Anda di halaman 1dari 19

Evaluasi Visual dan Semi-Otomasi Epileptogenisitas pada

Displasia Kortikal Fokal - Studi EEG Intrakranial

Stephanie Gollwitzer, Ivan Valente, Roman Rodionov, Catherine Scott, Laura


Mantoan Ritter, TimWehner, Hajo M. Hamer, Fabrice Bartolomei, Beate Diehl

a. NIHR University College London Hospitals Biomedical Research Centre,


UCL Institute of Neurology & National Hospital for Neurology and
Neurosurgery, Queen Square, London WC1N 3BG, United Kingdom
b. Epilepsy Society, Chalfont St Peter, SL9 0RJ, United Kingdom
c. Epilepsy Center, Department of Neurology, University Hospital Erlangen,
Erlangen, Germany
d. Service de Neurophysiologie Clinique, APHM, Hôpital de la Timone, 13005
Marseille, France
e. INSERM UMR 1106, INS, 27 Bd Jean Moulin, 13385 Marseille, France
f. Aix Marseille Université, Faculté de Médecine, Marseille, France
g. Hôpital Henri Gastaut, Etablissement Hospitalier Spécialisé dans le traitement
des Epilepsies, 300 Boulevard de Sainte-Marguerite, 13009 Marseille, France
h. Clinical Neurosciences Department, King's College, NHS Foundation Trust,
Denmark Hill, London SE5 9RS, United Kingdom.

ABSTRAK
Pengantar:
Tujuan dari penelitian ini adalah evaluasi untuk menilai elektroda lapisan depth
subdural yang menginduksi epileptogenisitas dengan focal cortical dysplasias
(FCD) dan untuk tes dengan Epileptogenicity Index (EI) yang sudah diatur.
Bahan dan metode:
Lima belas pasien dengan focal cortical dysplasias (FCD) menjalani iEEG
pada elektroda subdural dan depth. Analisis visual/ Epileptogenicity Index (EI)
dilakukan pada yang biasa hinga 3 kejang per pasien.
Hasil:
Analisis visual: Kejang onset grid (n=10) dimulai pada elektroda yang
menutupi lesi 7 dan lebih jauh pada 3 kasus. Kejang onset depth(n=7) hanya
memengaruhi kontak intralesi pada 4 pasien, intra dan ekstralesi 2 pasien, dan
ekstralesi ekslusif 1 pasien. Kejang dimulai depth dan grid secara bersamaan
pada 2 kasus.
Analisis Epileptogenicity Index (EI): EI benar-benar mengkonfirmasi
lokalisasi visual onset kejang pada 8 kasus dan menggambarkan onset-waktu
iktal secara akurat pada 13 kasus. Pola iktal beta/gamma pola paling reliabel.
Dampak pada keputusan bedah:
Garis reseksi berbeda dari lesi MRI informasi elektroda pada 7 pasien
berdasarkan grid dan 3 berdasarkan depth.
Diskusi:
Pada FCD, kejang dapat terjadi di dalam gyral/deep tissue yang tampak normal
pada pencitraan.
Kesimpulan:
Investigasi FCD dengan elektroda subdural dan depth efisien untuk
menguraikan onset kejang. EI adalah alat tambahan yang bermanfaat untuk
mengukur epileptogenisitas. Pola iktal merupakan prasyarat untuk hasil yang
reliabel.

1. Introduksi
Focal cortical dysplasia (FCD) semakin dikenal sebagai salah satu penyebab
paling umum dari epilepsi fokal onset dini yang sulit diatasi baik pada orang
dewasa maupun anak-anak. Meskipun hasil yang baik setelah reseksi fokal hingga
60% pasien yang bebas kejang telah dilaporkan, evaluasi pra-bedah dari zona
epileptogenik (EZ=epilepnogenic zone) masih menantang. Ini, sebagian, karena
fakta bahwa MRI resolusi tinggi tidak selalu mendeteksi patologi dan terutama
FCD mild tipe I yang terlewatkan pada pencitraan 35-63% pasien. Selain itu,
batas-batas lesi sering sulit digambarkan karena daerah displastik bisa lebih luas
daripada yang terlihat pada MRI. Selain itu, scalp EEG dapat dengan tepat
melokalisasi zona onset iktal hanya pada 40-70% kasus. Karena reseksi lengkap
dari lesi epilepsi, menggabungkan patologi MRI dan EEG zona onset iktal,
merupakan prediktor terbaik untuk hasil kejang pasca operasi yang baik, rekaman
intracranial EEG (iEEG) sering diperlukan untuk mengembangkan strategi
bedah.
Tidak ada konsensus yang optimal pada studi EEG intrakranial untuk kedua
definisi dari zona onset iktal dan diferensiasi dari eloquent korteks yang telah
tercapai. Sementara elektroda subdural grid dan strip memberikan resolusi spasial
yang sangat baik pada permukaan gyral dan memungkinkan pemetaan detail
fungsi kortikal, pengambilan sampel dibatasi untuk korteks bagian bawah yang
cembung dan jaringan radial cerebral di grid atau strip. Beberapa elektroda
(stereo-EEG; SEEG), sebaliknya, memungkinkan pengambilan sampel dari
jaringan kortikal yang dalam dan daerah yang tidak dapat diakses oleh elektroda
subdural, mis., Kedalaman sulkus atau daerah operkular. Mereka juga dapat
memberikan rekaman intralesi langsung. Namun, informasi yang diperoleh dari
kedalam elektroda bisa terpisah-pisah karena pengambilan sampel terbatas pada
jaringan di sekitar kontak elektroda, dan skema implantasi stereo-EEG (SEEG)
secara tradisional dirancang untuk sampel jaringan yang lebih luas dari volume
lesi dan perilesi. Untuk mengembangkan pemahaman yang komprehensif tentang
zona onset iktal tiga dimensi dan eloquent korteks, pendekatan gabungan tampak
reasonabel. Kami secara retrospektif mengaudit ekperiens kami pada 15 pasien
yang menjalani EEG invasif dengan elekroda subdural dan depth serta
mengevaluasi dampak dari modalitas yang diusulkan pada zona epileptogenik dan
reseksi margin.
Selain analisis visual, kami menghitung Indeks Epileptogenisitas
(EI=epileptogenocity index), desain kuantitatif dirancang untuk analisis otomatis
rekaman kedalam EEG dan dievaluasi epilepsi mesial lobus temporal dan epilepsi
fokal pada konteks displasia kortikal fokal dan tumor neurodevelopmental.
Meskipun terbukti reliable dalam berbagai subtipe epilepsi fokal yang dipelajari
dengan berbagai kedalaman elektroda, EI belum diuji secara sistematis dalam
pendekatan EEG subdural atau kombinasi EEG intrakranial sebelumnya.

