Anda di halaman 1dari 16

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Usia : 43 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal masuk RS : 17 / 08 / 2019

II. ANAMNESIS
 Keluhan utama :
Nyeri perut bawah
 Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri pada perut bagian bawah. Nyeri dirasakan
hingga bagian pinggang belakang. Pasien merasakan nyeri sejak 1 tahun yang lalu
hilang timbul dan telah diketahui terdapat batu ginjal. Pasien sudah melakukan ESWL
sebanyak 8 kali sejak Agustus 2018. Pasien sudah memasang DJ Stent sejak 1 tahun
yang lalu. Satu bulan terakhir nyeri perut kembali muncul disertai dengan demam naik
turun. Rasa nyeri dirasakan terus menerus menjalar hingga ke pinggang belakang,
muncul saat beraktivitas maupun pada saat istirahat. Keluhan disertai dengan bengkak
pada kedua kaki. Tidak disertai dengan mual muntah, BAK lancar tidak disertai dengan
darah ataupun nyeri saat berkemih. BAB lancar tidak ada keluhan. Skala nyeri 8.
 Riwayat penyakit dahulu :
Batu ginjal sejak 1 tahun yang lalu
Anemia, hingga transfusi darah 2 kantong
Hipertensi (-)
Penyakit jantung (-)
DM (-)
Kolesterol (-)
 Riwayat penggunaan obat :
Disangkal
 Riwayat alergi :
Disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Sedang
 Kesadaran : Compos mentis (E4 V5 E6)
 Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 88 kali/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,7oC
SpO2 : 98%
Skala nyeri :8
 Status lokalis
 Kepala : Normocephali, sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-
 Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+0
 Toraks
 Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada linea mid klavikularis SIC 4
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 reguler normal, S3 gallop (-), murmur (-)
 Pulmo
Inspeksi : Dada tidak ada jejas, tidak ada ketertinggalan gerak
Palpasi : Fremitus dalam batas normal, nyeri dada (-),
pengembangan paru simetris kanan kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
 Abdomen
 Inspeksi : dinding abdomen sejajar dengan dinding dada, tidak ada
jejas
 Auskultasi : Peristaltik (+) di seluruh regio abdomen
 Palpasi : supel, nyeri tekan pada regio inguinal dextra dan sinistra,
lien dan ginjal tidak dapat diperiksa karena pasien nyeri saat dipalpasi.
 Perkusi : timpani di seluruh regio
 Ekstremitas
 Atas : akral hangat, CRT < 2 detik, udem (-)
 Bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, udem +/+

IV. DIAGNOSA BANDING

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah rutin
Pemeriksaan 17/08/2019 22/08/2019 26/08/2019
Lekosit 13.13 10.07 8.43
Eritrosit 3.39 3.81 3.35
Hemoglobin 9.1 (L) 10.1 9.0 (L)
Hematokrit 27.1 30.4 26.8
MCV 79.9 79.9 79.9
MCH 26.8 26.5 26.9
MCHC 33.6 33.2 33.6
Trombosit 430000 422000 478000
Eosinofil 2.1 3.3 1.7
Basofil 0.3 0.5 0.4
Limfosit 8.6 8.8 23.0
Monosit 2.7 3.1 1.8
Neutrofil 86.3 84.3 73.1
Ureum 40 50
Kreatinin 1.6 1.2
Albumin 3.1

 Urinalisa
Pemeriksaan 26/08/2019
Bau Khas
Warna Kuning
pH 6.5
Kejernihan Keruh
Berat jenis 1020
Reduksi Negatif
Bilirubin Negatif
Urobilinogen 0.1
Keton Negatif
Nitrit Negatif
Blood +3
Leukosit esterase +2
Protein albumin Negatif
Epitel 5-6
Lekosit >50
Eritrosit 10-15
Kristal Negatif
Silinder Negatif
Bakteri Positif
Benang mukus Negatif
Lain-lain Negatif

 USG abdomen
 Gambaran severe hidronefrosis dextra, dengan suspek pyonefrosis dextra
disertai dengan nephrolithiasis dextra dd/ nefrocalsinosis
 Gambaran splenomegaly, tak tampak gambaran massa intralienalis
 Ren sinistra, VU, dan uterus tak tampak kelainan secara sonografik
 Tak tampak gambaran nephrolithiasis maupun hidronefrosis pada ren sinistra
 CT scan abdomen
 Gambaran multiple nephrolithiasis dextra dengan gambaran hidronefrosis
dextra, suspek pyonefrosis dextra disertai dengan inflammatory process pada
muskulus psoas dextra
 Gambaran hepatosplenomegaly tak tampak gambaran massa intrahepatal
maupun intralienalis
 VF, pancreas, ren sinistra, VU, dan uterus tak tampak kelainan
 Tak tampak gambaran limfadenopati paraaorta dan parailiaca

VI. DIAGNOSA KERJA


Colic abdomen et causa nefrolithiasis
VII. TATALAKSANA
 Infus paracetamol 500 mg 3x1
 Infus cifotaxime 3x1 gr
 Injeksi ranitidin 2x1
 Injeksi ketorolac
 ESWL
TINJAUAN PUSTAKA

Kolik Renal
a. Definisi
Nefrolitiasis (batu ginjal) merupakan salah satu penyakit ginjal, dimana ditemukannya
batu yang mengandung komponen kristal dan matriks organik yang merupakan penyebab
terbanyak kelainan saluran kemih.
Lokasi batu ginjal khas dijumpai di kaliks, atau pelvis dan bila keluar akan terhenti dan
menyumbat pada daerah ureter (batu ureter) dan kandung kemih (batu kandung kemih). Batu
ginjal dapat terbentuk dari kalsium, batu oksalat, kalsium oksalat, atau kalsium fosfat. Namun
yang paling sering terjadi pada batu ginjal adalah batu kalsium.
Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebesar 7% pada perempuan dewasa dan 13% pada
laki-laki dewasa. Empat dari lima pasien adalah laki-laki, sedangkan usia puncak adalah
dekade ketiga sampai ke empat .
b. Anatomi
Ginjal merupakan organ yang berada di rongga abdomen, berada di belakang
peritoneum, dan terletak di kanan kiri kolumna vertebralis sekitar vertebra T12 hingga L3.
Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm,
berbentuk seperti biji kacang dengan lekukan mengahadap ke dalam, dan berukuran kira-kira
sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak yaitu
lemak pararenal dan lemak perirenal yang dipisahkan oleh sebuah fascia yang disebut fascia
gerota. Dalam potongan frontal ginjal, ditemukan dua lapisan ginjal di distal sinus renalis,
yaitu korteks renalis (bagian luar) yang berwarna coklat gelap dan medulla renalis (bagian
dalam) yang berwarna coklat terang. Di bagian sinus renalis terdapat bangunan berbentuk
corong yang merupakan kelanjutan dari ureter dan disebut pelvis renalis. Masing-masing
pelvis renalis membentuk dua atau tiga kaliks rmayor dan masing-masing kaliks mayor
tersebut akan bercabang lagi menjadi dua atau tiga kaliks minor.
c. Etiologi
Nefrolitiasis (batu ginjal) merupakan suatu keadaan dimana terdapat satu atau lebih batu
di dalam pelvis atau kaliks dari ginjal.Secara garis besar pembentukan batu ginjal dipengaruhi
oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu umur, jenis kelamin, dan keturunan,
sedangkan faktor ekstrinsik yaitu kondisi geografis, iklim, kebiasaan makan, zat yang
terkandung dalam urin, pekerjaan, dan sebagainya.
Faktor risiko nefrolitiasis (batu ginjal) umumnya biasanya karena adanya riwayat batu
di usia muda, riwayat batu pada keluarga, ada penyakit asam urat, kondisi medis lokal dan
sistemik, predisposisi genetik, dan komposisi urin itu sendiri. Komposisi urin menentukan
pembentukan batu berdasarkan tiga faktor, berlebihnya komponen pembentukan batu, jumlah
komponen penghambat pembentukan batu (seperti sitrat, glikosaminoglikan) atau pemicu
(seperti natrium, urat). Anatomis traktus anatomis juga turut menentukan kecendrungan
pembentukan batu.
d. Patofisiologi
Pembentukan batu pada ginjal umumnya membutuhkan keadaan supersaturasi. Namun
pada urin normal, ditemukan adanya zat inhibitor pembentuk batu. Pada kondisi-kondisi
tertentu, terdapat zat reaktan yang dapat menginduksi pembentukan batu. Adanya hambatan
aliran urin, kelainan bawaan pada pelvikalises, hiperplasia prostat benigna, striktura, dan buli
bulineurogenik diduga ikut berperan dalam proses pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun
anorganik yang terlarut dalam urin. Kristalkristal tersebut akan tetap berada pada posisi
metastable (tetap terlarut)dalam urin jika tidak ada keadaan-keadaan yang menyebabkan
presipitasi kristal. Apabila kristal mengalami presipitasi membentuk inti batu, yang kemudian
akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan yang lain sehingga menjadi kristal yang
lebih besar. Kristal akan mengendap pada epitel saluran kemih dan membentuk batu yang
cukup besar untuk menyumbat saluran kemih sehingga nantinya dapat menimbulkan gejala
klinis. Terdapat beberapa jenis variasi dari batu ginjal, yaitu:
1. Batu Kalsium
Batu yang paling sering terjadi pada kasus batu ginjal. Kandungan batu jenis ini terdiri
atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran dari kedua unsur tersebut.
2. Batu Struvit
Batu yang terbentuk akibat adanya infeksi saluran kemih.
3. Batu Asam Urat
Biasanya diderita pada pasien-pasien penyakit gout, penyakit mieloproliferatif, pasien
yang mendapatkan terapi anti kanker, dan yang banyak menggunakan obat urikosurik
seperti sulfinpirazon, thiazid, dan salisilat.
4. Batu Jenis Lain
Batu sistin, batu xanthine, batu triamteran, dan batu silikat sangat jarang dijumpai.
e. Pemeriksaan
Selain dari keluhan khas yang didapatkan pada penderita nefrolitiasis, ada beberapa hal yang
harus dievaluasi untuk menegakkan diagnosis, yaitu:
1. Evaluasi skrining yang terdiri dari sejarah rinci medis dan makanan, kimia darah, dan urin
pada pasien.
2. Foto Rontgen Abdomen yang digunakan untuk melihat adanya kemungkinan batu radio-
opak.
3. Pielografi Intra Vena yang bertujuan melihat keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
Pemeriksaan ini dapat terlihat batu yang bersifat radiolusen.
4. Ultrasonografi (USG) dapat melihat semua jenis batu. 5. CT Urografi tanpa kontras adalah
standar baku untuk melihat adanya batu di traktus urinarius.
f. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana pada pasien nefrolitiasis adalah mengatasi nyeri, menghilangkan
batu yang sudah ada, dan mencegah terjadinya pembentukan batu yang berulang.
1. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Alat ini ditemukan pertama kali pada tahun 1980 oleh Caussy. Bekerja dengan
menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan di luar tubuh untuk menghancurkan batu
di dalam tubuh. Batu akan dipecah menjadi bagian-bagian yang kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih ESWL dianggap sebagai pengobatan cukup berhasil
untuk batu ginjal berukuran menengah dan untuk batu ginjal berukuran lebih dari20-30
mm pada pasien yang lebih memilih ESWL, asalkan mereka menerima perawatan
berpotensi lebih.
2. PCNL (Percutaneus Nephro Litholapaxy)
Merupakan salah satu tindakan endourologi untuk mengeluarkan batu yang berada di
saluran ginjal dengan cara memasukan alat endoskopi ke dalam kalises melalui insisi pada
kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen
kecil. Asosiasi Eropa Pedoman Urologi tentang urolithiasis merekomendasikan PNL
sebagai pengobatan utama untuk batu ginjal berukuran >20 mm, sementara ESWL lebih
disukai sebagai lini kedua pengobatan, karena ESWL sering membutuhkan beberapa
perawatan, dan memiliki risiko obstruksi ureter, serta kebutuhan adanya prosedur
tambahan. Ini adalah alasan utama untuk merekomendasikan bahwa PNL adalah baris
pertama untuk mengobati pasien nefrolitias.
3. Bedah terbuka
Untuk pelayanan kesehatan yang belum memiliki fasilitas PNL dan ESWL, tindakan yang
dapat dilakukan melalui bedah terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain pielolitotomi
atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal.
4. Terapi Konservatif atau Terapi Ekspulsif Medikamentosa (TEM)
Terapi dengan mengunakan medikamentosa ini ditujukan pada kasus dengan batu yang
ukuranya masih kurang dari 5 mm, dapat juga diberikan pada pasien yang belum memiliki
indikasi pengeluaran batu secara aktif. Terapi konservatif terdiri dari peningkatan asupan
minum dan pemberian diuretik, pemberian nifedipin atau agen alfablocker seperti
tamsulosin, manajemen rasa nyeri pasien, khusunya pada kolik, dapat dilakukan dengan
pemberian simpatolitik, atau antiprostaglandin, analgesik, pemantauan berkala setiap 1-
14 hari sekali selama 6 minggu untuk menilai posisi batu dan derajat hidronefrosis.
g. Komplikasi
Komplikasi pada nefrolitiasis bedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi jangka
panjang.
1. Komplikasi Akut
Kematian, kehilangan fungsi ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan invensi
sekunder yang tidak direncanakan.
2. Komplikasi Jangka Panjang
Striktura, obstruksi, hidronefrotis, berlanjut dangan atau tanpa pionefrosis, dan
berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena.
Anemia Defisiensi Besi
a. Definisi
Defisiensi besi adalah berkurangnya jumlah total besi di dalam tubuh. Anemia defisiensi
besi terjadi ketika defisiensi besi yang terjadi cukup berat sehingga menyebabkan eritropoesis
terganggu dan menyebabkan terbentuknya anemia. Keadaan ini akan menyebabkan
kelemahan sehingga menjadi halangan untuk beraktivitas dan juga mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan pada anak.
b. Etiologi
Kekurangan besi dapat disebabkan oleh:
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja
kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat. Pada
bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi
mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat
cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan masa hemoglobin
dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
c. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah kehilangan darah
lewat menstruasi.
2. Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang banyak
mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun
pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat
ASI eksklusif jarang menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan
besi yang terkandung dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung
susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsropsi bayi, sedangkan dari PASI
hanya 10% besi yang dapat diabsropsi. Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak
daripada ASI lebih berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi.
b. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami perubahan
secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami gastrektomi parsial atau
total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini
disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas
usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya ADB.
Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan
mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 mg) dapat
mengakibatkan keseimbangan negatif besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran
cerna, milk induced enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan
menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada akhir masa
fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung buatan. Pada
Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin rata-rata 1,8 – 7,8
mg/hari. 6. Iatrogenic blood loss Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk
pemeriksaan laboratorium berisiko untuk menderita ADB
6. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan
berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan
kadar Hb menurun drastis hingga 1,5 – 3 g/dl dalam 24 jam.
7. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40% remaja perempuan
dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang
tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi
pada 50% pelari.
d. Manifestasi klinis
Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan gejala dan baru terdeteksi
dengan skrining laboratorium pada usia 12 bulan. Gejala khas dari anemia defisiensi besi
adalah:
1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok Kuku berubah menjadi rapuh dan bergaris-garis
vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan mengkilap
yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah
3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan.
4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring
e. Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Pada tabel berikut 3 tahap defisiensi besi, yaitu:
a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya
cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi
lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme.
Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan
besi masih normal.
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited
erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin
menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP) meningkat.
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi
yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar
Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progesif.
Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
f. Pemeriksaan
Pada defisiensi besi yang progresif akan terjadi perubahan pada nilai hematologi dan
biokimia. Hal yang pertama terjadi adalah menurunnya simpanan besi pada jaringan.
Penurunan ini akan ditunjukkan melalui menurunnya serum ferritin, sebuah protein yang
mengikat besi dalam tubuh sebagai simpanan. Kemudian jumlah serum besi akan menurun,
kapasitas pengikatan besi dari serum (serum transferrin) akan meningkat, dan saturasi
transferrin akan menurun di bawah normal. Seiring dengan menunrunnya simpanan, besi dan
protoprofirin akan gagal untuk membentuk heme. Free erythrocyte protoporphyrins (FEP)
terakumulasi, dan kemudian sintesis hemoglobin terganggu. Pada titik ini, defisiensi besi
berlanjut menjadi anemia defisiensi besi. Dengan jumlah hemoglobin yang berkurang pada
tiap sel, sel merah menjadi lebih kecil. Perubahan morfologi ini paling sering tampak
beriringan dengan berkurangnya mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular
hemoglobin (MCH). Perubahan variasi ukuran sel darah merah terjadi dengan digantikkannya
sel normositik dengan sel mirkositik, variasi ini ditunjukkan dari peningkatan red blood cell
distribution width (RDW). Jumlah sel darah merah juga akan berkurang. Jumlah persentase
retikulosit akan meningkat sedikit atau dapat normal. Sapuan darah akan menunjukkan sel
darah merah yang hipokrom dan mikrositik dengan variasi sel yang tetap. Bentuk sel darah
elips atau seperti cerutu sering terlihat. Deteksi peningkatan reseptor transferrin dan
berkurangnya konsentrasi hemoglobin retikulosit mendukut terhadap penegakkan diagnosis.
Jumlah sel darah putih normal, trombositosis juga sering tampak. Trombositopenia terkadang
muncul pada defisiensi besi yang sangat berat, sehingga akan menimbulkan sebuah kerancuan
dengan gangguan pada sumsum tulang. Pemeriksaan pada feses untuk melihat perdarahan
pada sistem gastrointestinal harus selalu dilakukan untuk eksklusi perdarahan sebagai
penyebab defisiensi besi. Pada umumnya, hitung darah lengkap akan menunjukkan anemia
mikrositer dengan peningkatan RDW, berkurangnya RBC, WBC normal, dan jumlah platelet
yang meningkat atau normal. Pemeriksaan laboratorium lainnya, seperti penurunan ferritin,
penurunan serum besi, dan peningkatan kapasitas pengikatan besi total, biasanya belum
dibutuhkan kecuali terdapat anemia berat yang membutuhkan penegakan diagnosis cepat,
terdapat komplikasi atau pada anemia yang tidak memberikan respon terhadap terapi besi.
g. Penatalaksanaan
a. Pemberian preparat besi
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat
terseda berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous
sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferous
suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop). 1
Untuk mendapat respon pengobatan dosis yang dipakai 4 – 6 mg besi
elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang ada
dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%.
Dosis obat yang terlalu besar akan meninmbulkan efek samping pada saluran pencernaan
dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absropsi besi yang terbaik
adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat
menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian
besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan
mengurangi absropsi obat sekitar 40 – 50%. Obat diberikan dalam 2 – 3 dosis sehari.
Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan
kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia
pada penderita teratasi.
Pemberian besi parenteral intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya
mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral.1 Preparat yang sering dipakai
adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ ml.
Dosis dihitung berdasarkan: Dosis besi 9mg = BB (9kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl)
x 2,5
b. Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat mempengaruhi respon
terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan
membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian
PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb
sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita
anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB
persatu kali pemberian.
h. Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn besi saja dan
diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan
manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi
kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut:
a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlansgung
menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti: infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada
ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).
DAFTAR PUSTAKA

Amalia A dan Agustyas T. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi. Majority
Vol. 5, No. 5. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Aslim, Octoveryal. 2015. Penatalaksanaan Batu Ginjal dengan Stone Burden Lebih Dari Dua
Centimeter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Tahun 2011-2014. FKUI:
Jakarta
Elizabeth M. Schoenfeld, Penelope S. Pekow, Meng-Shiou Shieh, et al. 2017. The Diagnosis and
Management of Patients with Renal Colic across a Sample of US Hospitals: High CT
Utilization Despite Low Rates of Admission and Inpatient Urologic Intervention.
doi: 10.1371/journal.pone.0169160
Fauzi A, dan Marco M. 2016. Nefrolitiasis. Majority, vol. 5. Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung
Fitriany J, dan Amelia I. 2018. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Averrous Vol.4 No.2. Fakultas
kedokteran Universitas Malikussaleh, Aceh
Hadiansyah H & Arry Rodjani. 2013. Nyeri Kolik dan Hubungannya dengan Lokasi Batu Ureter
Pada Penderita Batu Ureter Unilateral. FKUI: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai