Anda di halaman 1dari 12

Mutiara Dewi Parisa Kinanti

172210101053
Sistem Penghantaran Obat Kelas C
Formulasi dan IVIVC Patch Transdermal Drug-in-Adhesive Azasetron
Mual dan muntah yang diinduksi kemoterapi (CINV) merupakan dua gejala yang menjadi
efek samping kemoterapi paling serius sebab memiliki dampak signifikan pada 70-80%
perawatan kesehatan pasien kanker. Mekanisme utama pemblokiran reseptor 5-
Hydroxytryptamine3 (5-HT3R) memiliki peranan penting dalam mengendalikan CINV.
Azasetron merupakan salah satu antagonis selektif reseptor 5-HT3 (serotonin) yang poten
sebagai terapi preventif dan kuratif CINV sebab memiliki durasi terapetik yang lebih lama
dan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan antagonis 5-HT3 lainnya.
Terlepas dari aktivitas antiemetiknya yang sangat baik aplikasi klinis azasetron sangatlah
terbatas sebab, azasetron hanya tersedia dalam bentuk sediaan injeksi dan tablet. Dimana
tablet Azasetron hidroklorida dibuat untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien terkait
pemberian rute injeksi, namun pada pasien yang sulit menelan (disfagia) rute ini sulit untuk
diadministrasikan. Selain itu, kedua bentuk sediaan ini hanya efektif cenderung tidak
responsif terhadap CINV tertunda yang terjadi dalam kurun waktu ≥ 24 jam hingga beberapa
hari pasca-kemoterapi sehingga harus diberikan secara berulang. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap kepatuhan pasien dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan.
Dalam rangka mengatasi kekurangan tersebut maka sun et al (2012) mengembangkan
sistem penghantaran obat transdermal (TDDS) yang dirancang untuk memperpanjang durasi
terapi azasetron sehingga bermanfaat sebagai alternatif dari administrasi tersebut, dimana
korelasi antara pelepasan obat secara in vitro dan in vivo (IVIVC) akan dievaluasi.
Sebelumnya penelitian oleh Boccia et al. (2010) telah mengonfirmasi kelayakan antagonis 5-
HT3 melalui kulit untuk mendapatkan efek terapi yang lebih lama, mengobati CINV tertunda
sehingga meningkatkan kepatuhan pasien.
Efek dari berbagai bahan perekat berbasis pressure-sensitive adhesive (PSA), permeation
enhancers, dan muatan azasetron yang ada dalam formulasi patches terhadap permeasi
azasetron di karakterisasi secara in vitro dengan kulit kelinci menggunakan two-chamber
diffusion cells. Kemudian profil farmakokinetik dari formulasi optimal patch azasetron
diklarifikasi melalui studi in vivo aplikasi topikal patches transdermal dan pemberian injeksi
intravena azasetron.pada babi Bama berdasarkan metode model non-kompartemen. Formulasi
dengan kandungan DURO-TAK® 87-9301 sebagai bahan perekat, 5% isopropil miristat
(IPM) sebagai permeation enhancers, dan 5% azasetron memiliki profil permeasi in vitro
yang terbaik didukung pula dengan profil pelepasan yang berkelanjutan selama 216 jam
secara in vivo. Profil permeasi melalui kulit babi secara in vitro dan in vivo menunjukkan
bahwa azasetron secara efektif dapat menembus kulit dan masuk ke sirkulasi sistemik.
Model matematika IVIVC dekonvolusi digunakan untuk mempercepat pengembangan
patch transdermal azasetron sebagai studi tindak lanjut.
Kurva absorbsi secara in vivo pada babi Bama mini yang diperoleh melalui dekonvolusi
program WinNonlinR berkorelasi baik dengan kurva permeasi patch azasetron secara in
vitro.
Temuan sun et al (2012) menunjukkan bahwa formulasi bentuk sediaan patches
transdermal azasetron drug-in-adhesive memiliki potensi yang menjanjikan sebagai
pengobatan CINV yang tertunda. Kemudian, uji permeasi pada kulit secara in vitro
bermanfaat untuk memprediksi aktivitas in vivo dari patch transdermal azasetron.

MATERIALS AND METHODS


Materials
 Azasetron hydrochloride
 granisetron hydrochloride
 Azone, isopropyl myristate (IPM), dan L-menthol (MT)
 PSAs, DURO-TAKR adhesives 87-2677, 87-9301, dan 87-2852 (komposisi kimia:
acrylate)
 Methanol dan acetonitrile
Animals
 Kelinci jantan dengan berat 1,5–2,0 kg
 Babi Bama jantan
Preparation and Identification of Azasetron
Preparation of Azasetron from Azasetron Hydrochloride
Basa bebas Azasetron dibuat dengan mentitrasi suspensi azasetron hidroklorida dalam
air dengan larutan natrium hidroksida 0,1 mol L-1 hingga pH 11. Kemudian, campuran
disaring melalui corong Buchner dengan membilas residu menggunakan air terus
menerus hingga larutan menjadi netral. Selanjutnya, residu tak larut yang terdapat
pada filter dipindahkan ke dalam gelas kaca kuning dan disimpan dalam evaporator
vakum hingga massa sampel konstan.
Identification of Azasetron by Differential Scanning Calorimeter
Pengukuran differential scanning calorimeter (DSC) dilakukan dengan menggunakan
penganalisa termal Mettler Toledo DSC 1 (Mettler-Toledo AG, Schwerzenbach,
Swiss). Sampel ditempatkan dalam wadah aluminium standar yang dilengkapi dengan
tutup berlubang untuk pemindaian. Panci kosong digunakan sebagai referensi. Sampel
dipanaskan pada laju 10◦C min− 1 pada kisaran suhu 25℃– 330℃.
Preparation of Azasetron Patches
Azasetron, PSA, dan enhancers dicampur secara menyeluruh dalam etil asetat dengan
pengaduk mekanik untuk mendapatkan bahan pelapis yang homogen. Patch
Azasetron disiapkan dengan menyebarkan bahan pelapis yang diperoleh dengan unit
pelapis laboratorium ke dalam release liner poliester fluoropolymer dengan ketebalan
60 µm. Kemudian produk dikeringkan dengan oven pada suhu 50℃selama 10 menit
untuk menghilangkan pelarut untuk dilaminasi dengan backing film polietilen
monolayer lalu disimpan dalam membran aluminium-plastik .
Drug Content Determination
In Vitro Permeation Experiments
Potongan kulit kelinci yang digunakan untuk mengevaluasi kemampuan
permeasi azasetron secara in vitro dipreparasi sesuai dengan penelitian sebelumnya
yaitu sebagai berikut: kelinci dianestesi i.v. dengan uretan 20% b/v. Rambut di daerah
abdomen dipangkas dengan gunting dan alat cukur listrik. Kulit dengan ketebalan
penuh seperti epidermis dan dermis diambil setelah kelinci dikorbankan menggunakan
injeksi udara i.v. Integritas kulit diperiksa dengan teliti dengan pengamatan
mikroskopis, dan setiap kulit yang tidak seragam ditolak. Jaringan subdermal diangkat
melalui pembedahan dan kulit segera dicuci dengan garam fisiologis, dibungkus
dengan aluminium foil. Sampel kulit kemudian disimpan pada suhu −70℃ hingga
akan digunakan dalam waktu 1 minggu setelah preparasi. Sebelum memulai
percobaan, kulit dicairkan pada suhu ruang sebelum memasangkannya ke alat difusi.
Percobaan permeasi in vitro dilakukan menggunakan two-chamber side-by-side
glass diffusion cell (kapasitas sel 3,0 mL, area efektif difusi = 0,95 cm 2) dengan
selubung air yang terhubung ke penangas air pada suhu 32℃. Kulit bagian abdomen
