Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator yang peka
terhadap kualitas dan aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan.Berdasarkan
hasil Survei Penduduk Antar Sensus 2017. Angka Kematian Ibu di Provinsi
Jawa Tengah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun
2017 ada 111,16 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2017 turun menjadi
109,66 per 100.000 kelahiran hidup. (Dinkes Jateng, 2017)
Penyebab kematian maternal tersebut disebabkan oleh perdarahan
sebesar (21,14%), hipertensi (24,22%), infeksi (2,76%), gangguan system
perdarahan (8,52%), dan lain-lain (40,49) (Dinkes Jateng, 2017). Kematian
maternal pada waktu hamil sebesar 27,00%, waktu persalinan sebesar 15,05%,
dan pada waktu nifas sebesar 57,95% (Dinkes Jateng, 2017).
Menurut World Health Organization (WHO) bahwa aborsi termasuk
dalam masalah kesehatan reproduksi yang perlu mendapatkan perhatian dan
merupakan penyebab penderitaan wanita di seluruh dunia.”Masalah aborsi
menjadi suatu pokok perhatian dalam kesehatan masyarakat karena
pengaruhnya terhadap mobiditas dan mortalitas maternal” (Sarwono, 2014: 7).
Kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau membawa resiko
bagi ibu.WHO memperkirakan bahwa sekitar 15% dari seluruh wanita yang
hamil akan berkembang menjadi komplikasi yang berkaitan dengan
kehamilannya serta dapat mengancam jiwanya. Sebagian besar penyebab
tersebut dapat dicegah melalui pemberian asuhan kehamilan yang berkualitas
(Astuti,2012).
Dengan menganggap semua ibu memiliki resiko tinggi maka
dilakukan pengawasan kehamilan atau yang dikenal dengan ANC (Antenatal
Care).Dengan usaha ini ternyata angka mortalitas serta morbiditas ibu dan

1
bayi jelas menurun.Sedapat mungkin wanita tersebut diberi pengertian sedikit
tentang kehamilannya serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan,
persalinan dan masa nifas (Sulistyawati, 2012).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Abortus ?
2. Apa saja macam-macam Abortus ?
3. Apa penyebab terjadinya Abortus ?
4. Bagaimana patofisiologis Abortus ?
5. Bagaimana diagnose Abortus ?
6. Bagaimana komplikasi Abortus ?
7. Bagaimana penanganan kasus Abortus ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang Abortus
dan penatalaksanaan dari kasus Abortus.
2. Tujuan Khusus
a) Menjelaskan pengertian Abortus
b) Menyebutkan macam-macam Abortus
c) Menjelaskan penyebab terjadinya Abortus
d) Menjelaskan patofisiologis Abortus
e) Menjelaskan diagnose Abortus
f) Menjelaskan komplikasi Abortus
g) Menjelaskan penanganan kasus Abortus

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Abortus

Abortus ialah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi


sebelum janin dapat hidup diluar kandungan.Sebagai batasan ialah
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram (Prawirohardjo,2009).
Abortus ialah berakhirnya suatu kehamilan (oleh karena
akibat- akibat tertentu) pada atau sebelum kehamilan tersebut
berusia 22 minggu atau buah kehamilan.
B. Macam-macam Abortus
Berdasarkan macamnya, Abortus dibagi menjadi 2,yaitu :
1. Abortus Spontan
Menurut Mufdilah (2009),abortus spontan terjadi karena kurang
baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. Berdasarkan jenisnya,
abortus spontan dibagi menjadi:
a) Abortus Imminens
Abotus Imminens adalah suatu abortus yang dicurigai bila
terdapat pengeluaran vagina yang mengandung darah, atau
perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan.
Keguguran belum terjadi sehingga kehamilan dapat
dipertahankan dengan cara tirah baring, gunakan preparat
progesterone, tidak berhubungan badan dan evaluasi secara
berkala dengan USG untuk melihat perkembangan janin
(Mochtar,2011)

