Anda di halaman 1dari 8

TOPIK 1.

ABSORBSI OBAT PER ORAL SECARA IN SITU

TUJUAN PERCOBAAN

Mempelajari pengaruh pH terhadap absorbsi obat yang diabsorbsi melalui difusi


pasif dan percobaan dilakukan secara in situ

DASAR TEORI

Ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat fisikokimia formulasi terhadap


bioavaibilitas obat serta dinyatakan dengan kecepatan dan jumlah obat aktif yang
mencapai sirkulasi sistemik dikenal sebagai Biofarmasetika (Shargel dan Yu, 2005). Fase
biofarmasetik melibatkan seluruh unsur terkait, dimulai dari pemberian obat hingga
terjadinya penyerapan zat aktif yang bergantung pada rute pemberian dan bentuk
sediaan. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu liberasi
(pelepasan), disolusi (pelarutan) dan absorbsi (penyerapan) (Aiache, 1993).

Absorbsi merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan tahap awal dari fase
farmakokinetika dimana molekul-molekul obat masuk ke dalam tubuh atau menuju ke
peredaran darah setelah melewati membran biologik. Penyerapan zat aktif sendiri
bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisikokimia molekul obat, dimana
absorbsi hanya terjadi apabila zat aktif sudah dibebaskan dari sediaan dan melarut
dalam cairan biologis (Aiache, 1993). Sehingga dijabarkan oleh Shargel dan Yu (2005)
produk obat akan mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses yang
meliputi:

1. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat


2. Pelarutan obat dalam media aqueous
Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, mengakibatkan
laju pelarutannya sering kali merupakan tahap yang paling lambat. Oleh karena
itu kelarutan dianggap sebagai efek penentu kecepatan terhadap
bioavailabilitas obat. Tahap yang paling lambat didalam suatu rangkaian proses
kinetik disebut tahap penentu kecepatan (rate-limiting step) (Shargel et al., 1999).
3. Absorbsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Absorbsi suatu obat dapat didefinisikan sebagai proses perpindahan obat
dari tempat pemberiannya, melewati sawar biologis ke dalam aliran darah
maupun ke dalam sistem limfatik. Maka dapat dikatakan agar suatu obat dapat
mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat tersebut harus melewati
berbagai membran sel.
Kecepatan absorbsi obat sangat dipengaruhi oleh keofisien partisi. Hal ini
disebabkan oleh komponen dinding usus/membran sel yang sebagian besar
mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid
semipermeabel. Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik.
Obat–obat yang lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel
daripada obat yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam
air (Martin, dkk, 1990). Obat-obat yang larut dalam lipida tersebut dengan
sendirinya memiliki koefisien partisi lipida-air yang besar, sebaliknya obat-obat
yang sukar larut dalam lipid akan memiliki koefisien partisi yang sangat kecil.
Obat-obat yang tidak terionkan (unionized) lebih mudah larut dalam
lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan praktis
tidak larut, dengan demikian pengaruh pH terhadap kecepatan absorpsi obat
yang bersifat asam lemah atau basa lemah sangat besar.
Koefisien partisi minyak – air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari
molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan
makromolekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan
koefisien partisi oktanol / air dari obat. Lipofilitas molekul diukur dari nolai log P
dengan P dinyatakan sebagai koefisien partisi kelarutan dalam lemak/ air yang
mempunyai rentang nilai -0,4 sampai 5 dan optimal pada nilai log P – 3 (Husniati,
dkk, 2008).

Meskipun xenobiotik dan nutrisi tertentu di absorbsi secara transpor aktif atau
dipermudah berdifusi, kebanyakan obat di absorbsi dari saluran cerna melalui difusi pasif
(Behrman dkk, 1996). Berbagai variabel penting penderita dapat mempengaruhi
kecepatan dan besarnya absorpsi obat di saluran cerna, difusi obat juga bergantung
pada berbagai hal, misalnya obat yang diberikan per oral memiliki aksi yang lebih
lambat dibandingkan pemberian melalui vena.

Obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai rute pemberian yang
ditentukan berdasarkan sifat dan tujuan dari penggunaan obat sehingga dapat
memberikan efek terapi yang tepat. Terdapat 2 rute pemberian obat yang utama,
enteral dan parenteral. Enteral adalah rute pemberian obat yang nantinya akan melalui
saluran cerna, salah satunya dengan rute per-oral seperti yang dilakukan pada
percobaan kali ini (Noviani dan Nurilawati, 2017). Pemberian obat oral adalah rute yang
paling umum dan nyaman untuk terapi obat kronis [1] tetapi memerlukan jalan yang
paling rumit untuk mencapai jaringan.

