Anda di halaman 1dari 4

1.

COTTON PELLET-INDUCED GRANULOMA MODEL


Tujuan
Untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi kronis dari ekstrak tanaman dengan metode granuloma
implan pelet kapas (Thangaraj, 2016).
Prinsip
Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk di dalam kantong
granuloma (Vogel, 2002). Implan subkutan pelet kapas secara langsung memicu respons
inflamasi akut. Ketika respon akut tidak cukup untuk menghilangkan agen proinflamasi, maka
akan mengarah pada reaksi inflamasi kronis. Peradangan kronis termasuk proliferasi fibroblas
dan infiltrasi neutrofil dan sel mononuklear. Beberapa hari setelah implantasi pelet, jumlah
jaringan baru yang terbentuk dapat diukur, setelah diangkat dengan menimbang pelet kering.
Peningkatan berat pelet kapas kering telah terbukti berkorelasi dengan jumlah jaringan
granulomatosa yang terbentuk (Thangaraj, 2016).
Prosedur ini menginduksi respon angiogenik dan proliferatif inflamasi yang
mereproduksi banyak agen penyembuhan yang terjadi setelah cedera mekanik dan alami seperti
ballon angioplasty, aterosklerosis, inflamasi sinovium dan luka bedah. Banyak mediator yang
tampaknya terlibat dalam pembentukan jaringan fibrovaskular, termasuk sitokin, kemokin, dan
eikosanoid. Dengan menghambat mediator inflamasi ekstrak tumbuhan diharapkan mencegah
pembentukan kolagen dan jaringan fibrovaskular (Thangaraj, 2016). Respon yang terjadi berupa
gejala iritasi, migrasi leukosit dan makrofag ke tempat radang yang mengakibatkan kerusakan
jaringan dan timbul granuloma (Vogel, 2002).

Metode Secara Umum


Perlakuan
Tikus dibagi menjadi lima kelompok (n = 6), berpuasa semalaman, dan diberi akses air (Eddouks
et al., 2012).
Prosedur
Model ini didasarkan pada granuloma yang dapat diinduksi oleh implantasi subkutan dari kapas
pada tikus (Eddouks et al., 2012). Kabir et al. (2018) menjelaskan jika dalam metode ini, tikus
jantan dengan berat sekitar 180-200 g digunakan. Berikan obat uji secara oral sekali dengan
rejimen dosis selama 7 hari dan kendaraan ke kelompok kontrol. Implan dua pelet kapas wol
yang disterilkan secara subkutan, satu di setiap sisi perut tikus, di bawah anestesi eter dan
prosedur steril. Pada In vivo experimental models to investigate the anti-inflammatory activity of
herbal extracts, sebuah jurnal review oleh Umar et al. (2010) menjelaskan bahwa pelet kapas
yang disterilkan dengan berat 10 ± 0,5mg, 30mg atau 50 mg ditanamkan secara subkutan pada
tikus yang dianestesi dengan injeksi natrium pentobarbitone intraperitoneal (30 mg / kg berat
badan). Sayatan kecil dibuat dengan hati-hati di garis tengah permukaan dorsal lalu kantong
dibuat dengan memasukkan gunting tumpul ke dalam sayatan. Kemudian satu pelet kapas yang
sudah ditimbang diletakkan di daerah selangkangan setiap hewan. Kulit sayatan kemudian dijahit
dengan antibiotik. 24 jam setelah penanaman kapas, hewan diberikan ekstrak tumbuhan secara
per-oral. Beberapa peneliti telah mengobati hewan dengan ekstrak tumbuhan dosis tunggal (200
mg/kg, 400 mg/kg, 500 mg/kg) namun, terdapat pula yang memperlakukan kelompok dengan
dosis berbeda yaitu dengan empat kelompok dosis 25, 50, 100 atau 200 mg/kg selama enam
hingga tujuh hari berturut-turut. Hewan dalam kelompok kontrol negatif diberi larutan salin
normal. Pada kelompok kontrol positif, hewan diberi obat anti inflamasi yang kuat seperti
indometasin (5 mg/kg) atau deksametason (7 mg/kg). Setelah 8 hari, sel granuloma dan jaringan
ikat yang tidak berdiferensiasi dapat diamati (Eddouks et al., 2012). Hewan-hewan kemudian
dikorbankan dengan dosis anastesi eter yang berlebihan. Setelah itu, pelet yang dikelilingi oleh
jaringan granuloma dibedah dengan hati-hati, dicuci dan dikeringkan dengan oven pada suhu
60°C hingga berat konstan selama 24 jam (Umar et al., 2010). Timus pun juga dibedah (Kabir et
al., 2018).

Evaluasi
Dihitung berat transudat dan granuloma yang terbentuk di sekitar masing-masing pelet serta
persen penghambatan granuloma obat uji (Umar et al., 2010). Catat juga kenaikan berat badan
hewan uji (Kabir et al., 2018). Persentase perubahan berat granuloma ditentukan dengan
menghitung selisih antara berat awal dan berat akhir kering dari pelet kapas (Thangaraj, 2016).
Persen penghambatan granuloma dievaluasi secara statistik, menggunakan rumus: % inhibisi =
Wc - Wd / Wc × 100. Wd = perbedaan berat pelet dari kelompok yang diberi obat; Wc =
perbedaan berat pelet dari kelompok kontrol (Eddouks et al., 2012).

2. ARTHRITIS
Umar et al. (2010) Dalam jurnal review In Vivo Experimental Models to Investigate The
Anti-Inflammatory Activity of Herbal Extracts menyebutkan jika hewan uji dibagi menjadi tiga
kelompok yang sama. Satu kelompok diberikan ekstrak tanaman secara per-oral selama
percobaan (kelompok uji). Kelompok kedua hanya diberikan larutan pembawa (kontrol negatif)
sedangkan kelompok ketiga diberi obat standar seperti indometasin dengan pelarut yang sama
(kontrol positif). Arthritis yang bersifat kronis dapat diinduksi pada tikus dengan menyuntikkan
sejumlah agen seperti kolagen dan adjuvan.
2.1. COLLAGEN INDUCED ARTHRITIS
Prinsip
Merupakan metode yang paling jarang digunakan, namun paling efektif untuk
menginduksi arthritis pada tikus untuk mempelajari efek anti-inflamasi ekstrak herbal. Kolagen
I, III (berasal dari kulit dan jaringan paranchymal dari banyak organ) dan kolagen II (berasal dari
tulang rawan) yang dimurnikan dapat digunakan untuk menginduksi arthritis pada tikus dan
mencit. Tulang rawan xiphoid anak ayam White Leghorn berusia 3 minggu yang dibuat lathyritic
dengan pemberian β-aminopropionitrile fumarate (BAPN), dapat digunakan sebagai sumber
kolagen tipe II (Umar et al., 2010).
Gudmann et al. (2016) dalam jurnal reviewnya menjelaskan jika kolagen tipe II adalah
95% kolagen fibrilar dengan komponen utama tulang rawan. Mutasi pada kolagen tipe II
menghasilkan beberapa jenis chondrodysplasia, yang mengarah ke osteoarthritis dini. Kolagen
tipe II biasanya digabungkan dengan kolagen XI membentuk ikatan kovalen dan berinteraksi
dengan proteoglikan yang kaya leusin. Stabilitas dan kekuatannya memberikan integritas dan
ketahanan jaringan terhadap stres.
Prosedur
Tikus diimunisasi pada hari ke 0 dan 7 (Umar et al., 2010). Kolagen tipe II dilarutkan (2
mg/ml) dalam asam asetat 0,01M dan Freund’s incomplete adjuvant dengan volume yang sama
untuk mendapatkan konsentrasi akhir 1 mg/ml yang akan diinjeksikan ke tiga lokasi (0,5ml di
atas dan 0,25ml pada kedua sisi ekor). Diameter sendi pergelangan kaki (diukur dengan
menggunakan fowler caliper) lalu dibandingkan antara kelompok uji dan kelompok kontrol
(Umar et al., 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Eddouks, M., Chattopadhyay, D., & Zeggwagh, N. A. 2012. Animal Models as Tools to
Investigate Antidiabetic and Anti-Inflammatory Plants (Review). Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine, 2012, 1–14. doi:10.1155/2012/142087.
Gudmann, N. S., & Karsdal, M. A. 2016. Type II Collagen (Review). Biochemistry of Collagens,
Laminins and Elastin. 13–20. doi:10.1016/b978-0-12-809847-9.00002-7
Kabir, I., & Ansari, I. (2018). A Review on In Vivo and In Vitro Experimental Models to
Investigate The Anti-Inflammatory Activity of Herbal Extracts. Asian Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research, 11(11), 29.
doi:10.22159/ajpcr.2018.v11i11.26873.
Umar, Muhammad & Altaf, Rabia & Iqbal, Muhammad Adnan & Sadiq, Muhammad. 2010. In
Vivo Experimental Models to Investigate The Anti-Inflammatory Activity of Herbal
Extracts (Review). Science International(Lhr). 22. 199-203.
Thangaraj, Parimelazhagan. 2016. Pharmacological Assays of Plant-Based Natural Products.
United Kingdom: Springer.
Vogel, H.G.. 2002. Drug Discovery and Evaluation Pharmacologycal Assays. Berlin,
Deidelbarg, New York: Springer-Verley.

Anda mungkin juga menyukai