3
b) Abortus insipien
Abortus insipiens adalah suatu abortus yang tidak dapat
dipertahankan lagi ditandai dengan pecahnya selaput janin dan
adanya pembukaan servik.
Penatalaksanaan bisa dilakukan dengan evakuasi hasil
konsepsi dengan dilatasi dan kuretase diikuti pemberian
uterotonka, analgetik dan antibiotik
c) Abortus inkompletus
Abortus inkompletus adalah pengeluaran sebagian hasil
konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada
sisa yang tertinggal dalam uterus.
Ditandai dengan gejala amenorea, sakit perut da mulas-
mulas, perdarahan yang bisa sedikit atau banyak, dan biasanya
berupa stosel (darah beku), sudah ada keluar fetus atau jaringan
pada abortus yang sudah lama terjadi atau pada abortus
provakatus yang dilakukan oleh orang yang tidak ahli sering
terjadi infeksi. Pada pemeriksaan dalam (VT) untuk abortus yang
baru terjadi didapati serviks terbuka, kadang-kadang dapat diraba
sisa-sisa jaringan dalam kanalis servikalis atau kavum uteri serta
uterus yang berukuran leebih kecil dari seharusnya (Mochtar,
2011)
d) Abortus kompletus
Abortus kompletus adalah semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan
dan tidak ada yang tertinggal di dalam uterus.
e) Missed abortion
Missed abortion adalah kematian janin berusia sebelum 20
minggu, tetapi janin mati tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau
lebih. Terdapat gejala seperti perdarahan sedikit-sedikit yang
berulang pada mulaannya, serta selama observasi fundus tidak
bertambah tinggi namun lebih rendah. Jika awalnya ada gejala-

4
gejala kehamilan, belakangan menghilang diiringi dengan reaksi
kehamilan yang menjadi negative 2-3 minggu setelah fetus mati.
Pada pemeriksaan dalam serviks tertutup dan ada sedikit darah
(Mochtar, 2011)
Penatalaksanaannya berikan obat dengan maksud agar
terjadi his sehingga fetus dan desidua dpat dikeluarkan, jika tidak
berhasil lakukan dilatasi dan kuretase hendaknya juga diberikan
antibiotic dan uterotonika.
f) Abortus habitualis
Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi berturut-
turut yang terjadi sebanyak tiga kali atau lebih.

2. Abortus provokatus
Menurut Nugroho (2012), abortus provokatus ialah abortus yang
disengaja, baik menggunakan obat-obatan maupun alat medis.
Abortus ini terbagi menjadi :
a) Abortus Medisinalis
Abortus ini dilakukan karena tindakan kita sendiri,dengan alasan
apabila kehamilan dipertahankan akan membahayakan diri orang
yang bersangkutan (Rukiyah, 2014).
b) Abortus Kriminalis
Abortus yanng disengaja karena tindakan-tindakan yang tidak legal
atau tidak bersangkutan dengan indikasi medis (Rukiyah, 2014).
C. Etiologi Abortus

Menurut Rukiyah (2014), ada beberapa faktor yang menyebabkan abortus


antara lain :
1. Faktor Janin
Faktor janin penyebab keguguran adalah kelainan genetik, faktor
kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah gangguan
pertumbuhan embrio, zigote, janin atau plasenta.

5
2. Faktor ibu
a) Kelainan endokrin, misalnya kekurangan tyroid,kencing
manis
b) Faktor imunologi, pada penyakit lupus
c) Infeksi, diduga dari beberapa virus seperti cacar air, campak,
herpes,toksoplasma.
d) Kelainan bentuk rahim
3. Faktor bapak, kelainan kromosom dan infeksi sperma diduga dapat
menyebabkan abortus.
4. Faktor nutrisi, malnutrisi yang sangat berat memiliki kemungkinan
paling besar menjadi predisposisi abortus
5. Faktor psikologis, dibuktikan bahwa ada hubungan antara abortus
berulang dengan keadaan mental dimana wanita yang belum matang
secara emosisonal dan sangat penting dalam menyelamatkan kehamilan.
6. Faktor genetik, sekitar 3-5 % pasangan yang memiliki riwayat
abortus spontan yang berulang salah satunya dari pasangan tersebut
membawa sifat kromosom yang kurangnya aliran darah ke ari – ari
tersebut.
D. Patofisiologi Abortus
Pada awal abortus terjadi perdarahan pada desidua basalis, diikuti
nekrosis jaringan yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan
dianggap benda asing dalam uterus, kemudian uterus berkontraksi
untuk mengeluarkan benda asing tersebut.Pada kehamilan kurang
dari 8 minggu, janin biasanya dikeluarkan seluruhnya kedalam vili
korialis belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan 8-14 minggu vili korialis menembus desidua secara
mendalam, plasenta tidak dilepaskan sempurna sehingga banyak
perdarahan pada kehamilan diatas 14 minggu, setelah ketuban
pecah, janin yang telah mati akan dikeluarkan dalam bentuk
kantung amnion kosong dan kemudian plasenta (Maryunani, 2009).

