
terjadi. Hemorrhoid eksterna mengakibatkan spasme anus dan
menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri yang dirasakan penderita dapat
menghambat keinginan untuk defekasi. Tidak adanya keinginan defekasi,
penderita hemorrhoid dapat terjadi konstipasi. Konstipasi disebabkan
karena frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu (Sudarsono,
2015).
Hemorrhoid yang dibiarkan, akan menonjol secara perlahan-lahan.
Mula-mula penonjolan hanya terjadi sewaktu buang air besar dan dapat
masuk sendiri dengan spontan. Namun lama-kelamaan penonjolan itu
tidak dapat masuk ke anus dengan sendirinya sehingga harus dimasukkan
dengan tangan. Bila tidak segera ditangani, hemorrhoid itu akan
menonjol secara menetap dan terapi satu-satunya hanyalah dengan
operasi. Biasanya pada celana dalam penderita sering didapatkan feses

23
atau lendir yang kental dan menyebabkan daerah sekitar anus menjadi
lebih lembab. Sehingga sering pada kebanyakan orang terjadi iritasi dan
gatal di daerah anus (Djumhana, 2010).
7. Diagnosis
Diagnosis hemorrhoid tidak sulit, dapat dilakukan pemeriksaan colok
dubur termasuk anorektoskopi (alat untuk melihat kelainan di daerah
anus dan rektum). Pada pemeriksaan anorektoskopi dapat ditentukan
derajat hemoroid. Lokasi hemoroid pada posisi tengkurap umumnya
adalah pada jam 12, jam 3, jam 6 dan jam 9. Permukaannya berwarna
sama dengan mukosa sekitarnya, bila bekas berdarah akan tampak
bercak-bercak kemerahan. Perdarahan rectum merupakan manifestasi
utama hemorrhoid interna. Lipatan kulit luar yang lunak sebagai akibat
dari trombosis hemorrhoid eksterna. Diagnosis hemorrhoid dapat terlihat
dari gejala klinis hemorrhoid, yaitu; darah di anus, prolaps, perasaan
tidak nyaman pada anus (mungkin pruritus anus), pengeluaran lendir,
anemia sekunder (mungkin), tampak kelainan khas pada inspeksi,
gambaran khas pada anoskopi atau rektoskopi (Sjamsuhidajat, 2005)
8. Penatalaksanaan
Gejala hemoroid dan ketidaknyamanan dapat dihilangkan dengan
hygiene personal yang baik dan menghindari mengejan berlebihan
selama defekasi. Diet tinggi serat yang mengandung buah dan sekam
mungkin satusatunya tindakan yang diperlukan; bila tindakan ini gagal,
laksatif yang berfungsi mengabsorpsi air saat melewati usus dapat
membantu. Rendam duduk dengan salep, dan supositoria yang
mengandung anestesi, astringen (witch hazel) dan tirah baring adalah
tindakan yang memungkinkan pembesaran berkurang (Sudarsono, 2015).
Terdapat berbagai tipe tindakan nonoperatif untuk hemoroid.
Fotokoagulasi inframerah, diatermi bipolar, dan terapi laser adalah teknik
terbaru yang digunakan untuk melekatkan mukosa ke otot yang
mendasarinya.Injeksi larutan sklerosan juga efektif untuk hemoroid
berukuran kecil dan berdarah. Prosedur ini membantu mencegah prolaps.

24
Hemoroidektomi kriosirurgi adalah metode untuk mengangkat
hemoroid dengan cara membekukan jaringan hemoroid selama waktu
tertentu sampai timbul nekrosis. Meskipun hal ini relatif kurang
menimbulkan nyeri, prosedur ini tidak digunakan dengan luas karena
menyebabkan keluarnya rabas yang berbau sangat menyengat dan luka
yang ditimbulkan lama sembuhnya. Metode pengobatan hemoroid tidak
efektif untuk vena trombosis luas, yang harus diatasi dengan bedah lebih
luas. Hemoroidektomi atau eksisi bedah, dapat dilakukan untuk
mengangkat semua jaringan sisa yang terlibat dalam proses ini. Selama
pembedahan, sfingter rektal biasanya didilatasi secara digital dan
hemoroid diangkat dengan klem dan kauter atau dengan ligasi dan
kemudian dieksisi. Setelah prosedur operatif selesai, selang kecil
dimasukkan melalui sfingter untuk memungkinkan keluarnya flatus dan
darah; penempatan Gelfoan atau kasa Oxygel dapat diberikan diatas luka
kanal (Sudarsono, 2015).
9. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya hemorrhoid dengan minum yang cukup, makan
cukup sayuran, dan buah-buahan, sehingga kotoran kita tidak mengeras.
Kebiasaan malas minum, tidak hanya akan membuat hemorrhoid, ginjal
juga lama kelamaan akan dapat terganggu oleh karena kurangnya cairan
dalam tubuh. Usahakan minum yang cukup, imbangi dengan olah raga,
sehingga perut tidak mual saat minum air putih. Makan makanan yang
banyak mengandung serat, seperti buah dan sayuran. Makanan yang
banyak mengandung serat juga akan memberikan manfaat mengurangi
penyerapan lemak sehingga kolesterol menjadi aman. Banyak melakukan
olah raga, seperti jalan kaki, tidak duduk terlalu lama dan tidak berdiri
terlalu lama (Sjamsuhidajat, 2005).
10. Komplikasi
Komplikasi hemoroid yang paling sering adalah perdarahan,
thrombosis, dan strangulasi.Hemoroid strangulasi adalah hemoroid yang

25
prolaps dengan suplai darah dihalangi oleh sfingter ani. (Price, 2005)
Komplikasi hemoroid antara lain :
a. Luka dengan tanda rasa sakit yang hebat sehingga pasien takut
mengejan dan takut berak. Karena itu, tinja makin keras dan makin
memperberat luka di anus.
b. Infeksi pada daerah luka sampai terjadi nanah dan fistula (saluran tak
normal) dari selaput lendir usus/anus.
c. Perdarahan akibat luka, bahkan sampai terjadi anemia.
d. Jepitan, benjolan keluar dari anus dan terjepit oleh otot lingkar dubur
sehingga tidak bisa masuk lagi. Sehingga, tonjolan menjadi merah,
makin sakit, dan besar. Dan jika tidak cepat-cepat ditangani dapat
busuk.