yang telah diambil ditempatkan di antara bagian sel dengan sisi dermal kulit yang
menghadap ke larutan reseptor. Patch transdermal melingkar ditekan untuk menempel
di sisi kulit. Setelah dijepit dengan pengaman sel, kompartemen reseptor diisi dengan
3 mL larutan dapar fosfat pH 7,4 untuk menjaga kondisi sink dan terus diaduk pada
sekitar 600 rpm. Setelah dipastikan bahwa tidak ada gelembung udara yang tersisa
dilakukan pengambilan sampel (2,0 mL) sebanyak tiga replikasi pada interval yang
telah ditentukan dan segera digantikan larutan dapar dengan volume yang sama (2,0
mL) untuk mempertahankan kondisi sink. Sampel disentrifugasi selama 5 menit pada
17800 RFC dan alikuot supernatan sebanyak 20 µL dianalisis dengan HPLC untuk
menentukan kadar obat.
In Vivo Studies
Empat babi Bama jantan dengan berat 9-11 kg (usia 15-16 minggu) secara
acak dibagi menjadi dua kelompok (kelompok A dan kelompok B) untuk diuji
crossover dengan pemberian dosis tunggal setelah 1 minggu adaptasi hewan uji
terhadap lingkungannya.
Babi kelompok A diberi azasetron 0,5 mg kg− 1 dalam larutan normal saline
secara i.v. melalui vena abdomen. Sementara itu dilakukan pencukuran rambut pada
area tertentu dari kulit perut hewan uji kelompok B tanpa merusak kulitnya, lalu 2
hari diaplikasikan patch dengan luas sekitar 50 cm2 yang mengandung 50 mg
azasetron selama 168 jam, dimana kulit sebelumnya harus dibersihkan dengan air
hangat dan alkohol. Sampel darah sebanyak 1-2 mL dari vena abdomen setelah rute
i.v yang diambil pada jam ke- 0, 0,083, 0,167, 0,333, 0,5, 0,75, 1, 2, 4, 8, 12, 24, 36
serta jam ke-0, 6, 12, 24, 36, 48, 72, 96, 120, 144, 168, 192, dan 216 setelah aplikasi
patch transdermal ditempatkan dalam tabung phlebotomi. Sampel plasma dipisahkan
melalui sentrifugasi pada 1740 RFC selama 10 menit, dan disimpan pada −70℃
hingga analisis dilakukan.
The Treatment of Plasma Samples
Dibuat campuran 100 µL dari sampel plasma, 10 µL larutan standar internal (IS) (10
ng mL− 1 granisetron dalam metanol) dan 10 µL metanol lalu divortex. Setelah penambahan
metanol 100 µL lainnya untuk mengendapkan protein, sampel divortex kembali selama 1
menit, diikuti oleh sentrifugasi pada 15.600 RFC selama 5 menit pada suhu kamar. Lapisan
organik dipisahkan dan diuapkan hingga kering pada suhu 40℃ di bawah aliran udara.
Residu kemudian dilarutkan dalam 100 µL fase gerak dan 20 µL sampel disuntikkan ke
dalam UPLC-MS untuk analisis.
Analytical Methods
In Vitro Quantitative Analysis
Konsentrasi azasetron diukur pada 221 nm menggunakan HPLC kolom ODS 5-
µm suhu 40◦C dengan fase gerak asetonitril: 0,03 mol L−1 pH 3,4 larutan dapar
KH2PO4-H3PO4 (8:2, v / v) pada laju alir 1 mL min−1.
In Vivo Quantitative Analysis
Kromatografi cair
Kromatografi cair dilakukan pada sistem ACQUITY UPLC dengan
pendinginan dalam autosampler dan oven kolom untuk memungkinkan kontrol suhu
kolom analitik. Kolom analitik Diamonsil C18 digunakan. Metanol-amonium asetat (5
mmoL L-1) – asam formiat (45:55:0,3, v/v/v) digunakan sebagai fase gerak yang