6
E. Diagnosis
Abortus dapat diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi
mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid
terlambat,sering pula terjadi rasa mulas. Kecurigaan tersebut dapat
diperkuat dengan ditentukannya kehamilan muda pada
pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis
atau imunologi bilamana hal tersebut dikerjakan.Harus
diperhatikan macam dan banyaknya perdarahan, pembukaan
serviks dan adanya jaringan dalam cavum uterus atau vagina
(Mufdillah,2009).
F. Komplikasi Abortus
Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan,
perforasi, infeksi, syok (Rukiyah, 2014).
1. Peradarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus darisisa-
sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian tranfusi darah.
Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan
tidak diberikan padawaktunya.
2. Perforasi pada uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada
uterus dalam posisi hipertrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini,
penderita perlu diamati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya,
perlu segera dilakukan laparotomi, dan tergantung luasdan
bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi/perlu histerektomi.
Perforasi pada uetus pada abortus yang dikerjakan oleh orang
awam menimbulkan persoalan gawat karena perlakuan uterus
lebih luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandungkemih
atau uterus.
3. Infeksi dalam uterus dan adexa dapat terjadi dalam setiap
abortus,tetapibiasanyadidapatkanpadaabortusinkomplityang
berkaitan erat dengan suatu abortus yang tidak aman (unsafe
abortion).

7
4. Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok
hemoragik) dan karena infeksi berat (syokendoseptik).
G. Penanganan Abortus
Secara umum penanganan dilakukan sebelum melakukan
penanganan secara khusus/spesifik melakukan penanganan awal
terlebih dahulu yang terkena abortus antara lain :
1. Melakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum
pasien, termasuk tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah,
pernafasan,dansuhu).
2. Memeriksa tanda-tanda syok (pucat, berkeringat banyak,
pingsan,tekanan sistolik kurang dari 90mmHg, nadi lebih cepat
lebih dari 112 kali/menit)
3. Jika dicuriga terjadi syok, segera mulai penanganan syok. Jika
tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan
tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi
wanita karena kondisinya dapat memburuk dengan cepat.
4. Jika pasien dengan keadaan syok pikirkan kemungkinan
kehamilan ektopik terganggu.
5. Pasang infuse dengan jarum besar (16G atau lebih besar),
berikan larutan garam fisiologik atau ringer laktat dengan
tetesan cepat (500 ml dalam 2 jam pertama). Kemudian setelah
diketahui abortus apa yang terjadi lakukan penangaan yang
spesifik sesuai abortus yang terjadi (Rukiyah,2014).

8
BAB III

PEMBAHASAN

A. Faktor Resiko Terjadi Abortus

Berdasarkan hasil penelitian tahun 2017 peniliti tertarik untuk melakukan


penelitian khususnya tentang faktor resiko yang mempengaruhi kejadian abortus
(usia, paritas, riwayat abortus, pekerjaan) dan macam-macam kejadian abortus di
ruang bersalin RSUD Ungaran kab. Semarang. Kejadian abortus di Rumah Sakit
lebih tinggi karena menerima rujukan. Bedasarkan data sekunder (Register pasien)
penderita abortus di RSUD Ungaran pada Tahun 2010 sebanyak 211 kasus, tahun
2011 meningkat menjadi 294 kasus dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 300

9
kasus. Dari 300 kasus tersebut terdapat 201 (67%) kasus abortus iminens, 78
(26%) kasus abortus inkompletus, 13 (4%) kasus missed abortion 8 (3%).
Pendekatan yang digunakan adalah retrospektif yaitu penelitian yang
berusaha melihat kebelakang (Backward Looking). Populasi yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil Trimester I yang di rawat di RSUD
Ungaran yang mengalami abortus selama periode Januari sampai Desember 2015
sebanyak 245 ibu hamil. Teknik sampling yang akan digunakan dalam penelitain
ini adalah total sampling. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yaitu dengan cara mengobservasi dari data rekam medik klien ibu hamil
Trimester I yang terdiagnosa abortus dalam kurun waktu sejak Januari sampai
dengan Desember 2015 yang di rawat di RSUD Ungaran. Analisis univariat dalam
penelitian ini dengan menggunakan distribusi frekuensi Anaisis bivariat
menggunakan uji Chi Square.
Dan dari hasil penilitian menunjukkan bahwa Ibu yang memiliki riwayat
abortus 1,6 kali lebih besar mengalami resiko abortus dibanding yang tidak
memiliki riwayat abortus.Hal ini menunjukan ada faktor lain selain yang sudah
dilmpirkan pada teori diatas.

