Anda di halaman 1dari 15

Referat

REFERAT THT
“ANGIOFIBROMA NASOFARING”

PRESENTAN

Andi Aflah Afif 1410070100136

PRESEPTOR

dr. Elfahmi, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER

RSUD MUHAMMAD NATSIR SOLOK

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga laporan
Referat guna memenuhi penugasan ujian stase THT-KL dapat kami selesaikan. Shalawat
beserta salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa
manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan dan tekhnologi
seperti saat ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Elfahmi, Sp.THT-KL selaku dokter
pembimbing Rumah Sakit yang telah banyak mengajarkan ilmu serta pengetahuan kepada
penulis, serta semua pihak yang membantu penyelesaian penulisan referat ini.

Tak ada gading yang tak retak, untuk itu saran dan kritik yang membangun
sangatlah diperlukan untuk penyempurnaan referat ini dimasa yang akan datang.

Billahittaufiq wal hidayah,

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Solok, Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN……… ........................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi…....…….….………………………………………………………..2

Definisi……………..…………………………………………………………4

Etiologi………..………………………………………………………………4

Epidemiologi………………………………………………………………….4

Patogenesis…………………………………………………………………....5

Diagnosis……………………………………………………………………..5

Diagnosis Banding……………………………………………………………9

Penatalaksanaan………………………………………………………………9

Komplikasi………………………………………………………………….10

Prognosis……………………………………………………………………10

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ....................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. . 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang


cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki
prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan
insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun.
Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh
tumor kepala dan leher.
Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT Di
RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2001 – Nopember 2002 dijumpai 11 kasus
angiofibroma nasofaring.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan
Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal.
Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena
bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang
kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden
atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang
timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid Setelah mengisi
nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita,
serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak. Gejala
klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%);
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%)
dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta
deformitas pipi Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-
hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan
yang ekstensif.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI.

1
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Faring

Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,


yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut
melalui isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus pharyngeus, dan ke bawah berhubungan esofagus. Faring terdiri atas:

Gambar 1. Anatomi Faring

2.1.1 Nasofaring
Relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring, torus tubarius,
kantong Rathke, choanae, foramen jugulare, dan muara tuba Eustachius. Batas
antara cavum nasi dan nasopharynx adalah choana.

2
Gambar 2. Bagian dari nasofaring

2.1.2 Orofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina,
fossa tonsilaris, arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum.

2.1.3 Laringofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah vallecula epiglotica, epiglotis, serta
fossa piriformis.

Dibelakang mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang sphenoid


dan dasar tulang oksiput disebelah atas, kemudian bagian depan tulang atlas dan
sumbu badan dan vertebra servikalis lain. Nasofaring membuka kearah depan
kehidung melalui koana posterior. Superior , adenoid terletak pada mukosa atap
nasofaring. Disamping, muara tuba eustakius kartilaginosa terdapat didepan
lekukan yang disebut fosa ronsen muler. Kedua struktur ini berada diatas batas
bebas otot konstriktor faringitis superior.
Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila
faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut.
Didepan tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglotus, dan
dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Otot-otot
ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semua dipersarafi oleh
pleksus faringeus.

3
2.2 Angiofibroma Nasofaring

2.2.1 Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring


yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke
sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan.

2.2.2 Etiologi

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
diajukan. Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa
tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap
rongga hidung.

Faktor ketidak seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai


penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini
didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan
umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki. Itulah sebabnya tumor
ini disebut juga angiobroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma).

2.2.3 Epidemiologi

Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien


THT, diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala.
Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada
usia lebih dari 25 tahun.

4
2.2.4 Patogenesis

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan
ke arah anterior akan megisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa intratemporal yang
akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada
wajah, yang disebut “muka kodok”.

Perluasan ke intrakanial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan


pterigomaksila etmoid masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke
fosa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan radiologis. Gejala yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah
hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis berulang yang masif. Adanya
obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul
rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan
menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahwa
tumor sudah meluas ke intrakranial.

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor
yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda.
Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir
bewarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna
putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih

5
tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya
mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi .

Gambar 3. Tampak angiofibroma nasofaring

Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang


diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional, CT scan serta
pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan radiologi konvensional (foto kepala
potongan antero-posterior, lateral dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik
yang disebut sebagai tanda “Holman Miller’’ yaitu pendorongan prosesus
pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigo-palatina melebar. Akan terlihat
juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi
dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. Pada pemeriksaan
CT scan akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke
jaringan sekitarnya.

6
Gambar 4. CT Scan Angiofibroma Nasofaring Stadium I

Pemeriksaan magnetik resonansi imaging (MRI) dilakukan untuk


menentukan batas tumor terutama yang telah meluas ke intra kranial. Pada
pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna akan memperlihatkan vaskularisasi
tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksila interna homolateral. Arteri
maksilaris interna terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari
posterior ke anterior dan dari nasoaring ke arah fosa pterigomaksila. Selain itu,
masa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai
maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan.

7
Gambar 5. MRI (a dan b), Angiografi (c dan d)

Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis


intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah
pengangkatan tumor. Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan dan
pemeriksaan immunohistokimia terhadap reseptor estrogen, progesteron dan
androgen sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya gangguan hormonal.
Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan
kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.

Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya saat ini


menggunakan klasifikasi Session dan Fisch.

Klasifikasi menurut Session sebagai berikut:

Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voul

Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan
meluas sedikitnya 1 sinus pranasal

Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila

Stadium IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita

8
Stadium IIIA: Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intrakranial

Stadium IIIB: Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke
sinus kavernosus

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:

Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi tulang

Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan


destruksi tulang

Stadium III : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau regio
paraselar

Stadium IV : Tumor menginvasi sinus kafernosus, regio chiasma optik dan atau
fossa pituitary. 1,2

2.2.6 Diagnosis Banding

Berdasarkan penyebab lain dari obstruksi nasal adalah polip nasal, polip
antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma,
rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skuamous.3

2.2.7 Penatalaksanaan

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal,


radioterapi dan kemoterapi. Operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas
cukup, karena risiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat
dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui
transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial (sublabial mid-facial degloving)
atau kombinasi dengan kraniotomi frontoteporal bila sudah meluas ke intrakranial.

9
Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan
dipandu CT scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat dibantu dengan laser.

Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain embolisasi untuk


megurangi pendarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna
dan anastesi dengan teknik hipotensi. Pengobatan hormonal diberikan pada pasien
dengan stadium I dan II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid).
Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (Gama
knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi knormal 3
dimensi.1

Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi


dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan
terapi hormonal dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid) 6 minggu
sebelum operasi, meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.1

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial,


perdarahan yang tidak terkontrol, kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital
dan transformasi maligna.3,4

2.2.9 Prognosis

Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan


reseksi lengkap dari angiofibroma nasofaring ekstrakranial dan 70% dengan tumor
intrakranial. Angka rekurensi sekitar 6-24% setelah operasi.5

10
BAB III
KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring


yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke
sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan. Diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala.
Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada
usia lebih dari 25 tahun.

Gejala klinis yang paling sering ditemukan adalah hidung tersumbat,


epistaksis dan adanya massa di nasofaring. Tindakan operasi merupakan pilihan
utama selain terapi hormonal, radioterapi dan kemoterapi.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A., Dharmabakti U S., Musa Z., 2008. Angiofibroma Nasofaring Belia..
Dalam: Soepardi E A., Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 164-66.
2. Goodenberger J, Ross PJ. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Radiol
Technol. July-August 2000, 595-8.
3. Tewfik T L., 2014. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from
URL: http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm
4. Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialities. Vascular Surgetry.
Medical Topics. Jun 26, 2006.
5. Schick B, Veldung B, Wemmert S, et al. P53 in Juvenile Angiofibromas. Oncol
Rep. Mar 2005;13, 453.

12

Anda mungkin juga menyukai