2. Bahan dan Metode


2.1 Pasien
15 pasien (8 laki-laki, 7 perempuan, usia rata-rata 35,2 tahun, usia saat
onset epilepsi 8,3 tahun) dengan epilepsi fokal yang tidak terobati karena
suspek displasia kortikal fokal kemungkinan besar adalah IIB menurut
kriteria MRI, yang menjalani rekaman iEEG dengan elektroda grid
subdural dan / atau strip dan kedalaman elektroda tambahan dimasukkan
melalui grid di Rumah Sakit Nasional untuk Neurologi dan Bedah Saraf,
London, antara 2009 dan 2013 dimasukkan dan ditinjau secara
retrospektif. FCD ditemukan terletak pada lobus frontal sepuluh, lobus
parietal empat, dan lobus oksipital satu pasien. Dalam semua kasus,
telemetri video EEG scalps, MRI Tesla 3, dan MRI fungsional untuk
lokalisasi bahasa, motorik, atau area sensorik dilakukan sebelum iEEG.
Selain itu, beberapa pasien menjalani SPECT, FDG PET, atau MEG iktal
(Tabel 1). Penelitian ini disetujui sebagai audit retrospektif ke dalam
keberhasilan dan keamanan implantasi EEG intrakranial oleh rumah sakit.
Tabel 1
Demografi, diagnostic presurgical noninfasif, skema implantasi
Usia Kontak Kontak
pasien Usia JK saat lobus lokasi Diagnostik electrode elektroda
onset subdural depth
fMRI,
1 39 M 6 F R 54 10
MEG
2 49 F 5 F L fMRI 70 22
3 34 F 7 F L fMRI, PET 80 24
4 38 M 9 F L fMRI, PET 124 12
fMRI,
5 28 M 12 F L PET, 80 8
SPECT
fMRI,
6a 24 F 1 F L 60 8
SPECT
7 27 M 14 F L fMRI 80 8
8 33 F 1 P L fMRI 56 14
9 25 F 11 P L fMRI 66 12
10a 21 M 2 F R fMRI 64 18
11 28 M 7 P R fMRI 64 16
fMRI,
MEG,
12a 43 F 11 0 L 104 20
PET,
SPECT
13 54 M 8 F L fMRI 64 32
fMRI,
14 25 M 6 P L 80 10
MEG
15 60 F 25 F L fMRI 86 12
M: laki-laki, F: perempuan, Lobus terkena: P: parietal, F: frontal, O: occipital, Hemisfer yang
terkena, R: kanan, L: kiri; fMRI: fungsi MRI, MEG: magnetencephalography, PET: emesi positron
tomography, SPECT: single photon emission computed tomography

