Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TUGAS KELOMPOK

PENGANGKATAN ANAK/ADOPSI ANAK

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Konsep Kebidanan, etikolegal dan


Hukum Kesehatan
Dosen Pengampu :Drs. Sigit Solihin,M.Hum.

Disusun Oleh :
1. Qonitah Dhaimahwati (P27224020077)
2. Rahmawati (P27224020078)
3. Rina Handayani (P27224020079)
4. Robbi’ah Agustin (P27224020080)
5. Rusmiati (P27224020081)
6. Severiana Jinni K.S (P27224020082)

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG SARJANA TERAPAN


DAN PROFESI KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk memajukan suatu negara dibutuhkan sumber daya manusia
yang berkualitas. Salah upaya menjaga sumber daya manusia adalah
meneruskan kelangsungan hidup melalui anak – anak kita. Anak merupakan
anugerh dari Tuhan YME yang harus selalu kita jaga, dilindungi oleh kelurga,
masyarakat, dan negara. Di dalam diri seorang anak termuat hak asasi manusia
yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 serta dilindungi oleh undang –
undang.
Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan suatu
keluarga. Oleh karena itu, suatu keluarga yang belum memiliki keturunan
akan berusaha untuk melakukan pengangkatan anak atau adopsi. Dalam
melakukan pengangkatan anak harus sesuai dengan hokum di Indonesia
supaya tidak bermasalah dengan hukum.Selain itu pengangkatan anak hanya
dilakukan untuk kepentingan terbaik untuk anak (Rahman, 2007).Oleh karena
itu, kami melakukan penulisan makalah mengenai pengakatan anak atau
adopsi.
B. Tujuan
1. Memahami pengertian pengangkatan anak/ adopsi anak.
2. Mengetahui macam – macam pengangkatan anak.
3. Memahami Pengangkatan anak menurut hukum di Indonesia
4. Memahami akibat hukum dari pengangkatan anak.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Adopsi
1. Dari Segi Etimologi
Adopsi berasal dari bahasa Belanda “Adoptie” atau Adoption (Bahasa
Inggris) yang berarti pengangkatan anak.
2. Dari Segi Terminologi
a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Adopsi adalah pemungutan
atau pengangkatan anak orang lain secara sah sebagai anak sendiri
penerimaan suatu saran atau usul.
b. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu
“anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya
sendiri”.
c. Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan (Muderis Zaeni. SH
1985:5):Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang
tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.
Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atas untuk
mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat dari
adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang diadopsi kemudian
memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan
kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus
memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin
kesejahteraan bagi anak.
d. Dalam PP RI no. 54 tahun 2007 disebutkan bahwa pengangkatan
anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak
dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali sah atau orang lain yang
bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak,
yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
B. Tujuan Pengangkatan Anak
Tujuan pengangkatan anak termuat dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan
anak Pasal 2 yaitu pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik
bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan
anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan tujuan mengangkat anak membawa akibat hukum bagi
pengangkatan anak yang diuraikan dalam Staatbad.1917 No.129, yakni:
1. Anak angkat secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat (pasal 11).
2. Anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang
tua angkat (pasal 12 ayat 1).
3. Anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkat.
4. Karena pengangkatan anak, terputus segala hubungan perdata yang
berpangkal pada keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orang tua
kandung).
Ketentuan dalam pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007, yaitu :
1. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat (Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat).
2. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya.
3. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing
hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
4. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai
asal-usulnya dan orang tua kandungnya sesuai dengan kesiapan dari anak
yang bersangkutan.

C. Jenis – Jenis Pengangkatan Anak


1. Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia
a. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat
Merupakan pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas
yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam
kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak berdasarkan adat
kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapan pengadilan.
b. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundangundangan.
Mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak
melalui lembaga pengasuhan anak. Pengangkatan anak berdasarkan
peraturan perundang-undangan dilakukan melalui penetapan
pengadilan.
2. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara
Asing.
a. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara
Asing
b. Pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga
Negara Indonesia.
D. Syarat – Syarat Pengangkatan Anak
Syarat – syarat pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007, yaitu :
1. Anak belum berusia 18 (delapan belas) tahun
a. Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama
b. Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua
belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak
c. Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan
khusus.
2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan
3. Anak berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak
4. Anak tersebut memerlukan perlindungan khusus.
5. Calon orang tua harus memenuhi syarat – syarat di bawah ini :
a. Sehat jasmani dan rohani
b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(lima puluh lima) tahun
c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat
d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan
e. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun
f. Tidak merupakan pasangan sejenis
g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak; h. dalam keadaan mampu ekonomi dan social
h. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali
anak
i. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak
j. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l. telah mengasuh
calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan
k. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara


Asing, harus memenuhi syarat:

1. Memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui


kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia
2. Memperoleh izin tertulis dari Menteri.
3. Melalui lembaga pengasuhan anak.
4. Telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun
5. Mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon
6. Membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada
untuk Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara
Indonesia harus memenuhi syarat :
1. Memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia.
2. Memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.
E. Tata Cara Pengangkatan Anak
1. Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata
cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan
diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan.
Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke
instansi terkait.
3. Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak
waktu paling singkat 2 (dua) tahun.Apabila calon anak angkat adalah
kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara
kembarnya oleh calon orang tua angkat.
4. Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga
Negara Asing yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan
untuk mendapatkan putusan pengadilan. Pengadilan menyampaikan
salinan putusan pengangkatan anak ke instansi terkait.
5. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di wilayah
Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Asing
yang berada di luar negeri harus dilaksanakan di Indonesia dan memenuhi
persyaratan.
F. Pengaturan Mengenai Lembaga Pengangkatan Anak Dalam Sistem
Hukum Indonesia
1. Hukum adat
Sistem hukum Indonesia bersumber pada hukum adat. Dalam
hukum adat dikenal adanya pengangkatan anak,Sebagaimana hukum adat
pada umumnya di Nusantara jarang terdokumentasi secara tertulis, tetapi
hidup dalam ingatan kolektif masyarakatnya. Sebagai contoh salah satu
bagian dari hukum keluarga mengenai pengangkatan anak. Mengangkat
anak disebut “mupu anak” (Banten Utara & Cirebon), “mulung” atau
“ngukut anak” (suku Sunda umumnya) dan “mungut anak” (Jakarta).
Orang tua angkat umumnya bertanggung jawab terhadap anak yang
diangkatnya sedangkan orang tua kandung lepas tanggung jawabnya
setelah pengangkatan itu. Cara pengangkatan pun sangat sederhana
biasanya hanya keluarga yang menyerahkan dan yang mengangkat, tetapi
tetangga akan segera mengetahuinya. Adapula yang dihadiri para kerabat
dari kedua belah pihak. Pengangkatan yang menggunakan surat ditemukan
hanya di dua tempat yaitu di Meester Cornelis (Jatinegara) yang disahkan
asisten wedana dan Lengkong-Bandung yang disaksikan Kepala Desa.
Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adalah terang
dan tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan
hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan orang banyak,
dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang
mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai
seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.
2. Hukum Islam
Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang
mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung
sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah
pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah
anaknya.
Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh
pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak.
Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang
mampu, agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau
untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Hanya saja, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si
anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya.
Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang
mendasarinya.
Jadi, Adopsi yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, tidak
menjadikan anak yang diangkat mempunyai hubungan dengan orangtua
angkat seperti hubungan yang terdapat dalam hubungan darah.
3. Hukum Perdata Barat
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) tidak ditemukan
suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat. BW
hanya mengatur tentang pengkuan anak diluar kawin, yaitu seperti yang
diatur dalam Buku I Bab 12 bagian ketiga BW, tepatnya pada Pasal 280
sampai 289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap
anak-anak diluar kawin.

G. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Di Indonesia


Dasar hukum pengangkatan Anak di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 Tentang


Pengangkatan Anak.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.
4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 Tentang
Pengangkatan Anak.
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 Tentang
Pengangkatan Anak.
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia.
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
10. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 110/HUK/2009 Tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak.

H. Jerat pidana bagi pengangkatan anak secara illegal


Penjualan/perdagangan anak dan adopsi ilegal merupakan dua hal
yang berbeda. Adopsi anak secara ilegal terjadi apabila pengangkatan anak itu
tidak dilengkapi surat-surat yang sah, yakni tidak disertai permohonan
pengangkatan anak ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan
Undang-Undang Perlindungan Anak 2014 (“UU Perlindungan Anak”).
Jika tidak dilakukan sesuai dengan prosedur hukum, maka adopsi itu
disebut sebagai adopsi ilegal. Dasar hukum yang mengatur mengenai sanksi
adopsi ilegal adalah Pasal 79 UU Perlindungan Anak.
Pada dasarnya, pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.
Perlindungan khusus kepada anak, salah satunya diberikan kepada anak
korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan (Pasal 59 ayat (1) jo.
Pasal 59 ayat (2) huruf h UU Perlindungan Anak).
Wujud perlindungan pemerintah ini dipertegas dengan disahkannya
Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially
Women And Children, Supplementing The United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah,
Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan
Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) melalui Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2009 (“UU 14/2009”).
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau
perdagangan anak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 76F UU Perlindungan
Anak.
Ketentuan sanksinya dapat di lihat dalam Pasal 83 UU Perlindungan Anak
yang berbunyi:
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Pasal 83 UU Perlindungan Anak memang telah menentukan larangan
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk
dijual. Namun, ketentuan tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan
orang yang tegas secara hukum. Demikian antara lain yang dikatakan dalam
bagian penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (“UU Pemberantasan
Perdagangan Orang”).
Adapun pengertian perdagangan orang yang dirumuskan dalam UU
Pemberantasan Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk
tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Pasal 1 angka 1
UU Pemberantasan Perdagangan Orang).
Namun berdasarkan penelusuran, perdagangan anak yang dimaksud
dalam UU Pemberantasan Perdagangan Orang ini lebih menitikberatkan pada
tujuan eksploitasi, sedangkan kami asumsikan perdagangan/penjualan anak
bukan untuk tujuan eksploitasi. Oleh karena itu, kita berpedoman pada UU
Perlindungan Anak.
Seperti yang di sebutkan di atas, tindak pidana penjualan/perdagangan
anak dan adopsi merupakan hal yang berbeda. Akan tetapi, memang dalam
praktiknya, tindak pidana penjualan/perdagangan anak sering dikaitkan pula
dengan adopsi ilegal. Tentu pada akhirnya, hal ini diserahkan sepenuhnya
kepada hakim untuk memeriksa dan memutus perkaranya.
Sebagai contoh kasus dapat di lihat dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 2748 K/Pid.Sus/2009. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan, terdakwa adalah sebagai perantara penjualan bayi. Ia mencari
bayi untuk diadopsi. Ia bersama terdakwa lain bekerja sama membeli bayi
dengan harga Rp13 juta. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar UU Pemberantasan Perdagangan Orang dan UU Perlindungan
Anak. Hakim menjatuhkan pidana penjara selama enam tahun dan denda
sebesar Rp. 120 juta subsidair enam bulan kurungan kepada terdakwa.
Contoh lain pula dapat di lihat dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 181 K/Pid.Sus/2007. Terdakwa menjual anak kandungnya sendiri
untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. Terdakwa telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut serta melakukan
memperdagangkan, menjual anak untuk diri sendiri atau untuk dijual”. Hakim
memutus bahwa terdakwa bersalah karena memenuhi unsur Pasal 83 UU
Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) tentang “Turut Serta Melakukan Memperdagangkan,
Menjual Anak Untuk Diri Sendiri atau Untuk Dijual”. Hakim menjatuhkan
pidana selama satu tahun penjara dan denda sebesar Rp. 60 juta dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana
kurungan selama 3 bulan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Adopsi/pengangkatan anak yakni pengangkatan anak orang lain ke
dalam keluarg asendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat
dengan orang tua angkat timbul hubungan antara anak angkat sebagai anak
sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri. Pengangkatan anak
bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan
adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan (PP
Nomor 54 Tahun 2007). Pengangkatan anak menurut adat yaitu masuknya
anak angkat kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan
terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak
angkat. Hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi, karena menurut
pendapat orang Islam keturunan itu tidak bisa diganti.
Pengangkatan anak harus sesuai dengan ketetuan pemerintah yang
berlaku. Karena apabila tidak bisa dianggap sebagai adopsi illegal dan bisa di
proses secara hukum sesuai kentuan yang berlaku.
B. Saran
Dalam Melakukan adopsi anak harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Sebagai seorang bidan kita juga harus berhati – hati dalam membuat
surat keterangan lahir karena hal ini sangat rawan digunakan dalam adopsi
illegal.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2009.
Kamil, Ahmad. Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Rahman Saleh, Abdul. 2007. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.54 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan anak

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 10.

Anda mungkin juga menyukai