Pada obat dengan rute peroral absorbsi obat dapat terjadi pada saluran cerna.
Beberapa obat diabsorbsi di lambung namun, duodenum sering menjadi jalan masuk
utama ke sirkulasi sistemik sebab permukaan absorbsinya yang lebih besar (Noviani dan
Nurilawati, 2017). Sesuai dengan Hukum Fick 1 yang menyebutkan bahwa kecepatan
difusi pasif suatu obat berbanding lurus dengan luas permukaan absorpsi maka luas
permukaan usus halus akan mengakibatkan absorbsi zat-zat makanan dan obat
berjalan lebih baik.

Karakteristik anatomi dan fisiologi usus (dengan makrovilli dan mikrovillinya) lebih
menguntungkan untuk penyerapan obat, seperti halnya juga penyerapan zat
makanan. Kemudian banyaknya lipatan-lipatan mukosa usus di daerah duodenum dan
jejunum yang memiliki anyaman kapiler darah dan getah bening pada setiap lipatan
memungkinkan terjadinya penyerapan yang besar. Gerakan usus dan gerakan villi usus
di sepanjang saluran cerna akan mendorong terjadinya penembusan menuju pembuluh
darah. Maka dari itu saluran cerna memegang peranan penting terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan laju dan keberadaan absorbs obat. Menurut
Siswandono dan Soekardjo (2000) adapun faktor–faktor lain yang mempengaruhi proses
absorbsi obat di saluran cerna antara lain:

• Faktor biologis
Seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu
pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam usus, aliran (perfusi)
darah dari saluran cerna, serta pH saluran cerna. Adanya makanan dalam
lambung dapat menghambat absorbsi obat, sebab molekul makanan juga
dapat bereaksi dengan molekul obat yang menyebabkan struktur dan efeknya
berubah (Priharjo, 2017). Kemudian tempat absorpsi obat sendiri menentukan pH
lingkungan absorbsi seperti lambung memiliki pH rendah (asam) sementara usus
pH tinggi (basa). Tidak hanya itu bentuk obat juga mempengaruhi proses
absorbsi.
• Bentuk sediaan obat
Meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-bahan tambahan
dalam sediaan. Obat dengan bentuk partikel kecil lebih mudah diabsorbsi begitu
pula dengan bentuk obat yang tersedia di lokasi absorbsi, apakah bentuk ion
atau molekul. Hanya obat dalam bentuk molekul yang akan mengalami absorbsi
sebab bentuk molekul yang larut dalam lipid akan mudah menembus membran
lipid bilayer tubuh tempat absorbsi obat.
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basah lemah. Jika
obat tersebut dilarutkan dalam air, sebagian akan terionisasi. Bergantung pada
pKa obat pula, perbedaan jumlah dan kecepatan dikeluarkannya asam
lambung dapat mempengaruhi kecepatan/jumlah obat yang ada dalam
bentuk terion atau tidak terion, dimana penurunan ionisasi meningkatkan absorbsi
(Behrman dkk, 1996).
Obat bersifat asam lemah akan lebih mudah mengalami absorbsi di
lambung yang memiliki pH sekitar 1,4 sebab obat dalam bentuk molekul yang
lebih banyak dibandingkan bentuk ionnya. Sementara obat akan cepat bereaksi
membentuk ion dalam lingkungan basa usus yang mempunyai pH sekitar 6 s/d 8
(Priharjo, 2017). Oleh karena itu dapat dikatakan tempat absorbsi obat sendiri
dapat diperkirakan berdasarkan pH obat tersebut.
 Sifat kimia fisika obat
Misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal, serta kestabilan obat dalam
saluran cerna.
• Faktor-faktor lain
seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat dengan obat
lain, penyakit tertentu, dan kompleksasi.

Pada praktikum topik 1 digunakan Parasetamol yang merupakan derivat p-


aminofenol sebagai antipiretik dan analgesik dimana secara teoritis memiliki pH antara
5,5 – 6,5. Hal ini mengartikan bahwa parasetamol bersifat asam lemah sehingga absorbsi
parasetamol bergantung pada pH lambung dan usus. Secara teoritis absorbsi
parasetamol lebih cepat dalam pH basa pada usus dibandingkan dengan pH asam
pada lambung.
Studi tentang absorbsi obat sangat penting untuk dapat memprediksi profil intensitas
efek suatu obat.

Metode ini adalah metode yang paling dekat dengan sistem in vivo. Pada praktikum
kali ini, dilakukan percobaan absorbsi paracetamol peroral dalam dua kondisi uji yaitu
pada kondisi asam menggunakan cairan lambung buatan (CLB) tanpa enzim pH 1,2
dan pada kondisi basa menggunakan cairan usus buatan (CUB) tanpa enzim pH 7,4.
Percobaan ini dilakukan untuk mengamati pengaruh pH terhadap absorbsi parasetamol
melalui difusi pasif dan percobaan dilakukan secara in situ.