2.2 Intrakranial EEG


Skema implantasi didasarkan pada hipotesis zona epileptogenik yang
berasal dari penilaian semiologi dan pra-bedah. Sebelum implantasi,
setiap kasus dibahas dalam pertemuan tim multidisiplin. Target individu
untuk insersi kedalaman elektroda didefinisikan berdasarkan kasus per
kasus, yang bertujuan untuk menargetkan pusat gangguan migrasi
berdasarkan penampilan MRI dan, idealnya, juga menginformasikan
tingkat epileptogenisitas anterior/posterior dan rostrocaudal secara
intrakortikal dan kedalamannya. Elektroda dimasukkan ke pusat
penebalan kortikal berdasarkan MRI pada T1; hyperintensity T2 dan, jika
ada, transmantle sign juga ditargetkan. Pada kasus dasar sulcus
dysplasias, pengambilan sampel lesi dilakukan, dengan respek batas pial.
Target persis pada MRI abnormal juga dipandu oleh semiologi, diagnostik
non-invasif, dan pertimbangan anatomi. Jika, misalnya, zona onset kejang
yang diharapkan pada bagian anterior lesi yang terlihat, sebuah elektroda
dimasukkan secara anterior ke tengah lesi. Jadi, skema implantasi yang
dirancang, dirancang untuk setiap pasien.
Jumlah rata-rata kontak nomor elekroda 75 subdural dan 15 depth
dimasukkan pada setiap pasien. Setelah implantasi, CT scan dilakukan,
dan gambar dihubungkan dengan MRI preimplantasi. Dengan demikian,
peta elektroda dihasilkan pada 3D permukaan otak memungkinkan
lokalisasi elektroda sehubungan dengan struktur anatomi dan batas lesi
seperti di MRI. Pendekatan ini mengarah pada kesalahan coregistrasi
spesifik yang disebabkan oleh pergeseran otak dan tergantung pada
ukuran kraniotomi. Untuk meminimalisir efek ini, setiap pemindaian yang
terkoregasi ditinjau secara visual dan diperbaiki secara manual.
Pemantauan EEG dipertahankan rata-rata selama 6 hari.
Data EEG direkam dengan system sampel video klinis standar-
EEG (Nicolet One) pada 500 Hz per saluran, dengan bandpass filtering
antara 0,5 Hz dan ¼ laju sampling. Stimulasi kortikal untuk mapping
fungsional dilakukan pada semua pasien, menggunakan stimulasi bipolar
dari elektroda yang berdekatan.
2.3 Analisis Visual
Pada 12 pasien, tiga dengan kebiasaan kejang berturut-turut ditinjau oleh
electroencephalographer (SG) bersertifikat; pada tiga pasien (pasien 6, 10,
dan 12), hanya satu kejang terjadi selama pencatatan dan dianalisis. Kami
mendefinisikan onset iktal untuk setiap kejang sebagai waktu kemunculan
pertama dari pola iktal, ditandai dengan pelepasan cepat, penurunan
amplitudo, atau gelombang spike berulang atau pelepasan gelombang
sharp. Kami kemudian mengidentifikasi elektroda yang membawa onset
iktal dan menetapkan zona onset iktal untuk daerah anatomis, yang berada
pada permukaan kortikal, diwakili oleh grid atau dua paling lateral
kedalaman kontak elektroda, atau pada kedalaman kortikal yang diwakili
oleh kedalaman kontak elektroda mesial. Untuk setiap pasien, kami
2menganalisis bersamaan antara zona onset iktal EEG tiga dimensi dan
lesi yang terlihat di MRI. Kami juga meninjau reseksi margin yang
diusulkan berdasarkan analisis visual iEEG seperti yang didokumentasikan
oleh dokter yang melaporkan penelitian, seperti praktik rutin untuk
perawatan klinis. Hasil bedah dievaluasi sesuai dengan klasifikasi ILAE.
2.4 EI (Epileptogenocity Index)
EI dihitung sesuai dengan metode yang dijelaskan sebelumnya
untuk mendapatkan kuantifikasi epileptogenisitas. Singkatnya, ini adalah
algoritma yang memperhitungkan dua faktor: pertama, kecenderungan
jaringan otak untuk menghasilkan pelepasan yang cepat, dicerminkan oleh
pergeseran rasio energi spektral (ER=energy ratio) antara frekuensi tinggi
(beta dan gamma) dan rendah (delta, alfa, dan theta) dan, kedua,
keterlambatan keterlibatan dari setiap struktur yang dianggap ada
kaitannya dengan struktur pertama yang terlibat. Onset kejang ditandai
dengan peningkatan dramatis rasio energy (ER) yang berasal dari Fast
Fourier Transform menggunakan teknik sliding window. Untuk
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas untuk deteksi onset waktu, dua
parameter dapat disesuaikan secara manual: bias ᵥ mengacu pada daya
jumlah fluktuasi yang dianggap "normal" dan ambang batas λ menandai
perubahan ER yang signifikan. Ketika waktu onset kejang telah dicatat