10
B. Usia reproduksi tidak sehat dan jarak kehamilan yang terlalu dekat
meningkatkan kejadian abortus

Berdasarkan hasil penelitian tahun 2016 yaitu usia reproduksi tidak


sehat dan jarak kehamilan yang terlalu dekat dapat meningkatkan kejadian
abortus. Penelitian yang dilakukan oleh Shandra Riestya Prihandini, Wahyu
Pujiastuti, Tulus Puji Hastuti sesuai dengan teori yang ada

11
Metedo Penelitian ini merupakan bentuk penelitian eksplanatory
dengan pendekatan waktu cross sectional dan populasinya yang dipergunakan
adalah ibu hamil dengan umur kehamilan <22 minggu yang mendapatkan
perawatan medis di bangsal kebidanan Rumah RST dr. Soedjono Magelang
selama tahun 2013, tehnik sampling mempergunakan tehnik sampling jenuh
dengan responden sejumlah 135. Untuk menganalisis hubungan masing-
masing variabel bebas (skala data nominal dan ordinal) dengan variabel terikat
(skala data nominal) mempergunakan uji Koefisien Kontingensi dan uji pengaruh
mempergunakan uji Regresi logistik.
Penelitian ini dilakukan di RST dr. Soedjono Magelang yang
dilakukan dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2014 mengenai
“Hubungan antara Usia Ibu dan Jarak Kehamilan dengan Kejadian Abortus di
Rumah Sakit Tentara dr. Soedjono Magelang tahun 2013”, maka didapatkan
hasil yang akan penulis sajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Penelitian ini
melibatkan 135 responden yang datanya didapatkan dari data sekunder yaitu
dari data ibu hamil dengan umur kehamilan <22 minggu yang mendapatkan
perawatan medis di bangsal kebidanan Rumah Sakit Tentara dr. Soedjono
Magelang selama tahun 2013 dan untuk hasil penelitian yang didapatkan dari
data sekunder diperoleh dari pengisian lembar checklist yang disesuaikan
dengan data yang ada di dalam rekam medis.
Pada penelitian ini telah ditetapkan bahwa responden dikatakan usia
berisiko jika usia ibu <20 tahun atau >35 tahun dan dikatakan usia tidak
berisiko jika usia ibu 20-35 tahun. Patokan ini sesuai dengan teori dari Efendi
dan Makhfudli (2009) yang menyatakan secara umum, seorang wanita
dikatakan siap secara fisik jika telah menyelesaikan pertumbuhan tubuhnya,
yaitu sekitar usia 20 tahun sehingga usia 20 tahun bisa dijadikan pedoman
kesiapan fisik dan usia kehamilan yang ideal berada pada rentang umur 20-35
tahun. Subiyanto (2012), menyatakan wanita yang hamil pada usia di bawah
20 tahun atau di atas 35 tahun memiliki risiko tinggi terjadinya abortus
spontan. Pakar obstetri dan ginekologi dari Fakultas Kedokteran Universitas

