Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nematoda telah berhasil beradaptasi dengan hampir setiap ekosistem dari
laut (air asin) sampai air tawar, tanah, dan dari daerah kutub sampai daerah
tropis, serta ketinggian yang tertinggi sampai yang terendah. Mereka di mana-
mana di air tawar, laut, dan lingkungan darat, di mana mereka sering melebihi
hewan lain baik jumlah individu dan spesies, dan ditemukan di lokasi yang
beragam seperti gunung, padang pasir dan palung samudera. Mereka
ditemukan di setiap bagian dari litosfer bumi. Mereka mewakili 90% dari
semua hewan di dasar laut. Dominasi numerik mereka, sering melebihi satu
juta individu per meter persegi dan terhitung sekitar 80% dari semua individu
binatang di bumi, keragaman daur hidup mereka, dan kehadiran mereka di
berbagai tingkat tropik menunjuk pada peran penting dalam banyak ekosistem.
Nematoda bahkan telah ditemukan pada kedalaman yang besar (0,9-3,6 km) di
bawah permukaan bumi di tambang emas di Afrika Selatan

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi Nematoda?
2. Apa saja Anggota nematode usus yang termasuk soil transmitted helmint?
3. Apa Nama lain dari habitat, distribusi, morfologi, siklus hidup,
pathogenesis dan pencegahan penyakit akibat Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura dan cacing tambang (Necator americanus dan
Ancilostoma duodenale)?
4. Apa Nama lain dari habitat, distribusi, morfologi, siklus hidup,
pathogenesis dan pencegahan penyakit akibat Enterobius vermicularis?
5. Apa Nama lain dari habitat, distribusi, morfologi, siklus hidup,
pathogenesis dan pencegahan penyakit akibat Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi, Brugria timori dan loa-loa?
6. Bagaimana Cara penularannya?
7. Bagaimana Siklus hidupnya?
8. Bagaimana Cara berkembang biaknya?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Nematoda.
2. Untuk mengetahui Anggota nematode usus yang termasuk soil transmitted
helmint.

1
3. Untuk mengetahui Nama lain dari habitat, distribusi, morfologi, siklus
hidup, pathogenesis dan pencegahan penyakit akibat Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura dan cacing tambang (Necator americanus dan
Ancilostoma duodenale).
4. Untuk mengetahui Nama lain dari habitat, distribusi, morfologi, siklus
hidup, pathogenesis dan pencegahan penyakit akibat Enterobius
vermicularis.
5. Untuk mengetahui Nama lain dari habitat, distribusi, morfologi, siklus
hidup, pathogenesis dan pencegahan penyakit akibat Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi, Brugria timori dan loa-loa.
6. Untuk mengetahui cara penularannya.
7. Untuk mengetahui siklus hidupnya.
8. Untuk mengetahui cara berkembang biaknya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Nematoda


Nematoda atau cacing gilig atau cacing gelang merupakan filum
Nematoda. Mereka adalah filum hewan yang beragam yang menghuni rentang
lingkungan yang sangat luas. Spesies nematoda bisa sulit untuk dibedakan, dan
meskipun lebih dari 25.000 telah dijelaskan, lebih dari setengahnya adalah parasit,
jumlah spesies nematoda telah diperkirakan sekitar 1 juta. Berbeda dengan filum
Cnidaria dan Platyhelminthes (cacing pipih), nematoda memiliki sistem
pencernaan tubular dengan bukaan di kedua ujungnya.