26
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan
Pasien Tn. S usia 44 tahun datang ke IGD RSUD Salatiga dengan
keluhan terdapat benjolan di anus sejak > 2 minggu SMRS. Benjolan
dirasakan menetap dan tidak dapat dimasukkan kembali dengan didorong
menggunakan jari. Keluhan disertai nyeri disekitar anus terutama ketika
buang air besar dan tidak nyaman dengan posisi duduk. Selain itu pasien juga
mengeluh pernah keluar darah bersamaan dengan buang air besar.
Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan serupa yaitu 1 tahun lalu
tetapi benjolannya dapat dimasukkan menggunakan jari dan sudah dinyatakan
sembuh oleh dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 16090
mmHg, pemeriksaan bagian anal pada inspeksi ditemukan hiperemi dan pada
palpasi dengan teknik rectal toucher didapatkan terdapat benjolan di arah jam
3 dan jam 6, konsistensi lunak, permukaan rata, dan nyeri tekan (+). Oleh
karena itu, diagnosis pre operatif pasien adalah Hemoroid Grade IV.
Klasifikasi kebugaran fisik pasien berdasarkan The American Society of
Anasthesiology yaitu ASA II.
Penatalaksanaan operatif pada pasien tersebut yaitu hemoroidectomy.
Hemorrhoidectomy adalah tindakan pembedahan untuk mengangkat
hemoroid. Tindakan pembedahan tersebut dilaksanakan dengan dilakukannya
pemberian anestesi regional berupa anastesi spinal. Dikarenakan
hemoroidectomy merupakan tindakan bedah pada daerah rektum dan perianal
yang merupakan salah satu indikasi tindakan anestesi spinal.
Sebelum dilakukan operasi, persiapan pra operasi pada pasien yaitu
berupa informedd consent dan pemasangan iv line. Kemudian pasien masuk
ke ruang operasi dan diposisikan duduk dengan kepala membungkuk.
Kemudian diberikan cairan preload berupa Hest 500 cc. Setelah itu
melakukan induksi obat anestesi spinal berupa bipuvakain 0,5% hiperbarik 20
mg pada regio L4-L5 dan pasien dibaringkan dengan bantal serta dipasang
monitor tekanan darah dan oksimeter. Pasien juga dipakaikan nasal kanul dan

27
diberikan oksigen 3 liter permenit. Monitoring tanda-tanda vital dilakukan
setiap 15 menit dan diberikan cairan rumatan berupa cairan kristaloid. Obat
anestesi yang digunakan adalah ondansetron 4mg dan ketorolac trometamol
30 mg dimasukkan secara injeksi intravena. Ondansetron diindikasikan untuk
mual dan muntah yang diinduksi obat kemoterapi dan radioterapi sitotoksik,
dosis untuk dewasa pencegahan mual dan muntah pasca operasi.
Operasi selesai pukul 10.00 WIB dengan hasil pengukuran tekanan
darah 140/80 mmHg, nadi 86 x/menit, SpO2 100%. Kemudian pasien
dipindahkan ke Recovery Room dan dilakukan perawatan post operasi sampai
Bromage Score berjumlah 2, lalu pindah ke kamar rawat inap.
B. Kesimpulan
Pada kasus, pasien didiagnosa Hemorrhoid Grade IV dan dilakukan
tindakan operatif Hemorrhoidectomy. Pelaksanaan operasi dilakukan dengan
teknik anestesi spinal yaitu pemberian obat anastesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid. Sebelum dioperasi, dipasang jalur intravena pada pasien dan
pemberian cairan preload berupa Hest 500 cc. Pemberian obat anestesi
meliputi induksi dan maintenance.
Operasi dilakukan oleh dokter spesialis Bedah selama kurang lebih 40
menit dengan monitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen pada pasien
setiap 15 menit selama operasi berlangsung. Selesai operasi, pasien memasuki
periode bangun dan pemulihan, pasien dibawa ke ruang pemulihan untuk tetap
dimonitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen sampai dapat dinyatakan
keluar dari ruang pemulihan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Djumhana. Patogenesis Diagnosis dan Pengelolaan Medik Hemorroid. Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin.
Bandung: Fakultas Kedokteran Unpad. 2010.
Latief, S.A, Suryadi, K.A, Dachlan, M.R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi Kedua. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, Arief, dkk. 2000. Anestesi Spinal dalam Kapita Selekta Kedokteran
Edisi III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Morgan, G. Edward, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. 2007. Murray. Clinical
Anesthesiology 4th Edition. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies.
Price. 2005. Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidajat, W. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi ke- 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005.
Sudarsono, Danar Fahmi. 2015. Diagnosis dan Penanganan Hemoroid. J Majority:
Vol 4 No 6.
Sundaru, H. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5 ed., Vol. 1). (A. W.Sudoyo,
B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K, & S. Seliati, Penyunt.) Jakarta: Interna
Publishing.

29

Anda mungkin juga menyukai