Anda di halaman 1dari 23

A.

TINJAUAN KASUS

1. Pengertian

Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang bersifat akut,menyeluruh dan bisa menjadi
berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi akibat
pemaparan terhadap suatu alergen. ( Brunner dan Suddarth.2002).
Anafilaksis adalah reaksi sistemik yang mengancam jiwa dan mendadak terjadi pada
pemajanan substansi tertentu. Anafilaksis diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I , dimana
terjadi pelepasan mediator kimia dari sel mast yang mengakibatkanvasodilatasi massif,
peningkatan permeabilitas kapiler, dan penurunan peristaltic. Anafilaksis adalah suatu respons
klinis hipersensitivitas yang akut,berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi
hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipecepat (reaksi hipersensitivitas
tipe I), yaitu reaksi antara antigenspesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast.
Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyaiefek farmakologik terhadap
berbagai macam organ tersebut. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan alergen. Pada pemaparan kedua atau
padapemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi. Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan
melibatkan seluruh tubuh. (Pearce C, Evelyn.2009).

2. Etiologi

Anafilaksis bisa tejadi sebagai respon terhadap berbagai alergen.Penyebab yang sering
ditemukan adalah:
a. Gigitan/sengatan serangga.
b. Serum kuda (digunakan pada beberapa jenis vaksin).
c. Alergi makanan
d. Alergi obat, Serbuk sari dan alergen lainnya jarang menyebabkan anafilaksis.
Anafilaksis mulai terjadi ketika alergen masuk ke dalam alirandarah dan bereaksi dengan
antibodi IgE. Reaksi ini merangsangsel-sel untuk melepaskan histamin dan zat lainnya yang
terlibatdalam reaksi peradangan kekebalan. Beberapa jenis obat-obatan(misalnya polymyxin,

1
morfin, zat warna untuk rontgen), padapemaparan pertama bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid
(reaksiyang menyerupai anafilaksis). Hal ini biasanya merupakan reaksiidiosinkratik atau reaksi
racun dan bukan merupakan mekanismesistem kekebalan seperti yang terjadi pada anafilaksis
sesungguhnya.
Pencetus Terjadinya Reaksi Anafilaksis
Obat-obatan antibiotic Penisilin
Sefaloporin
Streptomisin
Tetrasiklin
Ciprofloxacin
Amphotericin B
Nitrofurantoin
Vankomisin
Enzim Tripsin
Chymotripsin
L-Asparaginase
Penicillinase
As-paraginase
Chymotrypsin
Penicillinase
Streptokinase.
Toxin ATS
ADS
SABU
Ekstrak allergen untuk uji kulit dextran
Bahan yang digunakan Zat radioopac
untuk prosedur diagnose Bromsulfalein
Benzilpenisiloipolilisin
Sodium dehydrocholate
Sulfobromophthalein
Bahan yang dihasilkan Bisa ular

2
hewan atau serangga Bisa lebah
Racun serangga
Lobster
Udang
Kepiting
Semut api
Makanan Kacang-kacangan (kenari, mete, pistachio)
Ikan (tuna, salmon, cod)
Molusca (kerang, udang, lobster)
Putih telur
Susu
Buah Rambutan
Nanas
Semangka
Anastesi Lidocain
Procain
Darah lengkap atau produk Gamaglobulin
darah Kriopresipitat
Hormone Insulin
ACTH (adrenocorticotrophic hormone)
TSH (thyroid-stimulating hormone)
ADH (antidiuretic hormone, vasopressin)
Paratiroid (parathormone).
Lain-lain Seminal fluid (air mani)
Latex
Karet
Logam emas

3
3. Patofisiologi
Sistem kekebalan melepaskan antibodi. Jaringan melepaskan histamin dan zat lainnya.
Hal ini menyebabkan penyempitan saluran udara, sehingga terdengar bunyi mengi (bengek),
gangguan pernafasan dan timbul gejala-gejala saluran pencernaan berupa nyeri perut, kram,
muntah dan diare.Histamin menyebabkan pelebaran pembuluh darah (yang akan menyebabkan
penurunan tekanan darah) dan perembesan cairan dari pembuluh darah ke dalam jaringan (yang
akan menyebabkan penurunan volume darah), sehingga terjadi syok. Cairan bisa merembeske
dalam kantung udara di paru-paru dan menyebabkan edema pulmoner.
Seringkali terjadi kaligata (urtikaria) dan angioedema. Angioedema bisa cukup berat
sehingga menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan. Anafilaksis yang berlangsung lama
bisa menyebabkan aritimia jantung. Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan allergen dapat
mengakibatkan kematian atau reaksi subletal.

4. Manifestasi klinis
Gambaran kilinis anafilaksis sangat bervariasi, baik cepatdan lamanya reaksi maupun
luas dan beratnya reaksi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodromal baru menjadi berat.
Keluhanyang sering dijumpai pada fase permulaan adalah rasa takut, perihdalam mulut, gatal pada
mata dan kulit, panas dan kesemutan padatungkai, sesak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Adapun Gejala-gejala yang secara umum, bisa pula ditemuipada suatu anafilaksis adalah:
a. Gatal di seluruh tubuh
b. Hidung tersumbat
c. Kesulitan dalam bernafas
d. Batuk
e. Kulit kebiruan (sianosis), juga bibir dan kukuf)
f. Pusing, berbicara tidak jelas
g. Denyut nadi yang berubah-ubah
h. Jantung berdebar-debar (palpitasi)
i. Mual, muntah dan kulit kemerahan.

4
5. Komplikasi
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten.
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan

6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Untuk menentukan diagnose terhadap pasien yang mengalami reaksi anafilaksis, maka
dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, SGOT, LDH, ECG dan foto paru.
a. Pada pemeriksaan Hematologi Lengkap : hitung sel meningkat hemokonsentrasi,
trombositopenia eosinofil naik/ normal/ turun
b. X photo : hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mucus plug
c. EKG : gangguan konduksi, atrial dan ventrikuler distrimia, kimia meningkat,
sereum tritaase meningkat.
Selain itu ada beberapa tes alergi yang dapat digunakan untuk memperkuat dagnosa
terhadap terjadinya rekasi anafilaktik, antara lain:
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
a. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan, misalnya debu,
tungau debu, serpih kulit binatang, udang, kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di
kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji ditusukkan pada kulit dengan
menggunakan jarum khusus (panjang mata jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka,
berdarah di kulit. Hasilnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif
alergi terhadap alergen tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
1) Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung antihistamin
(obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
2) Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.

5
b. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit dermatitis
atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48
jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan
melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat, mandi,
posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
2) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau anti
bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
c. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini memerlukan
sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut diproses dengan mesin
komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam. Kelebihan tes ini adalah
dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi oleh obat-obatan.
d. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan. Dilakukan di
kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di tes di lapisan bawah
kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol, merah,
gatal.
e. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum, makanan, dapat
juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergen hirup dinamakan
tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes
provokasi bronkial dan makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien
dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes
provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode
RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo Control)
atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara
bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30 menit. Dalam satu hari hanya

6
boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu
48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus benar,
dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.