Metode in situ dilakukan dalam organ target tertentu yang masih berada dalam
sistem organisme hidup. Perbedaannya dengan uji in vivo, ialah karena pada uji in situ
organ target diusahakan tidak dipengaruhi oleh organ lain sehingga profil obat yang
diamati hanya berdasarkan pada proses yang terjadi pada organ tersebut tanpa
dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada organ lain.

Kemudian dibandingkan dengan uji in vitro ialah organ pada uji in situ masih menyatu
dengan sistem organisme hidup, masih mendapat suplai darah dan suplai oksigen.
Walaupun hewan percobaan sudah dianastesi dan dimanipulasi dengan
pembedahan, suplai darah mesentris, neural, endokrin, dan limpatik masih utuh
sehingga mekanisme transpor seperti yang terdapat pada mahluk hidup masih
fungsional. Sebagai hasilnya, laju dari metode ini lebih realistik dibandingkan dengan
hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro.

Absorpsi in situ melalui usus halus didasarkan atas penentuan kecepatan hilangnya
obat dari lumen usus halus. Metode ini digunakan untuk mempelajari berbagai faktor
yang berpengaruh terhadap permeabilitas dinding usus. Pengembangan lebih lanjut
dapat digunakan untuk merancang obat dalam upaya mengoptimalkan kecepatan
absorpsinya untuk obat-obat yang sangat sulit atau praktis tidak dapat terabsorpsi
(Ganiswara, 1999).
Beberapa obat mengandung gugus – gugus yang mudah mengalami
ionisasi. Oleh karena itu, koefisien partisi obat-obat ini pada pH tertentu sulit diprediksi
terlebih jika melibatkan lebih dari satu gugus yang mengalami ionisasi daripada gugus
yang lain pada pH tertentu. Papp (app = apparent) merupakan tetapan permeabilitas
yang nilainya bervariasi terhadap pH. Jika suatu senyawa, asam atau basa mengalami
ionisasi sebesar 50% (pH=pKa) maka koefisisen partisinya setengah dari koefisien partisi
obat yang tidak mengalami ionisasi (Gandjar, dkk, 2007). Persamaan tetapan
permeabilitas :

Dari persamaan tersebut terlihat bahwa semakin besar nilai jari-jari dan
panjang usus maka nilai Papp yang diperoleh kecil (berbanding terbalik). Semakin
rendah nilai Papp maka permeabilitasnya rendah maka obat akan cepat keluar dan
efek yang diinginkan tidak dicapai sebaliknya jika nilai Papp semakin tinggi maka
waktu obat didalam membran untuk diabsorbsi semakin lama sehingga efek yang
diinginkan dicapai.

Yang dimaksud Papp adalah tetapan permeabilitas semu. Nilai papp yang
diperoleh menunjukkan suatu kemampuan obat untuk berada pada membran,
semakin tinggi nilai Papp yang diperoleh maka semakin baik obat untuk
terabsorbsi pada membran. Sedangkan bila nilai Papp yang diperoleh rendah
maka obat akan cepat terekskresikeluar sehingga jumlah obat yang terabsorbsi
rendah. Bila obat yang terabsorbsi melalui membran tersebut rendah maka
efektivitas obat tersebut juga rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M. (1993). Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi ke-2. Penerjemah: Dr. Widji
Soeratri. Surabaya: Airlangga University Press.

Bloom William, Don W. Fawcett. 2002. Buku ajar histologi. Edisi 12. Terjemahan Jan
Tambayong. Jakarta: EGC

Gandjar, Ibnu Gholib, Abdul Rohman, 2007, Kimia Farmasi Anaisis, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta

Husniati, dkk, 2008, Studi Bioaktivitas Dari Pengaruh Lipofilitas Senyawa Anti
Kanker Analog UK-3A Secara In-Vitro dan In-Silico, Teknologi Indonesia, Vol (I), No 31, Hal.
57.

Martin, Alfred, dkk, 1990, Farmasi Fisik. Dasar-dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu
Farmasetik, Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Shargel, L., Wu Pong, S., & Yu, A.B.C., 1999, Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics, 5th Ed., 85-86, Mc. Graw and Hill, Singapore.

Shargel, L., Yu, A., and Wu, S., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan,
Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press.

Siswandono dan Soekardjo.(1995). Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University


Press.

Syukri. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta: UII Press.

Wibowo, Andy Eko. 2011. Pharmacokinetics Drug Interaction.


http://andyew.staff.umy.ac.id/2011/03/31/pharmacokinetics-drug-interaction-interaksi-
obat-pada-tahap-farmakokinetika/. Diakses 25 Februari 2020.

Noviani, Nita dan Vitri Nurilawati. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi Farmakologi.
Jakarta: KemenKes RI.

Behrman, Kliegman dan Arvin. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Nelson Vol.1.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Priharjo, Robert. 2017. Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai