Anda di halaman 1dari 2

REFRAT PATOGENESIS INFEKSI JAMUR

I. PENDAHULUAN

Penyakit infeksi (infectious disease) yang juga dikenal sebagai communicable disease atau
transmissible diseae merupakan penyakit yang terjadi akibat dari infeksi, keberadaan dan
pertumbuhan agen biologik patogenik pada organisme host individu. Dalam hal tertentu,
penyakit infeksi dapat berlangsung sepanjang waktu. Patogen penginfeksi meliputi virus,
bakteri, jamur, protozoa, parasit multiseluler dan protein yang menyimpang dikenal sebagai
prion (Mulholland, 2005).

Penularan patogen terjadi dengan berbagai cara yang meliputi kontak fisik, makanan yang
terkontaminasi, cairan tubuh, benda, inhalasi yang ada di udara atau melalui organisma
vektor. Penyakit infeksi yang sangat infektif ada kalanya disebut menular dan dapat dengan
mudah ditularkan melalui kontak dengan orang yang sakit. Penyakit infeksi dengan infeksi
yang lebih khusus, seperti penularan vektor, penularan seksual, biasanya tidak dianggap
sebagai menular karenanya korban tidak diharuskan adanya karantina medis (Mulholland,
2005).

Prevalensi penyakit infeksi memiliki kecenderungan yang masih cukup tinggi meskipun
terapi pengobatan dan pencegahan terhadap kejadian infeksi semakin berkembang. Setiap
tahunnya penyakit infeksi membunuh 3,5 juta orang yang sebagian besar adalah anak-anak
miskin dan anak yang tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO,
2014). Lebih dari 60-70%, dan prevalensi terbesar ditemukan pada anak balita dan anak usia
sekolah dasar (Judarwanto, 2005). Infeksi yang disebabkan oleh jamur juga patut diwaspadai
karena banyaknya infeksi dan penyakit infeksi yang dapat disebabkan oleh jamur.

Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan
kelembaban tinggi, dimana merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, higiene
juga berperan untuk timbulnya penyakit ini. Sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua
tempat. Insidensi penyakit yang disebabkan oleh jamur di Indonesia berkisar 2,93-27,6% untuk
tahun 2009-2011. Di Indonesia, dermatofitosis menempati urutan kedua setelah pityriasis
versikolor. Dermatofitosis didapatkan sebanyak 52% dengan kasus terbanyak tinea kruris dan
tinea korporis. Di Makassar, dermatofitosis menempati urutan kedua setelah golongan
dermatitis. Insiden penyakit ini di RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar melaporkan
terdapat 69,33% kasus baru dermatofitosis untuk periode 2006-2010.
Bahkan golongan penyakit kulit karena infeksi jamur menempati urutan kedua terbanyak dari
insiden penyakit kulit di RSU Pusat H. Adam Malik Sumatera Utara, dan RSUD dr. Pirngadi
Medan (Mansur, 2005).

Menurut World Health Organization (WHO), dermatofitosis mempengaruhi sekitar 25% dari
populasi dunia. Faktor iklim, kegiatan sosial, migrasi dan faktor individu mungkin
mempengaruhi epidemiologi dari dermatofitosis (Nalu et al., 2014). Usia, jenis kelamin, dan
ras merupakan faktor epidemiologi yang penting, di mana prevalensi infeksi dermatofit pada
laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Sebagian besar dermatofitosis menyebar secara
langsung dari individu ke individu lain (anthropophilic organisme). Sebagian lainnya hidup
dan ditransmisikan dari tanah ke manusia (geophilic organisme, menyebar dari hewan ke
manusia (zoophilic organisme), dan ada yang menyebar secara tidak langsung dari benda
sehari – hari yang digunakan (Andrew, 2013). Dalam evaluasi epidemologi yang mencakup
16 negara di Eropa menunjukkan bahwa 35% - 40% mengidap tinea pedis yang disebabkan
oleh dermatofit. Studi yang dilakukan pada anak – anak di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa 22% - 50% dari mereka ditemukan infeksi dermatofit di rambut. Di Brazil bagian
selatan didapatkan insiden tertinggi yang disebabkan oleh infeksi dermatofit Trichophyton
rubrum, lalu Microsporum canis, dan Trichophyton mentagrophytes, sedangkan di Brazil
Insidensi penyakit yang disebabkan oleh jamur di Indonesia berkisar 2,93% - 27,6% untuk
tahun 2009-2011. Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2012 didapatkan 65
kasus (1,61%) dan pada tahun 2013 didapatkan 153 (3.7%) kasus dari 4099 (100%) total
kasus penyakit kulit. Menurut jurnal profil dermatofitosis di poliklinik kulit dan kelamin
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2013 menyatakan
distribusi jumlah kasus dermatofitosis tahun 2013 di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
yaitu 153 (3.7%) kasus dari 4099 (100%) total kasus penyakit kulit. Berdasarkan lokasinya
diadapatkan 54 kasus (35.3%) tinea kruris, kemudian tinea pedis dengan 50 kasus (32,7%),
tinea kapitis 11 kasus (7,2%), lalu tinea unguium atau onikomikosis dengan 8 kasus (5,3%)
dan tinea corporis 4 kasus (2,6%). Selain itu ada juga lokasi kombinasi tinea korporis et
kruris dan tinea kruris et korporis dengan 26 kasus (17%). Tidak ditemukan data mengenai
tinea barbae dan tinea imbrikata (Sondakh et al., 2016).

Anda mungkin juga menyukai