7. Penatalaksanaan Medis/Keperawatan
Penanganan anafilaksis adalah sebagai berikut:
a. Oksigenasi
Prioritas pertama dalam pertolongan adalah pernafasan. Jalan nafas yang etrbuka
dan bebas harus dijamin, kalau perlu lakukan sesuai dengan ABC-nya resusitasi.
Penderita harus mendapatkan oksigenasi yang adekuat. Bila ada tanda-tanda pre
syok/syok, tempatkan penderita pada posisi syok yaitu tidur terlentang datar dengan kaki
ditinggikan 30o – 45º agar darah lebih banyak mengalir ke organ-organ vital. Bebaskan
jalan nafas dan berikan oksigen dengan masker. Apabila terdapat obstruksi laring karena
edema laring atau angioneurotik, segera lakukan intubasi endotrakeal untuk fasilitas
ventilasi. Ventilator mekanik diindikasikan bila terdapat spasme bronkus, apneu atau
henti jantung mendadak.
b. Epinefrin
Epinefrin atau adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamine dan mediator
lain yang poten. Mekanismenya adalah adrenalin meningkatkan siklik AMP dalam sel
mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine
dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Dosis
yang dianjurkan adalah 0,25 mg sub kutan setiap 15 menit sesuai berat gejalanya. Bila
penderita mengalami presyok atau syok dapat diberikan dengan dosis 0,3 – 0,5
mg (dewasa) dan 0,01 mg/ KgBB (anak) secara intra muskuler dan dapat diulang tiap 15
menit samapi tekanan darah sistolik mencapai 90-100 mmHg. Cara lain adalah dengan
memberikan larutan 1-2 mg dalam 100 ml garam fisiologis secara intravena, dilakukan
bila perfusi otot jelek karena syok dan pemberiannya dengan monitoring EKG. Pada
penderita tanpa kelainan jantung, adrenalin dapat diberikan dalam larutan 1 : 100.000
yaitu melarutkan 0,1 ml adrenalin dalam 9,9 ml NaCl 0,9% dan diberikan sebanyak 10
7
ml secara intravena pelan-pelan dalam 5 – 10 menit. Adrenalin harus diberikan secara
hati-hati pada penderita yang mendapat anestesi volatile untuk menghindari terjadinya
aritmia ventrikuler.
Tabel Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak – anak

c. Pemberian cairan intravena


Pemberian cairan infuse dilakukan bila tekanan sistolik belum mencapai 100 mmHg
(dewasa) dan 50 mmHg (anak). Cairan yang dapat diberikan adalah RL/NaCl, Dextran/
Plasma. Pada dewasa sering dibutuhkan cairan sampai 2000ml dalam jam pertama dan
selanjutnya diberikan 2000 – 3000 ml/m² LPB/ 24 jam. Plasma / plasma ekspander dapat
diberikan segera untuk mengatasi hipovolemi intravaskuler akibat vasodilatasi akut dan
kebocoran cairan intravaskuler ke interstitial karena plasma / plasma ekspander lebih
lama berada di dalam intravaskuler dibandingkan kristaloid. Karena cukup banyak cairan
yang diberikan, pemantauan CVP dan hematokrit secara serial sangat membantu.
d. Obat – obat vasopressor
Bila pemberian adrenalin dan cairan infuse yang dirasakan cukup adekwat tetapi tekanan
sistolik tetap belum mencapai 90 mmHg atau syok belum teratasi, dapat diberikan
vasopressor. Dopamin dapat diberikan secara infus dengan dosis awal 0,3mg/KgBB/jam
dan dapat ditingkatkan secara bertahap 1,2mg/KgBB/jam untuk mempertahankan
tekanan darah yang membaik. Noradrenalin dapat diberikan untuk hipotensi yang tetap
membandel.
e. Aminofilin
Sama seperti adrenalin, aminofillin menghambat pelepasan histamine dan mediator lain
dengan meningkatkan c-AMP sel mast dan basofil. Jadi kerjanya memperkuat kerja

8
adrenalin. Dosis yang diberikan 5mg/kg i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit untuk
mencegah terjadinya hipotensi dan diencerkan dengan 10 ml D5%. Aminofillin ini
diberikan bila spasme bronkus yang terjadi tidak teratasi dengan adrenalin. Bila perlu
aminofillin dapat diteruskan secara infuse kontinyu dengan dosis 0,2 -1,2 mg/kg/jam.
f. Kortikosteroid
Berperan sebagai penghambat mitosis sel precursor IgE dan juga menghambat
pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada fase lambat. Kortikosteroid
digunakan untuk mengatasi spasme bronkus yang tidak dapat diatasi dengan adrenalin
dan mencegah terjadinya reaksi lambat dari anafilaksis. Dosis yang dapat diberikan
adalah 7-10 mg/kg i.vprednisolon dilanjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6 jam atau dengan
deksametason 40-50 mg i.v. Kortisol dapat diberikan secara i.v dengan dosis 100 -200
mg dalam interval 24 jam dan selanjutnya diturunkan secara bertahap.
g. Antihistamin
Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh histamine terhadap sel target.
Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang memanjang atau bila terjadi edema
angioneurotik dan urtikaria. Difenhidramin dapat diberikan dengan dosis 1-2mg/kg
sampai 50 mg dosis tunggal i.m. Untuk anak-anak dosisnya 1mg/kg tiap 4 -6 jam.
h. Resusitasi jantung paru
Resusitasi jantung paru (RJP) dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi
dan pernafasan. Untuk itu tindakan RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya.
i. Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik fasilitasnya, maka
sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu. Sangatlah tidak bijaksana
mengirim penderita syok anafilaksis yang belum stabil penderita akan dengan mudah
jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita
dikawal oleh dokter dan perawat yang menguasai penanganan kasus gawat darurat.
j. Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan karena
kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya penderita tetap dimonitor
paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini
sebaiknya penderita dirawat di Unit Perwatan Intensif. (Alirifan, 2011)

9
B. TINJAUAN ASKEP
1. Pengkajian
A. Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
1) Pengkajian
Adanya rasa tercekik di daerah leher, suara serak sebab edema pada laring.
Hidung terasa gatal, bersin hingga tersumbat. serta adanya batuk, dan bunyi
mengi. Ditemukan edema pada lidah.
b. Breathing
1) Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik ditemukan adanya batuk dan sesak napas akibat
spasme pada bronkus, bunyi stridor pada auskultasi paru.
c. Circulation
1) Pengkajian
Terjadi hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar,
terbalik, atau tanda-tanda infark miokard. Gelisah, pusing
d. Disability
1) Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik, akan mengalamai penurunan
kesadaran. Diakibatkan transport oksigen ke otak yang tidak mencukupi
(menurunnya curah jantung – hipotensi) yang akhirnya darah akan sulit mencapai
jaringan otak. Pasien dengan syok anafilaktik biasanya terjadi gelisah dan kejang.
e. Exposure
Kaji kelainan kulit seperti urtikaria dibagian ekstremitas.

2. Secondary Survey
a. Catat adanya drainase dari mata dan hidung
b. Inspeksi lidah dan mukosa oral
c. Kaji mengenai mual muntah pada saluran GI
d. Kaji peristaltik saluran GI

10
e. Pemeriksaan diagnostic eosinofil.
f. Pemeriksaan fisik

a. Pemeriksaan Fisik
1) Status respirasi
Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat
(pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)
2) Fungsi metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai
alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea
3) Keseimbangan asam basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea,
penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru)
4) Kulit
a) Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu
syok berlanjut terjadi hipovolemia)
b) Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan
syok hemoragi terminal)
c) Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
5) Status jantung
Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba
Tekanan darah
Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang
sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septik)
6) Status mental
Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun, spoor
sampai koma

b. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium

11
2) Hematologi : darah (Hb, hematokrit, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar
ureum, kreatinin, glukosa darah. Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi,
trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun
3) Kimia : Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat
4) Analisa gas darah
5) Radiologi
6) X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
7) EKG : Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia

12
c. Pengelompokan data
1) Data subjektif :
a) Klien mengatakan sesak nafas atau sulit dalam bernafas
b) Klien mengatakan dirinya sangat lemas
c) Klien mengeluh mual dan muntah
d) Klien mengatakan cemas dan gelisah
e) Klien mengatakan gatal – gatal pada kulit dan hidung
f) Klien mengatakan memiliki riwayat alergi
g) Klien mengatakan setelah mengkonsumsi obat, pasien sesak nafas, demam,
bengkak pada periorbital dan lidah dan gatal pada tubuh
2) Data objektif :
a) Klien tampak sesak, tampak bernafas dengan mulut, tampak pembengkakan pada
mukosa hidung,tampak penggunaan otot bantu nafas, pernafasan cuping hidung,
terpasang oksigen
b) Tampak bengkak di sekitar tubuh dan hidung klien
c) Klien tampak pucat, akral dingin, gambaran EKG gelombang T mendatar dan
terbalik
d) Tanda – tanda vital terutama tekanan darah menurun
e) Klien tampak lemah
f) Klien tampak cemas
g) Klien tampak menggaruk – garuk badannya, tampak adanya pruritus (ada hives)
urtikaria

13
2. Diagnosa
a. Analisa data
No Symptom Etiologi Problem
1 DS : Penyempitan atau spasme Ketidakefektifan
- Klien mengatakan sesak otot bronkeolus, edema bersihan jalan nafas
nafas atau sulit dalam saluran nafas/laring
bernafas

DO :
- Klien tampak sulit dalam
bernafas
- Tampak pembengekakan
pada lidah klien
- Tampak penggunaan otot
bantu nafas dan
pernafasan cuping hidung
- Terdengar suara nafas
stridor
-
2 DS : Pajanan pada alergen Risiko reaksi alergi
- Klien mengatakan
memiliki riwayat alergi
- Klien mengatakan setelah
mengkonsumsi obat,
pasien sesak nafas,
demam, bengkak pada
periorbital dan lidah dan
gatal pada tubuh

14
DO :
- Pasien tampak sesak nafas
- Edema pada daerah
periorbital dan lidah
- Kulit tampak kemerahan
- Suhu : 38oC
3 DS : Peningkatan kapasitas Resiko
vaskuler
- Klien mengatakan dirinya ketidakseimbagan
sangat lemas volume cairan
- Klien mengeluh mual dan
muntah
DO :
- Klien tampak lemah
- Klien tampak mual dan
muntah
4 DS : Peningkatan produksi Kerusakan integritas
- Klien mengatakan gatal – histamine dan bradikinin integritas kulit
gatal pada bagian kulit dan oleh sel mast
hidung
DO :
- Klien tampak menggaruk
– garuk badannya
- Tampak pruritus (ada
hives), urtikaria
- Tampak bengkak disekitar
tubuh dan hidungnya
- Tampak oedema pada
periorbital
4 DS : Peningkatan permeablilitas Ketidakefektifan
- Pasien mengatakan kapiler perfusi jaringan
badannya lemas

15
- Pasien mengatakan
badannya dingin
DO :
- Akral klien teraba dingin
- Tekanan darah dibawah
rentang normal (hipotensi)
- CRT > 2 detik
- Pasien tampak cyanosis

b. Rumusan diagnosa
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme otot pada jalan nafas.
2) Risiko reaksi alergi berhubungan dengan pajanan pada alergen
3) Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler.
4) Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan kapasitas
vaskuler.
5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi histamine dan
bradikinin oleh sel mast.

3. Intervensi
Hari / No Intervensi Keperawatan
tanggal Dx Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi Respirasi 1. Mengetahui
keperawatan selama … x 24 rate keadaan umum
jam di harapkan pasien pasien serta
mampu mempertahankan menentukan
kepatenan jalan nafas intervensi
dengan kriteria hasil : selanjutnya
1. Klien mengeluh 2. Beri posisi 2. Meningkatkan
sesak berkurang semifowler ekspansi paru

16
2. Bernafas spontan sehingga dapat
tanpa bantuan O2 memudahkan
3. Tidak ada pasien dalam
penggunaan otot bernafas.
bantu nafas dan 3. Kolaborasi : 3. Kolaborasi :
cuping hidung Berikan tambahan Untuk
4. RR normal 16-20 O2 menurunkan
x/menit hipoksia cerebral
4. Kolaborasi : 4. Kolaborasi :
Terapi inhalasi Untuk
nebulizer ventolin mengurangi
spasme otot jalan
nafas sehingga
sesak dapat
berkurang
2 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda-tanda 1. Untuk
keperawatan selama … x 24 syok anafilatik mengetahui
jam diharapkan tidak
keadaan umum
terdapat tanda-tanda syok
anafilatik dengan kriteria klien sehingga
hasil : dapat
1. Tidak terdapat
menentukan
penurunan kesadaran
2. TTV dalam rentang intervensi
normal selanjutnya
2. Kolaborasi dalam 2. Dapat mengatasi
pemberian obat syok anafilatik
golongan agonosis akibat reaksi
alfa dan beta alergi
adrenergic (obat
epinefrin)
3. Kolaborasi dalam 3. Untuk
pemberian obat meredakan

17
golongan peradangan
kortikosteroid
3 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji perubahan tiba- 1. Perfusi serebral
keperawatan selama … x 24 tiba atau gangguan secara langsung
jam diharapkan dapat berhubungan
mental kontinu
memperbaiki perfusi dengan curah
jaringan dengan kriteria (cemas, gelisah, jantung.
hasil : bingung, letargi,
1. Kulit pasien hangat
pingsan)
2. Tanda vital dalam 2. Penurunan curah
batas normal 2. Kaji warna kulit
jantung
3. Pasien sadar atau apakah pucat,
dibuktikan oleh
berorientasi
sianosis, belang,
4. Pasien tidak tampak penurunan
cyanosis catat kekuatan nadi
perfusi kulit dan
5. CRT < 2 detik perifer
penurunan nadi

4 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda-tanda 1. Indikator dari


keperawatan selama … x 24 vital volume cairan
jam diharapkan kebutuhan sirkulasi
cairan tubuh pasien dapat
terpenuhi dengan kriteria 2. Kaji peningkatan 2. Meningkatkan
hasil : suhu dan durasi kebutuhan
1. Klien tampak tidak demam, berikan metabolisme dan
lemas kompres hangat diforesis yang
2. Klien tidak muntah sesuai indikasi, berlebihan
3. Klien tidak mual pertahankan pakaian dihubungkan
4. Kebutuhan cairan tetap kering, dengan demam
klien dapat terpenuhi pertahankan dalam
- kenyamanan suhu meningkatkan
lingkungan kehilangan cairan
yang berlebihan
3. Ukur haluan urine 3. Peningkatan berat
dan berat jenis urine jenis urine atau

18
penuruna
haluaran urine
menunjukan
perubaha perfusi
ginjal atau
volume sirkulasi.
4. Pantau pemasukan 4. Memprtahankan
oral dan memasukan keseimbangan
cairan sedikitnya cairan,
2500 ml/hari mengurangi rasa
haus, dan
melembabkan
membran mukosa
5. Kolaborasi dengan 5. Untuk membantu
tim medis lainnya mengurangi
dalam pemberian demam dan
obat-obatan sesuai respon
indikasi, missal: metabolisme,
antipiretik (aceta menurunkan
minofen) cairan tak kasat
mata
5 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kulit setiap 1. Untuk
keperawatan selama … x 24 hari. Catat warna mengetahui ada
jam diharapkan dapat kulit, turgor kulit, tidaknya
- menunjukan kemajuan pada sirkulasi dan sensasi perubahan kulit
luka atau penyembuhan
dengan kriteria hasil : 2. Perthankan hygiene 2. Mempertahankan
1. Klien tidak lagi kulit, misalnya kebersihan
menggaruk – garuk membasuh dan karena kulit tiap
badannya dan rasa gatal kemudian kering dapat
berkurang mengeringkan menjadi barier

19
2. Klien merasa nyaman dengan hati-hati dan infeksi dan
3. Edema pada periorbital melakukan masase masase dapat
dan lidah berkurang dengan meningkatkan
menggunakan lotion sirkulasi kulit dan
- atau cream kenyamanan
3. Pertahankan 3. Friksi kulit di
kebersihan sebabkan oleh
lingkungan pasien kain yang
seperti seprei bersih berkerut dan
kering dan tidak basah yang dapat
berkerut menyebabkan
iritasi dan
potensial
terhadap infeksi
5. Sarankan pasien 4. Menurunkan
untuk melakukan tekanan pada
ambulasi beberapa kulit dari istirahat
jam sekali jika lama di tempat
memungkinkan tidur

5. Gunting kuku secara 5. Kuku yang


teratur panjang atau
kasar dapat
meningkatkan
kerusakan dermal
6. Kolaborasi : 6. Kolaborasi :
Gunakn atau berikan Digunakan pada
obat-obatan atau perawatan lesi
sistemik sesuai kulit. Jika
indikasi. digunakan salep
multi dosis,

20
perawatn harus
dilakuakn untuk
menghindari
kontaminasi
silang

4. Implementasi
Pelaksanaan/implementasi merupakan tahap ke empat dalam proses keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan. Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya
fisik dan perlindungan kepada pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman tentang hak-hak dan kebutuhan dasar pasien dalam tingkat
perkembangan pasien (Aziz Alimul, 2009).

5. Evaluasi
Menurut Wilkinson (2007), secara umum evaluasi diartikan sebagai proses yang
disengaja dan sistematik dimana penilaian dibuat mengenai kualitas, nilai atau kelayakan dari
sesuai dengan membandingkan pada kriteria yang diidentifikasi atau standar sebelumnya.
a. Diagnosa 1 : jalan nafas kembali efektif
b. Diagnosa 2 : Reaksi alergi dapat teratasi
c. Diagnosa 3 : Ketidakefektifan perfusi jaringan dapat teratasi
d. Diagnosa 4 : Ketidakstabilan volume cairan tidak terjadi
e. Diagnosa 5 : Kerusakan integritas kulit dapat teratasi

21
C. WOC

Makanan Bahan allergen (obat-obatan, gigitan serangga)

Lambung Masuk ke vili mukosa usus sirkulasi aktivitas komplemen (Ig A)

Hipermotilitas reaksi antigen-antibodi reaksi kompleks imun


Saluran cerna dalam tubuh (Ig E)

Nausea, muntah, basofil dan sel mast


melepaskan histamin

Resiko Ketidakseimbangan
Volume Cairan histamine meningkat Risiko reaksi alergi

Peningkatan permebabilitas vasodilatasi perifer Vasodilatasi pembuluh


Kapiler menyeluruh darah setempat

Cairan & protein hilangkedalam red flare (kemerahan) peningkatan tekanan kapiler
Ruang jaringan secara cepat & peningkatan permeabilitas

Banyak plasma hilang urtikaria pe permeabilitas kebocoran cairan yg cepat


Kapiler setempat dalam hidung
Syok sirkulasi dinding Kerusakan
ggn. Integritas pembengkakan pd hipersekresi pembengkakan
Integritas Kulit
Kulit area berbatas jelas mukosa hidung
Perembesan cairan spasme otot polos bersifat gatal bersin-bersin kesulitan
Keluaran pembuluh bronkus bernafas
darah sesak nafas edema laring
kulit pucatdingin
hipotensi
Ketidakefektifan
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
perfusi jaringan
22
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan. Surabaya : Salemba Medika.

Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Ellis, Anne and James Day. 2003.“Diagnosis and Management of Anaphylaxis ” Canadian
Medical Association Journal 169:1-4.

Ewan,Pamela. 1998. “ABC of Allergies:Anaphylaxis” British Medical Journal 316 :1442-1445.

Janeway, C.A., Travers, P., Walport, M., Schlomchik, M. 2005. Immunobiology 6th Ed: The
Immune System in Health and Disease. New York: Garland Publishing.

Krause, Richard. 2005. Anaphylaxis. eMedicine. Accessed 24 Januari 2020


<www.emedicine.com/emerg/topic25.htm>

Lieberman P et al. 2005. “The Diagnosis and Management of Anaphylaxis:An Updated Practice
Parameter.” The Journal of Allergy and Clinical Immunology 115 483-523.

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologis untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia

Rusznak, Csaba. 2002. “Anaphylaxis and Anaphylactoid Reactions: A Guide to Prevention,


Recognition, and Emergent Treatment.” Postgraduate Medicine 111 (2002): 1-4.

Sampson, Hugh.2003. “Anaphylaxis and Emergency Treatment.” Pediatrics 111 1601-1608.

Smeltzer, Suzane C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.
Jakarta : EGC.

Stern, David. 1997. Anaphylaxis:Life-Threatening Allergy. Asthma and Allergy Information and
Research. Accessed 24 April 2006 < http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/index.html>

Walkinson, J.M. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.

23

Anda mungkin juga menyukai