dikirim dengan laju aliran 1,0 mL menit-1. Outlet kolom dipecah dan hanya 0,5 mL
min menit-1 efluen kolom yang dibawa ke spektrometer massa.
Spektrometri massa
API 4000 triple quadrupole merupakan MS tandem dengan ionisasi
electrospray yang dioperasikan dalam mode ion negatif. Kuantifikasi dilakukan
menggunakan metode pemantauan reaksi berganda dengan transisi m / z 350.2 → m /
z 224.2 untuk azasetron dan m / z 313.4 → m / z 138.1 untuk granisetron (IS).
Parameter kerja utama ditetapkan sebagai berikut: tegangan semprotan ion, 1,5 kV;
suhu sumber ion, 600℃; gas 1, 40 psi; gas 2, 20 psi; dan curtain gas, 10 psi.
Konsentrasi analit ditentukan dengan menggunakan perangkat lunak Analyst 1.5
Statistical Analysis
Data Analysis In Vitro
Seluruh percobaan secara in vitro dilakukan sebanyak tiga replikasi. Jumlah
obat yang terpenetrasi melalui kulit selama setiap interval pengambilan sampel
diperoleh dari pengukuran konsentrasi dan volume fase reseptor. Kurva penetrasi
transdermal diplot sebagai jumlah kumulatif obat yang meresap per unit area (Q) yang
dikumpulkan dalam kompartemen reseptor sebagai fungsi waktu. Fluks steady-state
(Jss) dihitung dari kemiringan plot regresi linier, menggunakan persamaan berikut:
dQ
Jss= (1)
A dt
Semua data disajikan sebagai rata-rata ± SD. Analisis statistik dilakukan
dengan menggunakan analisis varian dan Student’s t-test dengan tingkat signifikansi p
≤ 0,05.
In Vivo Pharmacokinetic Analysis
Parameter farmakokinetik, seperti konsentrasi maksimal obat dalam plasma
(Cmax), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Cmax (Tmax), dan rata-rata
konsentrasi azasetron setelah pemberian, diperoleh langsung dari profil waktu vs
konsentrasi obat dari darah hewan uji. Area di bawah kurva waktu vs konsnetrasi dari
t0 hingga tx (AUC0-t) untuk setiap pemberian dihitung dengan rumus luas trapesium,
sedangkan nilai rata-rata masa tinggal (MRT) diperoleh dengan analisis non-
kompartemen menggunakan program WinNonlinR ver. 5.2.1.
Bioavailabilitas absolut (F) dihitung dari persamaan berikut:
AUC transdermal dosis i . v .
F= X
AUC i. v . dosis transdermal
(2)
Konsentrasi azasetron steady-state dalam plasma setelah pengaplikasian
patches dihitung dari persamaan: Css = AUC0–t/waktu, waktu dalam penelitian sun et
al (2012) ialah waktu lamanya patches transdermal azasetron diaplikasikan yaitu 168
jam, kemudian data dinyatakan sebagai rata-rata ± SD.
In Vitro/In Vivo Correlation
Terdapat dua tahap prosedur pemodelan untuk mengevaluasi IVIVC dari
formulasi akhir patches azasetron. Pertama, data permeasi patches transdermal
azasetron pada babi Bama secara in vivo diperoleh dari data konsentrasi plasma
dengan metode dekonvolusi, di mana hasil in vivo dari larutan azasetron setelah
injeksi pada babi digunakan sebagai fungsi berat. Dalam matematika, dekonvolusi
adalah proses berbasis algoritma yang digunakan untuk membalikkan efek konvolusi
pada data yang direkam. Teknik konvolusi dapat dijelaskan dengan persamaan
berikut:
t