elektroda yang terlibat, rasio energi rata-rata dari waktu ke waktu setelah
deteksi dibagi dengan keterlambatan waktu sehubungan dengan
keterlibatan elektroda pertama yang terlibat. Jadi, setelah normalisasi,
nilai numerik antara 0 dan 1 dihasilkan untuk setiap kontak elektroda.
Elektroda dengan nilai EI yang melebihi batas tertentu dianggap sebagai
epileptogenik. Penjelasan rinci tentang metode ini diberikan dalam
publikasi asli yang memperkenalkan algoritma dan dalam file tambahan.
EI dihitung setiap kejang yang dianalisis visual untuk sejumlah
elektroda dipilih yang terdapat kejang sebagaimana dinilai dengan analisis
visual, dan nilai-nilai rata-rata seluuh kejang pada setiap pasien.
Pemilihan elektroda diperlukan untuk pengoperasian pada sistem
komputasi. Kami memilih elektroda yang terdapat dalam onset iktal dan
kejang terdapat penyebaran. Yang terakhir tidak dianggap sebagai
epileptogenik per SE dan berfungsi sebagai kontrol negatif untuk EI.
Parameter pilihan ᵥ dan λ untuk deteksi onset optimal pada kejang
pertama dari setiap pasien dan umumnya mempertahankan pengaturan
semua kejang intraindividual berturut-turut.
Untuk mengevaluasi validitas EI yang telah diatur ini, kami
membandingkan hasil analisis EI dengan elektroda visual yang terlibat
onset kejang. Untuk penentuan cutoff dari EI membedakan antara kontak
elektroda epileptogenik dan nonepileptogenik dan mengarah pada
persetujuan terbanyak antara penilaian visual dan otomatis, kami
menerapkan pada karakteristik operator penerima. Kami kemudian
menetapkan EI zona onset iktal yang ditentukan daerah anatomis baik di
dalam (depth) atau di permukaan kortikal dan kongruen atau tidak
kongruen dengan lesi MRI secara analog dengan penilaian visual. Untuk
tujuan ini, kami memperhitungkan semua elektroda yang menghasilkan
nilai EI pada nilai cutoff dari EI.
3. Hasil
3.1 Analisis Visual
Tiga kejang pada 12 pasien yang mana dari tiga pasien hanya satu
mengalami kejang selama perekaman. Pada 12 pasien, pencitraan
coregistrasi mengungkapkan kedalaman elektroda terlokalisasi dalam lesi
yang terlihat, pada tiga pasien, semua kedalaman elektroda ditempatkan di
luar lesi yang ditentukan MRI, tetapi beberapa kontak dilokalisasi dengan
jarak dekat.
Kejang berasal dari permukaan kortikal pada sepuluh pasien. Dari
semua ini, zona onset iktal berada di atas lesi terlihat pada MRI hanya
pada tujuh kasus pada tiga pasien, onset tampak jauh. Tujuh pasien
menunjukkan kejang yang dimulai pada jaringan kortikal deep, empat dari
mereka hanya melibatkan kontak dalam lesi, dua menunjukkan pola iktal
baik di dalam maupun di luar kelainan yang terlihat, dan satu
menunjukkan onset iktal dengan kedalaman elektroda di luar lesi secara
eksklusif. Pada dua pasien, kejang dimulai secara bersamaan pada kontak
elektroda di yang dalam dan pada permukaan.
Stimulasi kortikal dari grid menunjukkan secara bersamaan antara
korteks eloquent dan zona onset iktal pada empat pasien yang sesuai tidak
melanjutkan ke operasi. EEG dan pencitraan menguraikan zona
epileptogenik yang diasumsikan identik dalam dua kasus, yang mengarah
ke reseksi lengkap tetapi eksklusif dari lesi yang terlihat.
Pada lima pasien, informasi yang diperoleh dari elektroda subdural
grid terlalu berlebihan pada zona epileptogenik akibatnya kelainan pada
MRI; dengan demikian, diusulkan dan dilakukan reseksi yang lebih besar
(Tabel 2; contoh Gambar. 1).
Gambar 1. Pasien 1, onset iktal dari lesi MRI grid elektroda pada subdural, kedua reseksi termasuk patologi
pencitraan dan zona epileptogenik EEG; A: permukaan otak 3D dengan elektroda koregistrasi, tampilan
lateral yang menunjukkan elektroda subdural (sinistra) dan aspek mesial yang menunjukkan depth elektroda
dan enam kontak interhemispheric strip elektroda (kanan), kontak 2 dan 3 depth elektroda posterior
terlokalisasi pada lesi MRI; outline lesi T2 MRI (merah), zona onset iktal iEEG (biru) dan margin reseksi
diusulkan (hitam); B: T2 FLAIR hiperintensitas di gyrus frontal superior kanan; C: EEG iktal selama kejang
mioklonik aksial singkat, onset terlihat pada elektroda G18, 20, 25-29, 33, dan 34. (Untuk interpretasi
referensi warna dalam tokoh gambar ini, pembaca dirujuk ke versi web artikel ini.)

Demikian juga, reseksi yang melebihi lesi MRI direncanakan pada


empat pasien berdasarkan pengambilan sampel elektroda dari visual
normal secara elektrografi pada korteks epileptogenik.
Dalam empat kasus, stimulasi kortikal memungkinkan untuk
diskriminasi antara korteks eloquent dan epileptik, sehingga disesuaikan
reseksi menyelamatkan jaringan fungsioanl yang menutupi lesi di
permukaan.
Pemeriksaan histologis pada spesimen konsisten dengan FCD IIb
pada 10 dari 11 (90,9%) kasus bedah. Pada satu pasien, spesimen tidak
memberikan bukti yang jelas tentang displasia.
Menurut hasil klasifikasi ILAE, 9 pasien (81,8%) diberi peringkat
kelas 1 satu tahun pasca operasi, 1 pasien kelas 3, dan satu pasien kelas 5.
Hasil yang tidak baik bertepatan dengan hasil histologi samar-samar,
meskipun bukti yang jelas pada MRI. Dua tahun di follow-up untuk 8
pasien, tujuh mencapai kelas 1, dan satu kelas 5 (Tabel 2).
Tabel 2
Onset iktal berhubungan dengan lokasi anatomi dan lesi MRI menurut analisis iEEG visual dan
otomatis, dampak elektroda grid dan depth pada desain reseksi, hasil bedah dan hasil patologi.
Patolo
Onset iktal Pembedahan Hasil
gi
Tidak
Reseksi Year
Deep Superfisial Reseksi luas ada
khusus s
Pa reseksi
t. jau
Pad Lua Lesi h Inform
Infrom Inform Inform
a r diatasn dar asi 1 2
asi grid asi grid asi grid
lesi lesi ya i depth
lesi
No
1 A VA VA X 5 5
FCD
No
2 VA X
surgery
FCD
3 VA X 1 1
IIb
FCD
4 VA X X 1 1
IIb
FCD
5 VA 1 1
IIb
FCD
6 V VA VA X X X 1 1
IIb
FCD
7 A VA A A X 1 1
IIb
FCD
8 VA A X 1 1
IIb
FCD
9 VA X 1 1
IIb
Non
10 VA A A X
bedah
FCD
11 VA VA A X 3
IIb
Non
12 VA X
bedah
FCD
13 VA VA X X 1
IIb
Non
14 VA VA X
bedah
FCD
15 VA A 1
IIb
Onset superfisial: Mempengaruhi lateral elektroda grid dan depth; deep onset: mempengaruhi
kontak elektroda internal bagian depth ; V: onset menurut analisis visual; A: onset menurut
analisis otomatis yang ditentukan oleh nilai EI yang melebihi ambang batas (0,3); X: desain bedah
hanya berdasarkan interpretasi EEG visual; desain bedah khusus: jaringan fungsional di atasnya
lesi MRI. Hasil: hasil kejang setelah operasi dinilai sesuai dengan kriteria ILAE .

3.2 Analisis EI
Kami menemukan kecocokan antara elektroda yang dinilai sebagai
bagian dari zona onset kejang oleh EI dan dengan analisis visual pada
delapan dari 15 kasus (53,3%, contoh Gambar. 2). Hasil tidak
bertentangan antara analisis otomatis dan visual. Area anatomi yang
dianggap sebagai bagian dari zona onset kejang menurut penilaian visual
juga didefinisikan sebagai epileptogenik oleh EI dalam semua kasus
kecuali satu. Pada pasien ini, dua kontak depth elektroda dianggap
epileptogenik dengan analisis visual tidak menghasilkan nilai EI tinggi.
Dalam enam kasus, analisis EI menyarankan zona onset iktal yang lebih
besar daripada anggapan penilaian visual.
Pada satu pasien, nilai EI jauh di dalam lesi dan pada permukaan
kortikal atas melebihi ambang batas, sementara secara visual, kejang
hanya berasal dari permukaan kortikal dan melibatkan kedalaman lapisan
selanjutnya. Dalam lima kasus, EI mendefinisikan jaringan elektroda yang
jauh dari lesi kortikal sebagai epileptogenik yang belum dianggap seperti
itu oleh penilaian visual. Salah satu pasien ini tidak melanjutkan ke
operasi, karena korteks yang eloquent dan epileptogenik bersamaan.
Dalam empat kasus yang tersisa, reseksi dilakukan berdasarkan evaluasi
visual EEG saja. Dari jumlah tersebut, tiga pasien menjadi bebas kejang
pasca operasi sementara satu menderita kejang berulang dalam tahun
pertama setelah operasi (Tabel 2).
3.3 Validasi metode
Cutoff optimal EI sesuai dengan karakteristik operator penerima
adalah 0,3. Nilai ini mirip dengan nilai cutoff yang dipilih dalam
penelitian sebelumnya.
EI menggambarkan waktu onset kejang dengan benar setelah
penyesuaian parameter ᵥ dan λ pada 13 dari 15 pasien. Jumlah elektroda
yang diklasifikasikan sebagai epileptogenik oleh EI lebih tinggi dari
jumlah elektroda yang terlibat secara visual (104 elektroda yang terlibat
secara visual vs 158 elektroda positif EI secara total) tetapi masih
berkorelasi erat (korelasi Spearman r = 0,76, p = 0,01). Sejumlah kasus
yang sama menentukan onset fokal, yang mempengaruhi enam atau
kurang elektroda oleh EI (n = 5) dan secara visual (n = 7), dan juga untuk
onset luas, melibatkan sepuluh atau lebih elektroda (nEI = 6, nvis = 3).
Kami menemukan kecocokan yang sangat baik (sensitivitas dan
spesifisitas ≥60%) antara penilaian visual dan elektroda epileptogenik EI
enam dan konsistensi yang baik (sensitivitas ≥70%, spesifisitas ≥40%)
pada dua pasien (53,3%), sementara dalam satu kasus, dua kontak
elektroda depth tidak diidentifikasi oleh EI (6,67%), meskipun mereka
tampak jelas terlibat oleh analisis visual. Pada dua kasus, waktu onset
iktal hilang (13,3%) dan onset iktal terlihat beberapa detik kemudian oleh
EI dari analisis visual.
Salah satu, lokalisasi onset kejang masih konsisten dengan
penilaian visual (sensitivitas 63%, spesifisitas 99%), sedangkan yang lain,
elektroda yang terlibat secara visual tidak terklasifikasi oleh EI
(sensitivitas 20%, spesifisitas 99%).
Menyesuaikan ukuran window menyebabkan identifikasi lebih
baik untuk waktu onset iktal tetapi tidak meningkatkan sensitivitas (Gbr.
S1). Pada empat pasien, sejumlah besar elektroda positif palsu dihitung
(26,67%). Mengenai elektroda epileptogenik dan nonepileptogenik yang
digambarkan benar berhubungan dengan label visual, rata-rata EI
mencapai sensitivitas 73% dan spesifisitas 69%.
Kami kemudian memeriksa fitur kejang yang menentukan
kegunaan EI. Hasil EI yang baik terlihat pada kejang dengan onset
elektroda depth (n = 3) dan grid (n = 5) (Gambar. 3), dan juga kinerja EI
yang buruk ditemukan di kedua kondisi juga onset depth n = 3, onset grid
n = 4). Zona onset iktal circumscribed, menetapkan enam atau kurang
onset elektroda atau zona onset iktal widespread, yang didapatkan oleh EI
(widespread n = 3, circumscribed n = 5) dan gagal (widespread n = 5,
circumscribed n = 2). Karakteristik umum dari semua kejang dengan hasil
EI yang baik adalah pola iktal dalam rentang beta dan gamma, yang
mengarah ke peningkatan besar dalam kekuatan spektral, mencapai nilai
hingga 5000 μV2 / Hz dalam frekuensi ini (Gbr. 2). Pola yang berbeda,
misalnya, lonjakan berirama, atenuasi, atau osilasi frekuensi tinggi
(HFO=high frequency oscillations) di atas 70 Hz, jauh lebih sedikit
digambarkan (Tabel 3).
Tabel 3
Karakteristik dan dampak kejang pada kinerja EI
Lokalisasi Onset
Pat. Interiktal dasar Onset pola Kinerja IE
onset distribusi
1 Superfisial Alpha/theta Paku  HFO Luas -
2 Superfisial Theta Cepat Terbatas +
HFO 
3 Superfisial Gabungan Terbatas -a
penurunan  paku
Paku dan theta.
4 Superfisial Alpha/theta Medium +a
On-off
5 Superfisial Theta Paku  cepat Medium +
6 Deep Theta HFO dan cepat Medium +b
7 Deep Theta HFO Luas -
8 Superfisial Theta Paku  cepat Terbatas -
Paku terus-
9 Superfisial Paku  cepat Terbatas (+)
menerus
10 Deep Theta Cepat Medium +
Paku terus-
11 Deep HFO Luas -
menerus
12 Superfisial Paku dan theta Cepat Terbatas (+)
13 Deep Paku dan theta Cepat Terbatas +
Paku terus-
14 Superfisial Cepat, HFO Medium +
menerus
15 Deep Theta dan paku Cepat, HFO Terbatas +
HFO= high frequency oscillations: osilasi frekuensi tinggi >70 Hz; cepat: rentang beta dan gamma; distribusi
onset berdasarkan analisis visual: circumscribed: enam atau kurang dari elektroda terlibat, sedang :7-9
elektroda terlibat, widespread: 10 atau lebih elektroda terlibat; Kinerja EI: "+": sensitivitas dan spesifisitas
>50%, "(+)": sensitivitas ≥70% dan spesifisitas >40%, "-": sensitivitas atau spesifisitas <40%.
a. Waktu onset Ictal tidak ada.
b. depth elektroda yang terlibat.

