mindset homeschooling
Homeschooling bukan sekedar alat meraih tujuan pendidikan. Misalnya, Anda ingin
anak memiliki sertifikasi dalam bidang teknologi dan informasi. Anda menggunakan
homeschooling sebagai alat untuk meraih tujuan tersebut.
Ternyata dalam praktiknya, Anda tak sekedar mengatur kurikulum dan metode
belajar serta memilih guru privat. Di dalamnya, Anda terpaksa harus mendalami
karakter anak, bagaimana minat dan gaya belajarnya.
Kita perlu tahu cara melakukan pendekatan agar anak nyaman dan terbuka
berkomunikasi dengan kita. Kenyamanan dan keterbukaan membantu proses
belajar berjalan lebih optimal.
Kita harus terus belajar mengenali sudut pandang anak, bagaimana menyampaikan
sesuatu yang bermakna melalui keseharian, menurunkan ego (harapan) kita untuk
anak dan lebih memperhatikan apa yang mereka butuhkan.
8 Mindset Homeschooling
Karena bukan hanya hal teknis yang kita lakukan, maka saya putuskan untuk
menyebut HS sebagai mindset atau pola pikir yang menjadi dasar atau acuan dalam
bertindak terkait pendidikan anak.
Dulu kita mengenal teori tabularasa yang menganggap anak adalah kertas kosong
dan kita sebagai guru atau orang tua harus jadi penulisnya. Kita menulis dan
menggambar apapun yang kita suka dan harapkan ada pada diri anak.
Ada yang menulis dengan santai dan pelan dengan kata-kata yang enak
dibaca
Ada yang menulis dengan menekan terlalu dalam dengan kalimat kasar yang
sulit dihapus
Saat jadi penulis, kita lupa memperhatikan tekstur dari kertas tersebut. Ada kertas
yang tebal dan tahan air, ada kertas yang tipis dan mudah robek.
Mereka memiliki minat, karakter, kecepatan dan gaya belajar berbeda. Mereka juga
tumbuh dan berkembang dengan latar belakang berbeda, sehingga kebutuhannya
pun ikut berbeda.
Saat Anda memiliki mindset ini, Anda tak lagi membandingkan satu anak dengan
anak lainnya. Jika anak tetangga nilai matematikanya 90, sedangkan anak Anda 30.
Maka, itu tak jadi masalah.
Yang perlu kita perhatikan dalam proses pendidikan adalah melihat ke dalam diri
anak. Memperhatikan apa minat, bagaimana kebutuhan masa depan dan anak serta
latar belakang mereka.
Anak kota dekat dengan dunia industri. Maka, pelajaran yang tepat adalah
sesuai dengan konteks kehidupan mereka.
Anak pantai dekat dengan dunia pariwisata. Maka, bekal yang tepat adalah
mengelola pantai agar bisa mendatangkan lebih banyak wisatawan.
Dua hal itu adalah contoh bekal sesuai latar belakang anak. Lalu, bagaimana jika
anak memiliki cita-cita yang tak berkaitan dengan latar belakang mereka?
Ya, tidak masalah. Kita arahkan anak sesuai minatnya sembari tetap memberikan
bekal sesuai konteks rill kehidupan mereka. Supaya ilmu lebih melekat dan mudah
diserap anak.
Homeschooling memiliki prinsip yang sama dengan apa yang pernah dipaparkan
oleh Bapak Pendidikan kita, “Jadikan setiap tempat seperti sekolah dan setiap orang
sebagai guru.”
Ini bisa disebut dengan proses belajar. Kalau kita tekankan pada anak bahwa belajar
sama dengan membaca, mendengarkan, mencatat dan duduk manis, lama-lama
mereka MUAK dengan istilah belajar. Karena aktivitas itu monoton dan
membosankan.
Ini pemikiran yang mengerikan karena mematikan semangat belajar anak. Membuat
mereka berhenti belajar saat hari Minggu, tanggal merah dan masa liburan.
Hal-hal yang tidak ada relevansinya dengan dunia nyata dan tak bisa diterapkan
dalam hidup mendapat banyak perhatian. Sedangkan, kemampuan yang dibutuhkan
seseorang untuk memerdekakan hidup malah tak pernah diajarkan.
Melalui pendidikan, kita harus sadar apa potensi diri. Melalui pendidikan, kita harus
paham bagaimana cara menggunakan potensi diri tersebut.
Homeschoolers bisa belajar dimana saja dan kapan saja. Tak harus ada ruang
khusus, meja, bangku dan buku-buku yang berjajar rapi. Kebebasan yang keenam
adalah mindset homeschooling.
Kalau ingin belajar tentang sapi, kita tak hanya membaca buku tentang sapi. Kita
bisa mengajak anak datang ke kandang sapi.
Seperti kata Mark Twain, “Seseorang yang memiliki kucing lebih mengetahui kucing
secara utuh, ketimbang mereka yang hanya membaca buku tentang kucing.”
Hal yang paling saya suka dari Homeschooling adalah membiarkan anak belajar
mengikuti rasa ingin tahunya. Orang tua atau orang dewasa di sekitar anak hanya
bertindak sebagai fasilitator. Itulah mindset homeschooling yang ketujuh.
Misalnya, anak kita tertarik untuk membantu memasak di dapur. Maka, kita perlu
menyediakan peralatan memasak untuk mereka.
Mengenalkan mereka dengan ‘medan dapur’ yang akan dihadapi,
seperti panas, cipratan minyak goreng, bau hangus, bau bumbu-
bumbu yang akan menempel di rambut dan pakaian.
Selanjutnya, kita biarkan mereka melakukan eksplorasi di dapur.
Apakah nantinya anak akan menjadi koki atau tidak, itu terserah dia. Hal terpenting
yang kita ajarkan adalah keterampilan sesuai dengan apa yang mereka SUKAI DAN
BUTUHKAN.
Orang tua atau guru tidak memiliki hak untuk menuntut, memerintah atau memasang
standar. Karena 3 hal itu hanya akan mematikan semangat belajar anak.
Sebagai petani, kita perlu menjaga kesuburan tanah tempat benih itu ditabur,
menjaga tanaman agar terhindar dari hama atau gangguan lain, memberi nutrisi
cukup agar tanaman tumbuh tanpa hambatan dan semakin membaik.
Saat kita dianugerahi Tuhan benih mangga, maka kita tak bisa
memaksa benih mangga itu untuk tumbuh menjadi pisang.
Jika paksaan yang kita lakukan, yang terjadi adalah mangga tak bisa tumbuh secara
optimal. Dan, mereka tetap tak bisa menjadi pisang.
Jika anak Anda masih sekolah, tapi Anda menerapkan 8 mindset di atas itu berarti
keluarga Anda sudah menjalankan proses homeschooling.
Melainkan, pola pikir yang menjadi dasar Anda dalam bertindak dan mengambil
keputusan terkait pendidikan anak.