Anda di halaman 1dari 1

A.

Wujud

Menurut Ibnu Sina, itulah Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal Penuh. Sementara
semua ses uatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah itu Tuhan, dan
yang dipertanyakan itu ada, yang tidak ada di dalam satu wujud, tetapi satu yang tidak anatomik di
dalam wujud yang Tunggal. kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun tidak akan ada. Ibnu Sina
membuktikan Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu
keperluannya, tetapi cukup dalil keberadaan Wujud Pertama, yaitu: Wajibul Wujud. Sementara jagad
raya ini, yaitu mumkinul wujud mengirimkan sesuatu alasan yang dikeluarkannya menjadi wujud karena
wujudnya bukan dari zatnya sendiri.

B. Jiwa

Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat
menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan
demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa
yang masih berhajat pada badan. Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan
eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak
suatu pandangan dua sublansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal.
Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan,
jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.

C. Kenabian

Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang
paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual yang sempuma tanpa latihan
atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri
empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Jadi wahyu dalam
pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal menjadi orang baik, tidak hanya mumi
sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni.
Namun demikian, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan lagi
karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi
kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Maka dari itu, Nabi berhak mendapat mendapatkan derajat
seorang filosof.

Anda mungkin juga menyukai