12
Indonesia (FKUI) Prof.Dr.dr Biran Affandi, Sp.OG mengatakan bahwa ibu
yang hamil pada usia dibawah 20 tahun belum siap secara emosional dan
mental. Kondisi tersebut dapat berakibat buruk bagi ibu hamil dan
kandungannya. Pada usia di atas 35 tahun, bibit kesuburan wanita akan
menurun. Akibatnya, ketika mereka hamil akan timbul kelainan pada janin
dan menyebabkan abortus spontan.
Hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden berada
pada kelompok jarak kehamilan berisiko. Artinya responden dengan jarak
kehamilan berisiko ada 70 responden (51,9%) sedangkan jarak kehamilan
tidak berisiko ada 65 responden (48,1%).Kehamilan dengan jarak kehamilan
<2 tahun dapat mengakibatkan abortus, berat badan bayi lahir rendah,nutrisi
kurang, dan waktu/lama menyusui berkurang untuk anak sebelumnya
(Hartono, 2010). Menurut Hartono (2010), pengaturan kehamilan dengan
jarak kehamilan yang ideal juga dapat diatur dengan menggunakan pola KB
rasional. Pola KB rasional juga memiliki maksud untuk menyelamatkan ibu
dan anak dengan jarak kelahiran yang terlalu dekat. Jarak kelahiran yang
paling baik adalah 2-4 tahun sehingga ibu dapat mempertimbangkan
keputusan untuk hamil anak berikutnya dalam rentang waktu minimal 2 tahun
agar risiko abortus dapat diminimalisir
Sebagian besar responden berada pada kelompok usia berisiko yaitu
sebanyak 82 responden (60,7%), sebagian besar responden berada pada
kelompok jarak kehamilan berisiko yaitu ada 70 responden (51,9%), sebagian
besar responden mengalami kejadian abortus yaitu sebanyak 107 responden
(79,3%), ada hubungan yang bermakna antara usia ibu hamil dengan kejadian
abortus di RST dr. Soedjono Magelang tahun 2013 dengan p value 0,009 (p
value <0,05),r hitung (C) 0,219 yang berarti memiliki korelasi lemah dan arah
hubungan positif (+) menunjukkan bahwa apabila seseorang hamil pada usia
berisiko maka semakin berisiko terjadi abortus, ada hubungan yang bermakna
antara jarak kehamilan dengan kejadian abortus di RST dr. Soedjono
Magelang tahun 2013 dengan p value 0,006 (p value <0,05), r hitung (C)

13
0,232 yang berarti memiliki korelasi lemah dan arah hubungan positif (+)
menunjukkan bahwa apabila seseorang hamil pada jarak kehamilan berisiko
maka semakin berisiko terjadinya abortus.

C. Hubungan Anemia Pada Kehamilan Dengan Kejadian Abortus

Berdasarkan hasil penelitian 2015 yaitu ada hubungan secara statistik antara
anemia pada kehamilan ibu dengan kejadian abortus dengan OR (Odds Ratio) : 3,317
artinya ibu dengan anemia selama kehamilan memiliki resiko 3,317 kali lebih tinggi

14
untuk mengalami abortus dibandingkan ibu yang tidak mengalami anemia selama
kehamilan.

Pada penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah case control.
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Demang Sepulau Raya. Penelitian ini
dilaksanakan bulan Februari 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita usia
subur yang teregister hamil pada periode 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember
2013 di RSUD Demang Sepulau Raya yang tercatat sejumlah 981 orang. Jumlah
sampel pada penelitian ini sebanyak 86 orang. Cara pengambilan sampel dilakukan
secara acak sistematik yaitu systematic random sampling.Data yang digunakan
penelitian ini adalah data sekunder. Metode pengumpulan data penelitian ini pada
data kuantitatif dengan menggunakan pengamatan (observasi rekam medis). Analisa
data menggunakan analisis univariat, bivariat dengan uji chi-square dan multivariate
dengan uji regresilogistik.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami anemia
dalam kehamilan pada kelompok abortus sebesar 62,8% ibu, dan pada kelompok
tidak abortus 33,7% ibu, dapat dilihat bahwa persentase ibu dengan anemia lebih
besar pada kelompok abortus dibandingkan pada kelompok tidak abortus. Menurut
Huliana (2007) bahwa jika seorang wanita hamil mengidap anemia, pengaruhnya
dapat terjadi pada awal kehamilan yaitu terhadap pembuahan (janin, plasenta, darah).
Hasil pembuahan membutuhkan butir-butir darah merah dalam pertumbuhan embrio.
Pada bulan ke 5-6 janin membutuhkan zat besi yang semakin besar jika kandungan
zat besi ibu kurang maka sel darah merah tidak dapat mengantarkan oksigen secara
maksimal ke janin sehingga dapat terjadi abortus, kematian janin dalam kandungan
atau waktu lahir.
Menurut Prawirohardjo (2007),Anemia pada ibu dapat mengakibatkan
perdarahan, infeksi, abortus, persalinan prematur, syok, yang dapat berakhir dengan
kematian. Pada janin, anemia dapat menyebabkan BBLR, IUFD, cacat bawaan,
prematur, dan infeksi pada janin. Ibu hamil yang mengalami anemia akan mengalami
hipoksemia atau kemampuan membawa oksigen ke janin serta nutrisi ke janin yang

