Anda di halaman 1dari 76

RESUME JURNAL HISTOLOGI

Dosen Pengampu:

Bu Rinza Rahmawati, S.Pd.,M.Si.

Disusun Oleh :

Wahyu Muyasyaroh
20180662085 / 4-B

PRODI D-3 TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

T.A. 2019 / 2020


DAFTAR ISI

Halaman Sampul Depan .................................................................................................... 1


Daftar Isi .............................................................................................................................. 2
ISI …………………………………………………………………………………………. 3
1. OTAK ………………………………………………………………………………….. 3
1.1. PENDAHULUAN …………………………………………………………………3
1.2. METODE PENELITIAN ………………………………………………………... 4
1.3. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………... 6
1.4. KESIMPULAN ……………………………………………………………………9
2. USUS …………………………………………………………………………………...10
2.1. PENDAHULUAN ....................................................................................................10
2.2. METODE PENELITIAN ………………………………………………………... 10
2.3. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………... 12
2.4. KESIMPULAN ……………………………………………………………………13
3. TULANG ……………………………………………………………………………….14
3.1. PENDAHULUAN …………………………………………………………………14
3.2. METODE PENELITIAN ………………………………………………………... 15
3.3. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………... 17
3.4. KESIMPULAN ……………………………………………………………………20
3.5. SARAN ……………………………………………………………………………. 20
4. KULIT ………………………………………………………………………………… 21
4.1. PENDAHULUAN ………………………………………………………………... 21
4.2. METODE PENELITIAN ………………………………………………………... 21
4.3. HASIL …………………………………………………………………………….. 24
4.4. DISKUSI ………………………………………………………………………….. 25

JURNAL “OTAK” ………………………………………………………………………. 27


JURNAL “USUS” ………………………………………………………………………... 44
JURNAL “TULANG” …………………………………………………………………… 52
JURNAL “KULIT” ……………………………………………………………………… 67

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………. 79


PERBAIKAN HISTOLOGIS PUSAT LEARNING AND MEMORY DI
HIPOKAMPUS OTAK SETELAH PERLAKUAN SUPLEMEN DAGING IKAN
GABUS (CHANNA STRIATA) DALAM PAKAN: KAJIAN IN VIVO PADA
TIKUS WISTAR PASCA STRES

1.1. PENDAHULUAN

Pakan dan kandungan nutrisi pakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
perbaikan fungsi jaringan di dalam tubuh akibat stres. Secara berkelanjutan, stres dapat
mengganggu fungsi sel, terutama sel yang rentan pada stres oksidatif, seperti sel-sel neuron di
lapisan cornu ammonis hipokampus. (Barja 2004; Jiang et al. 2004).

Hipokampus terutama bagian cornu ammonis merupakan bagian otak yang paling cepat
mengalami penurunan fungsi akibat stres. Bagian cornu ammonis hipokampus terdiri atas CA1,
CA2, dan CA3. Lapisan CA3 dan CA1 memiliki fungsi learning and memory, adapun fungsi
lapisan CA2 belum diketahui. Gangguan fungsi hipokampus ditandai dengan gangguan struktur
sel atau jaringan (Dringen et al., 2000). Jaringan saraf di hipokampus memiliki kemampuan
regenerasi setelah mengalami stres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel-sel neuron di daerah
hipokampus membutuhkan waktu hingga 14 hari setelah mengalami iskemik untuk beregenerasi
(Nakatomi et al. 2002).

Berdasarkan hal tersebut, penggunaan suatu bahan yang memiliki kandungan protein,
mikromineral dan berbagai macam asam amino untuk pemulihan hipokampus menjadi suatu
kebutuhan. Bahan yang memenuhi kriteria tersebut adalah daging ikan gabus. Daging ikan gabus
merupakan salah satu bahan potensial yang dapat digunakan sebagai bahan suplemen untuk
meningkatkan kandungan nutirisi pakan. Daging ikan ini banyak tersedia di alam, namun belum
banyak dimanfaatkan sebagai bahan suplemen pakan.

Hasil penelitian Fadli (2010) melaporkan bahwa daging ikan gabus memiliki kandungan
nutrisi mikro seng, besi, selenium, serta protein sebesar 70% dari total kandungan nutrisi.
Albumin ditemukan sebanyak 21% dari total kandungan protein, dan sisanya berupa beberapa
asam aminio, meliputi fenilalanin (7,5%), isoleusin (8,34%), leusin (14,98%), metionin (0,81%),
valin (8,66%), treonin (8,34%), lisin (17,02%), histidin (4,16%), asam aspartat (17,02%), asam
glutamat (30,93%), alanin (10,07%), prolin (5,19%), serin (11,02%), glisin (6,99%), sistein
(0,16%), dan tirosin (7,49%).
Selain itu, daging ikan gabus (per 100 g) juga mengandung energi sebanyak 74 kkal, lemak
1,7 g, kalsium 62 mg, fosfor 176 mg, dan besi 0,9 mg (Ansar, 2010; Rosenbloom, 2009; Deutz
et al. 2014).

Pemberian daging ikan gabus sebagai suplemen pakan menarik untuk diteliti sebagai upaya
untuk mendapatkan informasi tentang hubungan antara konsentrasi pemberian daging ikan gabus
dalam pakan dengan perbaikan histologis pusat learning and memory di hipokampus.

1.2. METODE PENELITIAN

Desains eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas 5 perlakuan
dengan 4 kali ulangan, yang meliputi P0 (tikus yang mengalami pengondisian stres, diberi pakan
tanpa suplementasi daging ikan gabus), selanjutnya berturut-turut P1, P2, P3, dan P4 yaitu tikus
yang mengalami pengondisian stres dan diberi pakan dengan suplementasi daging ikan gabus
masing-masing 5%, 10%, 15%, dan 20%. Perlakuan setelah pengondisian stres diberikan selama
14 hari berturut-turut, dimulai pada hari ke-8 sampai hari ke-21 secara ad-libitum. Selama
perlakuan, tikus juga diberi air minum secara ad-libitum.

Di akhir percobaan, hewan uji dikorbankan, dibedah, dan dilanjutkan isolasi otak. Otak
yang telah diisolasi direndam ke dalam garam fisiologis NaCl 0,95% sampai bersih. Setelah itu,
otak ditimbang dengan timbangan analitik dan difiksasi dengan BNF 10% selama 24 jam dan
dilanjutkan prosedur pemrosesan untuk pewarnaan histologis hipokampus otak. Sediaan
histologis hipokampus dibuat dengan metode parafin. Sediaan histologis hipokampus selanjutnya
diproses dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (Sunarno dkk., 2013; Setyawan, 2013).

Pembuatan Preparat Histologis

1. Pembedahan / Pengambilan Organ


Pengambilan dan preparasi otak bagian kanan. kemudian diiris tepat dibagian tengah.
Hipokampus terletak di bagian mid-dorsolateral.
2. Fiksasi
Sampel kemudian difiksasi dengan larutan BNF 10% selama 24 jam.
3. Dehidrasi
Dehidrasi sampel ke dalam alkohol dengan konsentrasi, secera berurutan yaitu 70%,
80%, 90%, dan 100%, dengan waktu satu jam.
4. Clearing
Dilanjutkan clearing (pencucian) menggunakan silol selama 2 jam.
5. Embedding
Setelah itu dilakukan embedding (penanaman) sampel ke dalam blok parafin.
6. Cutting
Blok parafin yang berisi jaringan kemudian ditempelkan secara kuat pada holder,
selanjutnya holder dipasang di bagian sliding mikrotom dan jaringan yang tertanam
dalam parafin kemudian diiris secara melintang setebal 8 μm. Irisan kemudian
dilekatkan pada gelas objek (affixing) dengan menggunakan perekat Meyer’s albumin.
7. Staining
Pewarnaan sediaan histologis hipokampus menggunakan prosedur pewarnaan HE yang
diawali dengan deparafinasi menggunakan silol dengan 3x celupan, masing-masing
celupan selama 3 menit.
- Rehidrasi dilakukan untuk menghilangkan silol dengan memasukkan ke dalam
larutan alkohol konsentrasi 100%, 90%, 80%, dan 70%, secara berurutan selama 15
menit.
- Selesai rehidrasi, dilanjutkan pencucian irisan sediaan histologis hipokampus dengan
air mengalir selama 1 menit, dan diikuti pencelupan singkat ke dalam akuades dan
selanjutnya ke dalam pewarna hematoksilin selama 15 menit.
- Tahap selanjutnya adalah pencucian lagi dengan air mengalir selama 5-10 menit,
diikuti pencelupan ke dalam pewarna eosin selama 0,25-2 menit. Setelah pewarnaan
eosin selesai, sediaan histologis didehidrasi ke dalam larutan alkohol dengan
konsentrasi 70%, 80%, 90%, dan 100%, secara berurutan diikuti pencucian
menggunakan silol selama 10 menit.
8. Mounting
Sebelum diamati di mikroskop, preparat ditetesi dengan entelan, ditutup dengan kaca
penutup.
9. Labelling
Agar hasil tidak tertukar dan preparat mudah dikenali, preparat diberi label lalu diamati
di mikroskop.

Sediaan histologis hipokampus yang sudah terwarnai dengan baik kemudian didokumentasi
menggunakan fotomikrograf yang terkoneksi dengan komputer dengan bantuan aplikasi software
Mac Biophotonics Image J. Variabel histologis yang diukur adalah ketebalan lapisan cornu
ammonis, yaitu CA3 dan CA1.
Pengukuran ketebalan lapisan CA3 dan CA1 hipokampus dilakukan pada bagian yang
paling tebal dan tipis menggunakan perbesaran 200x pada 4 bidang pandang, kemudian dirata-
rata untuk memperoleh data ketebalan lapisan tersebut.

Hasil pengukuran ketebalan lapisan CA3 dan CA1 yang diperoleh setelah pengamatan
histologis diuji dengan ANOVA dengan signifikansi 95%. Apabila terdapat pengaruh yang nyata
dari suplementasi daging ikan gabus dalam pakan terhadap ketebalan lapisan CA3 dan CA1
hipokampus, maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncant Multi Range Tests) dengan
signifikansi 95%.

1.3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis rata-rata ketebalan lapisan CA3 dan CA1 hipokampus tikus Wistar pasca
stres yang mendapat perlakuan pakan dengan suplemen daging ikan gabus disajikan pada Tabel
1.

Perlakuan
Variabel
P0 P1 P2 P3 P4

Ketebalan CA3
45,62b±1,56 50,38a±0,45 51,58a±2,73 53,60a± 1,96
(µm2) 52,53a±4,25

Ketebalan CA1
25,97b±0,90 35,58ab±7,69 36,27ab±0,24 46,31a±13,62
(µm )
2
38,49ab±2,14

Hasil analisis pemberian suplemen daging ikan gabus terhadap ketebalan CA3 hipokampus
otak tikus dengan Analysis of Variance (ANOVA) menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus
memberikan pengaruh nyata terhadap ketebalan CA3 hipokampus otak tikus pasca stres.
Gambar 1. Ketebalan lapisan CA3 hipokampus otak setelah pengondisian stres 6 hari yang
diikuti pemberian suplementasi daging ikan gabus dalam pakan selama 14 hari pada hewan uji.

Pakan dengan suplementasi daging ikan gabus memberi pengaruh pada ketersediaan nutrisi
yang lebih baik untuk perbaikan lapisan CA3 di hipokampus dibanding pakan tanpa suplementasi
daging ikan gabus.

Gambar 2. Ketebalan lapisan CA3 hipokampus otak pada tikus yang mengalami
pengondisian stres yang diikuti pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus
0% (A) dan 15% (B); tanda panah menunjukkan ketebalan lapisan CA3.

Cajigas et al., 2010 menyatakan, peningkatan sintesis protein jaringan terutama di lapisan
CA3 hipokampus dapat menginduksi terjadinya peningkatan integrasi sinaptik yang akhirnya
memicu potensiasi jangka panjang. Daging ikan gabus dengan kandungan protein, asam-asam
amino seperti glutamin, sisten, dan glisin, vitamin dan mineral dimungkinkan dapat menunjang
transport asam amino dan ion-ion sodium ke dalam sel. Kondisi ini dapat memicu perubahan
komposisi protein intraseluler dan volume sel, mendukung sintesis protein, dan meningkatkan
ketersediaan substrat untuk beberapa system yang dilibatkan dalam proses perbaikan jaringan
(Cruzat et al. 2007). Glutamin telah diketahui dapat memelihara aktivitas NA+-K+ dan Ca+-
ATPase, meningkatkan energi metabolisme seluler, melindungi struktur dan fungsi mitokondria,
retikulum endoplasma kasar, menurunkan produksi radikal bebas oksigen, mencegah kerusakan
sel, dan memperbaiki sel-sel (Jun et al. 2006).
Gambar 3. Ketebalan lapisan CA1 hipokampus setelah pengondisian stres 6 hari yang
diikuti pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus dalam konsentrasi yang
berbeda selama 14 hari pada hewan uji.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa suplementasi daging ikan gabus dalam pakan memberi
pengaruh terhadap ketebalan lapisan CA1 hipokampus tikus setelah pengondisian stres selama 6
hari (Gambar 3). Neuron piramida pada lapisan CA1 dimungkinkan lebih rentan terhadap radikal
bebas dibanding pada lapisan CA3 akibat stres. Hal tersebut akhirnya berpengaruh pada proses
perbaikan dendrit neuron piramida CA1 hipokampus yang mengalami gangguan akibat stress.
(Wiyono dkk., 2007; DeGracia, 2007).

Perbaikan kumpulan dendrit neuron pada lapisan CA1 akhirnya berpengaruh pada
peningkatan ukuran ketebalan lapisan CA1 yang akhirnya memberi hasil berbeda nyata antara
kontrol dengan perlakuan seperti pada penelitian ini.

Gambar 4. Ketebalan lapisan CA1 hipokampus pada tikus yang mengalami pengondisian
stres yang diikuti pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus 0% (A) dan
15% (B); tanda anak panah menunjukkan lapisan CA1.

Suplementasi protein daging ikan gabus dalam pakan diduga dapat meningkatan aktivitas
metabolisme intraseluler, terutama proses sintesis protein pada neuron piramida yang masih
hidup dari kondisi stres dan memberi kontribusi terhadap peningkatan ukuran badan sel (Pena et
al., 2001). Selanjutnya, hasil analisis Uji Duncan dengan signifikansi 95% menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan antara P3 dengan P0, tetapi tidak tidak terdapat perbedaan nyata antara P3
dengan P1, P2, dan P4. Hasil analisis juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata
antara P0 dengan P1, P2, dan P4.
Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian telah memberi bukti bahwa pemberian pakan
dengan suplementasi daging ikan gabus (Channa striata) selama 14 hari pada tikus Wistar pasca
stres dengan pengondisian stres selama 6 hari dapat meningkatkan ketebalan lapisan CA3 dan
CA1 hipokampus. Berdasarkan hal tersebut, penggunaan daging ikan gabus sebagai suplemen
pakan sangat dianjurkan untuk menunjang proses regenerasi atau perbaikan jaringan saraf dan
jaringan tubuh lainnya yang mengalami perubahan struktur dan penurunan fungsi akibat stres.

1.4. KESIMPULAN

Pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus dengan konsentrasi 15% mampu
memperbaiki secara optimal struktur histologis hipokampus otak akibat stres, yang ditandai
dengan peningkatan ketebalan lapisan CA3 dan CA1.
GAMBARAN HISTOLOGI KELENJAR INTESTINAL PADA DUODENUM
AYAM KAMPUNG (Gallus domesticus), MERPATI (Columba domesticus) DAN
BEBEK (Anser anser domesticus)

2.1. PENDAHULUAN
Proses pencernaan makanan pada unggas (ayam kampung (Gallus domesticus), merpati
(Columba domesticus), dan bebek (Anser anser domesticus)) berlangsung di dalam usus halus,
meliputi pencernaan pati, glukosa, sakarida, maltosa, dan sukrosa yang dicernakan menjadi gula-
gula sederhana (Anggorodi, 1995). Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum,
jejenum, dan ileum. Duodenum memiliki lipatan mukosa yang melingkar dan memiliki banyak
vili, jejenum mirip dengan daerah duodenum.
Usus halus merupakan saluran pencernaan yang di mulai dari duodenum dan berakhir di
permulaan usus besar di bagian paling belakang. Duodenum pada ayam juga berfungsi untuk
merombak karbohidrat menjadi gula-gula sederhana (Anggorodi, 1995).
Ayam kampung, bebek, dan merpati tergolong ke dalam kelas aves, tetapi mereka
menyukai pakan (makanan) yang berbeda. Perbedaan tersebut diduga berpengaruh pada daya
absorbsi, sehingga kemungkinan penyebaran kelenjar usus halus pada ketiga jenis unggas
tersebut juga berbeda. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti ingin mengetahui
tingkat penyebaran kelenjar usus halus pada ayam kampung, merpati, dan bebek.

2.2. METODE PENELITIAN

Masing-masing unggas diambil 3 ekor secara acak untuk disembelih, kemudian diambil
duodenumnya untuk diproses menjadi preparat histologis. Variabel pada penelitian ini adalah
jenis unggas sebagai variabel bebas dan histologis kelenjar intestinal unggas sebagai variabel
terikat. Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi penyebaran jumlah kelenjar
intestinal.
Pembuatan Preparat Histologi :

1. Pengambilan Sampel
Unggas disembelih dan usus halusnya diambil. Usus halus direntangkan dan dipotong bagian
duodenum. Duodenum dibersihkan dari lemak dan sisasisa makanan yang terdapat dalam
duodenum tersebut dengan natrium klorida (NaCl) fisiologis 0,9%. Dipotong sepanjang 1 cm
dan direkatkan pada kertas karton.
2. Fiksasi
Sampel duodenum dimasukkan dalam buffer neutral formalin (BNF) 10% selama 4 hari.
3. Triming
Kemudian dilakukan Triming dengan mengiris jaringan menjadi lebih kecil dan bias
dimasukkan ke tissue cassete.
4. Dehidrasi
Memasukkan sampel ke dalam alkohol 80%, 90%, 95%, alkohol absolut sebanyak dua kali
pengulangan dengan larutan yang berbeda, dan masing-masing selama 2 jam.
5. Clearing
Memasukkan sampel dalam xilol sebanyak 3 kali pengulangan dan masing-masing selama
30 menit.
6. Infiltrasi
Memasukkan sampel ke dalam parafin infiltrasi selama 30 menit dan diulang sebanyak tiga
kali dalam parafin yang berbeda.
7. Embedding
Kemudian sampel dilakukan embeding dalam parafin blok dan dibiarkan sekurang-
kurangnya selama 24 jam sebelum dilakukan pemotongan dan pewarnaan.
8. Cutting
Sampel dilakukan slicing menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4 µm.
9. Staining
Selanjutnya sampel diletakkan di atas obyek gelas dan dilakukan pewarnaan HE
(Hematoxylin Eosin).
10. Mounting
Selanjutnya preparat ditutup dengan cover glass menggunakan perekat entelan.
11. Pengamatan
Kemudian preparat diamati di bawah mikroskop.
2.3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Kelenjar Intestinal / Kali Pandang


Jenis Hewan Jumlah Rataan
1 2 3

Ayam
51 50 40 141 47
Kampung

Ayam
45 35 35 115 38
Kampung

Ayam
44 33 27 104 35
Kampung

Merpati 41 40 34 115 38

Merpati 46 40 29 115 38

Merpati 45 46 42 133 44

Bebek 70 74 62 206 69

Bebek 60 57 55 172 57

Bebek 40 60 63 163 54

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa penyebaran kelenjar intestinal pada ayam
kampung dan merpati tidak berbeda (padat), sedangkan pada bebek terlihat jauh berbeda jumlah
penyebarannya yaitu sangat padat dengan rataan pertumbuhanya (rata-rata >50). Jumlah kelenjar
intestinal pada ketiga jenis unggas ini terlihat tidak jauh berbeda. Sebaran kelenjar intestinal pada
ayam kampung, merpati, dan bebek disajikan pada Gambar 2.
Perbedaan bentuk dan jumlah kelenjar intestinal pada ketiga jenis unggas tersebut diduga
berhubungan dengan jenis pakan yang dimakan, serta proses perlunakan makanan oleh masing-
masing unggas tersebut.
Menurut Mardhiah (1991), makanan, lingkungan, dan aktivitas metabolisme berpengaruh
terhadap jumlah kelenjar intestinal. Merpati dan ayam kampung umumnya memakan makanan
yang terdiri atas butirbutiran dan bersifat keras, sehingga diperlukan sekresi kelenjar intestinal
yang lebih aktif, untuk menunjang perkembangan sel epitel penyusun vili, sedangkan bebek
cenderung menyukai makanan yang lunak dan berair. Kelenjar intestinal berfungsi melindungi
mukosa usus (Aughey dan Frye, 2001).
Menurut Dellmann dan Brown (1992), kelenjar intestinal berfungsi menunjang
perkembangan sel epitel penyusun vili. Diperkirakan sel epitel vili mengalami pembaruan tiap 2
atau 3 hari.

2.4. KESIMPULAN

Jumlah kelenjar intestinal pada bebek lebih banyak dibandingkan ayam kampung dan
merpati. Jumlah kelenjar intestinal pada ayam kampung dan merpati tidak berbeda.
LAPORAN PENELITIAN

PENINGKATAN OSTEBLAST FEMUR MENCIT PERIMENOPAUSE

PADA PEMBERIAN ESTROGEN DAN BERENANG

3.1. PENDAHULUAN
Peningkatan usia sering disertai dengan berbagai penyakit akibat penurunan hormon. Salah
satu contoh penyakit yang sering dialami wanita menopause adalah osteoporosis. Osteoporosis
terjadi karena pembentukan osteoclast lebih cepat daripada osteoblast sehingga resorpsi tulang
lebih besar daripada pembentukan tulang (Sambo et al., 2009). Osteoporosis ditandai dengan
penurunan densitas dan kekuatan tulang. Tulang rapuh dan mudah fraktur hanya dengan sedikit
trauma. Prevalensi osteoporosis pada tulang radius wanita yang berusia di atas 40 tahun sekitar
18,8% (Shin et al., 2004). Fraktur tulang radius adalah tanda pertama osteoporosis karena terjadi
lebih awal dibandingkan fraktur panggul dan vertebra (Oyen et al., 2011).
Osteoporosis bisa dicegah dengan olahraga dan obat-obatan. Obat-obatan yang diberikan
bisa berupa estrogen, kalsium, vitamin D, dan bifosfonat, dan yang lainnya. Olahraga yang tepat
bagi pasien seperti itu adalah berenang (Hart et al., 2001). Berenang merupakan aktivitas non
weight bearing sehingga dianjurkan bagi penderita kelainan otot maupun sendi tungkai yang
harus menahan berat tubuh (Giam and Teh, 1993). Olahraga ini dapat meningkatkan
pembentukan tulang kortikal, densitas, dan kekuatan tulang pada tikus dengan ovariectomy
(Teerapornpuntakit et al., 2009).
Pemberian estrogen pada masa perimenopause dikatakan dapat mengurangi risiko
osteoporosis (Curran, 2009). Estrogen berperan sebagai anti apoptosis osteoblast dan
meningkatkan sintesis kolagen tipe I. Hormon ini akan meningkatkan produksi osteoprotegerin
(OPG) sehingga osteoprotegerin ligand (OPGL) tidak bisa berikatan dengan RANK, sehingga
osteoclast precusor tidak matur, dan terjadilah apoptosis osteoclast (Brunton et al., 2006). Waktu
yang optimal untuk pemberian estrogen belum ditentukan, sebagian besar setelah menopause
(Bonnick et al., 2010).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian estrogen peroral, berenang,
dan kombinasi keduanya terhadap peningkatan osteoblast pada epiphysis tulang femur mencit
(Mus musculus) perimenopause.
3.2. METODE PENELITIAN

Bahan dan tempat penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain Control Group Design
dan telah lolos uji etik dari Komisi Etik Penggunaan Hewan dalam Penelitian dan Pendidikan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi FK UNUD, dari bulan Juli-September
2012. Sampel penelitian adalah mencit betina perimenopause sebanyak 52 ekor mencit (Mus
musculus) umur 15-16 bulan dengan bobot badan 27-33 g, dan tidak ada cacat fisik. Umur
mencit ditentukan dari melihat tanggal kelahiran mencit dan waktu pengambilan sampel. Satu
bulan mencit ekuivalen dengan 3 tahun pada manusia. Jadi mencit 15-16 bulan ekuivalen dengan
manusia 45-48 tahun (masa perimenopause).

Perlakuan hewan percobaan


Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok secara acak, yaitu 12 ekor mencit untuk
pretest (tiga ekor untuk masing-masing kelompok) serta 40 ekor mencit untuk posttest.
Kelompok posttest dibagi empat secara acak, yaitu kelompok kontrol, pemberian estrogen,
perlakuan berenang, serta kombinasi estrogen dan berenang. Kelompok kontrol dibiarkan hidup
bebas selama 6 minggu. Kelompok estrogen diberikan 1 tablet natural conjugated estrogen
(esthero), 0,625 mg, yang dihancurkan dan dilarutkan dalam 160 ml akuades serta diberikan pada
mencit sebanyak 0,00078 mg per 20 g bobot badan (0,2 ml) secara oral sekali sehari memakai
sonde selama 6 minggu (Lalamentik, 2008). Perlakuan berenang dikerjakan dengan memasukkan
mencit ke dalam bak berukuran 30x30 cm berisi air dengan suhu 32–34oC, dengan ketinggian air
25 cm selama 4 menit 4 kali seminggu selama 6 minggu, setiap hari Senin, Selasa, Kamis, dan
Jumat. Lama berenang minimal 4 menit, maksimal 10 menit, dan dihentikan jika mencit sudah
berenang selama 10 menit atau sudah tidak mau berenang setelah dirangsang sebanyak 3 kali.
Setelah 6 minggu perlakuan, mencit dieuthanasia dengan chloroform dan diambil epiphysis
tulang femurnya setebal 5 mm untuk dibuat sediaan histologi dan dilakukan pewarnaan dengan
haematoxylin eosin.
Teknik Pembuatan Preparat dan Pengamatan Histologi
1. Pembedahan
2. Fiksasi

Epiphysis tulang femur mencit difiksasi dalam buffer formalin 10% (24 jam), dicuci
dengan air mengalir, dan dilakukan dekalsifikasi dengan nitric acid 5% (12 jam).

3. Dehidrasi

Setelah dicuci dengan air, dimasukkan ke dalam tissue processor, dengan rangkaian
proses sebagai berikut: masuk ke netral buffer formalin 10% (2 jam 2 kali), alkohol 70% (2
jam), alkohol 95% (2 jam), alkohol 100% (2 jam, 3 jam), toluene (3 jam 2 kali), serta
paraffin (2 jam 2 kali).

4. Infiltrasi

Jaringan diinfiltrasi dengan paraffin pada mesin Tissue-Tek TEC.

5. Cutting

Kemudian diiris dengan ketebalan 4 mikron.

Preparat diapungkan dalam akuades yang berisi perekat gelatin dan kalium dikromat
pada mesin penangas air dan diambil dengan gelas objek. Preparat dikeringkan dalam
inkubator dengan suhu 37-38oC selama satu malam.

6. Staining (Pewarnaan)

Preparat diwarnai dengan prosedur Harris Hematoxyllin Eosin (HE).

7. Pengamatan

Prosedur penghitungan jumlah sel osteoblast dan osteoclast dilakukan dengan


pemeriksaan mikroskopis memakai mikroskop listrik binokuler Olympus, pembesaran 400
x dan diperiksa dengan menggunakan lima lapangan pandang (empat titik ujung dan satu di
tengah). Untuk mengurangi bias, pemeriksaan dilakukan dengan cara tersamar tunggal.
Analisis data dilakukan dengan sidik ragam.
3.3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data rataan osteoblast mencit pretest berdistribusi normal (p > 0,05) dan homogen (p >
0,05). Analisis sidik ragam dua arah menunjukkan antara keempat kelompok pretest tidak ada
perbedaan, dengan nilai p 0,839 (p > 0,05). Data rataan osteoblast mencit posttest berdistribusi
normal (p > 0,05) dan homogen (p > 0,05). Gambar hasil pengecatan HE dapat disajikan pada
Gambar 1.

Kelompok kontrol mempunyai rataan jumlah sel osteoblast 11,58 ± 0,23, kelompok
estrogen 21,94 ± 0,2, kelompok renang 20,47 ± 0,21, dan kelompok kombinasi 23,64 ± 0,23.
Perbedaan tersebut bermakna secara statistika (p < 0,05). Uji perbedaan antar kelompok diuji
dengan uji Post hoc (LSD) untuk mengetahui kelompok yang mempunyai rataan osteoblast
berbeda (Tabel 1). Di antara semua kelompok perlakuan, ternyata kombinasi estrogen dan renang
memberikan efek peningkatan rataan jumlah sel osteoblast terbaik, disusul dengan kelompok
estrogen, dan kelompok renang.
Efek Estrogen dan Berenang terhadap Peningkatan Osteoblast
Hasil penelitian dan analisis menunjukkan perlakuan dengan pemberian estrogen dan
berenang selama 6 minggu dapat meningkatkan jumlah sel osteoblast (p < 0,05) dibandingkan
jika diberikan secara tersendiri. Olahraga berpengaruh langsung terhadap peningkatan Bone
Mineral Density (BMD) dan pembentukan tulang. Berenang bermanfaat untuk penderita
osteoporosis dibandingkan berlari karena meningkatkan BMD femoral dengan injuri minimal
(Charoenphandhu, 2007).
Intensitas olahraga yang tepat adalah intensitas sedang. Aktivitas fisik berlebihan akan
meningkatkan konsentrasi hormon paratiroid dan ekskresi kalsium urin sehingga menurunkan
densitas tulang. Imobilisasi akan meningkatkan ekskresi kalsium urin, sehingga massa tulang
berkurang (Charoenphandhu, 2007).
Olahraga yang dilakukan secara teratur pada penderita osteoporosis dapat mempertahankan
kekuatan otot-otot extremitas inferior dan punggung, juga melatih keseimbangan dan postur
tubuh, serta akan menurunkan risiko jatuh.
Pembentukan tulang yang optimal terjadi bila beban mekanik bersifat dinamis dan
diimbangi dengan istirahat cukup untuk mencegah desensitisasi osteocyte. Beban mekanik
menstimulasi beberapa physical signal yang menginduksi aktivasi osteocyte, termasuk tissue
strain, fluid shear dan fluid pore pressure (Bergmann et al., 2011; Schwab and Scalapino, 2011).
McVeigh et al. (2010), meneliti tikus betina muda (Sprague dawley) yang dibagi menjadi
kelompok kontrol, berlari dan berenang. Perlakuan olahraga diberikan 30 menit sehari, 5 kali
seminggu, selama 6 minggu. Ditemukan bahwa berenang lebih efektif meningkatkan BMC dan
BMD daripada kedua kelompok yang lain.
Olahraga melompat masuk ke dalam air pada tikus ovarectomy memiliki efek stimulasi
pada tulang osteopenic, meningkatkan kekuatan femur, dan kandungan kalsium. Kontraksi otot
yang terjadi ketika berenang, memiliki efek osteogenesis yang berpengaruh positif terhadap
adaptasi densitas tulang. Lebih dari 70% gerakan pada tulang ditransmisikan oleh kekuatan otot.
Olahraga air dapat meningkatkan respons osteogenic pada osteopenic tissue (Renno et al, 2007).
Tikus betina (Sprague dawley) yang telah dilatih untuk berenang selama 1 jam, sebanyak 5
kali seminggu dan diamati dalam 2 minggu, menunjukkan bahwa berenang menstimulasi
transpor kalsium di usus halus dan mengubah ekspresi gen-gen dalam absorpsi kalsium.
Peningkatan absorpsi kalsium terjadi 12 jam setelah berenang. Perubahan densitas tulang baru
terlihat bila olahraga dilakukan lebih dari 2 minggu (Teerapornpuntakit et al., 2009).
Aktivitas fisik intensitas sedang memiliki pengaruh positif pada metabolisme kalsium dan
tulang dengan meningkatkan densitas tulang dan menurunkan kalsium urin. Absorbsi kalsium
oleh usus halus merupakan satu-satunya sumber kalsium bagi pembentukan tulang. Imobilisasi
akan menurunkan absorpsi kalsium dengan menurunkan kadar serum 1,25-(OH)2D3 yang
merupakan salah satu hormon pengatur kalsium. Olahraga juga mengubah motilitas dan
permiabilitas usus halus sehingga absorpsi kalsium meningkat (Charoenphandhu, 2007).
Estrogen dapat menginduksi transforming growth factor β (TGF-β) inducible early gene 1
(TIEG1) mRNA pada osteoblast. Ekspresi TIEG pada osteoblast penting untuk mineralisasi yang
diperantarai osteoblast (Subramaniam et al., 2005). Delesi ERα menurunkan kemampuan
osteoblast untuk berespon terhadap stimulus mekanis. Penurunan sensor karena berkurangnya
jumlah ERα inilah yang diatur oleh estrogen (Bergmann et al., 2011). Peningkatan jumlah
osteoblast pada pemberian estrogen terjadi karena peningkatan life span. Estrogen menstimulasi
produksi osteoprotegerin pada osteoblast dan menunjukkan efek antiresorpsi pada tulang (Lerner,
2006). Efek anabolik estrogen ditunjukkan dengan peningkatan ketebalan dinding tulang dan
volume trabekular tulang (Khatsgir et al., 2001).
Berenang akan menimbulkan aktivasi osteosit melalui mekanisme mekanotransduksi.
Osteosit akan mentransmisikan sinyal tersebut ke osteoblast sehingga terjadi stimulasi
pembentukan tulang. Estrogen akan memperkuat efek berenang melalui reseptor estrogen.
Dengan demikian, pemberian estrogen dan berenang secara bersama-sama akan lebih
meningkatkan jumlah osteoblast dibandingkan jika diberikan secara tersendiri.
3.4. KESIMPULAN

Pemberian estrogen per oral, perlakuan berenang, dan kombinasi dapat meningkatkan
osteoblast pada epiphysis tulang femur mencit perimenopause. Estrogen dapat diberikan
bersama-sama dengan perlakuan berenang untuk meningkatkan osteoblast pada tulang femur
mencit.

3.5. SARAN

Diperlukan penelitian lebih lanjut terutama tentang profil kimia darah serta dosis yang tepat
untuk pemberian estrogen dan berenang.
KUALITAS SEDIAAN JARINGAN KULIT METODE MICROWAVE

DAN CONVENTIONAL HISTOPROCESSING PEWARNAAN

HEMATOXYLIN EOSIN

4.1. PENDAHULUAN

Conventional histoprocessing adalah metode memprosesing jaringan histology dengan


tahapan prosessing pada alat secara Conventional (seperti jalan tangan) yaitu fiksasi, dehidrasi
bertingkat, clearing, dan infiltrasi paraffin dengan pemanasan ± 72 ˚C. Alat ini sudah di
program secara otomatis dalam tahapan prosesing sehingga memudahkan operasional. Waktu
yang dibutuhkan untuk memproses jaringan dari tahap awal (fiksasi) sampai menjadi blok parafin
± 18 jam (bisa diubah sesuai kebutuhan), Conventional histoprocessing menggunakan reagen
xylol pada tahap clearing (Suvarna, 2013).

Microwave histoprocessing adalah alat prosesing jaringan histologi yang menggunakan


prinsip infiltrasi dengan pemanasan pada setiap tahapan, suhu yang digunakan bisa mencapai
80˚C, reagen yang dipakai menggunakan alkohol, isopropanol dan paraffin. Tahapan prosesing
yang di gunakan pada Microwave histoprocessing yaitu fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi dan
dilanjutkan dengan pengeblokan, alat ini tidak menggunakan ragen xylol dalam tahapan clearing.
Waktu yang dibutuhkan dari tahap fiksasi sampai dengan pengeblokan ± 3 jam (Mathai, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Mathai, 2008, membandingkan alat Microwave


histoprocessing dan Conventional histoprocessing dengan kesimpulan, secara keseluruhan
kualitas jaringan mikroskopik dari kedua metode itu identik. Pada jaringan tiroid dan
gastrointestinal hasil lebih baik dengan metode Microwave histoprocessing.

4.2. METODE PENELITIAN

Bahan :

- Jaringan kulit - Isopropanol


- Buffer formalin 10% - Parafin cair
- Alkohol bertingkat - Albumin
- Xylol - Hematoxylin Eosin
- Etanol - Canada Balsam

Alat :

- Microwave histoprocessing KOS (metode microwave)


- Digital Tissue processor (metode conventional) Mikrotom

Prosedur :

1. Metode Conventional Histoprocessing :


- Jaringan diiris dengan ukuran 2 x 1 cm dan ketebalan 2 mm. Jaringan kulit diambil 2
potong, dipilih bagian yang sama (identik). Potongan jaringan dimasukkan kedalam kaset
dan diberi label. Untuk metode Conventional Histoprocessing diberi label B.
- Prosesing jaringan dengan pewarnaan Hematoxylin eosin menurut beberapa sumber
antara lain (Gustavson K.H. 1956), (Cilling, C.F.A, 1974), (Sumarno 2012), adalah
sebagai berikut, Fiksasi, Dehidrasi, Clearing, Infiltrasi paraffin.

2. Metode Microwave Histoprocessing :


1. Prosedur pemotongan/pemilihan jaringan kulit
Jaringan diiris dengan ukuran 2 x 1 cm dan ketebalan 2 mm.
2. Triming
Potongan jaringan dimasukkan kedalam kaset dan diberi label. Untuk metode Microwave
Histoprocessing diberi label A.
3. Fiksasi
Pada tabung 1 reagen yang digunakan adalah Buffer Formalin 10% selama 20 menit pada
50o.
4. Dehidrasi
Mengeluarkan tabung ke I dan memindahkan pada tabung II yang berisi alkohol 70%,
selama 20 menit suhu 65 º C, setelah selesai dicelupkan pada tabung ke III yang berisi
alkohol 70% sebanyak 2 celupan dan langsung di masukkan ke tabung IV yang berisi
Isopropanol 65 º C selama 30 menit.
5. Infiltrasi Parafin
Memindahkan jaringan pada tabung V yang berisi paraffin cair selama 55 menit, suhu
yang digunakan 81 º C ( Leong, 2014).
6. Embedding / Pengeblokkan
Proses pengeblokan dengan parafin cair dituangkan kedalam cetakan (Base mold),
jaringan dari prosessing dimasukan ke dalam cetakan yang telah di isi parafin cair, tekan
jaringan agar semakin menempel di dasar cetakan.
7. Cutting
Meletakkan blok paraffin pada penjepit kaset mikrotom, pisau mikrotom yang masih tajam
dipasang pada tempat pisau mikrotom kemudian atur pada ketebalan 3 atau 4 µ dengan
sudut 30º. Putar pemutar mikrotom menggunakan tangan kanan sampai jaringan terpotong
menjadi lembaran pita dengan ketebalan 3-4 µ, kemudian lembaran pita jaringan diambil
dan diletakkan pada waterbath dengan suhu 50 ºC, sampai mengembang.
8. Staining
Preparat dimasukkan ke xylol I, II, dan III masingmasing 3 menit, setelah itu bersihkan
pinggir jaringan dengan kain kasa. (Rehidrasi) Preparat masuk ke alkohol 100%, 95%,
80%, 70% masingmasing 3 menit. Tahapan berikutnya, preparat dialiri air mengalir 3
menit, dilanjutkan dengan pengecatan Inti sel, preparat masuk ke dalam Meyer
hematoksilin selama 15 menit setelah itu preparat dialiri dengan air mengalir selama ± 3
menit dan dilanjutkan dengan merendam alkohol 70 % I selama 3 menit, alkohol 70% II
selama 3 menit, alkohol 70% III selama3 menit, tahapan berikutnaya preparat dimasukkan
ke larutan eosin 5 menit. Tahapan berikutnya (Dehidrasi) dengan memasukkan preparat ke
dalam alkohol 70 %, 80%, 95%, 100% masing-masing 3 manit, dilanjutkan dengan
(Clearing) menggunakan xylol I, dan II masing-masing 3 menit.
9. Mounting
Menetesi preparat menggukanan entelan dan metutup dengan objek glass (Lee 1991).
10. Labelling
Ditulis nomor sampel/etiket agar tidak tertukar.
11. Pengamatan
Preparat dapat diamati di mikroskop untuk didapatkan hasilnya.
Penilaian Kualitas Sediaan

Kualitas
No Deskripsi
Skala Ordinal Score

Warna biru pada inti sel tidak jelas,


warna merah (eosin) pada sitoplasma
1 dan jarinagn ikat tidak jelas serta Tidak Baik 1
warna pada preparat tadak seragam.
Sediaan tidak bisa didiagnosis.

Warna biru pada inti sel kurang,


warna merah (eosin) pada sitoplasma
2 dan jarinagn ikat kurang, serta Kurang Baik 2
keseragaman warna pada preparat
kurang. Tetapi masih bisa didiagnosis.

Warna biru terang pada inti sel, warna


merah (eosin) pada sitoplasma dan
3 Baik 3
jarinagn ikat serta warna pada preparat
seragam.

4.3. HASIL

Hasil pengamatan kualitas sedian histologi jaringan kulit dengan metode Microwave
histoprocessing didapatkan 96.1 % hasil yang baik dan 3.9 % hasil yang kuran baik, pada
metode Conventional histoprocessing kualitas sedian didapatkan 94.8 % hasil baik dan 5.2 %
hasil yang kuran baik, dengan demikian dilihat dari total skor pada tabel 2 penilaian kualitas
sediaan menunjukkan hasil yang baik pada metode Microwave dan Conventional
histoprocessing.

Kualitas Sediaan Kurang Baik Baik

Microwave 6 149

Conventional 8 147

Jumlah Lapang Pandang 155 155


GAMBARAN HISTOLOGI

4.4. DISKUSI

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan kriteria penilaian menunjukkan kualitas


sediaan yang baik pada jaringan kulit dengan metode Microwave dan Conventional
histoprocessing. Hal ini disebabkan pada metode Microwave histoprocessing menggunakan
pemanasan dan putaran yang akan meningkatkan laju difusi reagen kedalam atau keluar dari
jaringan sehingga kandungan air dalam jaringan lebih cepat terangkat.

Pada metode Conventional histoprocessing waktu yang dibutuhkan lebih lama karena
tahapan pada metode ini dilakukan secara bertingkat. Hasil ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang menyimpulkan berbagai jenis sampel jaringan, tidak terdapat perbedaan yang
berarti (Phatol, 2016).
Hasil kurang baik kualitas sedian histology jaringan kulit dengan metode Microwave
histoprocessing didapatkan 3.9 % sedangkan pada Conventional histoprocessing 5 %. Hasil
kurang baik atau tidak baik pada pewarnaan Haematoxyilin Eosin bisa disebabkan karena
hematoxylin berperan sebagai pewarna dasar.

Prosessing jaringan khususnya jaringan kulit dapat menggunakan Metode Microvawe


histoprocessing karena waktu relatif lebih cepat.
JURNAL “OTAK”

PERBAIKAN HISTOLOGIS PUSAT LEARNING AND MEMORY DI HIPOKAMPUS


OTAK SETELAH PERLAKUAN SUPLEMEN DAGING IKAN GABUS

(CHANNA STRIATA) DALAM PAKAN: KAJIAN IN VIVO PADA TIKUS WISTAR


PASCA STRES

Reynato Wijaya Saputro1*, Sunarno1, Siti Muflichatun Mardiati1


1 Departemen Biologi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro Jl. Prof.
Soedarto, SH, Tembaalang Semarang

* E-mail: sunzen07@gmail.com

ABSTRACT

Background: Stress due to lack of feed that followed excessive activity is a trigger factor
learning and memory disorder center in the hippocampus. Cornu ammonis (CA3 and CA1) in the
hippocampus is a structure that is central to learning and memory. Complete nutrient content of
feed is supporting the regeneration of the structure of CA3 and CA1 in the hippocampus
impaired due to stress . This research was conducted to obtain a histological improvement layers
of CA3 and CA1 hippocampus in the rat brain after supplementation with snakehead fish meat
in the feed of post-stress.

Design and Method: This study uses a completely randomized design consisting of 6
treatments with 4 replications. Test animals used were male Wistar rats. Treatments, including
P0: control, namely Wistar rats were conditioned to stress during the six days that followed the
feeding without supplementation of snakehead fish meat for 14 days; P1, P2, P3, and P4,
respectively Wistar rats were conditioned stress followed by supplemental feeding snakehead
fish meat 5%, 10%, 15% and 20%. The research variables measured the thickness of the layer of
CA3 and CA1. Data were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) at the level of 95% and
continued with Duncan test with 95% significance level .
Result: Supplemental feeding with snakehead fish meat as much as 15% during 14 days in
Wistar rats after stress gives the best effect on the improvement of CA3 and CA1 layer of the
hippocampus, respectively 53.60 μm2 (17.49%) and 46.31 μm2 (78,32%), better than the
control.

Conclusion: Feeding the snake head fish meat supplementation for 14 days in Wistar rats after
stress can improve layer CA3 and CA1 in the hippocampus of the brain. Recommended snake
head fish meat can be used as a feed supplement to improve the structure of CA3 and CA1 in the
hippocampus and very good to support the learning and memory functions of the brain.

Keywords: snakehead fish meat, Channa striata, cornu ammonis, supplementation,


hippocampus, learning and memory.

ABSTRAK

Pendahuluan: Stres akibat kekurangan pakan yang diikuti aktivitas berlebihan merupakan
faktor pemicu gangguan pusat learning and memory di hipokampus. Cornu ammonis (CA3 dan
CA1) merupakan struktur di hipokampus yang merupakan pusat learning and memory.
Kandungan nutrisi pakan yang lengkap sangat menunjang proses regenerasi struktur CA3 dan
CA1 di hipokampus yang mengalami gangguan akibat stres. Penelitian ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran perbaikan histologis lapisan CA3 dan CA1 di hipokampus otak tikus
setelah suplementasi daging ikan gabus dalam pakan pasca stres.

Metode: Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 6
perlakuan dengan 4 kali ulangan. Hewan uji yang digunakan adalah Tikus Wistar jantan.

Perlakuan yang diberikan, meliputi P0: kontrol, yaitu tikus Wistar yang dikondisikan stres
selama 6 hari yang diikuti pemberian pakan tanpa suplementasi daging ikan gabus selama 14
hari; P1, P2, P3, dan P4, berturut-turut adalah tikus Wistar yang dikondisikan stres yang diikuti
pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus 5%, 10%, 15%, dan 20%. Variabel
penelitian yang diukur adalah ketebalan lapisan CA3 dan CA1. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) pada taraf kepercayaan 95% dan dilanjutkan
dengan uji Duncan dengan taraf signifikansi 95%.
Hasil: pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus sebanyak 15% selama 14 hari
pada tikus Wistar pasca stres memberi pengaruh terbaik pada perbaikan histologis lapisan CA3
dan CA1 hipokampus, berturut-turut 53,60 µm2 (17,49%) dan 46,31 µm2 (78,32%), lebih baik
dibanding kontrol.

Kesimpulan: Pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus selama 14 hari pada
tikus Wistar pasca stres dapat memperbaiki lapisan CA3 dan CA1 di hipokampus otak. Daging
ikan gabus direkomendasikan dapat digunakan sebagai suplemen pakan untuk memperbaiki
struktur CA3 dan CA1 di hipokampus dan sangat baik untuk menunjang fungsi learning and
memory otak.

Kata kunci : daging ikan gabus, suplemen, cornu ammonis, hipokampus, learning and memory
PENDAHULUAN

Pakan dan kandungan nutrisi pakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
perbaikan fungsi jaringan di dalam tubuh akibat stres. Stres menjadi masalah bagi produktivitas
hewan dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Stres dapat memicu produksi
radikal bebas dan rantai reaksi radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas dapat menyebabkan
kerusakan komponen organik sel dan penurunan aktivitas enzim- enzim intraseluler. Secara
berkelanjutan, stres dapat mengganggu fungsi sel, terutama sel yang rentan pada stres oksidatif,
seperti sel-sel neuron di lapisan cornu ammonis hipokampus (Barja 2004; Jiang et al. 2004).
Hipokampus terutama bagian cornu ammonis merupakan bagian otak yang paling cepat
mengalami penurunan fungsi akibat stres. Hipokampus diketahui mempunyai peran penting
dalam fungsi kognitif, mengontrol umpan balik pada respons stres, dan proses belajar dan
mengingat. Sel-sel di hipokampus memiliki ciri-ciri yang spesifik, yaitu berbentuk piramida
terutama di bagian cornu ammonis (CA). Bagian cornu ammonis hipokampus terdiri atas CA1,
CA2, dan CA3. Lapisan CA3 dan CA1 memiliki fungsi learning and memory, adapun fungsi
lapisan CA2 belum diketahui. Sel-sel piramida di cornu ammonis rentan dari pengaruh stres.
Stres berkepanjangan dapat mengakibatkan depresi yang diikuti degenerasi neuron pada kedua
lapisan di hipokampus tersebut (Liu et al. 2010).

Kujoth et al. (2007) melaporkan bahwa stres oksidatif dapat mengganggu proses oksidasi-
fosforilasi di mitokondria, penurunan produksi ATP, dan peningkatan kebutuhan energi
metabolisme secara keseluruhan (Serra et al. 2003; Speakman et al. 2004; Balaban et al. 2005).
Hasil penelitian Liu et al. (2010) menunjukkan bahwa stres oksidatif dapat menyebabkan
peningkatan peroksidasi lipid dan akumulasi deposit-deposit metabolit yang bersifat neurotoksik.
Stres oksidatif dapat mengganggu aktivitas enzim Ca2+ATPase yang berperan dalam proses
regulasi konsentrasi Ca2+ intraseluler dan gangguan ini dapat menginduksi terjadinya degenerasi
neuron di hipokampus. Gangguan fungsi hipokampus ditandai dengan gangguan struktur sel atau
jaringan (Dringen et al., 2000). Munculnya berbagai macam gangguan ini dapat menimbulkan
pengaruh merusak pada protein dan lipid membran sel, modifikasi membran dan fungsi seluler,
dan akhirnya menyebabkan kematian neuron cornu ammonis di hipokampus (Pamplona et al.
2004; Liu et al. 2010).
Stres berupa kekurangan pakan, ketidaktersediaan nutrisi pakan yang diikuti aktivitas
berlebihan menjadi fenomena menarik untuk diteliti terkait dengan gangguan fungsi
hipokampus. Perubahan struktur dan fungsi hipokampus akibat stres diawali dari perubahan
konsentrasi protein dan asam-aam amino intraseluler, penurunan konsentrasi antioksidan,
perubahan histo-morfologi, dan struktur mitokondria.
Kondisi stres juga dapat mengakibatkan nekrosis sel, perubahan morfologi sel, serta
perubahan plastisitas sinaptik pada hipokampus yang kemudian dapat mempengaruhi fungsi
learning and memory (Kim and Diamond, 2002).
Saat ini ditemukan banyak kasus bahwa perbaikan fungsi jaringan akibat stres memerlukan
waktu yang lama akibat rendahnya kandungan nutrisi pakan yang dikonsumsi. Moore (1997)
menyatakan bahwa nutrisi terutama protein mempunyai peran penting selama periode
hipermetabolisme akibat stres dan berperan dalam menunjang perbaikan fungsi jaringan tubuh.
Ketersediaan protein pada kondisi gangguan fungsi jaringan tubuh berfungsi sebagai katalisator,
molekul karier, molekul signal biologis, dan menstimulasi pembentukan komponen struktural
(Rusjiyanto, 2009). Peningkatan kandungan nutrisi pakan, terutama protein sangat diperlukan
untuk mempercepat perbaikan fungsi jaringan akibat stres, khususnya jaringan saraf di
hipokampus. Jaringan saraf di hipokampus memiliki kemampuan regenerasi setelah mengalami
stres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel-sel neuron di daerah hipokampus membutuhkan
waktu hingga 14 hari setelah mengalami iskemik untuk beregenerasi (Nakatomi et al. 2002).

Berdasarkan hal tersebut, penggunaan suatu bahan yang memiliki kandungan protein,
mikromineral dan berbagai macam asam amino untuk pemulihan hipokampus menjadi suatu
kebutuhan. Berbagai nutrisi tersebut sangat dibutuhkan untuk menunjang fungsi neuron dan
peningkatan kandungan antioksidan untuk pertahanan intraseluler dari pengaruh radikal bebas.
Bahan yang memenuhi kriteria tersebut adalah daging ikan gabus. Daging ikan gabus merupakan
salah satu bahan potensial yang dapat digunakan sebagai bahan suplemen untuk meningkatkan
kandungan nutirisi pakan. Daging ikan ini banyak tersedia di alam, namun belum banyak
dimanfaatkan sebagai bahan suplemen pakan. Pemberian daging ikan gabus perlu dicoba dan
digunakan sebagai bahan suplemen dalam pakan untuk memperbaiki gangguan fungsi
hipokampus akibat stres, karena bahan ini mengandung berbagai macam mikromineral dan
asam-asam amino yang dapat meningkatkan kadar antioksidan dan mempercepat perbaikan
fungsi jaringan (Daren et al., 2007). Selanjutnya, pemberian suplemen ini diharapkan dapat
memperantarai perbaikan profil histo-morfologi dan struktur mitokondria neuron hipokampus,
kemampuan belajar atau mengingat, dan aktivitas motorik.
Hasil penelitian Fadli (2010) melaporkan bahwa daging ikan gabus memiliki kandungan
nutrisi mikro seng, besi, selenium, serta protein sebesar 70% dari total kandungan nutrisi.
Albumin ditemukan sebanyak 21% dari total kandungan protein, dan sisanya berupa beberapa
asam aminio, meliputi fenilalanin (7,5%), isoleusin (8,34%), leusin (14,98%), metionin (0,81%),
valin (8,66%), treonin (8,34%), lisin (17,02%), histidin (4,16%), asam aspartat (17,02%),
asam glutamat (30,93%), alanin (10,07%), prolin (5,19%), serin (11,02%), glisin (6,99%), sistein
(0,16%), dan tirosin (7,49%). Selain itu, daging ikan gabus (per 100 g) juga mengandung energi
sebanyak 74 kkal, lemak 1,7 g, kalsium 62 mg, fosfor 176 mg, dan besi 0,9 mg (Ansar, 2010;
Rosenbloom, 2009; Deutz et al. 2014).
Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa kandungan nutrisi dalam daging ikan gabus
dapat memperantarai perbaikan fungsi jaringan atau organ tubuh yang mengalami gangguan
fungsi akibat stres. Pemberian daging ikan gabus sebagai suplemen pakan menarik untuk diteliti
sebagai upaya untuk mendapatkan informasi tentang hubungan antara konsentrasi pemberian
daging ikan gabus dalam pakan dengan perbaikan histologis pusat learning and memory di
hipokampus. Perbaikan histologis pusat learning and memory di hipokampus dapat diketahui
dari indikator ketebalan lapisan CA3 dan CA1.

METODE PENELITIAN

Hewan uji yang digunakan untuk penelitian adalah tikus Wistar jantan dengan bobot badan
± 250 g. Sebelum diberi perlakuan, tikus-tikus diaklimasi selama satu minggu dalam kandang
individu. Selama aklimasi, tikus-tikus diberi pakan pelet komersial dan minum secara ad-libitum.
Selanjutnya, setelah aklimasi hewan uji dikondisikan mengalami stres dengan cara tidak diberi
pakan selama 6 hari berturut-turut, hanya diberi minum secara ad- libitum yang diikuti dengan
aktivitas berenang dalam ember tertutup selama 10 menit (Suarsana dkk., 2013).
Desains eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas 5
perlakuan dengan 4 kali ulangan, yang meliputi P0 (tikus yang mengalami pengondisian stres,
diberi pakan tanpa suplementasi daging ikan gabus), selanjutnya berturut-turut P1, P2, P3, dan
P4 yaitu tikus yang mengalami pengondisian stres dan diberi pakan dengan suplementasi daging
ikan gabus masing-masing 5%, 10%, 15%, dan 20%. Perlakuan setelah pengondisian stres
diberikan selama 14 hari berturut-turut, dimulai pada hari ke-8 sampai hari ke-21 secara ad-
libitum. Selama perlakuan, tikus juga diberi air minum secara ad-libitum.
Di akhir percobaan, hewan uji dikorbankan, dibedah, dan dilanjutkan isolasi otak. Otak
yang telah diisolasi direndam ke dalam garam fisiologis NaCl 0,95% sampai bersih. Setelah itu,
otak ditimbang dengan timbangan analitik dan difiksasi dengan BNF 10% selama 24 jam dan
dilanjutkan prosedur pemrosesan untuk pewarnaan histologis hipokampus otak.
Sediaan histologis hipokampus dibuat dengan metode parafin. Sediaan histologis
hipokampus selanjutnya diproses dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (Sunarno dkk., 2013;
Setyawan, 2013). Prosedur pemrosesan preparat histologi hipokampus diawali dengan
pengambilan dan preparasi otak bagian kanan, kemudian diiris tepat dibagian tengah.
Hipokampus terletak di bagian mid-dorsolateral. Sampel yang sudah diperoleh kemudian
difiksasi dengan larutan BNF 10% selama 24 jam. Tahap selanjutnya adalah dehidrasi sampel ke
dalam alkohol dengan konsentrasi, secera berurutan yaitu 70%, 80%, 90%, dan 100%, dengan
waktu satu jam, dilanjutkan clearing (pencucian) menggunakan silol selama 2 jam. Selesai
clearing, dilakukan embedding (penanaman) sampel ke dalam blok parafin. Blok parafin yang
berisi jaringan kemudian ditempelkan secara kuat pada holder, selanjutnya holder dipasang di
bagian sliding mikrotom dan jaringan yang tertanam dalam parafin kemudian diiris secara
melintang setebal 8 μm. Irisan kemudian dilekatkan pada gelas objek (affixing) dengan
menggunakan perekat Meyer’s albumin.
Pewarnaan sediaan histologis hipokampus menggunakan prosedur pewarnaan HE yang
diawali dengan deparafinasi menggunakan silol dengan 3x celupan, masing-masing celupan
selama 3 menit, dilanjutkan rehidrasi untuk menghilangkan silol dengan memasukkan ke dalam
larutan alkohol konsentrasi 100%, 90%, 80%, dan 70%, secara berurutan selama 15 menit.
Selesai rehidrasi, dilanjutkan pencucian irisan sediaan histologis hipokampus dengan air
mengalir selama 1 menit, dan diikuti pencelupan singkat ke dalam akuades dan selanjutnya ke
dalam pewarna hematoksilin selama 15 menit. Tahap selanjutnya adalah pencucian lagi dengan
air mengalir selama 5-10 menit, diikuti pencelupan ke dalam pewarna eosin selama 0,25-2 menit.
Setelah pewarnaan eosin selesai, sediaan histologis didehidrasi ke dalam larutan alkohol dengan
konsentrasi 70%, 80%, 90%, dan 100%, secara berurutan diikuti pencucian menggunakan silol
selama 10 menit, kemudian ditetesi dengan entelan, ditutup dengan kaca penutup, dan diberi
label.
Sediaan histologis hipokampus yang sudah terwarnai dengan baik kemudian
didokumentasi menggunakan fotomikrograf yang terkoneksi dengan komputer dengan bantuan
aplikasi software Mac Biophotonics Image J. Variabel histologis yang diukur adalah ketebalan
lapisan cornu ammonis, yaitu CA3 dan CA1.
Pengukuran ketebalan lapisan CA3 dan CA1 hipokampus dilakukan pada bagian yang
paling tebal dan tipis menggunakan perbesaran 200x pada 4 bidang pandang, kemudian dirata-
rata untuk memperoleh data ketebalan lapisan tersebut.
Hasil pengukuran ketebalan lapisan CA3 dan CA1 yang diperoleh setelah pengamatan
histologis diuji dengan ANOVA dengan signifikansi 95%. Apabila terdapat pengaruh yang nyata
dari suplementasi daging ikan gabus dalam pakan terhadap ketebalan lapisan CA3 dan CA1
hipokampus, maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncant Multi Range Tests) dengan
signifikansi 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis rata-rata ketebalan lapisan CA3 dan CA1 hipokampus tikus Wistar pasca
stres yang mendapat perlakuan pakan dengan suplemen daging ikan gabus disajikan pada Tabel
1.
Tabel 1. Hasil analisis rata-rata ketebalan lapisan CA3 dan CA1 hipokampus tikus Wistar pasca
stres yang diberi perlakuan pakan dengan suplementasi daging ikan gabus selama 14 hari.

Hasil analisis pemberian suplemen daging ikan gabus terhadap ketebalan CA3 hipokampus
otak tikus dengan Analysis of Variance (ANOVA) menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus
memberikan pengaruh nyata terhadap ketebalan CA3 hipokampus otak tikus pasca stres. Hasil
penelitian ini didukung oleh Bardy et al. (2015) yang menyatakan bahwa dalam medium basal
neuron yang diperkaya dengan protein dapat meningkatkan aktivasi sinaptik dan pembentukan
potensial aksi neuron yang berfungsi dalam memori dan komunikasi.
Nicholson (2004) menyatakan bahwa peningkatan aktivitas sinaptik mempunyai
mempunyai keterkaitan erat dengan simpanan informasi, mendukung proses belajar atau
mengingat, dan kemampuan kognitif. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa struktur dan fungsi
lapisan CA3 hipokampus berfungsi dengan baik. Hasil penelitian Serrano dan Klann (2004) juga
menguatkan bahwa perbaikan sinaptik neuron-neuron penyusun hipokampus, terutama pada
bagian cornu ammonis memiliki keterkaitan dengan ketersediaan protein- protein intraseluler
yang bersumber dari pakan. Knierim et al. 2006 menyatakan bahwa perbaikan fisiologis dan
biokimiawi akan memberi pengaruh pada stuktur dan anatomi hipokampus, khususnya neuron-
neuron pada lapisan CA3 yang berperan dalam fungsi learning and memory maupun kognitif.

Gambar 1. Ketebalan lapisan CA3 hipokampus otak setelah pengondisian stres 6 hari yang
diikuti pemberian suplementasi daging ikan gabus dalam pakan selama 14 hari pada hewan uji

Hasil analisis dengan Uji Duncan dengan signifikansi 95% menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan nyata antara P0 dengan P1, P2, P3, dan P4, tetapi tidak terdapat perbedaan nyata
antara keempat perlakuan tersebut. Ketebalan CA3 hipokampus tertinggi adalah 53,604 µm
yaitu pada P3; sedangkan P1 adalah 50,380 µm; P2 adalah 51,580 µm; P4 adalah 52,532 µm;
dan P0 adalah 45,624 µm (Tabel 1).
Respons ketebalan lapisan CA3 hipokampus yang berbeda nyata dari ke empat perlakuan
dengan kontrol dapat disebabkan oleh ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan untuk perbaikan
hipokampus yang berbeda. Pakan dengan suplementasi daging ikan gabus memberi pengaruh
pada ketersediaan nutrisi yang lebih baik untuk perbaikan lapisan CA3 di hipokampus dibanding
pakan tanpa suplementasi daging ikan gabus. Suplementasi daging ikan gabus ke dalam pakan
menunjang ketersediaan protein, asam amino-asam amino, vitamin, dan mineral-mineral penting
yang dibutuhkan oleh sel-sel piramida di daerah CA3 sebagai bahan baku sintesis protein.
Peningkatan sintesis protein jaringan sangat menunjang proses perbaikan jaringan pasca stres.
A B

Gambar 2. Ketebalan lapisan CA3 hipokampus otak pada tikus yang mengalami pengondisian
stres yang diikuti pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus 0% (A) dan 15%
(B); tanda panah menunjukkan ketebalan lapisan CA3.

Cajigas et al., 2010 menyatakan, peningkatan sintesis protein jaringan terutama di lapisan
CA3 hipokampus dapat menginduksi terjadinya peningkatan integrasi sinaptik yang akhirnya
memicu potensiasi jangka panjang. Peningkatan sintesis protein dan aktivitas metabolik dalam
sel piramida juga meningkatkan ukuran badan sel neuron piramida di CA3 yang akhirnya
menyebabkan peningkatan ketebalan CA3 (Bianchi et al., 2013). Ketersediaan protein jaringan
memiliki keterkaitan dengan pemeliharaan dan sintesis antioksidan intraseluler, memperbaiki
integritas seluler, dan mencegah kerusakan jaringan (Schade et al. 2009; Fernandes et al. 2010).
Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa glutamin dan vitamin B6 mempunyai peran penting
dalam proses transaminasi asam-asam amino dan semua proses metabolisme asam-asam amino
(Wang et al. 2007). Daging ikan gabus dengan kandungan protein, asam-asam amino seperti
glutamin, sisten, dan glisin, vitamin dan mineral dimungkinkan dapat menunjang transport asam
amino dan ion-ion sodium ke dalam sel. Kondisi ini dapat memicu perubahan komposisi protein
intraseluler dan volume sel, mendukung sintesis protein, dan meningkatkan ketersediaan substrat
untuk beberapa sistem yang dilibatkan dalam proses perbaikan jaringan (Cruzat et al. 2007).
Glutamin telah diketahui dapat memelihara aktivitas NA+-K+ dan Ca+-ATPase, meningkatkan
energi metabolisme seluler, melindungi struktur dan fungsi mitokondria, retikulum endoplasma
kasar, menurunkan produksi radikal bebas oksigen, mencegah kerusakan sel, dan memperbaiki
sel-sel (Jun et al. 2006).
Hasil analisis pemberian suplemen daging ikan gabus terhadap ketebalan CA1 hipokampus
otak tikus dengan Analysis of Variance (ANOVA) menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(P>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa suplementasi daging ikan gabus dalam pakan
memberi pengaruh terhadap ketebalan lapisan CA1 hipokampus tikus setelah pengondisian stres
selama 6 hari (Gambar 3).
Neuron piramida pada lapisan CA1 dimungkinkan lebih rentan terhadap radikal bebas
dibanding pada lapisan CA3 akibat stres. Tingginya tingkat kerentanan ini dapat diimbangi
dengan ketersediaan protein, asam-asam amino, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan untuk
peningkatan sintesis protein pada sel neuron piramida di CA1 yang berakibat pada tercukupinya
konsentrasi protein intraseluler. Hal tersebut akhirnya berpengaruh pada proses perbaikan dendrit
neuron piramida CA1 hipokampus yang mengalami gangguan akibat stres (Wiyono dkk., 2007;
DeGracia, 2007). Perbaikan kumpulan dendrit neuron pada lapisan CA1 akhirnya berpengaruh
pada peningkatan ukuran ketebalan lapisan CA1 yang akhirnya memberi hasil berbeda nyata
antara kontrol dengan perlakuan seperti pada penelitian ini.
A B

Gambar 4. Ketebalan lapisan CA1 hipokampus pada tikus yang mengalami pengondisian stres
yang diikuti pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus 0% (A) dan 15% (B);
tanda anak panah menunjukkan lapisan CA1.

Ketebalan CA1 pada hipokampus tikus setelah pemberian pakan dengan suplementasi
daging ikan gabus pasca stres ditunjukkan pada Gambar 4. Suplementasi protein daging ikan
gabus dalam pakan diduga dapat meningkatan aktivitas metabolisme intraseluler, terutama
proses sintesis protein pada neuron piramida yang masih hidup dari kondisi stres dan memberi
kontribusi terhadap peningkatan ukuran badan sel (Pena et al., 2001). Selanjutnya, hasil analisis
Uji Duncan dengan signifikansi 95% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara P3 dengan
P0, tetapi tidak tidak terdapat perbedaan nyata antara P3 dengan P1, P2, dan P4. Hasil analisis
juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara P0 dengan P1, P2, dan P4. Adanya
perbedaan nyata respons ketebalan CA1 antara pengaruh pakan dengan suplementasi daging ikan
gabus konsentrasi 15% dengan kontrol menunjukkan bahwa suplementasi daging ikan gabus
15% memberi pengaruh terhadap peningkatan ketebalan lapisan CA1. Protein daging ikan gabus
berperan sebagai bahan baku sintesis neurotransmitter GABA (asam gamma amino butirat)
dalam sel-sel granula di girus dentat. GABA ditranspor sepanjang mossy fibers (kumpulan akson
sel-sel granula) dan kemudian dialirkan ke sel-sel piramida CA3 dan menstimulasi sel-sel
tersebut. Adanya aktivasi sel-sel piramida pada CA3 akan mengaktivasi sel-sel piramida pada
CA1 sehingga sel-sel piramida pada CA1 dapat bertahan hidup (Pedroni et al., 2014; Hsu, 2007).
Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian telah memberi bukti bahwa pemberian pakan
dengan suplementasi daging ikan gabus (Channa striata) selama 14 hari pada tikus Wistar pasca
stres dengan pengondisian stres selama 6 hari dapat meningkatkan ketebalan lapisan CA3 dan
CA1 hipokampus. Berdasarkan hal tersebut, penggunaan daging ikan gabus sebagai suplemen
pakan sangat dianjurkan untuk menunjang proses regenerasi atau perbaikan jaringan saraf dan
jaringan tubuh lainnya yang mengalami perubahan struktur dan penurunan fungsi akibat stres.
KESIMPULAN

Pemberian pakan dengan suplementasi daging ikan gabus dengan konsentrasi 15%
mampu memperbaiki secara optimal struktur histologis hipokampus otak akibat stres, yang
ditandai dengan peningkatan ketebalan lapisan CA3 dan CA1.
DAFTAR PUSTAKA

Ansar. 2010. Pengolahan dan Pemanfaatan Ikan Gabus. Kementrian Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Direktorat Pendidikan Kesetaraan.
ISBN, Jakarta.
Balaban RS, Nemoto S, Finkel T. 2005. Mitochondria, oxidants, and aging. Cell 120:483- 495.
Bardy, C., M. van den Hurk, T. Eames, C. Marchand, R. V. Hernandez, M. Kellogg, M. Gorris,
B. Galet, V. Palomares, J. Brown, A. G. Bang, J. Mertens, L. Böhnke, L. Boyer,
S. Simon and F. H. Gage. 2015. Neuronal Medium That Supports Basic Synaptic Functions and
Activity of Human Neurons In-Vitro. Proceedings of the National Academy of Sciences 112(25):
E2735-E2734.

Barja G. 2004. Aging in vertebrates, and the effect of caloric restriction: a mitochondrial free
radical production-DNA damage mechanism. Biol Rev Camb Philosoph Soc 79:235- 251.
Bianchi, S., C. D. Stimpsona, T. Duka, M. D. Larsen, W. G. M. Janssen, Z. Collins, A. L.
Bauernfeind, S. J. Schapiro, W. B. Baze, M. J. McArthur, W. D. Hopkins, D. E. Wildman, L.
Lipovich, C. W. Kuzawa, B. Jacobs, P. R. Hof and C. C. Sherwood. 2013. Synaptogenesis and
Development of Pyramidal Neuron Dendritic Morphology in the

Chimpanzee Neocortex Resembles Humans. Proceedings of the National Academy of Sciences


110(2): 10395–10401.

Cajigas, I. J., T. Will and E. M. Schuman. 2010. Protein Synthesis and Synaptic Plasticity.
The EMBO Journal 29: 2746–2752.

Cruzat, V. F., M. M. Rogero, M. C. Borges and J. Tirapegui. 2007. Current Aspects About
Oxidative Stress, Physical Exercise and Supplementation. Rev Bras Med Esporte 13(5): 304e-
310e.
Daren, K. H., R. Dhaliwalm, R. D. A. Day, J. Drover, H. Cote and Paul Wischmeyer. 2007.
Optimizing The Dose of Glutamine Dipeptides and Antioxidants in Critically III Patients: a
phase I dose-finding study. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition 31(2): 109-118.
DeGracia, D. J., J. Rudolph, G. G. Roberts, J. A. Rafols and J. Wang. 2007. Convergence of
Stress Granules and Protein Aggregates in Hippocampal Cornu Ammonis 1 at Later Reperfusion
Following Global Brain Ischemia. Neuroscience 146: 562–572.
Deutz, N. E. P., J. M. Bauer, R. Barazzoni, G. Biolo, Y. Boirie, A. B. Westphal, T. Cederholm,
A. C. Jentoft, Z. Krznaric, K. S. Nair, P. Singer, D. Teta, K. Tipton and P.
C. Calder. 2014. Protein Intake and Exercise for Optimal Muscle Function With Aging:
Recommendations from The ESPEN Expert Group. Clinical Nutrition 33: 929-936.
Dringen, R., J. M. Gutterer and J. Hirrlinger. 2000. Glutathione Metabolism in Brain: Metabolic
Interaction Between Astrocytes and Neurons in The Defense Against Reactive Oxygen Species.
Eur. J. Biochem 267: 4912-4916.
Fadli. 2010. Bagusnya Ikan Gabus. Warta Pasarikan 86: 4-5.

Fernandes, V., M. M. Rogero and J. Tirapegui. 2010. Effects of Supplementation with Free
Glutamine and the Peptide Alanyl-Glutamine on Parameters of Muscle Damage and
Inflammation in Rats Submitted to Prolonged Exercise. Cell Biochem Funct 28: 24-30.
Hsu, D. 2007. The Dentate Gyrus as A Filter or Gate: A Look Back and A Look Ahead.
Progress in Brain Research 163(32): 601-613.

Jiang JM, Wang Z, Dong D. 2004. Effects of AGEs on oxidation stress and antioxidation
abilities in cultured astrocytes. Biomed Environ Sci 17:79-86.
Jun C, Dai CL, Zhang X, Cui K, Xu F, Xu YQ. 2006. Alanyl-glutamine dipeptide inhibits
hepatic ischemia-reperfusion injury in rats. Word J Gastroent 12(9): 1373-1378.
Kim, J. J and D. M. Diamond. 2002. The Stressed Hippocampus, Synaptic Plasticity, and Lost
Memories. Neuroscience 3: 453-462.
Knierim, J. J., I. Lee and E. L. Hargreaves. 2006. Hippocampal Place Cells: Parallel Input
Streams, Subregional Processing, and Implications for Episodic Memory. Hippocampus 16:755-
764.
Kujoth GC, Bradshaw PC, Haroon S, Prolla TA. 2007. The role of mitochondrial DNA
mutations in mammalians aging. Plos Genet 23:e24.
Liu, J., A. Wang, L. Li, Y. Huang, P. Xue and A. Hao. 2010. Oxidative Stress Mediates
Hippocampal Neuron Death in Rats After Lithium–Pilocarpine-Induced Status Epilepticus.
Seizure 19: 165-172.
Moore, M. C. 1997. Buku Pedoman Terapi Diet dan Nutrisi. Hipokrates, Jakarta.

Nakatomi, H, T. Kuriu, S. Okabe, S. Yamamoto, O. Hatano, N. Kawahara, A. Tamura, T. Kirino


and M. Nakafuku. 2002. Regeneration of Hippocampal Pyramidal Neurons after Ischemic Brain
Injury by Recruitment of Endogenous Neural Progenitors. Cell 110: 429-441.
Nicholson DA. 2004. Reduction in size of perforated postsynaptic densities in hippocampal
axospinous synapses and age-related spatial learning impairments. J Neurosci 24:7648.

Pedroni, A., D. D. Minh, A. Mallamaci and E. Cherubini. 2014. Electrophysiological


Characterization of Granule Cells in the Dentate Gyrus Immediately After Birth. Frontiers in
Cellular Neuroscience 8(44): 1-9.
Pena, E., M. T. Berciano, R. Fernandez, J. L. Ojeda and M. Lafarga. 2001. Neuronal Body Size
Correlates With the Number of Nucleoli and Cajal Bodies, and With the Organization of the
Splicing Machinery in Rat Trigeminal Ganglion Neurons. Journal of Comparative Neurology 430:
250–263.
Pamplona, R., M. P. Otin, A. Sanz, J. Requena and G. Barja. 2004. Modification of The
Longevity-Related Degree of Fatty Acid Unsaturation Modulates Oxidative Damage to Proteins
and Mitochondrial DNA in Liver and Brain. Experimental Gerontology 39: 725-733.
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0531556504000506.
24 September 2015.
Rosenbloom, C. 2009. Protein for Athletes: Quantity, Quality, and Timing. Nutrition and Physical
Activity 44(5): 204-210.

Rusjiyanto. 2009. Pengaruh Pemberian Suplemen Seng (Zn) dan Vitamin C Terhadap Kecepatan
Penyembuhan Luka Pasca Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sukoharjo. Jurnal
Kedokteran Indonesia 1(1): 64-75.
Schade, R. S. M, M. Grundling, D. Pavlovic, K. Starke, M. Wendt, S. Retter, M. Murphy, U.
Suchner, A. Spassov, T. Gedrange and C. H. Lehmann. 2009. Glutamine and Alanyl- Glutamine
Dipeptide Reduce Mesenteric Plasma Extravasation, Leucocyte Adhesion and Tumor Necrosis
Factor-Alpha. Journal of Physiology and Pharmacology 60 (8): 19-24.
Serra V, Zglinicki T, Lorenz M, Saretzki G. 2003. Extracellular superoxide dismutase is a major
antioxidant in human fibroblasts and slows telomere shortening. J Biol Chem 278:6824-6830.
Speakman JR, Talbot DA, Selman C, Snart S, McLaren JS, Redman P, Krol E, Jackson DM,
Johnson MS, Brand MD. 2004. Uncoupled and surviving: individual mice with high metabolism
have greater mitochondrial uncoupling and live longer. Aging Cell 3:87-94.
Serrano F, Klann E. 2004. Reactive oxygen species and synaptic plasticity in the aging
hippocampus. Ageing Res Rev 3:431.
Setyawan, N. 2013. Gambaran Mikroanatomi pada Insang Ikan Sebagai Indikator Pencemaran
Logam Berat di Perairan Kaligarang Semarang. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.
Suarsana, I. N., T. Wresdiyati dan A. Suprayogi. 2013. Respon Stres Oksidatif dan Pemberian
Isoflavon terhadap Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase dan Peroksidasi Lipid pada Hati
Tikus. JITV 18(2): 146-152.
Sunarno, W. Manalu, N. Kusumorini dan D. R. Agungpriyono. 2013. Perbaikan Respons Seluler
pada Penuaan Hipokampus yang Diperantarai Glutation Hasil Pemberian Alanin-glutamin
Dipeptida. Jurnal Veteriner 14(1): 61-71.
Wang, L., T. J. Maher and R. J. Wurtman. 2007. Oral L-Glutamine Increases GABA Level in
Striatal Tissue and Extracelluler Fluid. The FASEB Journal 21: 1227-1232.
Wiyono, N., S. Aswin dan Harijadi. 2007. Hubungan Antara Tebal Lamina Pyramidalis CA1
Hippocampus dengan Memori Kerja pada Tikus (Rattus norvegicus) Pascastres Kronik. Jurnal
Anatomi Indonesia 3(1): 104-111.
JURNAL “USUS”

ISSN : 0853-1943

GAMBARAN HISTOLOGI KELENJAR INTESTINAL PADA


DUODENUM
AYAM KAMPUNG (Gallus domesticus), MERPATI (Columba domesticus)
DAN BEBEK (Anser anser domesticus)
Histological Feature of Intestinal Glands of Native Chicken (Gallus domesticus), Pigeon
(Columba domesticus), and Duck (Anser anser domesticus)

Zainuddin1, Dian Masyitha1, Fitriani1, Sarayulis2*, M. Jalaluddin3,


Erdiansyah Rahmi1, dan Idawati Nasution3
1
Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

*Corresponding author: sharayulis@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran histologis kelenjar intestinal pada duodenum
ayam kampung, merpati, dan bebek. Sampel yang digunakan adalah duodenum dari 3 ekor ayam
kampung, 3 ekor merpati, dan 3 ekor bebek dengan jenis kelamin dan ber at badan yang tidak
dibedakan. Unggas disembelih, kemudian diambil duodenum dan diproses untuk pembuatan preparat
histologis dengan menggunakan metode parafinisasi dan pewarnan dengan hematoksilin-eosin (HE).
Pengamatan dilakukan pada preparat histologis, meliputi jumlah dan bentuk dari kelenjar intestinal.
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan histologis kelenjar intestinal antara ayam kampung, merpati, dan bebek. Bentuk kelenjar
intestinal sama pa da ayam kampung, merpati, dan bebek yaitu tubuler sederhana. Jumlah kelenjar
intestinal pada ayam kampung dan merpati hampir sama, tersebar padat, sedangkan jumlah kelenjar
intestinal pada bebek sangat padat. Perbedaan ini diduga berhubungan dengan jenis dan konsen trasi
pakan.

Kata kunci: ayam kampung, merpati, bebek, histologi duodenum, kelenjar intestinal
ABSTRACT

The aim of this research was to observe intestinal glands histology of duodenum from native
chicken, pigeon, and duck. Samples used are duodenum from 3 native chickens, 3 pigeons, and 3 ducks
with undifferentiated of sex and weight. Fowl was slaughtered, duodenum were taken out then proceeded
for histology method using parraffination and stained with hematoxylin-eosin. Histological observation
include the density and morphology of intestinal glands. Data were analyzed descriptively. The results
showed that the intestinal glands histology differ among native chicken, pigeon, and duck but the
morphology of intestinal gland was similar that was simple tubular. The number of intestinal glands in
native chicken and pigeon almost similar and found in high density but lower than that found in pigeon.
This difference assumed to be correlated with type and concentration of feed.

Key words: native chicken, pigeon, duck, histology duodenum, intestinal glands
PENDAHULUAN

Proses pencernaan makanan pada unggas (ayam kampung (Gallus domesticus), merpati
(Columba domesticus), dan bebek (Anser anser domesticus)) berlangsung di dalam usus halus,
meliputi pencernaan pati, glukosa, sakarida, maltosa, dan sukrosa yang dicernakan menjadi gula-
gula sederhana (Anggorodi, 1995). Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum,
jejenum, dan ileum. Duodenum memiliki lipatan mukosa yang melingkar dan memiliki banyak
vili, jejenum mirip dengan daerah duodenum. Ukuran vili jejenum lebih langsing dan jumlahnya
lebih sedikit daripada duodenum. Ileum mirip dengan jejenum, vili pada ileum membentuk
kelompok. Ileum tidak memiliki lipatan-lipatan mukosa (Banks, 1993). Usus halus relatif
panjang, ini memungkinkan kontak yang lama antara makanan dan enzim-enzim pencernaan
serta hasil-hasil pencernaan dan sel-sel absorptif epitel (Junquera dan Carneiro, 1980).
Usus halus merupakan saluran pencernaan yang di mulai dari duodenum dan berakhir di
permulaan usus besar di bagian paling belakang. Penyerapan makanan terjadi di usus halus,
selaput lendir usus halus memiliki jonjot yang lembut dan menonjol seperti jari, fungsinya
sebagai penggerak aliran pakan dan juga untuk menaikkan permukaan penyerapan sari makanan
(Akoso, 1993). Duodenum pada ayam juga berfungsi untuk merombak karbohidrat menjadi
gula-gula sederhana (Anggorodi, 1995).
Kelenjar intestinal (kelenjar Lieberkuhn) memiliki lubang kecil yang menjadi muara
kelenjar tubulosa simplek. Kelenjar intestinal tersebar di antara vili, melekat pada membrana
mukosa. Kelenjar intestinal dan vili usus ditutupi oleh suatu epitel, antara lain terdiri atas sel-sel
Goblet dan enterosit. Sel-sel Goblet mensekresikan mukus untuk melumasi dan melindungi
permukaan usus, sedangkan enterosit yang berada di dalam kripta mensekresikan sejumlah besar
air dan elektrolit (Pfeiffer dan Macpherson, 1990).

Ayam kampung, bebek, dan merpati tergolong ke dalam kelas aves, tetapi mereka
menyukai pakan (makanan) yang berbeda, yaitu merpati dan ayam kampung lebih menyukai
biji-bijian sementara bebek lebih suka makanan yang agak lunak dan berair. Perbedaan
tersebut diduga berpengaruh pada daya absorbsi, sehingga kemungkinan penyebaran kelenjar
usus halus pada ketiga jenis unggas tersebut juga berbeda. Berdasarkan latar belakang tersebut
di atas, peneliti ingin mengetahui tingkat penyebaran kelenjar usus halus pada ayam kampung,
merpati, dan bebek.

MATERI DAN METODE


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium yang dianalisis secara
deskriptif dengan menggunakan ayam kampung, bebek, dan merpati, masing-masing berjumlah
tiga ekor, dengan umur kurang lebih lima bulan, dan berat badan serta jenis kelamin tidak
dibedakan. Masing-masing unggas diambil 3 ekor secara acak untuk disembelih, kemudian
diambil duodenumnya untuk diproses menjadi preparat histologis menggunakan metode
parafinisasi dan dilanjutkan dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE). Variabel pada
penelitian ini adalah jenis unggas sebagai variabel bebas dan histologis kelenjar intestinal unggas
sebagai variabel terikat. Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi penyebaran jumlah
kelenjar intestinal.
Unggas disembelih dan usus halusnya diambil. Usus halus direntangkan dan dipotong
bagian duodenum. Duodenum dibersihkan dari lemak dan sisa- sisa makanan yang terdapat
dalam duodenum tersebut dengan natrium klorida (NaCl) fisiologis 0,9%. Dipotong sepanjang 1
cm dan direkatkan pada kertas karton.
Sampel duodenum dimasukkan dalam buffer neutral formalin (BNF) 10% selama 4 hari.
Selanjutnya dilakukan striming, kemudian dehidrasi dengan memasukkan sampel ke dalam
alkohol 80%, 90%, 95%, alkohol absolut sebanyak dua kali pengulangan dengan larutan yang
berbeda, dan masing-masing selama 2 jam. Tahap selanjutnya adalah clearing, yaitu dengan
memasukkan sampel dalam xilol sebanyak 3 kali pengulangan dan masing-masing selama 30
menit. Tahap berikutnya adalah infiltrasi, yaitu dengan memasukkan sampel ke dalam parafin
infiltrasi selama 30 menit dan diulang sebanyak tiga kali dalam parafin yang berbeda. Kemudian
sampel dilakukan embeding dalam parafin blok dan dibiarkan sekurang-kurangnya selama 24
jam sebelum dilakukan pemotongan dan pewarnaan.
Tahap terakhir adalah pewarnaan. Setelah sampel dilakukan slicing menggunakan
mikrotom dengan ketebalan 4 µm, kemudian diletakkan di atas obyek gelas dan dilakukan
pewarnaan HE. Selanjutnya preparat ditutup dengan cover glass menggunakan perekat entelan.
Kemudian preparat diamati di bawah mikroskop. Parameter yang diamati pada penelitian ini
meliputi penyebaran jumlah kelenjar intestinal. Data yang didapat dianalisis secara deskriptif
berdasarkan pengamatan mikroskopis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa jumlah kelenjar intestinal pada ketiga jenis unggas
yang digunakan pada penelitian ini tidak jauh berbeda. Kelenjar intestinal pada ayam kampung
dan merpati berbentuk tubuler sederhana dan terdapat pada lamina propia. Profil kelenjar
intestinal pada ayam kampung, merpati, dan bebek disajikan pada Gambar 1, sedangkan rataan
jumlah kelenjar intestinal disajikan pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa penyebaran kelenjar intestinal pada ayam
kampung dan merpati tidak berbeda (padat), sedangkan pada bebek terlihat jauh berbeda jumlah
penyebarannya yaitu sangat padat dengan rataan pertumbuhanya (rata-rata>50). Jumlah kelenjar
intestinal pada ketiga jenis unggas ini terlihat tidak jauh berbeda. Pada ayam kampung dan
merpati, jumlah kelenjar intestinal tersebar padat, sedangkan pada bebek terlihat sangat padat.
Sebaran kelenjar intestinal pada ayam kampung, merpati, dan bebek disajikan pada Gambar 2.

Perbedaan bentuk dan jumlah kelenjar intestinal pada ketiga jenis unggas tersebut diduga
berhubungan dengan jenis pakan yang dimakan, serta proses perlunakan makanan oleh masing-
masing unggas tersebut.
Menurut Mardhiah (1991), makanan, lingkungan, dan aktivitas metabolisme berpengaruh
terhadap jumlah kelenjar intestinal. Merpati dan ayam kampung umumnya memakan makanan
yang terdiri atas butir- butiran dan bersifat keras, sehingga diperlukan sekresi kelenjar intestinal
yang lebih aktif, untuk menunjang perkembangan sel epitel penyusun vili, sedangkan bebek
cenderung menyukai makanan yang lunak dan berair.

Kelenjar intestinal bermuara pada kripta yang terdapat pada vili-vili intestinal, yang
disusun oleh sel epitel silindris sebaris. Kelenjar ini menghasilkan mukus dan beberapa enzim
untuk metabolisme peptida, lemak, karbohidrat, dan getah usus (mucin) yang berfungsi
melindungi mukosa usus (Aughey dan Frye, 2001).
Menurut Dellmann dan Brown (1992), kelenjar intestinal berfungsi menunjang
perkembangan sel epitel penyusun vili. Perkembangan sel epitel tersebut berasal dari kelenjar
intestinal yang mengarah ke puncak vili melalui pergantian sel yang ditandai dengan adanya sel
yang lepas dan masuk ke lumen. Proses pergantian sel epitel vili berlangsung secara
berkesinambungan tanpa dipengaruhi oleh jumlah ingesta atau aktivitas enzim. Diperkirakan sel
epitel vili mengalami pembaruan tiap 2 atau 3 hari.
KESIMPULAN

Jumlah kelenjar intestinal pada bebek lebih banyak dibandingkan ayam kampung dan
merpati. Jumlah kelenjar intestinal pada ayam kampung dan merpati tidak berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Anggorodi, H.R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta

Aughey, E. and F.L. Frye. 2001. Comparative Veterinary Histology. Manson Publishing/The
Veterinary Press, London.

Banks, J.W. 1993. Applied Veterinary Histology. 2nd ed. Mosby, Inc., United States of
America.

Dellmann, H.D. and E.M. Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Edisi ke-3.
(Diterjemahkan Hartono, R.). Handayani,

T.H. (Ed.). UI Press, Jakarta.

Junquera, L.C. and J. Carneiro. 1980. Histologi Dasar. Edisi ke-3. (Diterjemahkan Dharma,
A.). Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Mardhiah. A, 1991. Studi Perbandingan Gambaran Histologi Usus Halus dan Usus Kasar antara
Ayam Hutan dan Ayam Ras. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.
Banda Aceh.

Pfeiffer, C.J. and B.R. Macpherson. 1990. Anatomy of the Gastrointestinal Tract and Peritoneal
Cavity. In The Equine Acute Abdomen. White. N.A. (Ed.). Lea and Febiger, USA.
JURNAL “TULANG”

LAPORAN PENELITIAN
PENINGKATAN OSTEBLAST FEMUR MENCIT PERIMENOPAUSE
PADA PEMBERIAN ESTROGEN DAN BERENANG

Oleh:

dr. Yuliana, S.Ked, M.Biomed NIP. 197907062006042002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

NOVEMBER 2015

DAFTAR ISI
Halaman

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1

BAB II METODE PENELITIAN ………………………………………………………… 3

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………. 5

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………….. 10

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………... 11


BAB I

PENDAHULUAN

Kemajuan teknologi membawa dampak positif bagi kesehatan sehingga jumlah penduduk
usia lanjut makin bertambah. Peningkatan usia sering disertai dengan berbagai penyakit akibat
penurunan hormon. Salah satu contoh penyakit yang sering dialami wanita menopause adalah
osteoporosis. Jika tidak ditangani dengan serius, osteoporosis dapat menyebabkan fraktur
patologis dan menganggu aktivitas kehidupan sehari-hari. Penyakit ini perlu diketahui sejak
dini, dicegah, diperlambat, dan diobati. Jika osteoporosis bisa dicegah secara dini, tentu akan
meningkatkan kualitas kehidupan penderita.
Osteoporosis terjadi karena pembentukan osteoclast lebih cepat daripada osteoblast
sehingga resorpsi tulang lebih besar daripada pembentukan tulang (Sambo et al., 2009).
Densitas tulang wanita berkurang sebesar 5-15% ketika memasuki periode perimenopause dan
80% dari persentase tersebut terjadi pada tulang trabekular (Chahal and Drake, 2007).
Osteoporosis ditandai dengan penurunan densitas dan kekuatan tulang. Tulang rapuh dan
mudah fraktur hanya dengan sedikit trauma. Hal ini akan menyebabkan penurunan kualitas
hidup. Lokasi tulang yang sering menderita osteoporosis adalah vertebra lumbalis, panggul,
costae, dan radius. Prevalensi osteoporosis pada tulang radius wanita yang berusia di atas 40
tahun sekitar 18,8% (Shin et al., 2004). Fraktur tulang radius adalah tanda pertama osteoporosis
karena terjadi lebih awal dibandingkan fraktur panggul dan vertebra (Oyen et al., 2011).

Osteoporosis bisa dicegah dengan olahraga dan obat-obatan. Obat-obatan yang diberikan
bisa berupa estrogen, kalsium, vitamin D, dan bifosfonat, dan yang lainnya. Olahraga memiliki
efek anabolik, sehingga mampu menghentikan bahkan mengurangi osteoporosis pada saat yang
bersamaan (Reid, 2009). Olahraga yang tepat bagi pasien seperti itu adalah berenang (Hart et
al., 2001). Berenang dengan intensitas sedang akan meningkatkan dan mempertahankan
kesehatan serta kebugaran jantung, paru-paru, peredaran darah, otot-otot besar dan sendi-sendi.
Berenang merupakan aktivitas non weight bearing sehingga dianjurkan bagi penderita kelainan
otot maupun sendi tungkai yang harus menahan berat tubuh (Giam and Teh, 1993).

Olahraga ini dapat meningkatkan pembentukan tulang kortikal, densitas, dan kekuatan
tulang pada tikus dengan ovariectomy (Teerapornpuntakit et al., 2009). Pemberian estrogen
pada masa perimenopause dikatakan dapat mengurangi risiko osteoporosis (Curran, 2009).
Estrogen berperan sbg anti apoptosis osteoblast dan meningkatkan sintesis kolagen tipe I.
Hormon ini akan meningkatkan produksi osteoprotegerin (OPG) sehingga osteoprotegerin
ligand (OPGL) tidak bisa berikatan dgn RANK, sehingga osteoclast precusor tidak matur, dan
terjadilah apoptosis osteoclast (Brunton et al., 2006).
Osteoclast memiliki reseptor estrogen dan inilah mekanisme yang diperkirakan berperan
dalam perlindungan estrogen terhadap osteoporosis. Preparat estrogen dosis rendah (0,3 mg)
telah disetujui penggunaannya untuk pencegahan osteoporosis pada wanita postmenopause
yang memiliki risiko osteoporosis (Utian et al., 2010). Waktu pemberian hormon estrogen
sendiri masih menjadi hal yang kontroversial. Waktu yang optimal untuk pemberian estrogen
belum ditentukan, sebagian besar setelah menopause (Bonnick et al., 2010).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian estrogen peroral,
berenang, dan kombinasi keduanya terhadap peningkatan osteoblast pada epiphysis tulang
femur mencit (Mus musculus) perimenopause.
BAB II

METODE PENELITIAN

Bahan dan tempat penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain Control Group Design
dan telah lolos uji etik dari Komisi Etik Penggunaan Hewan dalan Penelitian dan Pendidikan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Penelitian dilakukan di Laboratorium
Farmakologi FK UNUD, dari bulan Juli – September 2012. Sampel penelitian adalah mencit
betina perimenopause sebanyak 52 ekor mencit (Mus musculus) umur 15-16 bulan dengan bobot
badan 27-33 g, dan tidak ada cacat fisik. Umur mencit ditentukan dari melihat tanggal
kelahiran mencit dan waktu pengambilan sampel. Satu bulan mencit ekuivalen dengan 3 tahun
pada manusia. Jadi mencit 15-16 bulan ekuivalen dengan manusia 45-48 tahun (masa
perimenopause).

Perlakuan hewan percobaan

Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok secara acak, yaitu 12 ekor mencit untuk
pretest (tiga ekor untuk masing-masing kelompok) serta 40 ekor mencit untuk posttest.
Kelompok posttest dibagi empat secara acak, yaitu kelompok kontrol, pemberian estrogen,
perlakuan berenang, serta kombinasi estrogen dan berenang. Kelompok kontrol dibiarkan hidup
bebas selama 6 minggu. Kelompok estrogen diberikan 1 tablet natural conjugated estrogen
(esthero), 0,625 mg, yang dihancurkan dan dilarutkan dalam 160 ml akuades serta diberikan
pada mencit sebanyak 0,00078 mg per 20 g bobot badan (0,2 ml) secara oral sekali sehari
memakai sonde selama 6 minggu (Lalamentik, 2008). Perlakuan berenang dikerjakan dengan
memasukkan mencit ke dalam bak berukuran 30x30 cm berisi air dengan suhu 32–34oC,
dengan ketinggian air 25 cm selama 4 menit 4 kali seminggu selama 6 minggu, setiap hari
Senin, Selasa, Kamis, dan Jumat. Lama berenang minimal 4 menit, maksimal 10 menit, dan
dihentikan jika mencit sudah berenang selama 10 menit atau sudah tidak mau berenang setelah
dirangsang sebanyak 3 kali. Setelah 6 minggu perlakuan, mencit dieuthanasia dengan
chloroform dan diambil epiphysis tulang femurnya setebal 5 mm untuk dibuat sediaan histologi
dan dilakukan pewarnaan dengan haematoxylin eosin.
Teknik Pembuatan Preparat dan Pengamatan Histologi

Epiphysis tulang femur mencit difiksasi dalam buffer formalin 10% (24 jam), dicuci
dengan air mengalir, dan dilakukan dekalsifikasi dengan nitric acid 5% (12 jam). Setelah dicuci
dengan air, dimasukkan ke dalam tissue processor, dengan rangkaian proses sebagai berikut:
masuk ke netral buffer formalin 10% (2 jam 2 kali), alkohol 70% (2 jam), alkohol 95% (2 jam),
alkohol 100% (2 jam, 3 jam), toluene (3 jam 2 kali), serta paraffin (2 jam 2 kali). Jaringan
diinfiltrasi dengan paraffin pada mesin Tissue-Tek TEC, kemudian diiris dengan ketebalan 4
mikron. Preparat diapungkan dalam akuades yang berisi perekat gelatin dan kalium dikromat
pada mesin penangas air dan diambil dengan gelas objek. Preparat dikeringkan dalam
inkubator dengan suhu 37-380C selama satu malam dan diwarnai dengan prosedur Harris
Hematoxyllin Eosin (HE). Prosedur penghitungan jumlah sel osteoblast dan osteoclast
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis memakai mikroskop listrik binokuler Olympus,
pembesaran 400 x dan diperiksa dengan menggunakan lima lapangan pandang (empat titik
ujung dan satu di tengah). Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Patologi Balai Besar
Veteriner (BB Vet), Pegok, Denpasar, Bali. Untuk mengurangi bias, pemeriksaan dilakukan
dengan cara tersamar tunggal. Analisis data dilakukan dengan sidik ragam.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data rataan osteoblast mencit pretest berdistribusi normal (p > 0,05) dan homogen (p >
0,05). Analisis sidik ragam dua arah menunjukkan antara keempat kelompok pretest tidak ada
perbedaan, dengan nilai p 0,839 (p > 0,05). Data rataan osteoblast mencit posttest
berdistribusi normal (p > 0,05) dan homogen (p> 0,05). Gambar hasil pengecatan HE dapat
disajikan pada Gambar 1.

Kelompok kontrol mempunyai rataan jumlah sel osteoblast 11,58 ± 0,23, kelompok
estrogen 21,94 ± 0,2, kelompok renang 20,47 ± 0,21, dan kelompok kombinasi 23,64 ± 0,23.
Perbedaan tersebut bermakna secara statistika (p < 0,05). Uji perbedaan antar kelompok diuji
dengan uji Post hoc (LSD) untuk mengetahui kelompok yang mempunyai rataan osteoblast
berbeda (Tabel 1). Di antara semua kelompok perlakuan, ternyata kombinasi estrogen dan
renang memberikan efek peningkatan rataan jumlah sel osteoblast terbaik, disusul dengan
kelompok estrogen, dan kelompok renang.
Efek Estrogen dan Berenang terhadap Peningkatan Osteoblast

Hasil penelitian dan analisis menunjukkan perlakuan dengan pemberian estrogen dan
berenang selama 6 minggu dapat meningkatkan jumlah sel osteoblast (p < 0,05) dibandingkan
jika diberikan secara tersendiri.
Olahraga berpengaruh langsung terhadap peningkatan Bone Mineral Density (BMD) dan
pembentukan tulang. Integritas tulang akan meningkat karena penyerapan kalsium bertambah.
Pada akhirnya kekuatan tulang akan meningkat. Berenang bermanfaat untuk penderita
osteoporosis dibandingkan berlari karena meningkatkan BMD femoral dengan injuri minimal
(Charoenphandhu, 2007).

Intensitas olahraga yang tepat adalah intensitas sedang. Aktivitas fisik berlebihan akan
meningkatkan konsentrasi hormon paratiroid dan ekskresi kalsium urin sehingga menurunkan
densitas tulang. Imobilisasi akan meningkatkan ekskresi kalsium urin, sehingga massa tulang
berkurang (Charoenphandhu, 2007).

Olahraga yang dilakukan secara teratur pada penderita osteoporosis dapat


mempertahankan kekuatan otot-otot extremitas inferior dan punggung, juga melatih
keseimbangan dan postur tubuh, serta akan menurunkan risiko jatuh. Hal ini akan
meningkatkan kualitas hidup (Schwab and Scalapino, 2011). Penelitian Rosa et al. (2010),
menunjukkan bahwa latihan fisik jangka pendek pada tikus betina mengakibatkan remodeling
tulang.

Aktifitas fisik akan menimbulkan stres mekanik pada permukaan tulang yang mendapat
regangan tertinggi. Pembentukan tulang yang optimal terjadi bila beban mekanik bersifat
dinamis dan diimbangi dengan istirahat cukup untuk mencegah desensitisasi osteocyte. Beban
mekanik menstimulasi beberapa physical signal yang menginduksi aktivasi osteocyte,
termasuk tissue strain, fluid shear dan fluid pore pressure (Bergmann et al., 2011; Schwab and
Scalapino, 2011).

Beban mekanik akan meningkatkan ekspresi nitric oxide synthase dalam osteocyte
sehingga produksi nitric oxide meningkat. Nitric oxide menekan aktivitas osteoclast dan
meningkatkan aktivitas osteoblast. Shear stress meningkatkan aktivitas cyclooxygenase
sehingga menginduksi sintesis prostaglandin. Prostaglandin menstimulasi aktivitas osteoblast
melalui Insulin like Growth factor (IGF). Prostagalandin E dan I menghambat aktivitas
osteoclast secara langsung dan mengaktifkan remodeling tulang melalui sel-sel pada osteoblast
lineage (Bergmann et al., 2011).

Rangsangan mekanik akan menurunkan sclerostin. Sclerostin akan menghambat signal


Wnt yang berperan penting dalam proliferasi dan diferensiasi osteoblast. Penurunan sclerostin
merupakan tanda utama peningkatan pembentukan tulang (Bergmann et al., 2011). Mechanical
signal dapat mengubah diferensiasi sel dari adipogenesis menjadi osteoblastogenesis melalui
stimulasi ekspresi canonical wnt protein (Schwab and Scalapino, 2011).

McVeigh et al. (2010), meneliti tikus betina muda (Sprague dawley) yang dibagi menjadi
kelompok kontrol, berlari dan berenang. Perlakuan olahraga diberikan 30 menit sehari, 5 kali
seminggu, selama 6 minggu. Ditemukan bahwa berenang lebih efektif meningkatkan BMC dan
BMD daripada kedua kelompok yang lain.

Olahraga melompat masuk ke dalam air pada tikus ovarectomy memiliki efek stimulasi
pada tulang osteopenic, meningkatkan kekuatan femur, dan kandungan kalsium. Aktivitas fisik
menginduksi peningkatan beban mekanik tulang akibat kontraksi otot dan gaya eksternal. Beban
mekanik meningkatkan densitas tulang, kalsium intraseluler, ekspresi faktor-faktor
pertumbuhan, produksi matriks tulang dan stimulasi osteogenesis (Renno et al., 2007).

Kontraksi otot yang terjadi ketika berenang, memiliki efek osteogenesis yang berpengaruh
positif terhadap adaptasi densitas tulang. Kekuatan otot mengakibatkan beban yang lebih besar
pada tulang daripada pengaruh gravitasi. Lebih dari 70% gerakan pada tulang ditransmisikan
oleh kekuatan otot. Olahraga air dapat meningkatkan respons osteogenic pada osteopenic tissue
(Renno et al, 2007).

Tikus betina (Sprague dawley) yang telah dilatih untuk berenang selama 1 jam, sebanyak
5 kali seminggu dan diamati dalam 2 minggu, menunjukkan bahwa berenang menstimulasi
transpor kalsium di usus halus dan mengubah ekspresi gen-gen dalam absorpsi kalsium.
Peningkatan absorpsi kalsium terjadi 12 jam setelah berenang. Perubahan densitas tulang baru
terlihat bila olahraga dilakukan lebih dari 2 minggu (Teerapornpuntakit et al., 2009).

Aktivitas fisik intensitas sedang memiliki pengaruh positif pada metabolisme kalsium dan
tulang dengan meningkatkan densitas tulang dan menurunkan kalsium urin. Absorpsi kalsium
oleh usus halus merupakan satu-satunya sumber kalsium bagi pembentukan tulang. Imobilisasi
akan menurunkan absorpsi kalsium dengan menurunkan kadar serum 1,25-(OH)2D3 yang
merupakan salah satu hormon pengatur kalsium. Kondisi ini menurunkan ekspresi 1α-
hydroxylase mRNA ginjal yang mensintesis 1,25-(OH)2D3 dan meningkatkan ekspresi 24-
hydroxylase yang mendegradasi 1,25-(OH)2D3.Olahraga juga mengubah motilitas dan
permiabilitas usus halus sehingga absorpsi kalsium meningkat (Charoenphandhu, 2007).

Estrogen dapat menginduksi transforming growth factor β (TGF-β)- inducible early gene
1 (TIEG1) mRNA pada osteoblast. Ekspresi TIEG pada osteoblast penting untuk mineralisasi
yang diperantarai osteoblast (Subramaniam et al., 2005). Delesi ERα menurunkan kemampuan
osteoblast untuk berespon terhadap stimulus mekanis. Lanyon menyatakan kunci terjadinya
penurunan massa tulang pada wanita post menopause adalah resetting mekanostat. Penurunan
sensor karena berkurangnya jumlah ERα inilah yang diatur oleh estrogen (Bergmann et al.,
2011). Jika tidak ada ERα, maka tidak terjadi proliferasi sel walaupun diberikan strain. Jadi ERα
terkait langsung dengan pengaturan molekul mekanotransduksi (Forwood, 2008).
Peningkatan jumlah osteoblast pada pemberian estrogen terjadi karena peningkatan life
span. Estrogen menstimulasi produksi osteoprotegerin pada osteoblast dan menunjukkan efek
antiresorpsi pada tulang (Lerner, 2006). Efek anabolik estrogen ditunjukkan dengan peningkatan
ketebalan dinding tulang dan volume trabekular tulang (Khatsgir et al., 2001). Efek estrogen
diperantarai oleh reseptor pada osteoblast, yaitu estrogen receptor related receptor α (ERRα),
reseptor estrogen α dan ß (ERα, ERß) (Kawiyana, 2009).
Berenang akan menimbulkan aktivasi osteosit melalui mekanisme mekanotransduksi.
Osteosit akan mentransmisikan sinyal tersebut ke osteoblast sehingga terjadi stimulasi
pembentukan tulang. Estrogen akan memperkuat efek berenang melalui reseptor estrogen.
Dengan demikian, pemberian estrogen dan berenang secara bersama-sama akan lebih
meningkatkan jumlah osteoblast dibandingkan jika diberikan secara tersendiri.
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

Pemberian estrogen per oral, perlakuan berenang, dan kombinasi dapat meningkatkan
osteoblast pada epiphysis tulang femur mencit perimenopause. Estrogen dapat diberikan
bersama-sama dengan perlakuan berenang untuk meningkatkan osteoblast pada tulang femur
mencit.

4.2. Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut terutama tentang profil kimia darah serta dosis yang
tepat untuk pemberian estrogen dan berenang.
DAFTAR PUSTAKA

Bergmann, P., Body, J.J., Boonen, S., Boutsen, Y., Devogelaer, J.P., Goemaere, S., Kaufman,
J., Reginster, J.Y., Rozenberg, S. 2011. Loading and Skeletal Development and Maintenance.
Journal of Osteoporosis: 1-15.
Brunton, L.L., Jazo, J.S., Parker, K.L. 2006. Goodman and Gilman’s. The pharmacological
basis of therapeutics. 11th edition. USA: McGrawHill. p. 1541-1569, 1647-1675.
Chahal, H., Drake, W. 2007. The Endocrine System and Ageing. The Journal of Pathology,
211: 173-80.

Charoenphandhu, N. 2007. Physical Activity and Exercise Affect Intestinal Calcium


Absorption: A Perspective Review. J. Sports Sci. Technol; 7(1): 171-81.
Curran, D. 2009. Menopause. [cited 2009 Dec. 19]. Available from: URL: http://emedicine.
medscape. com/article/264088-print.
Forwood MR. 2008. Physical activity and bone development during childhood: insight from
animal models. J Appl Physiol 105(1): 334-341.
Giam, C.K., Teh, K.C. 1993. Bagaimana Tingkatan Berbagai Cabang Olahraga dalam
Meningkatkan Kebugaran Fisik. In: Giam, C.K., Teh, K.C. Ilmu Kedokteran Olahraga. 1 st. Ed.
Indonesia: Binarupa Aksara. p. 29-37.

Hart, K.J., Shaw J.M., Vajda E., Hegsted M., Miller, S.C. 2001. Swim-trained Rats Have
Greater Bone Mass, Density, Strength, and Dynamics. J Appl Physiol Vol. 91: 1663-1668.

Kawiyana KS. 2009. Osteoporosis: Patogenesis, Diagnosis, dan Penanganan Terkini. J Peny
Dalam 10(2): 157-170.
Khastgir G, Studd J, Holland N, Zadeh JA, Fox S, Chow J. 2001. Anabolic Effect of
Estrogen Replacement on Bone in Postmenopausal Women with Osteoporosis:
Histomorphometric Evidence in a Longitudinal Study. The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism 86(1): 289-295.
Lerner UH. 2006. Bone Remodeling in Post menopausal osteoporosis. J Dent Res 85(7):
584-95.
McVeigh, J., Kingsley, S., Gray, D., Loram, L.C. 2010. Swimming enhances bone mass
acquisition in growing female rats. Journal of Sports Science and Medicine, 9: 612-9.

Oyen, J., Brudvik, C., Gjesdal, C.G., Tell, G.S., Lie, S.A., Hove, L.M. 2011. Osteoporosis as a
risk factor for distal radial fractures: a case-control study. J Bone Joint Surg Am.; 93(4): 348-
56.
Reid RL, Blake J, Abramson B, Aliya K, Senikas V, Fortier M. 2009.
Menopause and Osteoporosis Update JOGC 7: 36- 43.

Renno, A.C.M., Faganello, F.R., de Moura, F.M., dos Santos, N.S.A., Tirico, R.P., Bossini,
P.S., Zuanon, J.A., Neto, C.B., Parizotto, N.A. 2007. The Effects of a Progressive Loading
Exercise Program on Femoral Physical Properties and Strength of Osteopenic Rats. Acta
Ortopedica Brasileira; 15(5).

Rosa, B.V., Firth, E.C., Blair, H.T., Vickers, M.H., Morel, P.C.H., Cockrem, J.F. 2010. Short-
term Voluntary Exercise in the Rat Causes Bone Modeling Without Initiating a Physiological
Stress Response. American journal of physiology Regulatory integrative and comparative
physiology; 299(4): 1037-43.

Sambo, A.P., Umar, H., Adam, J.M.F. 2009. Causes of Secondary Osteoporosis. The Indonesian
Journal of Medical Science. Makasar: Universitas Hasanuddin; 2(1):41-50.

Schwab, P., Scalapino, K. 2011. Exercise for Bone Health. Curr Opin Rheumatol; 23(2): 137-
41.

Shin, A., Choi, J.Y., Chung, H.W., Park, S., Shin, C., Choi, Y.H., Cho, S.I., Kim,
D.S., Kim, D.I., Lee, K.M., Lee, K., Yoo, K.Y., Kang, D. 2004.
Prevalence and Risk Factors of Distal Radius and Calcaneus Bone Mineral Density in Korean
Population. Osteoporosis International; 15(8): 639-44.
Subramaniam, M., Gorny, G., Johnsen, S.A., Monroe, D.G., Evans, G.L., Fraser,D.G., Rickard,
D.J., Rasmussen, K., Deursen, J.M., Turner, R.T., Oursler, M., Spelsberg, T.C. 2005. TIEG1
Null Mouse-Derived osteoblasts are defective in Mineralization and in Support of Osteoclast
Differentiation In Vitro. Molecular and Cellular Biology 25 (3): 1191–9.

Teerapornpuntakit, J., Dorkkam, N., Wongdee, K., Krishnamra, N., Charoenphandhu, N. 2009.
Endurance swimming stimulates transepithelial calcium transport and alters the expression of
genes related to calcium absorption in the intestine of rats. Am J Physiol Endocrinol Metab, 296:
E775–E786.
Utian WH, Bachmann GA, Cahill BE, Gallagher C, Grodstein F, Heiman JR, Henderson VW,
Hodis HN, Karas RH, Manson JE, Reid RL, Santen RJ, Schmidt PJ, Stuenkel CA,
Waxman NJ, Wysocki S. 2010. Estrogen and progestogen use in postmenopausal women:
position statement of the North American Menopause Society. Menopause 17 (2): 242-255.
JURNAL “KULIT”

Journal Homepage: http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JLabMed


e-ISSN: 2549-9939

KUALITAS SEDIAAN JARINGAN KULIT METODE MICROWAVE DAN

CONVENTIONAL HISTOPROCESSING PEWARNAAN HEMATOXYLIN EOSIN

Tulus Ariyadi1*, Hadi Suryono2

1
laboratorium Pathologi Anatomi, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah
Semarang

2
laboratorium Pathologi Anatomi, Rs Islam Sultan Agung, Semarang

Info Artikel

Diterima 31 Januari 2017


Direvisi 18 Mei 2017
Disetujui 31 Juli 2017
Tersedia Online 4 Agustus 2017

Keywords:
Conventional, Histoprocessing, Jaringan kulit, Microwave

*Corresponding Author:
Tulus Ariyadi

Laboratorium Patologi Klinik, Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah
Semarang, Semarang Indonesia 50273.

E-mail: toelus@unimus.ac.id
Abstrak

Prosesing jaringan yang baik dipengaruhi oleh suhu, reagen,waktu yang berbeda, dengan
kekurangan dan kelebihanya Conventional histoprocessing menggunakan xylol dan suhu ± 72˚C selama
18 jam sedangkan metode Microwave menggunakan isopropanol alcohol dan suhu ± 80 ˚C selama 3 jam
Jaringan kulit adalah jaringan dengan kandungan air 64 % sehingga ada kehawatiran terjadi kerusakan
jaringan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas sediaan jaringan kulit dengan metode
Microwave dan Conventional histoprocessing dengan melihat kualitas penyerapan dan keseragaman
warna menggunakan pewarnaan Hematoxylin Eosin. Penelitian pendekatan cross sectional ini
menggunakan 62 sampel dibuat preparat histology dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin kemudian
dinilai kualitas sedian. Hasil pengamatan kualitas sedian histology jaringan kulit dengan metode
Microwave didapatkan 96.1 % hasil yang baik dan 3.9 %, hasil kurang baik. Metode Conventional
histoprocessing didapatkan 94.8 % hasil baik dan 5.2 % hasil yang kurang baik dengan demikian dilihat
dari total skor pada table penilaian kualitas sediaan menunjukkan hasil yang baik pada kedua metode.
Berdasarkan uji chi square didapatkan nilai p < 0.005 sehingga berbeda secara statistic. Disimpulkan
metode Microvawe dan Conventional histoprocessing keduanya baik untuk memproses jaringan
histology khususnya jaringan kutit.
Pendahuluan

Prosesing jaringan histologi masih menjadi gold strandard penentuan terapi dan prognosis
pasien. Hasil yang baik dapat memberikan gambaran tentang bentuk, susunan sel, inti sel,
sitoplasma, susunan serat jaringan ikat, otot dan lain sebagainya sesuai dengan gambaran
jaringan dalam kondisi pada waktu masih hidup. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh tahapan
prosessing seperti suhu, reagen dan waktu alat poresing jaringan (Mescher, 2016).
Conventional histoprocessing adalah metode memprosesing jaringan histology dengan
tahapan prosessing pada alat secara Conventional (seperti jalan tangan) yaitu fiksasi, dehidrasi
bertingkat, clearing, dan infiltrasi paraffin dengan pemanasan ± 72 ˚C. Alat ini sudah di
program secara otomatis dalam tahapan prosesing sehingga memudahkan operasional. Waktu
yang dibutuhkan untuk memproses jaringan dari tahap awal (fiksasi) sampai menjadi blok
parafin ± 18 jam (bisa diubah sesuai kebutuhan), Conventional histoprocessing menggunakan
reagen xylol pada tahap clearing (Suvarna, 2013).

Microwave histoprocessing adalah alat prosesing jaringan histologi yang menggunakan


prinsip infiltrasi dengan pemanasan pada setiap tahapan, suhu yang digunakan bisa mencapai
80˚C, reagen yang dipakai menggunakan alkohol, isopropanol dan paraffin. Tahapan prosesing
yang di gunakan pada Microwave histoprocessing yaitu fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi
dan dilanjutkan dengan pengeblokan, alat ini tidak menggunakan ragen xylol dalam tahapan
clearing. Waktu yang dibutuhkan dari tahap fiksasi sampai dengan pengeblokan ± 3 jam
(Mathai, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Mathai, 2008, membandingkan alat Microwave
histoprocessing dan Conventional histoprocessing dengan kesimpulan, secara keseluruhan
kualitas jaringan mikroskopik dari kedua metode itu identik. Pada jaringan tiroid dan
gastrointestinal hasil lebih baik dengan metode Microwave histoprocessing.

Menurut Gustavson (1996) jaringan kulit tersusun atas beberapa unsur komponen yang
diantaranya lemak, air dan mineral, adapun kandungan air pada jaringan kulit paling tinggi
diantara kandungan yang lain yaitu 64 %. Hal ini yang menjadi kekawatiran akan terjadi
pengurangan molekul air secara drastis sehingga jaringan jadi cepat rusak, terutama pada tahap
fiksasi yang kurang baik (Sonny, 2013).

Dehidrasi (penarikan kadar air), metode Microwave histoprocessing dimana proses


tersebut menggunakan pemanasan mencapai 80˚C, yang memungkinkan dehidrasi lebih cepat,
dikawatirkan akan merubah atau menghilangkan unsur-unsur yang seharusnya terkandung di
dalam jaringan (Manthai 2008). Metode Conventional histoprocessing memungkinkan hasil
yang baik untuk memproses jaringan jaringan kulit. Prosesing jaringan metode Conventional
histoprocessing yang secara empiris sudah terbukti menghasilkan kualitas sediaan histologi
yang baik pada semua jaringan (Suvarna, 2013), namun peneliti tertarik untuk melihat kualitas
histologi jaringan kulit dengan metode Microwave dan Conventional histoprocessing.
Metode Penelitian

Bahan dan Alat

Bahan dari penelitian ini jaringan kulit obyek yang belum mengalami autolysis, Buffer
formalin 10%, alkohol 50%, 70%, 80%, 96% absolut, xylol, etanol, isopropanol, parafin cair,
albumin, Hematoxylin eosin, Canada balsam. Alat yang digunakan adalah pisau jaringan
(makro knife), Alat yang digunakan untuk prosessing jaringan adalah Microwave
histoprocessing KOS (metode microwave) dan Digital Tissue processor (metode conventional)
Mikrotom, Water bath.

Prosedur Penelitian

Prosedur pemotongan/pemilihan jaringan kulit

Susan (2010), mengatakan pengambilan sampel jaringan dengan cara jaringan diiris
dengan ukuran 2 x 1 cm dan ketebalan 2 mm. Jaringan kulit diambil 2 potong, dipilih bagian
yang sama (identik), potongan jaringan dimasukkan kedalam
2 kaset masing masing 1 potong jaringan kulit, pada kaset ke 1 diberi label A dan kaset ke 2
diberi label B, pada kelompok kaset dengan label A diproses dengan metode Microwave
histoprocessing KOS dan kelompok kaset dengan label B di proses dengan metode Digital
Tissue processor (metode Convensional).

Prosesing Jaringan Metode Convesional Histoprosesing

Prosesing jaringan dengan pewarnaan Hematoxylin eosin menurut beberapa sumber antara
lain (Gustavson K.H. 1956), (Cilling, C.F.A, 1974), (Sumarno 2012), adalah sebagai berikut,
Fiksasi, Dehidrasi, Clearing, Infiltrasi paraffin.

Prosedur metode Microwave histoprosessor

Jaringan kulit dalam kaset dimasukkan kedalam alat microwave Tissue Prosessor dengan
tahapan fiksasi pada tabung 1 reagen yang digunakan adalah Buffer Formalin 10% selama 20
menit pada 50◦, dilanjutkan dehidrasi dengan cara mengeluarkan tabung ke I dan memindahkan
pada tabung II yang berisi alkohol 70%, selama 20 menit suhu 65 º C, setelah selesai dicelupkan
pada tabung ke III yang berisi alkohol 70% sebanyak 2 celupan dan langsung di masukkan ke
tabung IV yang berisi Isopropanol 65 º C selama 30. Langkah selanjutnya adalah Infiltrasi
paraffin yaitu dengan cara memindahkan jaringan pada tabung V yang berisi paraffin cair
selama 55 menit, suhu yang digunakan 81 º C ( Leong, 2014).
Pengeblokkan

Proses pengeblokan dengan parafin cair dituangkan kedalam cetakan (Base mold),
jaringan dari prosessing dimasukan ke dalam cetakan yang telah di isi parafin cair, tekan
jaringan agar semakin menempel di dasar cetakan. Tutup cetakan kasset diambil, letakkan di
atas cetakan dan di tekan, ditulis nomor sampel/etiket di pinggir kaset, biarkan sampai parafin
membeku, setelah beku dikeluarkan dari cetakan (Sumarno 2011).

Pemotongan blok paraffin

Pemotongan blok paraffin dengan cara metakkan blok paraffin pada penjepit kaset
mikrotom, pisau mikrotom yang masih tajam dipasang pada tempat pisau mikrotom kemudian
atur pada ketebalan 3 atau 4 µ dengan sudut 30º. Putar pemutar mikrotom menggunakan tangan
kanan sampai jaringan terpotong menjadi lembaran pita dengan ketebalan 3-4 µ, kemudian
lembaran pita jaringan diambil dan diletakkan pada waterbath dengan suhu 50 ºC, sampai
mengembang. Lembaran jaringan di ambil menggunakan objek glass yang sebelumnya sudah di
olesi albumin (Sumarno 2011).

Pewarnaan rutin Hematoxylin-Eosin (HE)

Pewarnaan Hematoxylin eosin adalah sebagai berikut (Deparafinisasi) dengan cara


preparat dimasukkan ke xylol I, II, dan III masing- masing 3 menit, setelah itu bersihkan pinggir
jaringan dengan kain kasa. (Rehidrasi) Preparat masuk ke alkohol 100%, 95%, 80%, 70%
masing- masing 3 menit. Tahapan berikutnya, preparat dialiri air mengalir 3 menit, dilanjutkan
dengan pengecatan Inti sel, preparat masuk ke dalam Meyer hematoksilin selama 15 menit
setelah itu preparat dialiri dengan air mengalir selama ± 3 menit dan dilanjutkan dengan
merendam alkohol 70 % I selama 3 menit, alkohol 70% II selama 3 menit, alkohol 70% III
selama3 menit, tahapan berikutnaya preparat dimasukkan ke larutan eosin 5 menit. Tahapan
berikutnya (Dehidrasi) dengan memasukkan preparat ke dalam alkohol 70 %, 80%, 95%, 100%
masing-masing 3 manit, dilanjutkan dengan (Clearing) menggunakan xylol I, dan II masing-
masing 3 menit. Tahapan berikutnya adalah (Mounting) dengan cara menetesi preparat
menggukanan entelan dan metutup dengan objek glass (Lee 1991).

Penilaian Kualitas Sediaan

Penilaian kualitas sediaan dengan menggunakan kriteria pada Tabel 1.


Hasil

Hasil pengamatan kualitas sediaan histologi jaringan kulit dengan metode


Microwave histoprocessing didapatkan 96.1 % hasil yang baik dan 3.9 % hasil yang kuran baik,
pada metode Conventional histoprocessing kualitas sedian didapatkan 94.8 % hasil baik dan 5.2
% hasil yang kuran baik, dengan demikian dilihat dari total skor pada tabel 2 penilaian kualitas
sediaan menunjukkan hasil yang baik pada metode Microwave dan Conventional
histoprocessing.

Gambaran Histologi

Hasil pengamatan penyerapan dan keseragaman warna pada gambaran histology jaringan
kulit metode Microwave dan Conventional histoprocessing dengan pengecatan Hematoxylin
Eosin menunjukkan hasil kualitas sediaan yang identik, rata rata hasil yang baik yaitu warna
biru terang pada inti sel, warna merah (eosin) pada sitoplasma dan jaringan ikat serta warna
pada preparat seragam. Gambar pengamatan kualitas penyerapan dan keseragaman warna bisa
dilihat pada gambar 1

Diskusi
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan kriteria penilaian menunjukkan kualitas
sediaan yang baik pada jaringan kulit dengan metode Microwave dan Conventional
histoprocessing. Hal ini disebabkan pada metode Microwave histoprocessing menggunakan
pemanasan dan putaran yang akan meningkatkan laju difusi reagen kedalam atau keluar dari
jaringan sehingga kandungan air dalam jaringan lebih cepat terangkat. Proses ini akan
memperpendek waktu tunggu histoprocessing. Pada metode Conventional histoprocessing
waktu yang dibutuhkan lebih lama karena tahapan pada metode ini dilakukan secara bertingkat.
Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyimpulkan berbagai jenis sampel
jaringan, tidak terdapat perbedaan yang berarti (Phatol, 2016).
Hasil kurang baik kualitas sedian histology jaringan kulit dengan metode Microwave
histoprocessing didapatkan 3.9 % sedangkan pada Conventional histoprocessing 5 %. Hasil
kurang baik atau tidak baik pada pewarnaan Haematoxyilin Eosin bisa disebabkan karena
hematoxylin berperan sebagai pewarna dasar. Setiap komponen yang terwarnai oleh zat ini
mengandung asam nukleat, seperti inti sel yang kaya kromatin, dan daerah sitoplasma yang kaya
RNA. Struktur dalam jaringan tampak berwarna ungu kebiruan. Pewarnaan inti yang tidak
adekuat artinya kurang adekuatnya hematoxylin yang mewarnai bagian inti seluler, Hal ini bisa
disebabkan oleh fiksasi yang tidak adekuat. Penyebab lainnya adalah proses penghilangan
parafin yang tidak sempurna, waktu pewarnaan tidak adekuat, proses penghilangan warna
terlalu kuat atau berlebihan, pemotongan yang tipis dan pH nya yang tepat.
Pewarnaan sitoplasma, pada pewarnaan ini eosin berperan sebagai pewarna asam yang
mewarnai komponen jaringan yang tidak berinti sehingga berwarna merah sampai merah muda.
Pada pewarnaan Sitoplasma, fiksasi yang tidak adekuat juga mempengaruhi sitoplasma. Akibat
fiksasi yang buruk sitoplasma menjadi lebih pucat dan samar. Batas antar sel kabur. Sitoplasma
yang tidak adekuat terwarnai oleh eosin bisa juga disebabkan oleh pH terlalu tinggi, dehidrasi
dengan alkohol terlalu lama, pemotongan yang terlalu tipis, waktu pewarnaan yang tidak
adekuat. Hal ini sesuai dengan ikatan asam basa pada pewarnaan Haematoxyilin Eosin (Akiles,
2010). Kualitas pewarnaan Hematoxylin Eosin pada sediaan histology jaringan kulit yang
diproses menggunakan metode Microvawe histoprocessing menunjukkan hasil yang baik yaitu
sebesar 96 %, metode Conventional histoprocessing sebesar 95 %, namaun berdasarka uji chi –
square didapatka hasil bahwa perlakuan antara microwave dan conventional histoprocessing
berbeda secara statistic. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya tentang kualitan sediaan
histology jaringan kulit normal dan abnormal pada ke dua Metode tersebut. Prosessing jaringan
khususnya jaringan kulit dapat menggunakan Metode Microvawe histoprocessing karena waktu
relatif lebih cepat.
Daftar Pustaka

Cilling, C.F.A., 1974, Handbook of Histopatological and Techniques, Canada.

Gustavson K.H., 1956. The Chemistry and Reactivity of collagen. Academic Press inc
Publicher, IPB.Bogor.

Kok LP, Boon ME, 2003, Microwaves for the art of microscopy, Coulomb Press Leyden:
Leiden.

Lee G, Luna, HT (ASCP), 1991, Manual of Histologic Staining Metods of the Armed Forces
institute of pathologi, Sydney.

Pathol. JC Leong AS-Y, 2004, Microwaves and turnaround times in histoprocessing, india no
12-17.
Mathai AM, Naik R, Pai MR, Rai S, Baliga P., 2008, Microwave histoprocessing versus
conventional histoprocessing, Karnatakan India.

Mescher, Anthony L, 2016, Basic Histology Indiana University Bloomington. Indiana.

Robbin and Carton, 2006, Atlas of Pathologi New York, USA.

Suvarna, CL, Jhon Bancroft JD 2013, Theory and Practice of Histological Techniques, 7th
Edition, Livingstone.

Sumarno, 2011, Prosending Pertemuan Ilmiah Bidang Imunohistokimia dan Western Blot,
Semarang.

Sonny J. R, 2013, Histofisiologi Kulit. Manado Susan C.L 2010, Manual of Surgical pathology
third Edition. Boston
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal “Otak” : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/biologi/article/view/19503/18495

Jurnal “Usus” : http://jurnal.unsyiah.ac.id/JMV/article/view/4028/3627

Jurnal “Tulang” :

https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/
48b1fd8f1639d923f1ac018d85d2cb88.pdf

Jurnal “Kulit” : https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JLabMed/article/view/2393/pdf

Anda mungkin juga menyukai