2.2 Anggota Nematode Usus yang Termasuk Soil Transmitted


Helminth
Soil Transmitted Helminths (STHs) adalah kelompok parasit golongan nematoda
usus yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur
cacing atau larva yang berkembang di dalam tanah dengan kondisi yang hangat
dan lembab dan umumnya terjadi pada negara-negara dengan iklim tropis dan
subtropis (CDC, 2013). STHs merupakan cacing yang perkembangannya berada
di luar tubuh manusia atau berada di tanah dan dominan terjadi di daerah-daerah
terpencil dengan kebersihan dan sanitasi yang kurang memadai di negara-negara
berkembang. STHs merupakan kelompok cacing nematoda yang membutuhkan
tanah untuk pematangan telur atau larva yang tidak infektif menjadi telur atau
larva yang infektif (Natadisastra & Agoes, 2009)
Menurut Brooker & Bundy (2009), STHs dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian
menurut cara menginfeksinya:
1. Tipe 1 : Masuk secara langsung Pada tipe ini, telur berembrio masuk
secara langsung ke dalam tubuh manusia. Telur-telur cacing menetas dan
dapat menginfeksi dalam waktu 2-3 jam.
Penularan terjadi secara fekal-oral dan tidak ada perkembangan selama di
dalam tanah, dimana tanah berguna sebagai media penularan telur cacing.
Cacing yang termasuk dalam tipe ini adalah cacing cambuk (Trichuris
trichiura)
2. Tipe 2 : Perlu modifikasi namun masuknya secara langsung Pada tipe 2,
telur dari feses berada dalam bentuk non infektif dan mengalami periode
perkembangannya di dalam tanah untuk menjadi telur berembrio. Telur

3
yang menetas mengeluarkan larva yang akan menembus membran mukosa
lambung, masuk ke sirkulasi darah menuju ke paru-paru. Larva akan
melewati saluran pernapasan atas dan masuk ke oesophagus lalu menuju
usus untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing yang termasuk
dalam tipe ini yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan Toxocara sp.
3. Tipe 3 : Penetrasi melalui kulit Pada tipe ini, telur cacing
mengkontaminasi tanah. Di dalam tanah, telur akan menetas menjadi larva
yang infektif sebelum menembus kulit untuk tumbuh dewasa dan hidup di
dalam usus halus. Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale) dan Strongyloides stercoralis termasuk dalam tipe ini (Brooker
& Bundy, 2009)

2.2.1 Jenis Soil Transmitted Helminths (STHs)


Jenis STHs yang dibahas dalam penelitian ini mencakup 3 jenis cacing utama
yang menginfeksi manusia dan paling sering ditemukan di Indonesia, diantaranya
cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing
tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).

A. Cacing gelang (Ascaris lumbricoides)

Ascaris lumbricoides dan tidak ada hospes perantara. Penyakit yang


disebabkannya disebut askariasis. Parasit ini ditemukan kosmopolit terutama di
daerah tropis. Cacing ini merupakan cacing terbesar di antara golongan nematoda
lainnya, berbentuk silindris dengan ujung anterior lancip dimana anteriornya
memiliki tiga bibir, badan cacing berwarna kuning kecoklatan yang diselubungi
lapisan kutikula bergaris halus (Palgunadi, 2010). Cacing betina panjangnya 20-
35 cm, ujung posterior membulat dan lurus, 1/3 anterior dari tubuh ada cincin
kopulasi. Cacing jantan panjangnya 15-31 cm, ujung posterior lancip melengkung
ke ventral, dilengkapi papil kecil dan 2 spekulum. Telur memiliki 4 bentuk yaitu
telur yang dibuahi, tidak dibuahi, matang dan dekortikasi (Muslim, 2009).
Di tanah dalam kondisi yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi
bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila
tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus yang akan menembus
dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian dialirkan ke
jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding
alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan
broncus. Dari trachea, larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan
batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam oesofagus menuju usus halus untuk
tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih
2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (CDC, 2013). Prevalensi

4
askariasis di Indonesia cukup tinggi, terutama pada anak-anak. Frekuensinya
antara 60-90%. Kebiasaan memakai feses sebagai pupuk dapat mendukung proses
penularan askariasis. Telur cacing ini banyak ditemukan pada 11 tanah liat dengan
suhu yang berkisar antara 25°-30°C (Onggowaluyo, 2006a). Telur matang (bentuk
infektif) dapat bertahan lama di tanah dan media tanah merupakan cara penularan
yang paling efektif. Gejala klinis askariasis diklasifikasikan menjadi gejala akut
yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut
dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing
dewasa. Gejala klinis oleh larva :
1. Ascaris lumbricoides
Biasanya terjadi pada saat di paru (Magdalena & Hadidjaja, 2005). Gejala
klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing dan keadaan gizi
penderita. Umumnya hanya infeksi dengan intensitas yang sedang dan berat pada
saluran pencernaan yang dapat menimbulkan gejala klinis.
2. Ascaris lumbricoides
Cacing dewasa yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus dapat
menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen.

B. Cacing cambuk (Trichuris trichiura)

Manusia merupakan hospes dari cacing ini. Penyakit yang disebabkannya


disebut trikuriasis. Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di daerah
panas dan lembab seperti Indonesia (Muslim, 2009).
Trichuris trichiura
betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Hidup di
kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Telur
cacing berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan
semacam tonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna
kekuning-

12 kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari
hospes bersama feses, kemudian menjadi matang dalam waktu 3 – 6 minggu di
dalam tanah yang lembab. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan
merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang

5
tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan
masuk ke dalam usus halus. Setelah dewasa, cacing turun ke usus bagian distal
dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan
sampai menjadi cacing dewasa dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (CDC, 2013).
Prevalensi trikuriasis di beberapa daerah pedesaan di Indonesia berkisar antara 30-
90% (Entjang, 2003).
Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati keadaan
eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi. Pada trikuriasis, inflamasi pada tempat
perlekatan cacing dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan kolitis. Kolitis
akibat trikuriasis kronis dapat menyebabkan nyeri abdomen kronis, diare, anemia
defisiensi besi (Gandahusada, 2006). Gambar 2. 2 Telur dan Cacing
Trichuris trichiura

C. Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator Americanus)

Hospes parasit ini adalah manusia dan menyebabkan penyakit nekatoriasis


dan ankilostomiasis (Muslim, 2009). Penyebaran cacing ini terjadi pada tempat
dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan
(Onggowaluyo, 2006). Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah
dua spesies cacing tambang. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina
mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa
13 berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.
Dalam daur hidupnya, telur cacing akan keluar bersama feses. Setelah 1-1,5 hari
di dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Kemudian
setelah 3 hari, larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit
dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang besarnya
kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Larva
rabditiform memiliki panjang ±250 mikron, sedangkan larva filariform
panjangnya ±600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke
jantung terus ke paru-paru, kemudian menembus pembuluh darah masuk ke
bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke
dalam usus halus menjadi cacing dewasa (CDC, 2013)
Insiden tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah
pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung
berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%. Untuk menghindari

6
infeksi, antara lain ialah dengan memakai alas kaki berupa sandal atau sepatu
(Onggowaluyo, 2006a; Sofiana, 2010). Ankilostomiasis dan nekatoriasis dapat
menimbulkan gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit
dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di
saluran pencernaan oleh cacing dewasa. Larva filariform (larva stadium tiga) yang
menembus kulit dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus berupa
ground itch yaitu eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus pada
tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva
tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Manusia yang
belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia dan
eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi.

2.3 Nama lain, habitat, distribusi, morfologi, siklus hidup,


pathogenesis dan pencegahan penyakit akibat Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Necator
americanus dan Ancilostoma duodenale)

2.3.1 Ascariasis Lumbricoides

adalah infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides atau biasa


disebut dengan cacing gelang. Cacing gelang adalah parasit yang hidup dan
berkembang biak di dalam usus manusia.

Ascariasis dapat ditemukan di mana saja, tetapi lebih sering terjadi di


wilayah dengan fasilitas kebersihan yang kurang memadai. Menurut data World
Health Organization (WHO), lebih dari 10 persen populasi dunia terinfeksi
cacing, dan paling banyak disebabkan oleh cacing gelang.

Data WHO juga menyebutkan, angka kematian akibat ascariasis berat


diperkirakan mencapai 60 ribu orang tiap tahun. Dari jumlah tersebut, kebanyakan
adalah anak-anak.

Gejala Ascariasis

Ascariasis umumnya tidak menimbulkan gejala apa pun. Akan tetapi, sebagian
orang yang terinfeksi cacing gelang mengalami sejumlah gejala, yang terbagi
dalam dua tahapan, yaitu:

Gejala Tahap Awal

7
Tahap awal adalah fase ketika larva cacing berpindah dari usus ke paru-paru. Fase
ini terjadi 4-16 hari setelah telur cacing masuk ke tubuh. Gejala yang muncul pada
tahap ini, antara lain:

 Demam tinggi
 Batuk kering
 Sesak napas
 Mengi

Gejala Tahap Lanjut

Tahap ini terjadi ketika larva cacing berjalan ke tenggorokan dan kembali tertelan
ke usus, serta berkembang biak. Fase ini berlangsung 6-8 minggu pasca telur
masuk ke dalam tubuh. Pada umumnya gejala tahap ini meliputi sakit perut, diare,
terdapat darah pada tinja, serta mual dan muntah.

Gejala di atas akan semakin memburuk bila jumlah cacing di dalam usus semakin
banyak. Selain merasakan sejumlah gejala tersebut, penderita juga akan
mengalami sakit perut hebat, berat badan turun tanpa sebab, dan terasa seperti ada
benjolan di tenggorokan. Selain itu, cacing dapat keluar dari tubuh melalui
muntah, saat buang air besar, atau melalui lubang hidung.

Penyebab Ascariasis

Ascariasis terjadi bila telur cacing Ascaris lumbricoides masuk ke dalam tubuh.
Telur cacing tersebut dapat ditemukan di tanah yang terkontaminasi oleh tinja
manusia. Oleh karena itu, bahan makanan yang tumbuh di tanah tersebut, dapat
menjadi penyebab ascariasis.

Telur yang masuk ke dalam tubuh akan menetas di usus dan menjadi larva.
Kemudian, larva akan masuk ke paru-paru melalui aliran darah atau aliran getah
bening. Setelah berkembang di paru-paru selama satu minggu, larva akan menuju
ke tenggorokan. Pada tahap ini, penderita akan batuk sehingga larva tersebut
keluar, atau bisa juga larva kembali tertelan dan kembali ke usus.

Larva yang kembali ke usus akan tumbuh menjadi cacing jantan dan betina, serta
berkembang biak. Cacing betina dapat tumbuh sepanjang 40 cm, dengan diameter
6 mm, dan dapat menghasilkan 200.000 telur cacing per hari.

Cacing ascariasis dapat hidup di dalam tubuh hingga 1-2 tahun. Bila tidak diobati,
siklus di atas akan terus berlanjut. Sebagian telur akan keluar melalui feses dan

8
mengkontaminasi tanah. Sedangkan sebagian telur lain akan menetas,
berkembang, dan berpindah ke paru-paru. Seluruh siklus tersebut dapat
berlangsung sekitar 2-3 bulan.

Faktor Risiko Ascariasis

Terdapat sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan parasit ini, di
antaranya:

 Iklim yang hangat. Ascariasis tumbuh di wilayah dengan suhu yang


hangat sepanjang tahun.
 Kondisi lingkungan. Ascariasis banyak berkembang di tempat yang
kebersihannya tidak terjaga, terutama di daerah yang memanfaatkan feses
manusia sebagai pupuk. Selain itu, ascariasis juga umum terjadi pada
wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, padat penduduk, minim
akses kebersihan, dan wilayah dengan populasi anak di bawah usia 5 tahun
yang tinggi.
 Usia. Pasien usia 10 tahun ke bawah lebih rentan terserang ascariasis.

Diagnosis Ascariasis

Untuk mendiagnosis ascariasis, dokter akan melakukan pemeriksaan feses atau


tinja pasien. Pemeriksaan ini akan membantu dokter mengetahui ada atau
tidaknya telur cacing pada tinja pasien. Meski demikian, telur cacing baru dapat
terlihat pada tinja 40 hari setelah infeksi. Pada penderita yang hanya terinfeksi
cacing jantan, telur cacing tidak akan ditemukan pada feses.

Dokter juga dapat menjalankan tes darah untuk melihat apakah ada kenaikan
kadar eosinophil, salah satu jenis sel darah putih. Akan tetapi, tes darah tidak bisa
memastikan infeksi ascariasis, karena kenaikan kadar eosinophil juga dapat
disebabkan oleh kondisi medis lain.

Selain dua tes di atas, dokter juga dapat menjalankan tes pencitraan seperti:

 Foto Rontgen. Melalui pemeriksaan foto Rontgen, dokter dapat


mengetahui apakah ada cacing di usus. Rontgen juga dapat dilakukan guna
melihat kemungkinan adanya larva di paru-paru.
 USG. USG dapat menunjukkan pada dokter bila ada cacing di pankreas
atau hati.
 CT scan atau MRI. Dua metode pemeriksaan ini berguna untuk melihat
apakah cacing menyumbat saluran hati atau pankreas.

9
Pengobatan Ascariasis

Pada sebagian kasus, ascariasis dapat sembuh dengan sendirinya. Meskipun


demikian, disarankan Anda segera ke dokter bila mengalami gejala ascariasis.
Dokter akan meresepkan obat cacing, seperti:

 Mebendazole. Mebendazole diresepkan pada pasien usia 1 tahun ke atas,


dengan dosis 2 kali sehari untuk 3 hari. Sejumlah efek samping yang dapat
muncul akibat penggunaan obat ini meliputi diare, ruam kulit, dan sering
buang angin.
 Piperazine. Piperazine diresepkan pada bayi usia 3-11 bulan, dengan 1
dosis tunggal. Efek samping obat ini antara lain sakit perut, diare, mual,
muntah, dan kolik.
 Albendazole. Obat ini dianjurkan untuk dikonsumsi 2 kali sehari. Sakit
perut, mual, muntah, pusing, serta ruam kulit adalah beberapa efek
samping yang dapat dialami setelah meminum albendazole.

Pada ascariasis berat, jumlah cacing di usus sampai menyebabkan usus dan
saluran empedu tersumbat. Dalam kondisi tersebut, dokter akan menjalankan
operasi, untuk membuang cacing dari dalam usus, dan memperbaiki kerusakan
usus pasien.

Pencegahan Ascariasis

Infeksi ascariasis dapat dicegah dengan menjaga kebersihan. Sejumlah cara


sederhana untuk mencegah ascariasis adalah:

 Selalu mencuci tangan dengan air bersih dan sabun tiap sebelum makan,
sebelum memasak dan menyediakan makanan, setelah buang air besar,
dan setelah menyentuh tanah.
 Cuci buah dan sayuran hingga bersih sebelum dikonsumsi.
 Pastikan masakan benar-benar matang sebelum dikonsumsi.
 Usahakan hanya minum air dalam kemasan yang masih disegel ketika
bepergian. Jika tidak tersedia, masaklah air hingga mendidih sebelum
meminumnya.

2.3.2 Trichuris trichiura (Cacing cambuk)

10
Cacing cambuk (nama latin: Trichuris trichiura) adalah cacing yang hidup di
dalam tubuh manusia, tepatnya di dalam usus besar.[1] Cacing ini dinamakan
cacing cambuk karena bentuknya mirip seperti cambuk, di mana bagian kepalanya
bertekstur halus dan bagian ekornya menebal.[2] Cacing yang telah dewasa
memiliki panjang sekitar 4–5 cm. Cacing cambuk betina memiliki panjang sekitar
5 cm dengan ciri-ciri ekor membulat tumpul dan jantan memiliki panjang 4 cm
dengan ciri-ciri ekor melingkar.[3] Cacing ini termasuk yang memiliki
perkembangbiakan yang cepat karena cacing betina dapat menghasilkan telur
sebanyak 3.000-10.000 butir telur setiap harinya.[1]