Analisis spektral dalam kasus-kasus ini menunjukkan peningkatan


masif pada theta untuk paku, sementara HFO umumnya rendah dalam
amplitudo, menyebabkan peningkatan yang relatif kecil dengan daya
frekuensi tinggi dalam kisaran 50-100 μV2 / Hz lebih dari pokok yang
mendasari di berkas theta dan delta.
Gambar. 2. Pasien 14: onset iktal iEEG diatas lesi MRI. Kecocokan tinggi antara analisis visual dan EI
(sensitivitas 78%, spesifisitas 100%). A: Permukaan otak 3D dengan teregistrasi grid elektroda subdural (kiri)
dan depth elektroda tambahan yang menargetkan aspek yang lebih deep dari lesi (kanan), kontak 3 dan 4
depth elektroda D1 terlokalisasi di perbatasan lesi MRI; T2 MRI outline lesi (merah); zona onset iktal yang
ditentukan oleh iEEG (biru); kontak elektroda dengan onset iktal EI tertinggi (ditandai x). B: Pola onset iktal
EEG terdiri dari aktivitas cepat pada grid elektroda kotak G27, 28, 35, dan 36. C: Analisis spektral elektroda
27 menunjukkan peningkatan daya gamma yang sangat besar (N5000 μV2 / Hz, puncak 54 Hz) saat onset
iktal. (Untuk interpretasi referensi warna pada tokoh gambar ini, pembaca dirujuk ke versi web artikel ini.)

Gambar 3. Pasien 14: kontak elektroda grid dan depth yang terlibat dalam onset kejang sama-sama ditangkap
oleh analisis EI (nilai EI yang dinormalisasi melebihi ambang 0,3 pada kontak grid GA27, GA28, GA35,
GA36, dan GA44 dan kontak depth D1–2 dan D1 –3).

4. Diskusi
4.1 Dampak elektroda subdural dan kedalamannya pada penentuan EZ dan
pengambilan keputusan bedah
Tujuan iEEG adalah menetapkan zona epileptogenik (EZ), area
korteks yang cukup dan perlu untuk direseksi untuk mencapai bebas
kejang, dengan mempertimbangkan semua hasil tes yang dikumpulkan
selama penyelidikan pra-bedah. Dalam FCD, sangat menantang untuk
membentuk hipotesis pra-bedah yang baik pada EZ, karena batas antara
jaringan normal dan displastik sering kabur pada pencitraan, dan pada
kenyataannya, onset kejang mungkin melibatkan area yang berdekatan
dengan kelainan pencitraan utama. Untuk penilaian bentuk tiga dimensi,
tampaknya masuk akal untuk memilih pendekatan yang memberikan
informasi dari lebih dari satu bidang dan menggabungkan berbagai
keunggulan modalitas. Namun, ada sangat sedikit analisis sistematis yang
meneliti kontribusi elektroda grid dan depth dalam studi EEG invasif
gabungan, tidak satu pun dari mereka, untuk pengetahuan kita, fokus FCD
pada orang dewasa. Tinjauan retrospektif dari 12 pasien anak
menekankan keamanan dan kelayakan dari kombinasi elektroda grid dan
depth pada anak-anak dan menemukan nilai tambah yang cukup dari
elektroda depth. Dalam pendekatan lain, kombinasi pada subdural bundel
elektroda dan depth elektroda, keduanya dimasukkan melalui lubang burr,
telah terbukti aman dan berguna untuk memahami zona onset iktal dalam
berbagai patologi yang mendasarinya
Pada kohort kami, pasien dengan FCD, cakupan jaringan sangat
penting untuk memetakan korteks eloquent dan cadangan jaringan yang
sangat diperlukan. Ini juga menyebabkan delineasi zona epileptogenik
pada permukaan yang sangat berbeda dari lesi MRI. Bergantung pada
jumlah dan lokalisasi elektroda yang tepat, pendekatan SEEG mungkin
telah melewatkan area yang terlibat pada mahkota gyral pada lima pasien,
yang mengarah ke reseksi yang lebih kecil. Rekaman kedalaman, di sisi
lain, membuktikan epileptogenisitas pada kedalaman yang jauh dari
jaringan tampak berubah dalam tiga kasus. Oleh karena itu reseksi
diperluas mencakup daerah-daerah yang tidak diidentifikasi sebagai
epileptogenik hanya dengan rekaman subdural.
4.2 Konfirmasi nilai EI untuk penentuan dan penerapan EZ dari metode
dalam pendekatan iEEG kombinasi
EI adalah metode komputasi semiautomatis yang telah terbukti
membedakan antara struktur mesial yang sangat epileptogenik dan
struktur lateral yang kurang epileptogenik dalam epilepsi lobus temporal
mesial. Demikian juga, nilai EI yang secara signifikan lebih tinggi telah
dilaporkan untuk intralesi dibandingkan dengan kontak elektroda
ekstralesi pada pasien dengan FCD. Algoritma ini memungkinkan
klasifikasi numerik tingkat keterlibatan dalam pembangkitan kejang di
daerah anatomi yang diwakili oleh kontak elektroda tunggal. Lebih lanjut
dapat menguraikan dimensi dan distribusi zona onset iktal, mendapatkan
pola propagasi, dan mengungkapkan jaringan epileptogenik.
Tetapi, sebelum penelitian kami, EI belum dievaluasi dalam
elektroda grid, dan tidak ada perbandingan langsung dengan analisis
visual ictal iEEG.
Dalam kohort kami, analisis EI sepenuhnya sesuai dengan
penggambaran visual dari lokasi anatomi zona onset iktal pada 53,3%
kasus dan tidak bertentangan dengan itu sama sekali. Nilai tambah dari
kombinasi elektroda grid dan depth jelas ditekankan oleh hasil EI.
Terutama, epileptogenisitas yang didefinisikan secara visual dari jaringan
kortikal yang tampak normal pada MRI hampir selalu diverifikasi oleh EI.
Pada satu pasien, bagaimanapun, keterlibatan dua kontak elektroda
kedalaman intralesi menghasilkan aktivitas cepat amplitudo rendah dalam
rentang gamma tinggi pada onset iktal yang terlewatkan oleh EI.
Dalam enam kasus, zona onset iktal EI melebihi EZ yang
ditetapkan secara visual, menunjukkan epileptogenisitas tinggi dalam lesi
pada satu dan rendah pada lima kasus. Yang terakhir, empat dilanjutkan
ke operasi.
Meskipun korteks yang ditentukan sebagai epileptogenik dengan
analisis otomatis namun tidak direseksi, tiga pasien dinyatakan bebas
kejang dengan operasi, follow-up menjadi dua tahun pada dua pasien dan
satu tahun pada satu pasien. Oleh karena itu, pada kasus ini, area yang
menghasilkan nilai EI tinggi bukan bagian dari EZ. Namun pada satu
pasien, bebas kejang tidak tercapai. Masih belum jelas apakah reseksi
yang lebih besar, inkoparasi korteks EI epileptogenik, akan menghasilkan
hasil yang lebih baik.
Untuk menentukan kriteria penerapan EI yang baik dan
mengembangkan kesadaran yang lebih besar tentang keterbatasannya
dalam pengaturan kami, kami juga melakukan perbandingan rinci hasil EI
dan hasil visual yang dianggap sebagai standar emas. Ukuran dan
distribusi zona onset iktal tidak berpengaruh pada kinerja IE, dan data
kami jelas menunjukkan bahwa metode ini cocok untuk elektroda depth
dan grid. Penting untuk penerapan EI yang baik, bagaimanapun,
merupakan morfologi dari pola iktal. Karena algoritma berfokus pada
peningkatan tiba-tiba dalam rasio energi antara tinggi frekuensi tinggi
rentang beta dan gamma dan frekuensi rendah dalam rentang delta, alpha,
dan theta, itu menunjukkan hasil terbaik jika pola iktal tepat memenuhi
kriteria ini. Onset iktal memang ditandai dalam iEEG oleh pelepasan
cepat di sebagian besar kasus; oleh karena itu, tampaknya masuk akal
untuk mengarahkan EI ke morfologi spesifik. Meskipun umumnya
kurang, pola divergen, seperti paku ritmik atau gelombang paku, aktivitas
tajam berirama b13 Hz, atau pelemahan tegangan, juga bisa menjadi
korelasi iEEG dari serangan kejang. Pada kohort kami, peningkatan ritme
menyebabkan peningkatan kekuatan pada pita theta dan karenanya tidak
terdeteksi oleh EI. Demikian pula, atenuasi dan amplitudo rendah
aktivitas yang sangat cepat tidak menyebabkan peningkatan yang cukup
pada kekuatan gamma untuk analisis EI. Karenanya, pemilihan visual
kejang yang sesuai merupakan prasyarat untuk keberhasilan penerapan
metode ini. Selain itu, hasil yang baik tergantung pada penyesuaian
parameter λ dan v, yang mengarah pada penurunan objektivitas dan
membutuhkan input dari seorang ahli electroencephalographer yang
terlatih.
Sebagai batasan metode kami, kami menyadari bahwa penyesuaian
parameter pada sampel dan juga pada pasien didapatkan satu kejang yang
meningkat sesuai antara analisis visual dan semi-otomasi dan menambah
kinerja EI yang baik. Namun, algoritme jelas bukan metode standar yang
bekerja dalam lingkungan komputasi murni yang tidak terlepas dari
keahlian manusia. Bahkan, ini dikembangkan sebagai alat semiotomatis,
mendukung evaluasi iEEG manusia, dan diperlukan penyesuaian
parameter secara eksplisit. Oleh karena itu kami memutuskan untuk
menggunakan metode yang awalnya dimaksudkan untuk
mengevaluasinya secara objektif.
5. Kesimpulan
Kami telah menunjukkan bahwa elektroda depth dan grid subdural
menyatakan informasi penting dan komplementer tentang EZ pada pasien
dewasa dengan displasia kortikal fokal. Pada lebih dari separuh pasien,
serangan kejang paling baik terlihat pada elektroda depth.
Analisis iEEG visual dan otomatis secara konsisten menunjukkan
bahwa kombinasi elektroda subdural dan depth mendapatkan pemahaman
yang lebih baik tentang zona epileptogenik daripada modalitas satu saja.
Kesimpulan ini didukung oleh hasil bedah yang baik pada cohort kami.
Kami menyadari, bagaimanapun, bahwa manfaat efek dari kombinasi EEG
invasif pada hasil kejang tetap hipotetis, karena tidak ada perbandingan
langsung dengan kelompok pasien kontrol yang telah dioperasi
berdasarkan berbagai jenis penilaian pra-bedah tersedia. Namun, hasil
dalam kohort kami dengan 82% bebas kejang dibandingkan dengan rata-
rata persentase pasien dengan FCD yang dilaporkan bebas kejang pasca
operasi dalam publikasi terbaru (sekitar 60%), mendukung efek yang
bagus dari metode kami.
EI adalah alat yang berguna jika diterapkan untuk melengkapi
analisis visual dan mempertimbangkan keterbatasan pada metode ini.
Pelabelan numerik yang jelas dari elektroda epileptogenik dapat
membantu untuk mensistemasikan hasil dan untuk menyederhanakan
komunikasi antar disiplin ilmu. Namun harus ditekankan bahwa EI harus
diinterpretasikan dengan hati-hati dan hasilnya harus diperiksa secara
kritis oleh ahli electroencephalographer yang berpengalaman untuk
mencegah kesalahan penilaian. Hanya pola iktal tertentu yang dapat
dideteksi dengan andal oleh algoritma; oleh karena itu, pemilihan
karakteristik EEG yang sesuai diperlukan untuk mencapai hasil yang
andal.
Sumber dana
Pekerjaan ini dilakukan di UCLH/UCL, yang menerima proporsi
pendanaan dari skema pendanaan Pusat Penelitian Biomedis NIHR Departemen
Kesehatan.
Konflik kepentingan
Tidak ada penulis yang berpotensi sebagai konflik yang diungkapkan.

Anda mungkin juga menyukai