R(t)∫ I (θ)W (t−θ) dθ ≡ I (θ)∗W (θ) (3)


0

di mana R (t), I, dan W adalah konsentrasi plasma masing-masing sebagai


fungsi waktu, input ke dalam sistem (yaitu, data permeasi kulit in vitro), dan fungsi
berat (yaitu, data iv), dan ∗ adalah operator konvolusi. Konvolusi dilakukan dengan
menyelesaikan rumus ini berkenaan dengan R (t) dari I (t) dan W (t), sedangkan
dekonvolusi dilakukan dengan menyelesaikan persamaan berikut untuk I (t) yang
diberikan R (t) dan W (t).
I(t) = R(θ)//W(θ) (4)
di mana simbol // menunjukkan operasi dekonvolusi.
Kedua, profil waktu absorbsi in vivo yang diperoleh pada tahap pertama ini
dihubungkan dengan profil waktu dari permeasi kulit babi secara in vitro. Analisis
korelasi dilakukan dengan bantuan WinNonlinR dengan program IVIVC Toolkit dan
koefisien korelasi diperiksa dengan signifikansi p <0,05 menggunakan Student’s t-
test.
RESULTS AND DISCUSSION
Preparation and Identification of Azasetron
Basa bebas Azasetron dibuat dengan menetralkan azasetron hidroklorida, yang tersedia
secara komersial. Didapatkan rendemen lebih dari 90% dan produk yang akan dipreparasi
memiliki kemurnian yang sangat tinggi (> 99,5%) melalui identifikasi dengan HPLC metode
normalisasi area puncak. Kurva DSC dari azasetron (Gbr. 2) menunjukkan karakteristik
puncak endotermik yang tajam sesuai dengan titik lelehnya pada 181℃.

The Cumulative Permeation Profiles of Azasetron from Transdermal Patches


Dalam penelitian ini, permeabilitas transdermal azasetron melalui kulit kelinci dan
kulit babi Bama diselidiki secara in vitro. Kulit kelinci digunakan dalam tahap screening
formulasi sedangkan data in vitro kulit babi digunakan untuk menentukan IVIVC.
Formulasi patch azasetron dioptimasi dengan melihat berbagai efek dari beberapa
parameter formulasi yaitu jenis PSA, jumlah pemuatan azasetron, dan jumlah dari berbagai
enhancers terhadap hasil penentuan fluks steady-state dan Q24 dari azasetron yang
terpenetrasi melalui kulit kelinci. Hasil yang sesuai dari setiap parameter tercantum dalam
Tabel 1.
FORMULASI
PSA Enhancers Kandungan Q24 (:g Jss (:g h−1 cm−2) ERa
S (w/w) Azasetron (w/w) cm−2)

PSA akrilik telah dikenal sejak lama karena sifatnya yang menguntungkan. Dalam
studi ini, efek dari tiga adhesives jenis akrilik yang berbeda diuji yaitu DURO-TAKR 87-
2852 dan 87-2677 yang memiliki gugus asam karboksilat, dan DURO-TAKR 87-9301 tanpa
gugus fungsional. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 dan Tabel 1, ketika muatan
azasetron ditetapkan pada 5% (b/b, berdasarkan berat adhesives) jumlah kumulatif azasetron
yang meresap dari adhesives 87-9301 adalah 6,13 dimana 3,63 kali lebih tinggi dari
adhesives 87-2677 dan 87-2852. Menurut struktur kimia azasetron, ia memiliki enam
akseptor dan satu donor ikatan-H di dalamnya. Situs-situs ini dapat berinteraksi dengan gugus
asam karboksilat PSA dan menghasilkan pengurangan penetrasi yang signifikan. Oleh karena
itu, PSA DURO-TAKR 87-9301, yang tidak memiliki kelompok fungsional, sangat ideal
untuk pengembangan patch transdermal azasetron.
Menambahkan penetration enhancers dalam formulasi patches adalah pendekatan yang
paling efektif untuk mengatasi sifat penghalang SC secara reversibel. Dalam penelitian ini,
semua enhancer yang diuji (MT, azon, dan IPM) menunjukkan kurva penetrasi linier yang
mengindikasikan fluks steady-state (Gbr. 4).

