Anda di halaman 1dari 13

PENUGASAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Interkontinensia Urin”

Oleh :
Davit Wira Adi Pratama 185070207111003
PSIK 2018 Reguler 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha esa yang telah memberi rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penugasan ini yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pasien Dengan Interkontinensia Urin”. Dan juga tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada Para Dosen yang telah memberikan materi sehingga
kami mampu menulis makalah ini.
Harapan kami semoga makalah yang telah dibuat dapat memberikan
pengetahuan dan bermanfaat bagi para pembaca. Dikarenakan keterbatasan
pengetahuan,kami yakin penugasan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh Karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menyempurnkan
penugasan ini. Dengan harapan kedepannya kami dapat memperbaiki bentuk maupun
isi penugasan agar menjadi lebih baik lagi.

Malang, Februari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................................. 2

Daftar Isi ........................................................................................................................................... 3

Definisi ............................................................................................................................................. 4

Etiologi ............................................................................................................................................. 4

Faktor Risiko ..................................................................................................................................... 4

Patofisiologi...................................................................................................................................... 5

Manifestasi Klinis ............................................................................................................................. 5

Pemeriksaan Diagnostik ................................................................................................................... 6

Tatalaksana Medis ........................................................................................................................... 6

Asuhan Keperawatan ...................................................................................................................... 7

Daftar Pustaka.................................................................................................................................. 13

3
 Definisi
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial
(Kane, dkk, 1989). Inkontinensia urin umumnya orang-orang dari segala usia tetapi
sangat umum di kalangan orang tua. Telah dilaporkan bahwa lebih dari setengah
dari semua penghuni panti jompo mengalami inkontinensia urin. Meskipun
inkontinensia urin bukan merupakan konsekuensi normal dari penuaan, perubahan
terkait usia pada saluran kemih mempengaruhi orang yang lebih tua untuk
inkontinensia.
Biaya perawatan untuk pasien dengan inkontinensia urin tidak terbatas pada
uang yang dihabiskan untuk produk penyerap, obat-obatan, dan modalitas
perawatan bedah atau non-bedah. Biaya psikososial inkontinensia urin juga
signifikan: rasa malu, kehilangan harga diri, dan isolasi sosial adalah hasil yang
umum. Inkontinensia urin pada pasien usia lanjut sering mengurangi kemampuan
mereka untuk mempertahankan gaya hidup mandiri.
 Etiologi
a. Poliuria, noktoria
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia > 50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh:
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan
efek akibat dilahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar
panggul.
2) Perokok, minum alkohol.
3) Obesitas.
4) Infeksi saluran kemih (ISK)
 Faktor Risiko
 Kehamilan: persalinan pervaginam, episiotomi
 Menopause
 Operasi Genitourinari
 Kelemahan otot panggul
 Uretra yang tidak kompeten karena trauma atau relaksasi sfingter
 Imobilitas
 Dampak dari latihan fisik terlalu berat
 Diabetes mellitus

4
 Stroke
 Perubahan terkait usia pada saluran kemih.
 Obesitas
 Gangguan kognitif: demensia, penyakit Parkinson Obat: diuretik, sedatif ,
hipnotik, opioid
 Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
a. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan vesika urinaria
(kandung kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600
ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml.
Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan.
Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontrasi
dan sfingter internal dan sfingter ekternal relaksasi, yang yang membuka
uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan
proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50
ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml
mengidentifikasi adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada proses
penuaan adalah terjadinya kontraksi kandung kemih tanpa disadari. Wanita
lansia, terjadi penurunan produksi estrogen menyebabkan atrofi jaringan
uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-
otot dasar ( Stanley M & Beare G Patricia, 2006 ).
Fungsi otot besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine
banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang
terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin
 Manifestasi Klinis
a. Mengompol ketika ada tekanan (stress incontinence)
b. Tidak dapat menunda buang air kecil (urge incontinence)
c. Mengompol secara tiba-tiba (overflow incontinence)
d. Tidak dapat sama sekali menahan urin (total incontinence)

5) Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.
b. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih.

5
c. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot detrusor, tekanan dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi eksretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e. Voiding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan
kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, struktur
uretra, dan tahap gangguan uretra prostatik stenosis (pada pria).
f. Urterografi retrograde, digunakan hampir secara eksklusif pada pria, membantu
diagnosis struktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sfingter eksternal mengukur aktivitas listrik sfingter urinarus
eksternal.
h. Pemeriksaan rektum pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat
atau nyeri, kemungkinan menandakan hipertfrofi prostat jinak atau infeksi.
Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin dapat
mentebabkan inkontinensia.
i. Kateterisasi residu pascakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung
kemih.
6) Tatalaksana Medis
Perawatan inkontinensia urin tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Namun,
sebelum pengobatan yang tepat dapat dimulai, masalah dan penyebabnya harus
diidentifikasi.
a. Behavioural Therapy
Behavioural Therapy selalu merupakan pilihan pertama untuk mengurangi atau
menghilangkan inkontinensia urin. Dalam menggunakan teknik-teknik ini, dokter
membantu pasien menghindari potensi efek samping dari intervensi farmakologis
atau bedah (AHCPR, 1996; Roberts, 2001)
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis bekerja paling baik ketika digunakan sebagai tambahan untuk
intervensi perilaku. Agen antikolinergik (oxybutynin [Ditropan], dicyclomine
[Antispas]) menghambat kontraksi kandung kemih dan dianggap sebagai obat lini
pertama untuk inkontinensia mendesak. Beberapa obat antidepresan trisiklik
(imipramine, doxepin, desipramine, dan nortriptyline) juga mengurangi kontraksi
kandung kemih serta meningkatkan resistensi leher kandung kemih. Inkontinensia
stres dapat diobati menggunakan pseudoefedrin (misalnya, Sudafed). Estrogen
(diambil secara oral, transdermal, atau topikal) telah terbukti bermanfaat untuk
semua jenis inkontinensia urin. Estrogen mengurangi obstruksi aliran urine dengan
mengembalikan integritas mukosa, vaskular, dan otot uretra.