15
mempengaruhi fungsi plasenta. Fungsi plasenta yang menurun dapat mengakibatkan
gangguan tumbuh kembang janin, sehingga kebutuhan janin tidak terpenuhi. Keadaan
tersebut mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat dan abortus (FKMUI, 2008).
Dari hasil tersebut maka kejadian anemia berhubungan dengan kejadian
abortus berkaitan dengan berkurangnya asupan nutrisi dan oksigen dari ibu ke janin
sehingga dapat menggangu pertumbuhan janin atau menyebabkan kejadian abortus.
Kejadian anemia tersebut juga berkaitan dengan asupan nutrisi dan dukungan
keluarga dalam upaya pencegahan kejadian anemia serta risiko kejadian abortus
sehingga diperlukan upaya untuk menghindari anemia yang secara tidak langsung
juga bertujuan memperkecil risiko kejadian abortus dengan upaya pemberian
konseling kepada ibu tentang pentingnya memeriksakan kehamilan secara rutin sesuai
dengan standar pelayanan ANC serta memberikan dorongan kepada keluarga untuk
turut serta dalam menjaga kondisi ibu selama kehamilan dengan memberikan asupan
nutrisi khususnya yang mengandung zat besi dan istirahat yang cukup.
Selain itu tenaga kesehatan juga diharapkan dapat melakukan deteksi dini
tidak hanya terhadap anemia saja tetapi juga memperhatikan faktor risiko lain
termasuk didalamnya pendidikan kesehatan mengenai nutrisi yang adekuat karena
nutrisi makro dan mikro termasuk zat besi dan zat-zat lainnya menunjang
pertumbuhan janin dalam kandungan. Melakukan penanganan dan pencegahan
anemia sesuai standar pengelolaan anemia pada ibu hamil dengan memberikan tablet
Fe dan asam folat serta memastikan bahwa ibu hamil benar-benar mengkonsumsinya,
serta menjelaskan beberapa makanan yang dapat menghambat penyerapan zat besi
seperti minuman teh dan kopi dua jam sebelum dan sesudah mengkonsumsi tablet Fe
dan asam folat serta pada saat ibu makan. Selain pencegahan anemia juga perlu
diperhatikan adanya pengawasan pada ibu dengan usia berisiko dan adanya riwayat
abortus sebelumnya.

16
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Abortus ialah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup diluar kandungan.Sebagai batasan ialah kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram
(Prawirohardjo,2009).
Aborsi secara umum dibagi atas aborsi spontan & aborsi provokatus
(buatan). Aborsi provokatus (buatan) secara aspek hukum dapat golongkan menjadi dua,
yaitu aborsi provokatus terapetikus (buatan legal) & aborsi provokatus
kriminalis (buatan ilegal).
Adapun berbagai faktor penyebab dari abortus yaitu factor janin
(gangguan pertumbuhan embrio, zigote, janin atau plasenta), Faktor ibu
(Kelainan endokrin, Faktor imunologi, Infeksi, Kelainan bentuk rahim),
Faktor bapak (kelainan kromosom dan infeksi sperma), Faktor nutrisi
(malnutrisi), Faktor psikologis,Faktor genetic.
Awal terjadinya abortus ditandai dengan adanya perdarahan yang
disertai dengan nekrosis jaringan dan timbulnya kontraksi yang
menyebabkan terancamnya kehamilan.
Abortus dapat diduga bila seorang wanita dalam masa kehamilan
mengeluh tentang perdarahan pervaginam dan terjadi rasa mulas.
Kecurigaan tersebut dapat diperkuat dengan ditentukannya kehamilan
muda pada pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan secara
biologis atau imunologi bilamana hal tersebut dikerjakan.Harus
diperhatikan macam dan banyaknya perdarahan, pembukaan serviks dan
adanya jaringan dalam cavum uterus atau vagina.
Penatalaksanaan awal pada kasus abortus adalah melakukan
penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien dan selanjutnya

17
diperiksa apakah ada tanda-tanda syok, Kemudian pasang infuse dengan
jarum besar (16G atau lebih besar), berikan larutan garam fisiologik atau
ringer laktat dengan tetesan cepat (500 ml dalam 2 jam pertama).
Kemudian setelah diketahui abortus apa yang terjadi lakukan penangaan
yang spesifik sesuai abortus yang terjadi.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat
bagi pembaca khususnya mahasiswa untuk mendalami dan memahami
tentang abortus.

18
DAFTAR PUSTAKA

Huliana, 2007. Panduan Menjaga Kehamilan Sehat,Puspa Swara,Jakarta.


Prawirohardjo, 2007. Buku Acuan nasional:Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, YBP-SP. Jakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai