Anda di halaman 1dari 7

Traumatic Optic Neuropathy

Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan suatu bentuk neuropati optikus oleh
adanya kerusakan pada saraf optik yang menyebabkan kerusakan pada fungsi visual diikuti
dengan defek pupil aferen relative (Marcus-Gunn pupil).
TON dikaitkan dengan kecelakaan dengan momentum tinggi dan trauma wajah.
Kecelakaan sepeda motor, kekerasan, luka tumpul, luka tusuk, luka tembak, dan pembedahan
endoskopi sinus merupakan penyebab TON. Luka tumpul umumnya terjadi akibat deselerasi
cedera pada region antefrontal kepala. Keparahan trauma tidak selalu terkait dengan derajat
penurunan penglihatan.
Klasifikasi
Cedera saraf optik dapat diklasifikasikan menjadi cedera langsung dan tidak langsung
berdasarkan jenis cedera.
a. Cedera Tidak Langsung Saraf Optik
Cedera tidak langsung terjadi pada trauma tertutup pada kepala, menyebabkan timbulnya
tekanan yang kemudian menekan saraf optik.Pada pemeriksaan, tidak terdapat perubahan
cepat pada pemeriksaan fundus.Diskus optik dapat normal hingga 3-5 minggu setelahnya
dan berubah pucat seiring atrofi diskus terjadi.
b. Cedera Langsung Saraf Optik
Cedera langsung saraf optik terjadi akibat dari avulsi saraf atau akibat adanya penetrasi
pada orbita, penetrasi fragmen tulang dan mengenai saraf optik menyebabkan neuropati
optikus parsial atau komplit pada pembungkus saraf optikus.Perdarahan didalam dan
sekitar saraf optik juga dapat terjadi.
Tidak seperti cedera tidak langsung, cedera langsung menyebabkan perubahan segera pada
fundus yang merangsang oklusi arteri retina sentralis, oklusi vena retina sentralis atau iskemia
anterior neuropati optik.
Patofisiologi
TON terjadi secara multifaktorial, beberapa penelitian menyimpulkan adanya
mekanisme primer dan sekunder dari cedera yang terjadi. Cedera langsung terjadi pada trauma
tajam, fraktur orbita dengan fraktur midfasial. Cedera tidak langsung umumnya disebabkan
oleh adanya gaya tekanan pada cedera kepala yang ditransmisikan hingga ke saraf optik. Baik
cedera langsung maupun tidak langsung menyebabkan kerusakan mekanis ataupun iskemia
pada saraf optik. Terkadang cedera okuli sangat kecil hingga tidak terlihat adanya penyebab
eksternal. Edema pada rongga tertutup, nekrosis akibat kontusio, robekan serabut saraf, dan
infark oleh karena thrombus dan spasme berpotensial menyebabkan cedera saraf optik.
Gambaran Klinis
TON posterior terkadang sulit dinilai terutama pada pasien dengan cedera multipel,
terutama pada pasien tidak sadarkan diri. Pemeriksaan teliti harus dilakukan secepat mungkin,
kemungkinan hanya diperoleh defek aferen pupil pada pemeriksaan.
Diagnosis
Diagnosis TON berdasarkan klinis, dengan adanya trauma kepala dan wajah yang
menyebabkan gangguan penglihatan. Pasien mengalami kehilangan penglihatan yang
mendadak, berat, dan unilateral. Kondisi ini dapat bermanifestasi segera atau dalam hitungan
jam hingga hari setelah trauma. Riwayat penyakit perlu ditanyakan apakah adanya defisit
penglihatan sebelum trauma, riwayat penyakit sebelumnya, obat-obatan dan alergi obat.
Pemeriksaan Klinis
Pada situasi akut, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar dan penilaian ketajaman
penglihatan tidak dapat dilakukan, penegakan diagnosis TON dapat terhambat. Pada pasien
sadar, dapat dilakukan berbagai tes untuk membantu penegakan diagnosis , antara lain:
1. Ketajaman penglihatan.
2. Relative afferent pupillary defect (RAPD)
3. Penglihatan warna
4. Lapangan pandang
5. Funduskopi
6. Adneksa okuli
7. Tekanan intraokular
Pemeriksaan Penunjang
1. Visual evoked potential (VEP)
2. Imaging
Penatalaksanaan
Berbagai kontroversial muncul dalam penanganan TON. Sebagian besar penanganan
pada TON meliputi observasi, steroid dan dekompresi bedah. Selama beberapa decade,
kortokosteroid diyakini dapat menstabilisasi membran lipid, mengurangi spasme,
meningkatkan pemasokan darah, dan mengurangi edema jaringan neural dan nekrosis.
Penanganan medikamentosa TON dengan steroid mega-dose dilakukan oleh National Acute
Spinal Cord Injury Study II (NASCIS II) yang dievaluasi pada pasien cedera tulang belakang
akut. Pada studi ini, pasien diterapi dengan plasebo, metilprednisolone, atau naloxone.Secara
farmakologis, terapi metilprednisolone dosis besar atau megadosis terkait dalam stabilisasi
sirkulasi mikrovaskular dan homeostasis kalsium.
Pada kasus TON dimana tidak terdapat kontraindikasi pemberian kortikosteroid, dosis
awal metilprednisolone diberikan sebanyak 30mg/kg/IV, dilanjutkan 15mg/kgBB pada 2 jam
kemudia, dan 15 mg/kgBB setiap 6 jam. Jika terdapat perbaikan visual, dosis steroid
dilanjutkan hingga hari ke-5, kemudian diturunkan secara cepat.Jika tidak terdapat perbaikan
dalam 48-72 jam, pemberian steroid langsung dihentikan tanpa penurunan dosis sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid mega dosis dalam 8 jam pertama setelah cedera kemungkinan dapat
memperbaiki pembengkakan saraf optik. Apakah terapi metilprednisolone memiliki efek yang
samadibandingkan hanya observasi dalam penatalaksanaan TON belum terbukti, dan
keterlambatan penanganan terapi dan derajat kehilangan penglihatan belum jelas terbukti
mempengaruhi prognosis.
2. Pembedahan
Dekompresi bedah optik kanal dan pembungkus saraf optik digunakan sebagai terapi
TON indirek. Tetapi tidak terdapat konsensus waktu optimum untuk intervensi optimum. Pada
hematoma pembungkus saraf optik dapat dievakuasi dengan orbiotomi medial atau lateral
tergantung pada letak hematoma. Secara umum cedera langsung memiliki prognosis yang lebih
buruk dibandingkan dengan cedera tidak langsung saraf optik. Berdasarkan studi, ada 4
variabel yang dianggap sebagai faktor prognosis yang buruk untuk perbaikan fungsi visual,
antara lain:
1. Adanya darah dalam rongga ethmoid posterior
2. Usia diatas 40 tahun
3. Kehilangan kesadaran diikuti dengan TON
4. Tidak adanya perbaikan setelah 48 jam pemberian terapi steroid.
Myasthenia Gravis Okular

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal
dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak
lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka kejadiannya 20 dalam
100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur diatas 50 tahun. Wanita
lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia.
Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan
pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.
Patofisiologi
Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait
dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sehingga mekanisme imunogenik memegang
peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Autoantibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita
acquired myasthenia gravis generalisata. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit
terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor
asetilkolin.
Gejala klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot
rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa
ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular
atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejalasering menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius.Walaupun pada
miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis miastenia gravis.
Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia
gravis. Kelemahan otot dapat munculmenghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris
di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam berbagai derajat yang berbeda,
biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal. Kelemahan otot wajah bilateral akan
menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal
dan miastenia gravis biasanya selalu disertai
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya
terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Serta biasanya kelemahan otot-
otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis
akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai
dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata
yang melakukan abduksi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain:
Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Uji Prostigmin (neostigmin)
Uji Kinin
Laboratorium
Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.


Antistriational antibodies


Anti-asetilkolin reseptor antibodi


Elektrodiagnostik

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)


Penatalaksanaan
Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
timomektomiataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat
memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis. Plasma Exchange (PE)
paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan
menjadi prioritas. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara
klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Intravena

Metilprednisolone (IVMp)
 IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila

tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.


Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang
memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan
kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang
mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak ahli saraf memiliki
pengalaman meyakinkan bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi
miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak
dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Timektomi telah digunakan untuk mengobati
pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau
tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Tujuan utama dari timektomi ini adalah
tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan
adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi yang dilakukan.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah
timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi
kelemahan serta obat-obatan).
Space Occupying Lesions (SOL) Intrakranial

Edema papil saraf optik terjadi apabila terdapat obstruksi pada transpor akson di daerah
lamina kribrosa. Obstruksi dapat terjadi karena kompresi, iskemia, inflamasi, disfungsi
metabolik atau intoksikasi. Pada beberapa kasus, infiltrasi sel-sel inflamasi atau sel tumor ke
bagian proksimal papil saraf optik akan memperlihatkan gambaran menyerupai edema papil.
Beberapa penyebab edema papil saraf optik yaitu yang paling sering dikarenakan adanya
peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh tumor atau biasa dikenal dengan
sebutan space occupying lesions (SOL). Adapun penyebab lain seperti adanya neuritis optik,
AAION, NAION, hipertensi maligna, oklusi vena retina sentral, papilopati diabetik, dan
Leber’s optic neuropathy.
Pada tahap awal edema, gambaran yang tampak adalah batas diskus papil optik yang
terlihat kabur di daerah superior dan inferior. Dengan semakin bertambahnya edema, akan
tampak keputihan di daerah sekitar pembuluh darah terutama arteri. Pemeriksaan yang penting
dilakukan selain kondisi sistemik adalah tajam penglihatan, refleks cahaya pupil dan RAPD,
lapang pandang, dan kemudian pemeriksaan warna serta sensitivitas kontras. Pemeriksaan
funduskopi tentu sangat penting untuk mengevaluasi segmen posterior. Edema papil harus
segera dirujuk untuk mencari penyebab yang mendasari dan mendapatkan pemeriksaan
oftalmologik lebih lanjut; semua edema papil akan lebih baik dianggap sebagai papilledema,
kecuali terbukti sebaliknya. Untuk kecurigaan adanya tumor intrakranial, maka harus
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan kepala dengan kontras ataupun MRI kepala
dengan kontras.

Anda mungkin juga menyukai