Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN TUTORIAL

Oleh
Kelompok G1

Nabila Nurshadrina 04011381721161


Nadiah Putri 04011381722163
Fannysha Arrahma 04011381722164
Natassya Mariz 04011381722176
Yake Apriliany 04011381722198
Vania Andhika Putri 04011381722200
Muhammad Rafi Abdurrachman 04011381722215
Brizka Sunardi 04011381722219
Abdullah Farooqi 04011381722221
Muhammad Rizky 04011381722228
Zaviera Az Zahra Desiraputri 04011381722232

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul
“Laporan Tutorial Skenario B Blok 22” sebagai tugas kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran agar laporan tutorial kami yang
selanjutnya dapat menjadi lebih baik kedepannya.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terimakasih
kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi
tutorial.
2. dr. Rachmat Hidayat, M.Sc., selaku tutor kelompok G1
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD Gamma 2017
4. Teman-teman kelompok G1
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala kepada semua orang yang telah
mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga
kita selalu dalam lindungan Tuhan.

Palembang, 6 Februari 2020

Kelompok G1

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 ii


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii

SKENARIO............................................................................................................. 1
I. Klarifikasi Istilah......................................................................................... 2
II. Identifikasi Masalah................................................................................... 2
III. Analisis Masalah....................................................................................... 3
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan................................................................ 22
V. Sintesis Ilmiah............................................................................................ 23
VI. Kerangka Konsep...................................................................................... 59
VII. Kesimpulan.............................................................................................. 59

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 60

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 iii


SKENARIO

A male baby was born at a type C public hospital from a 40-year-old woman. Her mother,
Mrs. Ayu was hospitalized at the hospital due to ante partum bleeding. She was G7P3A3.
The pregnancy was 34 weeks. She only had 3 times antenatal care to midwife. Her blood
pressure was 160/100 mmHg. The fetal heart rate was 180 beats perminute. An
emergency C-section was performed by the obstetrician.
The baby did not cry spontaneously after birth, but gasping and his whole body was in
cyanosis. The doctor who resuscitate the baby did first step of resuscitation to the baby
and continued with VTP. APGAR score at first minute was 1, fifth minute was 3, and
tenth minute was 7. The amnion liquor was greenish, not thick, and not smelly.
On physical examination:
Body weight was 1100 g, body length was 40 cm, and head circumference was 31 cm.
Half an hour after resuscitation the baby started to have difficulty of breathing. There
were moderate epigastric retraction, breathing sound decreased, grunting that could be
heard without stethoscope, respiration rate 70 breaths perminute, there was still cyanosis
after oxygen was given. Heart rate 168 beats perminute. Saturation 85% with nasal
oxygen. Temperature was 36 °C. The baby looked pale. The skin looked thin, there were
lanugo, and plantar creases was 1/3, from genital examination there was a little rugae,
and testes were not in the scrotum, from the rectal examination there was no anal dimple
but there was hole on the perineum below the scrotum.
INSTRUCTION
Please discuss the appropriate management for the baby.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 1


I. Klarifikasi Istilah
i. Lanugo: rambut halus yang tumbuh yang tumbuh di seluruh tubuh janin sejak
dalam kandungan.
ii. VTP: bagian dari tindakan untuk memasukkan sejumlah udara pada paru-
paru.
iii. APGAR score: tes yang dilakukan pada neonates untuk melihat kondisi bayi
secara keseluruhan. Peniliaian dilakukan di menit pertama dan kelima, menit
pertama untuk menilai seberapa baik neonates mentolerir kelahiran dan menit
kelima untuk menilai seberapa baik neonates beradaptasi ke lingkungan baru.
iv. Anal dimple: lekukan di dekat anus. Normalnya tidak ada pada neonates.
v. Plantar creases: garis-garis yang ada di telapak kaki.
vi. Rugae: kerutan di skrotum.

II. Identifikasi Masalah


Fakta Ketidaksesuaian Prioritas
A male baby was born at a type C public hospital Tidak sesuai harapan VVV
from a 40-year-old woman. Her mother, Mrs.
Ayu was hospitalized at the hospital due to ante
partum bleeding.
She only had 3 times antenatal care to midwife. Tidak sesuai harapan VV
Her blood pressure was 160/100 mmHg. The
fetal heart rate was 180 beats perminute. An
emergency C-section was performed by the
obstetrician.

The baby did not cry spontaneously after birth, Tidak sesuai harapan VV
but gasping and his whole body was in cyanosis.
The doctor who resuscitate the baby did first
step of resuscitation to the baby and continued
with VTP. APGAR score at first minute was 1,
fifth minute was 3, and tenth minute was 7. The

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 2


amnion liquor was greenish, not thick, and not
smelly.

On physical examination: Tidak sesuai harapan V


Body weight was 1100 g, body length was 40
cm, and head circumference was 31 cm. Half an
hour after resuscitation the baby started to have
difficulty of breathing. There were moderate
epigastric retraction, breathing sound decreased,
grunting that could be heard without
stethoscope, respiration rate 70 breaths
perminute, there was still cyanosis after oxygen
was given. Heart rate 168 beats perminute.
Saturation 85% with nasal oxygen. Temperature
was 36 °C. The baby looked pale. The skin
looked thin, there were lanugo, and plantar
creases was 1/3, from genital examination there
was a little rugae, and testes were not in the
scrotum, from the rectal examination there was
no anal dimple but there was hole on the
perineum below the scrotum.

III. Analisis Masalah


1. A male baby was born at a type C public hospital from a 40-year-old
woman. Her mother, Mrs. Ayu was hospitalized at the hospital due to ante
partum bleeding.
a. Apa saja jenis-jenis perdarahan pada kehamilan?
1. Perdarahan antepartum
2. Perdarahan intrapartum
3. Perdarahan postpartum

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 3


b. Kapan dikatakan perdarahan antepartum?
Perdarahan antepartum terjadi pada kehamilan trimester tiga (minggu ke 27-
40 atau sampai akhir masa kehamilan).

c. Apa saja jenis-jenis perdarahan antepartum?


Jenis-jenis perdarahan antepartum adalah solusio plasenta, plaseta previa dan
vasa previa.

d. Apa penyebab perdarahan antepartum pada kasus?


Data pada kasus belum cukup sehingga belum bisa diketahui etiologi pasti
dari perdarahan antepartum (antara solutio plasenta, plasenta previa, vasa
previa).

2. She only had 3 times antenatal care to midwife. Her blood pressure was
160/100 mmHg. The fetal heart rate was 180 beats perminute. An
emergency C-section was performed by the obstetrician.
a. Berapa kali selama kehamilan antenatal care harusnya dilakukan?
Setiap wanita hamil menghadapi resiko komplikasi yang bisa mengancam
jiwanya. Oleh karena itu, wanita hamil memerlukan sedikitnya empat kali
kunjungan selama periode antenatal:
1) Satu kali kunjungan selama trimester satu (< 14 minggu).
2) Satu kali kunjungan selama trimester kedua (antara minggu 14 – 28).
3) Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (antara minggu 28 –
36 dan sesudah minggu ke 36)
4) Perlu segera memeriksakan kehamilan bila dilaksanakan ada
gangguan atau bila janin tidak bergerak lebih dari 12 jam.

b. Apa saja jenis hipertensi pada kehamilan?

Condition Criteria

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 4


Gestational - BP>140/90 mmHg after 20 weeks
hypertension gestation
- Previously normotensive
- Tidak disertai gangguan sistemik &
proteinuria

Preeclampsia - Gestational hypertension


- Proteinuria (>300 mg/24 hr, protein :
creatinin ratio > 0.3, or dipstick 1+) OR
- Multi organ involvement (edem tungkai,
penglihatan kabur)
- 6-12 minggu stelah lahir baru ilang

Eklampsia - Preeklampsia + kejang

Chronic - BP>140/90 mmHg before pregnancy or


hypertension before 20 weeks gestation
- Bs timbul eklamsia

Preeclampsia - History of chronic hypertension


superimposed - Pd saat hamil muncul preeklampsia
- New-onset proteinuria

c. Apa indikasi dilakukannya C-section pada kasus?


Indikasi dilakukannya operasi sectio caesarea (SC) atau biasa disebut operasi
sesar atau caesarean section, secara umum dapat dibedakan menjadi 3
kelompok besar, yaitu indikasi maternal, indikasi fetal, dan keduanya.
1. Indikasi Fetal
a. Gawat janin
b. Malpresentasi (presentasi sungsang preterm, non-frank breech,
presentasi lintang, presentasi muka)
c. Makrosomia

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 5


d. Infeksi
e. Kelainan kongenital atau muskuloskleletal
f. Kelainan tali pusat berdasarkan pemeriksaan Doppler
g. Trombositopenia
h. Asidemia memanjang
i. Riwayat trauma lahir atau kondisi dimana pencegahan trauma
akibat proses persalinan dapat menurunkan morbiditas dan
mortalitas neonatal
2. Indikasi Maternal
a. Kegawatdaruratan obstetri : gawat ibu, atonia uteri, ruptur uteri
b. Riwayat persalinan : riwayat SC sebelumnya, riwayat
histerektomi klasik, riwayat rekonstruksi pelvis
c. Kelainan anatomis : deformitas pelvis, bekas luka pada uterus,
abnormalitas pelvis yang mengganggu kepala bayi masuk pintu
atas panggul
d. Massa : massa atau lesi obstruktif pada traktus genital bawah
(kondiloma vulvovaginal, malignansi, leiomyoma uterus
bagian bawah), riwayat miomektomi full-thickness, kanker
serviks invasif
e. Kardiovaskular : kondisi jantung yang tidak memungkinkan
manuver Valsalva dilakukan, aneurisma serebral atau
malformasi arteriovena
f. Lainnya : dehisensi insisi uterus, HIV atau HSV, persalinan SC
terencana (by request) dengan catatan tertentu
3. Indikasi Fetal dan Maternal
a. Plasenta previa, plasenta akreta
b. Solusio plasenta
c. Disproporsi sefalopelvik
d. Kehamilan post-term
e. Kondisi dimana terdapat kontraindikasi pada persalinan per
vaginam
f. Percobaan persalinan per vaginam gagal

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 6


d. Berapa fetal heart rate normal?
110-150 denyut per menit atau 110-160 denyut per menit

3. The baby did not cry spontaneously after birth, but gasping and his whole
body was in cyanosis. The doctor who resuscitate the baby did first step of
resuscitation to the baby and continued with VTP. APGAR score at first
minute was 1, fifth minute was 3, and tenth minute was 7. The amnion
liquor was greenish, not thick, and not smelly.
a. Apa penyebab bayi tidak menangis spontan saat lahir?
Bayi tidak menangis spontan diakibatkan oleh kurangnya oksigen akibat
paru-paru tidak dapat berkembang dengan baik. Tangisan bayi ketika lahir
membantu membuka paru-parunya agar bisa bernapas. Pada kasus,
pematangan paru belum sempurna dan terjadi defisiensi surfaktan. Surfaktan
berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan alveoli, sehingga alveoli
dapat tetap terbuka sepanjang siklus pernafasan. Defisiensi ini menyebabkan
alveoli tidak dapat mengembang/kolaps sehingga bayi sulit bernafas
(kekurangan oksigen).

b. Bagaimana mekanisme gasping dan cyanosis pada bayi?


Surfaktan belum terbentuk secara sempurna sehingga alveoli tidak dapat
berkontraksi/berkembang secara adekuat sehingga bayi kekurangan oksigen
dan tidak dapat bernapas secara sempurna dan kompensasinya berupa
gasping yang menandakan usaha bayi untuk mengambil oksigen sebanyak-
banyaknya

c. Apa indikasi resusitasi pada bayi?


i. Bayi yang kondisinya dipengaruhi oleh gangguan kehamilan
ii. Bayi yang lahir prematur
iii. Bayi lahir dengan gangguan pernapasan
iv. Bayi yang memiliki nilai APGAR rendah
v. Bayi dengan cairan amnion dan kulit tidak bersih mekonium

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 7


d. Mengapa bayi tetap diberikan VTP?
Pada kasus dilakukan tindakan VTP karena setelah resusitasi awal kondisi
bayi masih mengalami kesulitan bernafas (megap-megap) dan tetap sianosis
walaupun sudah diberikan oksigen aliran oksigen bebas.

e. Bagaimana cara perhitungan APGAR score?

1. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3


2. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10

f. Apa penyebab dan mengapa cairan amnion berwarana kehijau-hijauan, tidak


kental, dan tidak berbau?

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 8


Karena cairan amnion tercampur dengan mekonium bayi. Mekonium adalah
feses pertama bayi. Komposisi mekonium adalah zat-zat yang ditelan bayi
selama bayi berada dalam rahim, seperti air, cairan ketuban, lendir, sel sel
kulit, dan pembuangan dari empedu yang menyebabkan warna kehijau-
hijauan.

4. On physical examination:
Body weight was 1100 g, body length was 40 cm, and head circumference
was 31 cm. Half an hour after resuscitation the baby started to have
difficulty of breathing. There were moderate epigastric retraction,
breathing sound decreased, grunting that could be heard without
stethoscope, respiration rate 70 breaths perminute, there was still cyanosis
after oxygen was given. Heart rate 168 beats perminute. Saturation 85%
with nasal oxygen. Temperature was 36 °C. The baby looked pale. The skin
looked thin, there were lanugo, and plantar creases was 1/3, from genital
examination there was a little rugae, and testes were not in the scrotum,
from the rectal examination there was no anal dimple but there was hole on
the perineum below the scrotum.
a. Bagaimana klasifikasi berat bayi baru lahir?
- Bayi Berat Lahir Lebih (BBLL): >4000gram
- Bayi Berat Lahir Cukup (BBLC): 2500-4000gram
- Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR): 1500-2500gram
- Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR): <1500gram
- Bayi Berat Lahir Ekstrem Rendah (BBLER): <1000gram

b. Bagaimana interpretasi dari berat badan, Panjang badan, lingkar kepala, RR,
HR, saturasi oksigen, dan temperature?
Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Pemeriksaan Interpretasi
Berat Badan 1500 – 2700 gram 1100 gram Abnormal
Panjang Badan 40,5 – 49 kg 40 cm Abnormal
Lingkar Kepala 29 - 33,75 cm 31 cm Normal
Respiratory rate 30 – 60 x/menit 70 x/menit Takikardi
Heart rate 133 x/menit 168 x/menit Takikardi
Saturasi oksigen 91 – 95% 85% Hipoksemia

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 9


Hipotermia
Temperatur 36.5oC – 37.2oC 36oC ringan

c. Bagaimana mekanisme abnormalitas pemeriksaan di atas?


Berat bayi lahir sangat rendah, panjang badan dibawah normal serta ukuran
kepala yang normal disebabkan oleh kelahiran prematur.

d. Bagaimana mekanisme terjadinya kesulitan bernapas pada bayi setelah 30


menit dilakukan resusitasi?
Pada kasus, pematangan paru belum sempurna dan terjadi defisiensi
surfaktan. Defisiensi ini menyebabkan alveoli tidak dapat
mengembang/kolaps sehingga bayi sulit bernafas (kekurangan oksigen).

e. Bagaimana interpretasi dari down score pada kasus?


0 1 2

Frekuensi Nafas < 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit

Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat

Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis


dengan O2 menetap
walaupun
diberi O2
Air Entry Udara masuk Penurunan Tidak ada
ringan udara udara masuk
masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat
dengan didengar
stetoskop tanpa alat
bantu
Skor < 4 : Gangguan pernafasan ringan
Skor 4-6 : Gangguan pernafasan sedang
Skor ≥ 7 : Ancaman gagal nafas.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 10


Pada kasus didapatkan:
Skor
Epigastric moderate retraction 2
Grunting heard without stethoscope 2
RR 70x/ min 1
Sianosis menetap setelah diberi O2 2
Saturation 85% with nasal O2 0
Total 7
Interpretasi: score 7  Ancaman gagal nafas

f. Bagaimana mekanisme retraksi epigastrium pada kasus?


Epigastric retraction: pada saat alveolus kolaps tekanan dlm alveolus
tinggi udara baru bisa masuk apabila tekanan dalam alveolus rendah oleh
karena itu terjadi kompensasi dengan meningkatkan tekanan di rongga dada.
apabila tekanan di rongga dada lebih tinggi dari alveolus maka udara bisa
masuk.

g. Bagaimana mekanisme penurunan suara bernapas?


Suara bernapas mengalami penurunan karena paru-paru pada bayi prematur
belum matang sehingga bayi tidak dapat bernapas dengan baik.

h. Bagaimana mekanisme terjadinya grunting pada kasus?


Grunting atau merintih merupakan tanda dari respiratory distress pada bayi
baru lahir biasanya terjadi bersamaan dengan nasal flaring dan retraksi
intercostal atau subcostal. Suara yang keluar terjadi karena tertutupnya glotis
selama ekspirasi yang dapat meningkatkan tekanan akhir ekspirasi pada paru
(end-expiratory pressure) sebagai usaha meningkatkan oksigenasi pada bayi.

i. Bagaimana mekanisme terjadinya pucat pada bayi?


Bayi preterm  sel podosit II belum matur  surfaktan belum terbentuk
dengan sempurna  alveoli kolaps  Functional Residual Capacity turun

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 11


 oksigen dalam tubuh turun  perfusi O2 ke jaringan perifer menurun 
pucat

j. Apa makna kulit tipis, terdapat lanugo, dan plantar crease 1/3?
i. Kulit tipis: Lanugo harusnya rontok pada usia 7-8 bulan dan kulit janin
akan dilapisi lemak (vernix caseosa yg berfungsi melindungi bayi dari
pengikisan kulit dan menjaga bayi dari hipotermi). Dikarenakan
premature maka kulit masih tipis dan lanugo masih ada serta belum
dilapisi oleh vernix caseosa.
ii. Lanugo: berkembang pada usia kehamilan 4-5 bulan, berfungsi
mengatur temperatur bayi dan menjaga kulit dan menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan. Pada extreme premature (-) lanugo,
pada middle/ TM 3 terdapat banyak lanugo, saat aterm lanugo ada tapi
tipis. Lanugo harusnya rontok pada usia 7-8 bulan dan kulit janin akan
dilapisi lemak (vernix caseosa yg berfungsi melindungi bayi dari
pengikisan kulit). Lanugo tipis karena kurang nutrisi dan juga
premature serta lanugo tetap ada untuk membantu meregulasi suhu
bayi.
iii. Plantar crease: pada usia kehamilan 33 minggu baru terbentuk 1/3
anterior creases. normalnya sudah terbentuk 3/3 creases pada saat
aterm. Bayi yang sangat prematur dan sangat imatur tidak memiliki
plantar creases yang terdeteksi. Usia kehamilan masih 34 minggu dan
plantar creases belum terbentuk sempurna dan seluruhnya. Untuk lebih
membantu menentukan usia kehamilan bayi-bayi ini, mengukur
panjang kaki atau jarak tumit-jari kaki sangat membantu.

k. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan


genitalia?
Genitalia pada kasus masih termasuk fisiologis karena seharusnya testis
turun pada minggu ke 35 kehamilan, sedangkan di kasus 34 minggu. Lalu
rugae masih sedikit karena testis belum turun

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 12


l. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan
rectum?
Pada kondisi normal, lubang anus, saluran kemih, dan kelamin janin
terbentuk pada usia kehamilan 7-8 minggu melalui proses pembelahan dan
pemisahan dinding-dinding pencernaan janin. Diduga gangguan pada masa
perkembangan janin inilah yang akan menyebabkan terbentuknya lubang
bukan di tempat seharusnya yaitu anus

HIPOTESIS
Bayi Ny. Ayu, lahir preterm, kecil masa kehamilan (KMK) dengan berat bayi lahir sangat
rendah (BBLSR) lahir section cesaria (SC), asfiksia dan respiratory distress, diduga
disebabkan oleh penyakit membran hyaline, atresia ani dan hipotermia, dan kemungkinan
anemia.
a. Apa algoritma penegakan diagnosis dari kasus?

b. Apa saja diagnosis banding pada kasus?


o Transient tachypnea of the newborn (TTN)
o Hyaline membrane disease (HMD)

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 13


o Meconium aspiration syndrome (MAS)
o Air leak syndrome
o Pneumonia
o Congenital heart diseases

c. Apa diagnosis kerja pada kasus?


Bayi Ny. Ayu mengalami asfiksia dan respiratory distres et causa penyakit
membran hialin dan atresia ani.

d. Apa definisi penyakit pada kasus?


Penyakit membran hialin (PMH) adalah penyakit karena ketidakmatangan paru
terutama sistem sintesa surfaktan. Risiko PMH berbanding terbalik dengan masa
gestasi. Penyakit membran hialin biasa disebut respiratory distress syndrome
(RDS) atau sindroma gawat napas.

e. Bagaimana etiologi dari penyakit?


Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah penyebab utama
dari HMD. Surfaktan berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan dan
mencegah kolaps paru sehingga membantu mempertahankan stabilitas alveolar.
Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur kehamilan 35 minggu. Namun, jika
bayi terlahir dalam keadaan prematur, maka fungsi ini tidak dapat berjalan dengan
baik. Adanya imaturitas paru pada bayi prematur dan jumlah surfaktan yang
dihasilkan dan dilepaskan tidak mencukupi kebutuhan saat lahir menyebabkan
tegangan permukaan yang tinggi antara perbatasan gas alveolus dengan dinding
alveolus sehingga paru sulit untuk mengembang.

f. Bagaimana epidemiologi dari penyakit?


Respiratory Disstress Syndrome/ hyaline membrane disease didapatkan pada10%
bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahirdengan
masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yangmatur. Fungsi
surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang danberisi udara,
sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belumberkembang

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 14


menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akanmengalami sesak
napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahirdan akan
bertambah berat.
Respiratory Distress Syndrome (RDS) biasanya terjadi pada bayi prematur dan
insidennya secara proporsional berlawanan dengan usia gestasi dan berat lahir.
Enam puluh sampai delapan puluh persen teijadi pada bayi dengan gestasi kurang
dari 28 minggu, 15-30% teijadi pada gestasi antara 32-36 minggu, dan 5% pada
gestasi 37 minggu ke atas. Fanaroff, dkk melaporkan bahwa 42% bayi antara 501-
1500 gram mengalami PMH, dimana 71% dialami bayi dengan berat badan antara
501-750 gram, 54% antara 751-1000 gram, 36% antara 1001-1250 gram, dan 22%
antara 1251-1500 gram.

g. Bagaimana klasifikasi dari penyakit?


Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR:

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 15


1. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
2. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10

Klasifikasi respiratori distress berdasarkan Down’s Score:

1. Skor < 4 tidak ada distress nafas


2. Skor 4-7 distress nafas sedang
3. Skor > 7 distress nafas berat (mengancam gagal nafas)

h. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi dari penyakit?


Defisiensi surfaktan pada penyakit membran hialin teijadi karena kurangnya sel-
sel pneumosit tipe II yang matur, yang menghasilkan surfaktan.
Secara fisiologi, jumlah surfaktan yang kurang akan menyebabkan alveoli kolaps
setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pemapasan berikutnya dibutuhkan tekanan
negatif intratoraks yang lebih besar dan usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps
paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia
alveolar, retensi C02 dan asidosis. Hipoksia alveolar akan menimbulkan: (1)
oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan teijadi metabolisme anaerob dengan
penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus
alveolaris akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 16


terbentuknya fibrin. Selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang
nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan
atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung.
Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya pembentukan substansi surfaktan.

i. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit?


Tanda-tanda gangguan pernafasan progresif dicatat segera setelah lahir dan
termasuk yang berikut:
- Takipnea
- Ekspirasi merintih (dari penutupan sebagian glotis)
- Retraksi subcostal dan interkostal
- Sianosis
- Napas cuping hidung
- Pada neonatus yang sangat immatur dapat terjadi apnea dan/atau
hipotermia.
Tanda-tanda HMD biasanya muncul dalam beberapa menit selepas lahir,
meskipun mereka mungkin tidak disadari untuk beberapa jam pada bayi prematur
lebih besar sampai pernapasan yang cepat dan dangkal telah meningkat menjadi
60 kali/menit atau lebih. Sebuah onset terlambat dari takipnea harus menunjukkan
kondisi lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi pada saat lahir karena
asfiksia intrapartum atau gangguan pernapasan yang parah terdahulu(terutama
dengan berat lahir 1.000 g <). Secara karakteristik, takipnea, menonjol (sering
terdengar) merintih, retraksi interkostalis dan subcostal, napas cuping hidung, dan
kepucatan dicatat. Sianosis meningkat dan relatif sering tidak responsif terhadap
pemberian oksigen. Bunyi nafas mungkin normal atau berkurang dengan kualitas
tubular yang keras dan, pada inspirasi dalam, ronki halus dapat didengar, terutama
pada bagian posterior basal paru-paru.
Perjalanan alami HMD yang tidak diobati ditandai dengan memburuknya
sianosis secara progresif dan dyspnea. Jika kondisi ini tidak diobati, tekanan darah
bisa turun, kelelahan, sianosis, dan kepucatan meningkat, dan rintihan berkurang
atau hilang seiring dengan kondisi yang memburuk. Apnea dan respirasi tidak

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 17


teratur terjadi karena bayi kelelahan dan merupakan tanda buruk yang
memerlukan intervensi segera. Pasien juga mungkin memiliki asidosis metabolik-
respiratorik campuran, edema, ileus, dan oliguria. Kegagalan pernapasan dapat
terjadi pada bayi dengan perkembangan penyakit yang cepat. Dalam kebanyakan
kasus, gejala dan tanda-tanda mencapai puncaknya dalam waktu 3 hari, setelah itu
membaik secara bertahap. Perbaikan sering dikatakan oleh diuresis spontan dan
kemampuan untuk mengoksigenisasi bayi pada kadar oksigen inspirasi yang
rendah atau ventilator dengan tekanan rendah. Kematian jarang pada hari pertama
penyakit, biasanya terjadi antara hari ke 2 dan 7, dan berhubungan dengan
kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial, pneumotoraks), perdarahan paru,
atau intraventricular hemorrhage (IVH). Kematian mungkin tertunda beberapa
minggu atau bulan jika BPD berkembang pada bayi dengan HMDH yang parah
yang dipasang ventilasi mekanik.

j. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini?

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 18


k. Bagaimana tata laksana dari penyakit pada kasus?

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 19


l. Bagaimana kajian, informasi, dan edukasi dari penyakit pada kasus?
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada
bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah
tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan
manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah :
- Mencegah kelahiran kurang bulan (premature).
- Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi
medis.
- Management yang tepat.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 20


- Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
- Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
- Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.

m. Apa saja komplikasi dari penyakit pada kasus?


Komplikasi akut dari penyakit membran hialin meliputi:
1. Ruptur alveolar
2. Infeksi
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikular
4. Patent ductus arteriosus (PDA) dengan meningkatnya pirau kiri-ke-kanan
5. Perdarahan paru-paru
6. Necrotizing enterocolitis (NEC) dan / atau perforasi gestational
7. Apnea pada bayi prematur

Komplikasi kronik dari penyakit membran hialin meliputi:


1. Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
2. Retinopati pada bayi prematur (RBP)
3. Gangguan neurologis

n. Bagaimana prognosis dari penyakit ini?


Quo ad vitam: dubia ad malam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: bonam
Komplikasi adalah umum dan berhubungan dengan kematian yang signifikan.
Terapi modalitas baru seperti pemberian surfaktan eksogen, ventilasi frekuensi
tinggi, inhalasi nitrat oksida, dan ECMO telah mengurangi angka kematian hingga
<5%. Pada pasien yang selamat dari aspirasi mekoneum berat, BPD atau CLD
dapat terjadi akibat ventilasi mekanik yang berkepanjangan. Bayi dengan asfiksia
yang signifikan dapat menunjukkan gejala sisa neurologis.

o. Apa SKDI dari penyakit pada kasus?


3B. Gawat darurat

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 21


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan

IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan


How I will
No. Pokok Bahasan What I know What I don’t know
know
1. BBSLR  Berat Bayi  Klasifikasi
Lahir normal
2. RDS  Definisi  Etiologi
 Jenis  Epidemiologi
 Factor risiko
 Patofisiologi
 Klasifikasi
 Manifestasi
klinik
 Pemeriksaan
Diktat,
fisik
jurnal, buku
 Pemeriksaan
penunjang
 Tatalaksana
 Edukasi dan
pencegahan
 Komplikasi
 Prognosis
 Algoritme
penegakan
diagnosis

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 22


 Diagnosis
banding
 SKDI
3. Preterm neonates  Definisi  Klasifikasi
4. Asfiksia  Definisi  Klasifikasi

V. Sintesis Ilmiah
1. RD (Respiratory Distress)
a. Definisi
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress)
merupakan diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan
tidak mampu untuk melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan.
Terminologi respiratory distress digunakan untuk menunjukkan bahwa
pasien masih dapat menggunakan mekanisme kompensasi untuk
mengembalikan pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory failure
merupakan keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme
kompensasi dalam mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran
oksigen.
Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi
kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan
darah, sehingga terjadi gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi
karbondioksida, keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai PO2 dan
PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan
jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas
juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan
neuromuskular dan gangguan sistem saraf pusat.
Gagal nafas tipe hiperkapnik terjadi akibat CO2 tidak dapat dikeluarkan
dengan respirasi spontan sehingga berakibat pada peningkatan PCO2 arterial
(PaCO2) dan turunnya pH. Hiperkapnik dapat terjadi akibat obstruksi saluran
napas atas atau bawah, kelemahan otot pernapasan atau biasanya akibat
produksi CO2 yang berlebihan. Gagal nafas tipe hipoksemia terjadi akibat

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 23


kurangnya oksigenasi, biasanya akibat pirau dari kanan ke kiri atau gangguan
keseimbangan ventilasi dan perfusi (ventilation-perfusion mismatch).
b. Epidemiologi
Data mengenai penyebab angka kematian bayi yang tinggi dengan PMH
di negara berkembang sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan Fidanovski
et al. menunjukkan bahwa faktor risiko kematian bayi dengan PMH yang
menggunakan ventilasi mekanik adalah air-leak syndrome, berat badan lahir
≤1,5 kg, dan bronchopulmonary dysplasia (Fidanovski et al., 2005).
Penelitian lain yang serupa menunjukkan bahwa usia kehamilan <30 minggu,
presentasi bokong dan skor APGAR 5 menit ≤7 merupakan faktor risiko
kematian bayi PMH (Nichpanit, 2005).
Insidensi PMH pada bayi prematur sebesar 60-80% pada bayi kurang dari
28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37
minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. Frekuensinya meningkat
pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu,
kehamilan dengan lebih dari satu fetus, kelahiran dengan operasi caesar,
kelahiran yang dipercepat. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein
surfaktan yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat
juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang
menimbulkan stres pada fetus seperti ibu dengan hipertensi dan drug abuse,
atau adanya infeksi kongenital kronik (Liu et al., 2014).
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit
putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan
menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. Insidensinya
berkurang pada pemberian steroid/thyrotropin releasing hormon pada ibu
(Anadkat et al., 2012).
c. Etiologi
Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah penyebab
utama dari HMD. Konstituen utama surfaktan adalah dipalmitoyl
fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilgliserol, apoprotein (protein surfaktan SP-A,
-B, -C, -D), dan kolesterol.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 24


Dengan pertambahan usia kehamilan, jumlah fosfolipid yang disintesis
meningkat dan disimpan dalam sel alveolar tipe II. Bahan aktif permukaan
ini akan dilepaskan ke dalam alveoli, di mana mereka akan mengurangi
tegangan permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolus
dengan mencegah runtuhnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi. Jumlah
yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan pasca kelahiran karena immaturitas.
Surfaktan yang hadir dalam konsentrasi tinggi pada paru janin mengalami
homogenasi pada usia kehamilan 20 minggu, tetapi tidak mencapai
permukaan paru-paru sampai nanti. Ia muncul dalam cairan amnion pada
waktu di antara 28 dan 32 minggu. Tingkat maturitas dari surfaktan paru
biasanya terjadi setelah 35 minggu.
Meskipun jarang, kelainan genetik dapat berkontribusi dalam terjadinya
gangguan pernapasan. Kelainan pada gen protein surfaktan B dan C serta
sebuah gen bertanggungjawab untuk mengangkut surfaktan melintasi
membran (ABC transporter 3 [ABCA3]) berhubungan dengan penyakit
pernapasan berat yang diturunkan.
Sebagian sintesis surfaktan bergantung pada pH normal, suhu, dan perfusi.
Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru, khususnya terkait dengan
hipovolemia, hipotensi, dan stres dingin, dapat menekan sintesis surfaktan.
Lapisan epitel paru-paru juga dapat terluka oleh konsentrasi oksigen yang
tinggi dan efek dari manajemen respirator, sehingga mengakibatkan
pengurangan surfaktan yang lebih lanjut
d. Manifestasi Klinis
Tanda dari HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun
biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi
cepat dan dangkal (60 x / menit).Bila didapatkan onset takipnea yang
terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan
resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal
yang berat Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan
subcostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya
tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 25


dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan
ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan
yang progresif dari sianosis dan dyspnea.
Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun,
terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang
seiring memburuknya penyakit.apnea dan pernafasan iregular mucul saat bayi
lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera.
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus,
dan oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi
muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang
menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan,
tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial
tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik.
Bayi yang lahir pada 32 – 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali
normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26–
28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik.
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi
pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama,
biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya
kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan
paru atau intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu
atau bulan bila terjadibronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita
dengan ventilasi mekanik (HMD berat).
e. Patofisiologi
Respiratory Distress disebabkan oleh penurunan fungsi dan pengurangan
jumlah surfaktan. Surfaktan sendiri merupakan kompleks lipoprotein yang
terdiri dari fosfolipid seperti lechitin, fosfatidil gliserol, kolesterol, dan
apoprotein yang disintesis oleh sel epitelial alveolar tipe II dan sel Clara yang
semakin banyak jumlahnya seiring dengan umur kehamilan yang bertambah.
Komponen-komponen ini selanjutnya disimpan di dalam sel alveolar tipe II
yang akan dilepaskan ke dalam alveoli untuk mengurangi tegangan
permukaan dan mencegah kolaps paru sehingga membantu mempertahankan

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 26


stabilitas alveolar. Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur kehamilan
35 minggu. Namun, jika bayi terlahir dalam keadaan prematur, maka fungsi
ini tidak dapat berjalan dengan baik. Adanya imaturitas paru pada bayi
prematur dan jumlah surfaktan yang dihasilkan dan dilepaskan tidak
mencukupi kebutuhan saat lahir menyebabkan tegangan permukaan yang
tinggi antara perbatasan gas alveolus dengan dinding alveolus sehingga paru
sulit untuk mengembang. Pada keadaan ini, bayi berupaya melakukan usaha
ventilasi imatur dengan tetap tidak terisi gas di antara upaya pernapasan
sehingga bayi menjadi semakin berat untuk bernapas dan terjadi hipoventilasi
(Hessler et al., 1985).
Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan pada bayi prematur yang
mempunyai unit saluran pernapasan yang masih kecil dan dinding dada lemah
dapat menimbulkan atelektasis, hipoksia, hingga menyebabkan gagal napas.
Penyakit membran hialin disebabkan oleh adanya atelektasis dari tiga faktor
yang saling berhubungan; a) tegangan permukaan yang tinggi akibat fungsi
surfaktan yang tidak optimal dan defisiensi jumlah sintesis atau pelepasan
surfaktan b) fungsi unit pernapasan yang masih kecil, dan c) dinding dada
bayi yang masih lemah (Hessler et al., 1985).

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 27


Gambar 1 Patogenesis gagal napas
(Sumber: Locci et al., 2014)
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum
berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pada
bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, terjadi kelemahan compliance
dinding dada, dan otot-otot pernafasan sehingga terjadi kolaps alveolar.
Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau
di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan
asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel
pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru
yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus
arteriosus memperburuk hipoksemia. Aliran darah paru yang awalnya
menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi vaskuler paru
dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler,

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 28


aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di
interstitial dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat
menginaktivasi surfaktan. Berkurangnya functional residual capacity
(FRC) dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik PMH.
Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa
terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi
prematur mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi (Hessler et
al., 1985).

Gambar 2 Pembentukan membran hialin


(Sumber: Locci et al., 2014)
f. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, beberapa hasil pemeriksaan yang ditemukan juga
dapat membantu memperkirakan etiologi distress nafas. Bayi prematur
dengan berat badan lahir < 1500 gram dan mengalami retraksi kemungkinan
menderita HMD, bayi aterm yang lahir dengan mekoneum dalam caian
ketuban dan diameter antero-posterior rongga dada yang membesar beresiko
mengalami MAS, bayi yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk
kemungkinan menderita sepsis dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang
hampir aterm tanpa faktor resiko tetapi mengalami distress nafas ringan
kemungkinan mengalami transient tachypnea of the newborn (TTN), dan
hasil pemeriksaan fisik lainnya yang dapat membantu memperikirakan
etiologi distress nafas.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 29


Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu, pernafasan
mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung,
sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas
dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal kemudian
dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan
dalam. Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan
dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi
kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:
i. Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi.
Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan
usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti
pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan
salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang
sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan
dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan
klinik.
ii. Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping
hidung, retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi
jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas,
merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi
gangguan mekanik usaha pernafasan.
iii. Warna kulit/ membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan
teraba dingin.
g. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan gas darah
Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis
metabolik dengan hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis
dari alveoli dan atau overdistensi dari bronkiolus (terminal airways).

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 30


Asidosis metabolik yang terjadi pada HMD dawali dengan asidosis laktat
sebagai akibat dari menurunnya perfusi ke jaringan sehingga tubuh
menggunakan jalur anaerob untuk metabolisme. Hipoksia pada HMD ini
terjadi dari right-to-left shunting melalui pembuluh dari pulmonal, patent
ductus artreriosus (PDA), dan atau foramen ovale tidak menutup.
b. Pulse Oximetry
Pulse oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan untuk
memantau saturasi oksigen dalam darah, dimana saturasi dipertahankan
pada nilai 90-95%. Akan tetapi alat ini tidak dapat mendeteksi terjadinya
hiperoksia. Pada metode konvensional digunakan metode monitoring in-
line arterial PaO2 dan monitoring transkutaneus. Monitoring transkutaneus
CO2 seharusnya dgunakan pada infant dengan HMD untuk memonitor
ventilasi yang berhubungan dengan PaCO2.
c. Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks.
Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit
membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika, dan lain-
lain.
Foto toraks posisi AP dan lateral (bila diperlukan serial)
Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membran
hialin. Gambaran yang khas berupa pola retikulogranular, yang disebut
dengan ground glass appearance, disertai dengan gambaran bronkus di
bagian perifer paru (air bronchogram).
Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval
sesuai indikasi. Pada pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder
karena pemakaian ventilator, atau terjadi bronchopulmonary dysplasia
(BPD) setelah pemakaian ventilator jangka lama.
d. Uji Kematangan Paru
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah
tes kematangan paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 31


mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal Respiratory
Distress Syndrome (RDS).
 Tes biokimia (Rasio lecithin-sphingomyelin)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi
surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara
menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan
amnion.
Tes ini merupakan salah satu tes yang sering digunakan dan
sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain.
Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif
merupakan komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck
menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah <0.5 pada saat
gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap. Rasio L/S = 2
dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan
bahwa neonatal HMD sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S
>2.12 Dengan rasio 1.5-1.9, ada kemungkinan bahwa 50% bayi dapat
berlanjut ke HMD. Pada rasio <1.5, risiko meningkat sampai 73%.
Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes
ini.10

Gambar 4. Grafik perbandingan L/S dengan usia gestasi

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 32


 Tes biofisika (Shake test)
Shake test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid
yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil. Pada janin,
cairan paru biasanya ditelan sehingga aspirasi dari cairan lambung
dalam 30 menit setelah lahir sebagian besar terdiri dari cairan paru
yang ditelan atau cairan amnion. Oleh karena itu, aspirasi dari cairan
lambung dapat digunakan untuk evaluasi apabila surfaktan terdapat
pada paru-paru janin sewaktu lahir.
Dengan mengocok cairan aspirat lambung 0.5 cc, NaCl 0.9%
0.5 cc dan alkohol 1 cc lalu dikocok dengan keras dan didiamkan
selama 15 menit. Dengan mengocok cairan amnion dengan alkohol
akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain
dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak
bebas. Pada alkohol dengan konsentrasi 47.5%, stable bubble yang
dibentuk oleh karena pengocokan akan menetap oleh karena adanya
lechitin.
Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari
2 kali (cairan amnion: alkohol) atau hasil positive gelembung (+),
maka merupakan indikasi maturitas paru janin.

Gambar 5 Cara melakukan shake test


e. Pemeriksaan fungsi paru

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 33


Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan tim yang
berpengalaman. Peningkatan frekuensi pernafasan pada penyakit ini akan
memperlihatkan perubahan pada fungsi paru lainnya seperti tidal volume
menurun, lung compliance berkurang, penurunan functional residual
capacity disertai vital capacity yang terbatas. Demikian pula fungsi
ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.
f. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa
perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten,
pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada
lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.
g. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan
membran hialin di dalam alveolus atau duktus alveolaris. Di samping itu
terdapat pula bagian paru yang mengalami emfisema. Membran hialin
yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin berasal
dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.
h. Diagnosis Banding

Penyakit Gejala Radiologi


Ateletaksis, air
Sianosis, apnea, pernafasan
HMD broncogram, infitrat
cuping hidung
granular
Hiperekspansi perihiler
pulmonal, peningkatan
Transient Tachypnoea Takipnea segera setelah
corakan vaskuler
of the Newborn (TTN) lahir, retraksi, merintih
pulmonal, infitrat sudut
costofrenikus tumpul
Takipnea, nafas cuping
Infitrat kasar bilateral,
Aspirasi Mekonium hidung, retraksi, sianosis,
hiperinflasi paru
mekonium stained skin

i. Tatalaksana dan KIE (Kajian, Informasi, dan Edukasi)

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 34


a. Perawatan Antenatal
Intervensi untuk mencegah terjadinya HMD harus dimulai
sebelum kelahiran dan melibatkan bagian anak dan kebidanan. Secara
umum sekresi surfaktan meningkat selama proses persalinan, oleh
karena itu operasi sectio caesaria elektif tidak dianjurkan. Bayi preterm
yang berisiko untuk terjadinya HMD seharusnya dilahirkan di tempat
yang memiliki tenaga ahli dan fasilitas yang dilengkapi dengan
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dan ventilator mekanik.
Untuk bayi yang usia gestasi kurang dari 27 minggu, kemungkinan
untuk meninggal pada tahun pertama kehidupan berkurang bila
dilahirkan di rumah sakit yang memiliki Neonatal Intensif Care Unit
(NICU). Pemanfaan obat tokolitik dapat digunakan untuk menunda
persalinan sementara agar ibu dapat dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas NICU.
b. Pemberian Kortikosteroid pada Ibu
Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan risiko
kematian pada neonatal. Keberhasilan pemberian steroid hanya terlihat
pada bayi preterm yang ibunya menerima dosis pertama steroid 1-7 hari
sebelum persalinan. Betamethason dan dexamethason digunakan untuk
meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian steroid antenatal
direkomendasikan pada semua kehamilan yang berisiko terjadinya
persalinan preterm. Dosis tunggal pemberian betamethason adalah 12
mg. Interval optimal untuk memulai terapi berdasarkan taksiran
persalinan adalah >24 jam dan <7 hari. Tidak ada bukti yang jelas
menunjukkan pemberian dosis ulangan dapat meningkatkan
keberhasilan efek kortikosteroid.
c. Stabilisasi Kamar Bersalin
Bayi dengan defisiensi surfaktan mengalami gangguan dalam
mencapai kapasitas residu fungsional yang adekuat dan memastikan
pengaliran udara di alveolar terus menerus. Dulu kebanyakan bayi
preterm, tali pusat dipotong segera setelah lahir agar dapat dipindahkan
ke lingkungan hangat dengan cepat untuk memudahkan proses

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 35


resusitasi. Prosedur mengklem tali pusat dengan cepat dipersoalkan
baru-baru ini. Lebih kurang setengah dari volume darah dari bayi
preterm terkandung dalam tali pusat plasenta, dengan menunda
pengkleman tali pusat selama 30-45 detik dapat mengakibatkan
peningkatan volume darah sebanyak 8-24% terutama pada persalinan
spontan, sehingga terjadinya peningkatan kadar hematokrit,
berkurangnya keperluan untuk transfusi dan berkurangnya insiden
perdarahan intraventrikuler.
Saturasi oksigen optimal yang diperlukan ketika meresusitasi bayi
preterm masih belum diketahui, tetapi terdapat banyak bukti
meresusitasi dengan konsentrasi oksigen murni 100% dibandingkan
dengan udara ruangan dihubungkan dengan peningkatan kadar
mortalitas. Adanya bukti biokimia tentang toksisitas oksigen yang
terjadi akibat pemberian oksigen murni.
Penggunaan oksigen murni 100% tidak lagi diperlukan, sekarang
pencampur oksigen-udara ruangan seharusnya tersedia di kamar
bersalin untuk membolehkan titrasi oksigen sesuai kondisi bayi. Pulse
oximetry dapat digunakan untuk membantu pemberian oksigen murni.
Oleh sebab itu penggunaan oksigen murni untuk meresusitasi haruslah
terkontrol dengan pencampur oksigen-udara ruangan. Pemberiannya
dimulai dengan konsentrasi oksigen yang paling rendah, biasanya
konsentrasi sebanyak 30%. Saturasi normal bayi preterm yang baru lahir
semasa proses transisi adalah 40-60% dan mencapai 50 - 80% setalah
usia 5 menit dan mencapai >85% setelah usia 10 menit.
Pemberian rutin ventilasi tekanan positif (bagging) tidak sesuai
bagi preterm yang belum nafas spontan. Jika ventilasi tekanan positif
diperlukan untuk menstabilkan bayi, hindari volume tidal yang
berlebihan dengan menggunakan alat resusitasi yang bisa mengukur
atau melimitasi peak inspiratory pressure (PIP) dan waktu yang sama
dapat mempertahankan positive end-expiratory pressure (PEEP) semasa
ekspirasi. Contoh alatnya adalah Neopuff.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 36


Hanya sebagian kecil bayi memerlukan intubasi di kamar bersalin.
Bayi-bayi ini adalah yang menerima surfaktan dan yang tidak
menunjukkan respon pada pemberian CPAP. Jika intubasi diperlukan,
posisi benar tuba endotraakeal diketahui dengan menggunakan alat yang
mendeteksi CO2 kolorimetrik, sebelum pemberian surfaktan dan
penggunaan ventilator.
d. Penatalaksanaan Umum
Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana
fisiologis agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ
lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.
Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:
1. Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam
batas normal (36,5-37˚C) dengan meletakkan bayi di dalam
inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70-80%).
Semua usaha meresusitasi bayi haruslah dengan langkah
mencegah terjadinya hipotermia untuk meningkatkan angka
kehiudpan. Selain radiant warmer, menyelubungi bayi dengan
plastik polietilen dapat menurunkan insiden hipotermia, terutama
pada bayi preterm.
2. Pemberian cairan dan nutrisi
Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan
yang diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan
mempertahankan homeostasis tubuh yang adekuat. Pada hari-
hari pertama diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan (60-125
ml/kgbb/hari). Asidosis metabolik pada penderita, harus segera
diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena.
Pemeriksaan keseimbangan asam-basa tubuh harus diperiksa
secara teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan
dengan mempergunakan rumus: kebutuhan NaHCO3 (mEq) =
deficit basa x 0,3 x berat badan bayi. Pada pemberian NaHCO3

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 37


ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35-7,45.
Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus
dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan sudah
cukup adekuat.
Bila bayi sudah tidak lagi sesak, minimal enteral feeding
dengan air susu dapat diinisiasikan sesegera mungkin, dengan
jumlah <20ml/kgBB/hari untuk membantu maturasi dan
meningkatkan fungsi saluran pencernaan bayi, meningkatkan
berat badan bayi dan memperpendek waktu perawatan di rumah
sakit.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen
respirasi. Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg.
PaCO2 antara 45-60 mmHg (permissive hypercapnia). pH
diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88-
92%.
3. Pemberian oksigen
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap
bayi yang baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu tinggi dapat
menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis
paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina
(fibroplasi retrolental/retinopathy of prematurity (ROP)) dan
lain-lain. Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian
O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen,
sebaiknya diantara 85-93% dan tidak melebihi 95% untuk
mengurangi terjadinya ROP dan BPD.

Terapi oksigen sesuai dengan kondisi:


 Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan
konsentrasi yang cukup untuk mempertahankan tekanan
oksigen arteri antara 50-70 mmHg untuk distres pernafasan
ringan.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 38


 Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada
konsentrasi oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan
NCPAP (Nasal Continuous Positive Airway Pressure)
terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi yang
noninvasif. Penggunaan NCPAP sedini mungkin untuk
stabilisasi bayi dengan berat lahir sangat rendah (1000-1500
gram) di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk
mencegah kolaps alveoli. Penggunaan humidified high flow
nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP
sedang digalakkan di beberapa negara karena memiliki
keefektivitasan yang sama dengan NCPAP serta dapat
digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.
e. Ventilator mekanik
Tujuan penggunaan ventilator adalah untuk memastikan perfusi
pulmonal yang berkesinambungan sehingga menurunkan resiko
terjadinya trauma paru, dan menurunkan work of breathing pasien.
Kesulitannya adalah dalam menentukan ventilator yang paling sesuai
untuk menangani gagal nafas neonatus. Ventilator mekanis dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Non invasif
Continuous positive airway pressure (CPAP) adalah
memberikan tekanan yang berkesinambungan pada alveoli
sepanjang siklus respirasi, memastikan alveolar terus inflasi dan
mencegahnya dari kolaps, terutama pada akhir ekspirasi. Dulu
CPAP digunakan melalui selang endotrakeal, tapi kini CPAP
bisa diberikan secara nasal. Keuntungan dalam penggunaan
CPAP adalah menghasilkan pola pernafasan yang regular,
terutama pada bayi preterm. CPAP terdiri atas tiga komponen,
yaitu:
a. Sirkuit yang mensuplai gas inspirasi yang harus dalam
keadaan hangat dan lembap secara terus menerus.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 39


b. Komponen yang menghubungkan komponen pertama
dengan jalan nafas bayi. Yang sering digunakan sekarang
adalah selang binasal.
c. Komponen terakhir adalah alat yang menghasilkan
tekanan positif.

2. Invasif
Dibagi menjadi dua yaitu:
a. Konvensional
i. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
Dengan IMV tenaga medis dapat menentukan kadar di
mana ventilator mekanis memberikan nafas mekanis pada
bayi, dimana ada interval regularnya. Ini membolehkan
bayi bernafas spontan antara dua jarak nafas buatan.
Kekurangannya adalah bayi sering bernafas tidak teratur
dengan penggunaan IMV. Pertukaran gas sangat bervariasi
pada IMV, tergantung kondisi bayi bernafas dengan atau
melawan ventilator. Selain menyebabkan tidak
effisiensinya proses pertukaran gas tapi juga bisa
mengakibatkan terperangkapnya udara.
ii. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV)
Pada SIMV, onset dari nafas buatan ditentukan berdasarkan
onset dari nafas spontan jika terjadi dalam timing window.
Contohnya, jika kadar SIMV berdasarkan frekuensi nafas
30 kali/menit, siklus ventilator akan terjadi setiap 2 detik.
Pada setiap kali ventilator seharusnya memulai nafas
buatan, ia akan menunggu nafas spontan terlebih dahulu,
jika nafas spontan didapatkan dalam timing window
iii. Assist/Control Ventilation (A/C)

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 40


Pada A/C semua nafas spontan yang melebihi ambang batas
akan menghasilkan nafas buatan pada onset inspirasi
(assist/membantu). Jika terjadi henti nafas atau
ketidakmampuan paru dalam menghasilkan nafas spontan
maka nafas buatan akan diberikan dengan kadar yang
ditetapkan oleh tenaga medis (kontrol).
b. Non Konvensional
Disebut juga dengan High-Frequency Ventilation
(HFV), yaitu ventilator nontidal dimana volume pemberian
gas lebih rendah dari anatomic dead space dan diberikan
dengan kadar yang sangat cepat. Keuntungan dari
penggunaan HFV adalah pemberian volume gas yang
rendah pada kadar yang cepat menghasilkan tekanan
alveolar yang lebih rendah dan menurunkan risiko
terjadinya trauma paru akibat pemberian volume dan
tekanan yang eksesif. Pada ventilator konvensional,
jantung dapat mengkompensasi dengan pengisian cepat
saat tekanan intrathoraks berada pada nilai paling rendah
(PEEP). Pada HFV, tekanan nafas rata-rata meningkat oleh
itu, aliran balik vena menurun sehingga jantung harus
bekerja lebih kuat untuk menigkatkan volume inputnya.
f. Terapi Surfaktan
Terapi surfaktan sudah digunakan selama lebih dari dua dekade.
Dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan pada bayi dengan
risiko HMD, untuk mengurangi resiko timbulnya pneumotoraks dan
timbulnya kematian.
Surfaktan profilaksis, atau preventif merupakan pemberian
surfaktan secara intratrakeal pada bayi dengan risiko tinggi untuk
terjadinya gawat nafas setelah resusitasi dini dalam 10-30 menit setelah
kelahiran. Pemberian surfaktan rescue dibagi lagi menjadi 2 yaitu,
rescue dini yaitu pemberian surfaktan dalam 1-2 jam setelah kelahiran
dan rescue lambat yaitu pemberian lebih dari 2 jam setelah kelahiran.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 41


Bayi yang lahir dengan usia gestasi <30 minggu memberikan perbaikan
setelah diberikan surfaktan profilaksis dan rescue. Akan tetapi, bayi
prematur yang diterapi dengan surfaktan profilaksis terbukti memiliki
insidensi yang lebih rendah dalam terjadinya sindrom gawat nafas.
Dosis total 4ml/kgBB dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam
pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antara pemberian.
Bayi tidak perlu dimiringkan ke kanan dan ke kiri setelah pemberian
surfaktan, karena surfaktan akan menyebar sendiri melalui pipa
endotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan
nafas yang disebabkan oleh viskositas obat. Efek samping dapat berupa
perdarahan dan infeksi paru.
Terdapat beberapa jenis preparat surfaktan yang dapat diberikan
untuk neonates dengan sindrom gawat nafas, antara lain surfaktan
sintetik (protein-free) dan natural (diambil dari paru hewan). Surfaktan
natural lebih baik dari preparat sintetik dalam mengurangi pulmonary
air leaks dan mortalitas. Surfaktan natural merupakan terapi pilihan di
Eropa.
Terapi surfaktan selama lebih dari beberapa hari pertama
kehidupan bayi memberikan respons langsung dan tidak terbukti adanya
perbedaan pada efek jangka panjang.
g. Pemberian antibiotika
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat
antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian
antibiotik dimulai dengan spektrum luas, biasanya dimulai dengan
ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin
3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika
tak terbukti ada infeksi, pemberian antibiotika dihentikan.
Selain itu, pneumonia congenital juga bisa menyerupai HMD.
Oleh karena itu, dianjurkan semua bayi dengan sindroma distres
pernafasan untuk menjalani kultur darah, dan mencari tanda-tanda
sepsis lain seperti neitropenia atau meningkatnya protein C reaktif.
Regimen yang sering dipakai adalah penisilin atau ampisilin dan

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 42


dikombinasikan dengan aminoglikosida, namun setiap rumah sakit
mempunyai protocol tersendirinya berdasarkan profil pathogen yang
ditemukan di daerahnya.
j. Komplikasi
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan
dengan respirator tekanan positif, menyebabkan terjadinya BPD. Selain
itu, BPD juga dapat disebabkan oleh robeknya alveoli akibat tekanan,
volutrauma, saponifikasi hipokapnea, atelektasis akibat absorpsi, dan
terjadinya inflamasi. Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas
berupa intermittent positive–pressure secara berkepanjangan dengan
konsentrasi oksigen yang ditingkatkan, menunjukkan perburukan paru
pada gambaran rontgen. Distres nafas menetap ditandai hipoksia,
hiperkarbia, ketergantungan pada oksigen, dan terjadinya gagal jantung
kanan. Gambaran rontgen berubah, sebelumnya menunjukan gambaran
opak hampir menyeluruh disertai air bronchogram dan emfisema
interstitial, menjadi area lusen bulat kecil berselang–seling dengan area
dengan densitas yang iregular, seperti gambaran spons (Northway et al.,
1967).
b. Retinopathy of Prematurity (ROP)
Bayi dengan RDS dan PaO2 > 100 mmHg memiliki resiko terkena
ROP, maka monitor PaO2 harus dilakukan secara ketat dan
dipertahankan antara 50-70 mmHg. Pulse oximetry tidak membantu
mencegah ROP pada bayi sangat kecil karena kurva disosiasi oksigen-
hemoglobin hampir rata. Bila ROP berlanjut, terapi laser atau
cryotherapy dilakukan untuk mencegah terlepasnya retina dan kebutaan
(Locci et al., 2014).
k. Prognosis
Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir berisiko
tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat PMH
dan penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada
kemampuan dan pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 43


yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya komplikasi
seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau
malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40%.
Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun
dengan pasti, 75 % dari bayi dengan berat <2.500 gr bertahan. Meski 85–90%
bayi yang selamat setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah
normal, penampakan luar lebih baik pada yang berat badannya > 1.500 gr,
sekitar 80 % dari yang beratnya (Anggraini et al., 2013).
l. SKDI
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasiens elanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

2. Bayi Prematur
Prematuritas adalah kelahiran yang berlangsung pada umur kehamilan 20
minggu hingga 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Terdapat 3
subkategori usia kelahiran prematur berdasarkan kategori World Health
Organization (WHO), yaitu:
1) Extremely preterm (< 28 minggu)
2) Very preterm (28 hingga < 32 minggu)
3) Moderate to late preterm (32 hingga < 37 minggu).

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 44


Angka kejadian prematur yang tinggi masih menjadi pusat perhatian dunia
hingga kini. Tingkat kelahiran prematur di Amerika Serikat sekitar 12,3% dari
keseluruhan 4 juta kelahiran setiap tahunnya dan merupakan tingkat kelahiran
prematur tertinggi di antara negara industri.
Angka kejadian kelahiran prematur di Indonesia belum dapat dipastikan
jumlahnya, namun berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Departemen Kesehatan tahun 2007, proporsi BBLR di Indonesia mencapai
11,5%, meskipun angka BBLR tidak mutlak mewakili angka kejadian kelahiran
premature.
Secara umum, penyebab persalinan prematur dapat dikelompokan dalam
4 golongan yaitu:
1) Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan
2) Inflamasi/infeksi
3) Perdarahan plasenta
4) Peregangan yang berlebihan pada uterus

Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang biasa terjadi
pada primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik. Adanya stres fisik
maupun psikologi menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-
Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan menyebabkan terjadinya persalinan prematur.
Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya insufisiensi uteroplasenta dan
mengakibatkan kondisi stres pada janin. Stres pada ibu maupun janin akan
mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon Corticotropin Releasing Hormone
(CRH), perubahan pada Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), prostaglandin,
reseptor oksitosin, matrix metaloproteinase (MMP), interleukin-8,
cyclooksigenase-2, dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen plasenta
dan pembesaran kelenjar adrenal.
Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi bakteri
yang menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan penyebab
potensial terjadinya persalinan premature. Infeksi intraamnion akan terjadi
pelepasan mediator inflamasi seperti pro-inflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8,
dan TNF-α ). Sitokin akan merangsang pelepasan CRH, yang akan merangsang
aksis HPA janin dan menghasilkan kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon ini

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 45


bertanggung jawab untuk sintesis uterotonin (prostaglandin dan endotelin) yang
akan menimbulkan kontraksi. Sitokin juga berperan dalam meningkatkan
pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan perubahan pada serviks dan
pecahnya kulit ketuban.
Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan perdarahan
plasenta dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang akan
mengakibatkan kontraksi myometrium. Perdarahan pada plasenta dan desidua
menyebabkan aktivasi dari faktor pembekuan Xa (protombinase). Protombinase
akan mengubah protrombin menjadi trombin dan pada beberapa penelitian
trombin mampu menstimulasi kontraksi miometrium.
Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang bisa
disebabkan oleh kehamilan kembar, polihidramnion atau distensi berlebih yang
disebabkan oleh kelainan uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini
dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2.

Faktor risiko persalinan prematur yaitu, usia ibu, penyakit dalam


kehamilan (penyakit kardiovaskular, anemia, hipotiroid), paritas, riwayat partus
prematurus, ketuban pecah dini, perdarahan antepartum, gemelli, bacterial
vaginosis, infeksi saluran kemih.
Problematika bayi premature
Gangguan kesehatan pada bayi prematur antara lain:
1) Termoregulator

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 46


- Masih prematur, sehingga fungsinya masih belum optimal sebagai
pengatur kehilangan panas badan.
- Sedikitnya timbunan lemak di bawah kulit dan luas permukaan badan
relatif besar sehingga bayi prematur mudah kehilangan panas dalam
waktu singkat.

2) Masalah Paru
- Pusat pengaturan paru di medulla oblongata masih belum sepenuhnya
dapat mengatur pernapasan.
- Tumbuh kembang paru masih belum matur sehingga sulit berkembang
dengan baik.
- Otot pernafasan masih lemah, sehingga tangis bayi prematur terdengar
lemah dan merintih.

3) Gastrointestinal
- Belum sempurna sehingga tidak mampu menyerap makanan ASI yang
sesuai dengan kemampuannya.
- Pengosongan lambung terlambat sehingga menimbulkan desistensi
lambung dan usus.

4) Hati
- Belum matur sehingga kurang dapat berfungsi untuk mendukung
metabolism.
- Cadangan glikogen rendah.
- Metabolisme bilirubin rendah menimbulkan hiperbilirubinema yang
selanjutnya akan menyebabkan ikterus sampai terjadi timbunan
bilirubin dalam otak “kem ikterus”.
- Tidak mampu mengolah vitamin K dan faktor pembekuan darah

5) Masih prematur sehingga tidak sanggup untuk mengatur air dan elektrolit .
Pengaturan protein darah masih kurang sehingga mungkin dapat terjadi
hipoproteinemia.

6) Tendensi

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 47


- Pembuluh darah masih rapuh, sehingga permeabilitasnya tinggi, yang
memudahkan terjadinya ekstravasasi cairan dan mudah terjadi edema.
- Gangguan keseimbangan faktor pembekuan darah sehingga terjadi
perdarahan.
- Dalam keadaan gawat, misalnya terjadi trauma persalinan yang dapat
menimbulkan syok sehingga terjadi perubahan hemodinamik sirkulasi
dengan mengutamakan sirkulasi organ vital jantung dan susunan saraf
pusat.
- Gangguan sirkulasi darah akan mengubah distrbusi 0 ke jaringan,
2

vasokontriksi nekrosis, ekstravasasi cairan dan menambah gangguan


fungsi alat vital.

PENENTUAN USIA GESTASI

Dengan Ballard Score

Ballard score adalah penilaian untuk menentukan usia gestasi bayi baru
lahir melalui penilaian neuromuskular dan fisik. Penilaian neuromuskular
meliputi postur, square window, arm recoil, sudut popliteal, scarf sign dan heel to
ear maneuver. Penilaian fisik yang diamati adalah kulit, lanugo, permukaan
plantar, payudara, mata/telinga, dan genitalia

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 48


Lubchenco chart: untuk menilai ukuran sesuai usia gestasi .
Kurva 1. Persentile BB, PB, dan O kepala

Untuk bayi matur, dan premature normal (SMK/AGA) = 10th – 90th percentile. Pada
bayi KMK/SGA = <10th precentil , >90th precentil adalah BMK /LGA .

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 49


3. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
a. Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan lahir
kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat saat lahir adalah
berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. Acuan lain dalam
pengukuran BBLR juga terdapat pada Pedoman Pemantauan Wilayah
Setempat (PWS) gizi. Dalam pedoman tersebut bayi berat lahir rendah
(BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram diukur
pada saat lahir atau sampai hari ke tujuh setelah lahir.
b. Epidemiologi
Angka kejadian BBLR di Indonesia bervariasi antara satu daerah dengan
daerah lain, yaitu berkisar antara 9%-30%, hasil studi di 7 daerah multicenter
diperoleh angka BBLR dengan rentang 2.1%-17,2 %. Secara nasional
berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5%.
c. Etiologi
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor ibu
yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit
vaskuler, kehamilan kembar/ganda, serta faktor janin juga merupakan
penyebab terjadinya BBLR.
- Faktor ibu
o Penyakit : Malaria, anemia, sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain
o Komplikasi pada kehamilan : Komplikasi yang tejadi pada kehamilan ibu seperti
perdarahan antepartum,pre-eklamsia berat, eklamsia, dan
kelahiran preterm.
o Usia Ibu dan paritas : Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada
bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dengan usia < 15 Tahun atau >
40 tahun

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 50


o Faktor kebiasaan ibu : Faktor kebiasaan ibu
juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu
pecandu alkohol dan ibu pengguna
narkotika.
- Faktor Janin
Prematur, hidramion, kehamilan kembar/ganda (gemeli), kelainan
kromosom.

- Faktor Lingkungan
Tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan paparan
zat-zat racun.
d. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang tampak pada bayi berat lahir rendah yaitu:
- Berat badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram
- Panjang badan sama dengan atau kurang dari 46 cm
- Lingkar kepala sama dengan atau kurang dari 33 cm
- Lingkar badan sama dengan atau kurang dari 30 cm
- Jaringan lemak sub kutan tipis atau kurang
- Tulang rawan daun telinga belum tumbuh sempurna
- Tumit mengkilap, telapak kaki halus
- Alat kelamin pada bayi laki-laki pigmentasi dan rogue pada skrotum
kurang.
- Testis belum turun dalam skrotum atau perempuan klitoris
e. Klasifikasi
Menurut Proverawati dan Ismawati (2010) dalam Kristiani (2014), terdapat 2
jenis klasifikasi BBLR:
- Menurut Harapan Hidupnya
o Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500 gram.
o Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-1500
gram.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 51


o Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir
kurang dari 1000 gram.
- Menurut Masa Gestasinya
o Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37
minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk
masa gestasi atau biasa disebut
neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-
SMK).
o Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat
badan kurang dari berat badan seharusnya
untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami
retardasi pertumbuhan intrauterin dan
merupakan bayi kecil untuk masa
kehamilannya (KMK).
f. Masalah Kelahiran BBLR
Terdapat beberapa masalah yang sering terjadi pada kelahiran BBLR antara
lain :
1) Hipotermia
Salah satu masalah utama BBLR adalah mempunyai suhu yang tidak
stabil dan cenderung hipotermia (suhu < 36,5oC). Suhu yang
cenderung hipotermia disebabkan oleh produksi panas yang kurang
dan kehilangan panas dengan cepat. Produksi panas kurang karena
sirkulasi panas tubuh belum sempurna, respirasi lemah, konsumsi
oksigen yang rendah, otot yang belum aktif, serta kurang asupan
makanan. Kehilangan panas terjadi akibat dari permukaan tubuh yang
relatif lebih luas dan kurangnya lemak subkutan. Mekanisme
kehilangan panas pada bayi dapat terjadi melalui konduksi, evaporasi,
konveksi, dan radiasi.
2) Rentan Terhadap Infeksi
Bayi berat lahir rendah terutama BKB sangat rentan terhadap infeksi
terutama infeksi nosokomial. Hal ini disebabkan oleh kadar
imunoglobulin serum yang rendah, aktivitas bakterisidal neutrofil dan

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 52


efek sitotoksik limfosit juga masih rendah. Risiko infeksi nosokomial
meningkat apabila beberapa bayi dirawat bersama dalam satu
inkubator, bayi terlalu lama dirawat di rumah sakit, serta rasio perawat-
pasien yang tidak seimbang.
3) Apneu
Terjadi akibat ketidakmatangan paru dan susunan saraf pusat. Apneu
didefinisikan sebagai periode tak bernapas selama lebih dari 20 detik
dan disertai bradikardia. Kelainan ini dapat ditemukan pada
pemantauan yang teliti dan terus menerus. Semua bayi dengan masa
kehamilan kurang dari 34 minggu harus secara rutin dan terus menerus
dipantau sampai apneu itu hilang selama satu minggu. Pemberian
teofilin dapat mengurangi kejadian apneu sekitar 60-90 %.16
4) Sistem Kardiovaskuler
Jantung relatif kecil saat lahir, pada beberapa bayi prematur kerja
jantung lambat. Hal ini merupakan sebab dari timbulnya
kecenderungan perdarahan intrakranial, tekanan darah lebih rendah
dari bayi aterm. Tekanan sistolik + 45-60 mmHg, nadi bervariasi
antara 100-120 x/menit.

5) Sistem Pembuluh Darah


Lebih dari 50% prematur menderita perdarahan intraventrikuler yang
disebabkan karena bayi prematur sering menderita apnoe, asfiksia
berat dan syndrome gangguan pernafasan. Akibatnya bayi menjadi
hipoksia, hipertensi dan hiperapnoe menyebabkan aliran darah ke otak
bertambah yang akan lebih banyak dan tidak ada otoregulasi serebral
pada bayi prematur sehingga mudah terjadi perdarahan pembuluh
kapiler yang rapuh dan ischemia di lapisan germinal yang terletak di
dasar ventrikel lateralis antara nukleus kaudatus dan ependin.

4. Asfiksia
a. Definisi

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 53


Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan
keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (PaCO2
meningkat) dan asidosis. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat
janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin
berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama atau
sesudah persalinan.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia adalah keadaan pada
ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang, sehingga
aliran oksigen ke janin berkurang, akibatnya terjadi gawat janin. Selain itu
juga akibat penurunan aliran darah dan oksigen melalui tali pusat ke bayi,
sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia atau dari kondisi bayi tersebut
yang sudah mengalami asfiksi di dalam kehamilan seperti kehamilan ganda,
prematur, aspirasi mekonium. Asfiksia dimulai periode apneu disertai dengan
penurunan frekuensi jantung, selanjutnya bayi menunjukkan usaha bernafas
(gasping) yang kemudian diikuti dengan pernafasan teratur, namun pada
asfiksi berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam
periode apneu kedua dan jika terlambat dilakukan resusitasi, maka gawat
nafas dapat terjadi.
b. Etiologi
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat
bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan
pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilical
maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia (Anik & Eka,
2013:297).
Penyebab asfiksia menurut Anik & eka (2013:297) adalah :
1) Asfiksia dalam kehamilan :
- Penyakit infeksi akut
- Penyakit infeksi kronik
- Keracunan oleh obat-obat bius
- Uremia dan toksemia gravidarum

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 54


- Anemia berat
- Cacat bawaan
- Trauma
2) Asfiksia dalam persalinan :
Kekurangan O2 :
- Partus lama (rigid serviks dan atonia /insersi uteri)
- Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus terus-menerus
mengganggu sirkulasi darah ke plasenta
- Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta
- Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul
- Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya
- Perdarahan banyak: plasenta previa dan solusio plasenta
- Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus, disfungsi
uteri)
Paralisis pusat pernafasan :
- Trauma dari luar seperti tindakan forceps
- Trauma dari dalam seperti akibat obat bius
c. Faktor risiko
Menurut Vidia & Pongki (2016:362), beberapa kondisi tertentu pada ibu
hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga
pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim
ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi
baru lahir, Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab
terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali
pusat dan bayi berikut ini :
1) Faktor Ibu
- Pre Eklamsi dan Eklamsi
- Perdarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
- Partus lama atau partus macet
- Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC,
HIV)
- Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 55


2) Faktor Tali Pusat
- Lilitan Tali Pusat
- Tali Pusat Pendek
- Simpul Tali Pusat
- Prolapsus Tali Pusat
3) Faktor Bayi
- Bayi Prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
- Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia
bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
- Kelainan bawaan (kongenital)
- Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
d. Penegakkan Diagnosis
Menurut Ai yeyeh dan Lia (2013:250), Asfiksia yang terjadi pada bayi
biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Diagnosis
anoksia/hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya
tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:
1) Denyut jantung janin : frekuensi normal ialah antara 120 dan 160
denyutan semenit. Apabila frekuensi denyutan turun sampai dibawah
100 permenit diluar his dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu
merupakan tanda bahaya.
2) Mekonium dalam air ketuban : adanya mekonium pada presentasi
kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan gawat janin,
karena terjadi rangsangan nervus X, sehingga pristaltik usus
meningkat dan sfingter ani terbuka. Adanya mekonium dalam air
ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
3) Pemeriksaan Ph darah janin : adanya asidosis menyebabkan turunnya
PH. Apabila PH itu turun sampai bawah 7,2 hal ini dianggap sebagai
tanda bahaya.
Menurut Anik dan Eka (2013:302), untuk menegakkan diagnosis,
dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pemeriksaan berikut ini:

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 56


1) Anamnesis: anamnesis diarahkan untuk mencari faktor resiko
terhadap terjadinya asfiksia neonatorium.
2) Pemeriksaan fisik: memperhatikan apakah terdapat tanda-tanda
berikut atau tidak, antara lain:
- Bayi tidak bernafas atau menangis
- Denyut jantung kurang dari 100x/menit
- Tonus otot menurun
- Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium,
atau sisa mekonium pada tubuh bayi
- BBLR
3) Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil
asidosis pada darah tali pusat jika:
- PaO2 < 50 mm H2o
- PaCO2 > 55 mm H2
- pH < 7,30
e. Komplikasi
Menurut Anik dan Eka (2013:301) Asfiksia neonatorum dapat
menyebabkan komplikasi pasca hipoksia, yang dijelaskan menurut beberapa
pakar antara lain berikut ini:
1) Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah
sehingga organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan
mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan organ lain.
Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi
vascular pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya asistensi
vascular di perifer.
2) Faktor lain yang dianggap turut pula mengatur redistribusi vascular
antara lain timbulnya rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia
yang disertai saraf simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor yang
diikuti pelepasan vasopressin.
3) Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk
menghasilkan energy bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 57


proses glikolisis an aerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam
laktat dan piruverat) menimbulkan peningkatan asam organik tubuh
yang berakibat menurunnya pH darah sehingga terjadilah asidosis
metabolic. Perubahan sirkulasi dan metabolisme ini secara bersama-
sama akan menyebabkan kerusakan sel baik sementara ataupun
menetap. Menurut Vidia dan Pongki (2016:365), komplikasi meliputi
berbagai organ:
a) Otak: Hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri,
palsiserebralis
b) Jantung dan Paru: Hipertensi pulmonal persisten pada neonatus,
perdarahan paru, edema paru
c) Gastrointestinal: Enterokolitis nekrotikan
d) Ginjal: Tubular nekrosis akut, siadh
e) Hematologi: Dic

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 58


VI. Kerangka Konsep

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 59


VII. Kesimpulan
Ny. Y, 45 tahun, dengan keluhan tekanan darah tinggi dan kejang pada kehamilan 37
minggu mengalami eclampsia antepartum dengan komplikasi partial HELLP
Syndrome.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 60


DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. The Apgar Score. The American college of


obstetrician and gynecologists. 2006: 117(4);1444-1447
Cunningham, F.G et al: Williams Obstetrics 21st Editions. McGraw-Hill Medical
Publishing Divisions.
Fajariyah, S., Bermawi, H., & Tasli, J. 2016. Terapi Surfaktan pada Penyakit Membran
Hyalin.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 194-202.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Neonatologi, cetakan pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI.
Nelson, Waldo, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed.15, vol.1. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Saifuddin, AB, Adrianz, G. Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam : Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal; edisi ke-1. Jakarta : yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2000;376-8.
WHO, 2016, WHO recommendations on antenatal care for a positive pregnancy
experience, UK .
WHO, 2016, Standards For Improving Quality Of Maternal And Newborn Care In Health
Facilities, Switzerland.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB. Bayi Berat Lahir Redah. Dalam: Ilmu Kebidanan; edisi
ke-3. Jakarta : yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002;771-83.

Skenario B Blok 22 – Kelompok G1 61

Anda mungkin juga menyukai