6
c. Manajemen Bedah
Koreksi bedah dapat diindikasikan pada pasien yang belum mencapai kontinuitas
menggunakan terapi perilaku dan farmakologis. Opsi bedah bervariasi sesuai dengan
anatomi yang mendasari dan masalah fisiologis. Kebanyakan prosedur melibatkan
mengangkat dan menstabilkan kandung kemih atau uretra untuk mengembalikan
sudut urethrovesical normal atau untuk memperpanjang uretra.
7) Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Adapun data-data yang akan di kumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan
klien dengan diagnosa medis inkontinensia urine :
a. Identitas klien
b. Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis
c. Keluhan utama
Pada kelayan inkontinensia urine keluhan-keluhan yang ada adalah
nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan strategi
d. Riwayat penyakit sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan,
usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan
e. Riwayat penyakit dahulu
f. Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran kemih )
yang berulang, penyakit kronis yang pernah di derita
g. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit inkontinensia urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, hipertensi
h. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
1) B1 (breathing)
Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada palo nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah kelainan
pada perkusi
2) B2 (blood)

7
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
3) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktifitas mikroorganisme (bakteri) dalam
kandung kemih serta disertai keluhan keluarnya darah apabila ada
lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada neatus
uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih mendadah disurea
akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau pelvis,
seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga
diluar waktu kencing.
5) B5 (bowel)
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi
untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat
kontraksi kantung kemih.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
yang lama.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh
urine

8
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang
adekuat

3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi
untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat
kontraksi kandung kemih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan
bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinesia.
Kriteria Hasil :
Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinesia dan rasional
penatalaksaan.
Intervensi :
1) Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri
distensi kandung kemih
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah
terjadinya enurasis
3) Bila masih terjadi inkontinesia kurangi waktu antara berkemih yang
telah direncanakan
Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk
menampung volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering
berkemih.
4) Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada
kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih
dulu.
Rasional : Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung
kemih.
5) Pantau pemasukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat
masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.

9
Rasional : Dehidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan
batu ginjal
6) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis/ jadwal pemberian
obat untuk menurunkan frekuensi inkontinensia.

b. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinesia, imobilitas dalam waktu


yang lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukan tidak
adanya bakteri.
Intervensi :
1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika
pasien inkontinensia, cuci daerah perineal segera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra .
2) Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x
sehari (Merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu
akan tidur) dan setelah buang air besar.
Rasional : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki
kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3) Ikuti kewaspadaan umum (Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan
tubuh atau darah yang terjadi (Memberikan perawatan perineal,
pengosongan kantung drainase urine, penampungan spesimen
urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan kateterisasi, bila
mengambil contoh urine dari kateter Indwelling.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang
4) Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan .
Rasional : Untuk mencegah stasis urine.

10
5) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
a) Tingkatkan masukan sari buah berri .
b) Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
c) R : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman . Karena jumlah
sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara
keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat
berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih.

c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh


urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan
integritas kulit teratasi.
Kriteria hasil:
1) Jumlah bakteri <100.000/ml
2) Kulit periostomal penuh
3) Suhu 37c
4) Urine jernih dengan sendimen minimal.
Intervensi
1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam
Rasional : untuk mengindetifikasi kemajuan atau penyimpanan dari
hasil yang diharapkan
2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdefekasi.
Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang
baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dan
diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang
benar-benar menutupi kulit periastomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
Rasional : peningkatan berat urine dapat merusak segel
periostomal,memungkinkan kebocoran urin. Pemajanan menetap
pada kulit periostomal terhadap asam urin dapat menyebabkan
kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

11
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang
adekuat
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume
cairan seimbang
Kriteria hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1) Awasi tanda-tanda vital
Rasional : pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume
intravaskular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2) Catat pemasukan dan pengeluaran
Rasional : untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian
cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.
3) Awasi berat jenis urine
Rasional : untuk mengukur kemampuan ginjal dalam
mengkonsestrasikan urine
4) Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
Rasional : membantu periode tanpa cairan meminimalkan
kebosanan pilihan yang terbatas dan menurunkan rasa haus
5) Timbang BB setiap hari
Rasional : untuk mengawasi status cairan

4. Implementasi
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan radiasi daripada rencana
tindakan keperawatan yang telah diterapkan. Meliputi tindakan independent,
dependent, dan interpendent. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa
kegiatan, validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana
keperawatan memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data.
(Susan Martin, 1998).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan dilakukan untuk
mengetahui sampai dimana keberhasilan tindakan yang diberikan sehingga
dapat menemukan intervensi yang akan dilanjutkan. (Susan Martin, 1998)

12
DAFTAR PUSTAKA

 Suzanne C. Smeltzer, et al. 2017. Brunner & Suddarth’s Textbook Of Medical


Surgical Nursing 14th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
 Fischer, J. R., & Lane, I. F. (2017). Urinary incontinence and urine retention. In
BSAVA Manual of Canine and Feline Nephrology and Urology (pp. 24-36). BSAVA
Library.

13

Anda mungkin juga menyukai