Di antara mereka, patch yang berisi IPM memberikan fluks dan peningkatan tertinggi. Hasil
ini menunjukkan bahwa secara umum, jumlah kumulatif obat yang diserap dari formulasi
berhubungan dengan struktur dan lipofilisitas enhancers.
IPM dikenal aman dan telah digunakan untuk meningkatkan permeasi kulit pada sejumlah
besar obat, termasuk progesteron, estradiol, indometasin, metil nikotinat, benztropin, dan
amlodipin. Sudah diterima secara luas bahwa IPM bertindak sebagai fluidizer membran lipid
interseluler, sehingga mengurangi fungsi penghalang SC.
Untuk mengetahui efek dari variasi konsentrasi IPM, patches transdermal yang
mengandung 3%, 5%, dan 10% IPM dipreparasi dan prodil penetrasi in vitronya diselidiki.
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1, jumlah kumulatif azasetron yang diserap secara
signifikan lebih tinggi dicapai ketika konsentrasi IPM meningkat menjadi 5%. Tetapi
peningkatan konsentrasi IPM menjadi 10% tidak mengarah pada peningkatan lebih lanjut
jumlah kumulatif azasetron seperti yang diharapkan. masing-masing untuk 0%, 3%, 5%, dan
10% memiliki fluks 5,57 ± 0,63, 12,62 ± 2,33, 17,68 ± 0,99, dan 17,53 ± 0,44: g h −1 cm−2.
Dengan demikian, 5% dipilih sebagai konsentrasi akhir IPM karena tidak ada perbedaan yang
signifikan antara IPM 10% dan 5%.
Atas dasar percobaan yang disebutkan di atas, didapatkan jumlah kumulatif 430,54 ±
4,88 µg cm−2 dan fluks 17,68 ± 0,99 µg h−1 cm−2 selama 24 jam dari formulasi optimal patch
azasetron: azasetron 5%, IPM 5%, dan DURO-TAKR 87-9301 sebagai PSA.
Karena patch granisetron yang tersedia secara komersial dapat secara terus-menerus
mengirimkan bahan aktif ke dalam sirkulasi sistemik hingga 7 hari, patch azasetron juga
didesain serupa dalam penelitian ini. Kulit kelinci digunakan sebagai penghalang sebab
permeabilitasnya yang mudah. Sebagai penghalang alami yang mirip dengan kulit manusia,
kulit babi banyak digunakan dalam evaluasi in vitro dan in vivo untuk TDDS. Profil permeasi
kumulatif melalui kulit babi dari formulasi optimum diselidiki selama seminggu untuk
memberikan data in vitro yang akan dibentuk hubungan korelasi dengan data permeasi obat
in vivo. Kondisi eksperimental sama dengan yang digunakan dalam percobaan permeasi 24
jam, kecuali penambahan natrium azida (0,1%, b/v) ke kompartemen reseptor untuk
mencegah kulit dari pembusukan. Q168 melalui kulit babi adalah 483,34 ± 27,93 µg cm−2.
Pharmacokinetics Study
Untuk mengurangi risiko dan biaya dari studi manusia, maka digunakan hewan dalam studi
bioavailabilitas TDDS. Walaupun dimungkinkan tidak tepat memprediksi permeasi kulit
manusia, saat ini banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kulit babi tidak hanya mirip
dengan kulit manusia, tetapi juga kurang bervariasi daripada jenis kulit lainnya. Karena itu,
kulit babi bisa menjadi alternatif dari kulit manusia. Profil yang diperoleh dari konsentrasi
rata-rata azasetron dalam plasma vs waktu setelah i.v. injeksi atau aplikasi secara transdermal
ditunjukkan pada Gambar 5.

Parameter farmakokinetik setelah administrasi i.v. azasetron pada babi tetap ditentukan oleh
peneliti sebab tidak ada literatur yang tersedia. Data ini digunakan sebagai fungsi bobot untuk
mendapatkan profil absorbsi dari patch azasetron secara in vivo. Hasilnya diberikan dalam
Tabel 2.
Setelah injeksi i.v. azasetron 0,5 mg kg-1 melalui vena abdomen, konsentrasi plasma rata-rata
turun menjadi minimum pada jam ke-36. Sedangkan melalui rute pemberian transdermal,
Cmax azasentron 44,88 ± 7,16 ng mL− 1
dicapai pada Tmax 66,00 ± 22,98 jam dimana
konsentrasi obat dalam plasma masih dapat dideteksi pada jam ke-216. Selanjutnya, MRT
azasetron diperpanjang menjadi 81,87 ± 6,20 jam, 23 kali lebih tinggi dari pada injeksi
azasetron. Hal ini diyakini akibat penambahan obat ke dalam sirkulasi sistemik secara terus
menerus setelah pelepasan obat yang konstan dan terkontrol dari patch transdermal. Dengan
demikian, ditunjukkan bahwa patches azasetron lebih efisien dalam hal mengelola CINV
yang tertunda.
Setelah menghitung dosis normalisasi, F dari patch azasetron transdermal adalah
60,8%. Nilai ini menunjukkan bahwa rute transdermal adalah cara yang efisien untuk
azasetron untuk diserap ke dalam sirkulasi sistemik.

In Vitro/In Vivo Correlation


Didefinisikan oleh US FDA, IVIVC merupakan model prediktif yang menggambarkan
hubungan antara sifat in vitro dari bentuk sediaan dan respons in vivo secara relevan. Dalam
studi TDDS, tingkat permeasi obat melalui kulit merupakan sifat in vitro, sedangkan respon
in vivo adalah konsentrasi obat dalam plasma. Bedasarkan data permeasi kulit secara in vitro
konsentrasi obat sistemik 2,3,5,6-tetramethylpyrazine berhasil diperkirakan oleh Qi et al.
setelah aplikasi transdermal pada kelinci dengan menggunakan metode konvolusi, profil in
vivo TDDS dapat diprediksi setelah IVIVC ditetapkan.
Wizard IVIVC dalam program WinNonlinR menyediakan lingkungan terorganisir di
mana kita dapat membentuk dan memanipulasi model IVIVC, ditambah pula fitur yang
secara otomatis dapat memperkirakan fungsi W (t). Model non-kompartemen dari
administrasi i.v. memberikan fungsi W (t) yang digunakan dalam dekonvolusi setelah
normalisasi menjadi satu unit dosis, sedangkan fungsi R (t) diberikan menggunakan profil
farmakokinetik transdermal.
Seperti yang disajikan pada Gambar 6, rata-rata profil absorpsi dekonvolusi in vivo
dari babi yang berbeda sesuai dengan profil absorpsi yang diamati secara in vitro, dengan
nilai koefisien korelasi 0,9879.

Hubungan IVIVC yang sangat baik ini menunjukkan bahwa percobaan in vitro dapat
digunakan untuk mengoptimasi formulasi dalam penelitian lebih lanjut untuk
mengembangkan produk patch akhir yang optimal.
Namun demikian, proses pembentukan IVIVC oleh dekonvolusi termasuk rumit, yang
mengharuskan diperolehnya profil penetrasi in vitro dan profil konsentrasi plasma in vivo dari
formulasi dengan tingkat pelepasan yang berbeda untuk dievaluasi prediktabilitas internal dan
eksternalnya.
Bukti lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi dan mereproduksi IVIVC dari
patches transdermal azasetron, dan dengan demikian, formulasi yang bekerja untuk
menyembuhkan CINV yang tertunda akan berhasil dikembangkan.

Anda mungkin juga menyukai