Telur yang dihasilkan tersebut keluar bersama tinja[4] dan apabila mendapat
tempat yang lembab dan daerah yang teduh telur-telur tersebut akan matang di
dalam tanah selama 3-6 minggu, kemudian berkembang menjadi larva.[3] Setiap
larva akan tumbuh sepanjang 12,5 cm ketika berada di dalam usus manusia.[5]
Telur-telur cacing ini hanya dapat dilihat oleh bantuan mikroskop, bentuknya
seperti tempayan dengan ukuran 50 x 32 mikron, kulit bagian dalam telur
berwarna putih jernih sedangkan di bagian luar telur berwarna kuning.[3]

Cacing cambuk dapat bersarang di dalam tubuh manusia. Biasanya cacing ini
menyerang anak-anak atau balita karena anak-anak itu senang bermain di atas
tanah dan lupa mencuci tangan ketika makan, sehingga telur cacing tersebut
termakan oleh mereka.[6] Dan juga didasari oleh pola hidup dimasyarakat yang
kurang menjaga kebersihan[1] Telur yang telah menjadi larva akan tertelan oleh
manusia kemudian menetas dan keluar dari di dalam usus halus, lalu akan menuju
ke usus besar. Di dalam usus besar itulah, cacing ini menyebar dan berkembang
menjadi cacing dewasa.[2] Cacing ini dapat menghisap darah dengan memasukkan
kepalanya melalui dinding usus sehingga menyebabkan anemia pada orang yang
bersangkutan.[4] Masa pertumbuhan cacing cambuk hingga dewasa adalah sekitar
30-90 hari dan cacing ini dapat bertahan hidup selama beberapa tahun.[3]

2.3.3 Infeksi Cacing Tambang

11
Infeksi cacing tambang adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing
tambang di dalam usus kecil. Ada dua jenis cacing tambang yang sering
menyerang manusia, yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.

Kasus infeksi cacing tambang banyak ditemukan di negara-negara berkembang


yang beriklim lembab dan memiliki sistem sanitasi yang buruk. Beberapa negara
itu kebanyakan berada di wilayah di Afrika dan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia.

Gejala Infeksi Cacing Tambang

Infeksi cacing tambang ditandai dengan kemunculan beberapa gejala berikut ini:

 Alergi berupa rasa gatal dan ruam.


 Sakit perut, mual, dan kram usus.
 Demam dan kehilangan nafsu makan.
 Diare dan terdapat darah bercampur dengan feses.
 Batuk-batuk dan pernapasan terganggu.
 Berat badan menurun.

Komplikasi Infeksi Cacing Tambang

Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, infeksi cacing tambang bisa memicu
masalah kesehatan lainnya, seperti:

 Anemia.
 Malanutrisi.
 Kelahiran prematur.
 Bayi kekurangan berat badan.
 Pertumbuhan anak terhambat.

Penyebab Infeksi Cacing Tambang

Telur cacing tambang hidup di tanah yang terkontaminasi feses. Dalam 1-2 hari,
telur itu akan menetas dan melepaskan larva. Larva akan tumbuh menjadi
filariform dalam waktu 5-10 hari, dan bisa menempel di kulit manusia.

Seseorang bisa terinfeksi cacing tambang jika kulit mereka bersentuhan langsung
dengan tanah yang menjadi tempat hidup larva cacing tambang. Misalnya saat
seseorang berjalan tanpa alas kaki atau ketika anak-anak bermain tanah.

12
Larva cacing tambang juga bisa masuk ke dalam perut jika seseorang
mengonsumsi makanan mentah atau sayur-sayuran yang terkontaminasi telur-telur
cacing tambang. Apalagi jika makanan dan sayur itu tidak dicuci bersih sebelum
dikonsumsi.

Setelah masuk ke dalam tubuh, larva cacing tambang akan terbawa aliran darah ke
dalam tenggorokan, jantung, paru-paru, lalu tumbuh dan berkembang di dalam
usus kecil. Mereka menempel di dinding usus dan mulai mengganggu kesehatan
manusia.

Cacing tambang akan bertelur dan berkembang biak di dalam usus kecil sebelum
keluar dari tubuh manusia melalui feses. Telur-telur itu akan kembali menetas di
tanah yang terkontaminasi dan siklus hidup cacing tambang terus berputar.

Pengobatan Infeksi Cacing Tambang

Untuk mendiagnosis infeksi cacing tambang, dokter akan mengambil sampel feses
pasien dan memeriksanya di laboratorium. Dari pemeriksaan itu, dokter akan
mencari kemungkinan adanya telur-telur cacing tambang. Tingkat keparahan
infeksi bisa dilihat dari berapa banyak jumlah telur-telur tersebut.

Infeksi cacing tambang umumnya dapat diatasi dengan obat-obatan anthelmintik


(anticacing), misalnya albendazole dan mebendazole, Dokter biasanya akan
meresepkan obat-obatan ini untuk dikonsumsi selama 1-3 hari. Kedua obat ini
bekerja dengan cara mencegah penyerapan glukosa oleh cacing, sehingga cacing
kehabisan energi dan pada akhirnya mati.

Albendazole dan mebendazole bisa menimbulkan efek samping berupa mual dan
muntah, sakit perut, sakit kepala, atau rambut rontok secara sementara. Namun,
jika efek samping terjadi secara berkepanjangan atau sampai mengganggu
aktivitas sehari-hari, penderita dianjurkan untuk menemui dokter kembali guna
mendapatkan solusi penanganan yang tepat.

Pada pasien yang mengalami kekurangan sel darah merah atau anemia, dokter
akan memberikan suplemen zat besi. Selain itu, asam folat juga bisa digunakan
untuk membantu pembentukan sel darah merah.

Pencegahan Infeksi Cacing Tambang

Infeksi cacing tambang bisa dicegah dengan tidak menyentuh tanah secara
langsung, dan menggunakan alas kaki jika berkunjung ke daerah endemik cacing

13
tambang. Selain itu, membersihan makanan dan sayuran yang akan dikonsumsi
juga bisa membantu menghindari infeksi parasit ini.

Mencuci tangan sebelum makan dan mengonsumsi air siap minum yang bersih
atau matang juga diperlukan untuk mencegah penyebaran cacing tambang.

2.4 Nama lain, habitat, distribusi, morfologi, siklus hidup,


pathogenesis dan pencegahan penyakit akibat Enterobius
vermicularis
Pengertian Enterobiasis

Penyakit enterobiasis merupakan salah satu jenis penyakit cacingan. Penyakit ini
terjadi akibat infeksi cacing kremi. Pada umumnya penyakit ini lazim ditemukan
pada anak-anak.

Infeksi dapat terjadi karena tertelannya telur cacing kremi yang sudah dibuahi.
Biasanya proses tersebut berlangsung melalui jari-jari yang kotor, makanan yang
terkontaminasi, atau inhalasi udara yang terdapat telur cacing kremi.

Diagnosis Enterobiasis

Diagnosis penyakit enterobiasis dilakukan dengan mengumpulkan informasi lewat


serangkaian wawancara medis. Pada pemeriksaan ini dokter akan menanyakan
gejala-gejala yang dialami penderita cacingan.

Selain itu juga dilakukan pemeriksaan penunjang. Proses pemeriksaan dilakukan


dengan melakukan pengecekan terhadap sisa-sisa buang air besar (BAB) atau
feses di laboratorium. Hasil positif enterobiasis ditentukan jika pada pemeriksaan
tersebut ditemukan telur cacing atau cacing.

Gejala Enterobiasis

Anak-anak yang menderita penyakit enterobiasis akan mengalami gejala-gejala


tertentu. Misalnya gatal di sekitar anus pada pagi hari, kurang nafsu makan, dan
berat badan menurun atau sulit naik.

Jika dibiarkan, penyakit ini akan berujung pada komplikasi yakni, gangguan
penyerapan makanan dan malnutrisi. Komplikasi mungkin terjadi jika penyakit
cacingan tidak diobati secara tuntas.

14
Pengobatan Enterobiasis

Pengobatan untuk eneterobiasis dilakukan dengan pemberian obat cacing. Jika


salah satu anggota keluarga terkena cacingan, sebaiknya pengobatan diberikan
kepada seluruh keluarga, agar penyebaran cacing ini dapat dihentikan secara
menyeluruh.

Pencegahan
Pencegahan cacingan dilakukan dengan menjaga kebersihan pribadi, atau orang
tua dapat menjaga kebersihan anaknya dengan melakukan tindakan berikut:

 Memotong kuku yang sudah panjang dan kotor


 Selalu mencuci tangan sebelum makan
 Menjauhkan makanan dari debu
 Mencuci bersih dan rutin mengganti pakaian serta alas kasur

Penyebab Enterobiasis

Penyebab cacingan adalah infeksi melalui cacing jenis enterobius vermicularis.


Cara infeksi terjadi akibat tertelannya telur cacing secara tidak sengaja. Setelah
telur cacing tertelan, larvanya akan menetas dan tumbuh menjadi cacing dewasa
di usus besar.

Saat terkontaminasi cacing betina, cacing yang hamil akan berpindah ke daerah
sekitar anus untuk mengeluarkan telur-telurnya. Selain itu, telur yang telah
menetas di sekitar anus dapat berjalan kembali ke usus besar melalui anus.

Sering kali proses ini membuat penderitanya mengalami sensasi gatal di sekitar
anus. Rasa gatal tersebut sering terjadi pada waktu malam hari sehingga kerap
mengganggu tidur penderitanya dan membuat mereka menjadi lemah.

Anak-anak lebih rentan terkena penyakit enterobiasis karena sering bermain di


tempat yang penuh kotoran atau debu. Padahal, hal-hal tersebut bisa jadi sarang
kontaminasi telur cacing tersebut. Bagi telur cacing yang terdapat di debu akan
sangat mudah diterbangkan angin sehingga tertelan mulut.

Orang dewasa pun bisa terkena melalui cara yang sama atau karena tertular
seseorang yang menderita penyakit enterobiasis. Penularan akan lebih mudah
terjadi pada satu keluarga atau lingkungan seperti asrama.

Proses penularan cacingan dapat terjadi melalui:

15
 Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah sekitar pantat
atau anus.
 Penularan dari tangan seseorang yang telah terkontaminasi telur cacing.

2.5 Nama lain, habitat, distribusi, morfologi, siklus hidup,


pathogenesis dan pencegahan penyakit akibat Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, Brugria timori dan loa-loa

2.5.1 Wuchereria bancrofti

Wuchereria bancrofti atau disebut juga cacing filaria adalah kelas dari anggota
hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Nemathelminthes.[1]

Daur hidup

Cacing ini hidup pada pembuluh limfa di kaki. Jika terlalu banyak jumlahnya,
dapat menyumbat aliran limfa sehingga kaki menjadi membengkak. Pada saat
dewasa, cacing ini menghasilkan telur kemudian akan menetas menjadi anak
cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria. Selanjutnya, mikrofilaria
beredar di dalam darah. Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah kecil di
bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk yang menggigit, maka larva tersebut
dapat menembus dinding usus nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk,
kemudian setelah mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat penusuk.
Jika nyamuk itu menggigit orang, maka orang itu akan tertular penyakit ini,
demikian seterusnya.[2]

16
Penyakit kaki gajah masih ada di Indonesia, terutama di daerah Papua, Nusa
Tenggara Timur, Jawa Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut data
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, tercatat hampir 13.000 kasus kaki
gajah di Indonesia.

Selain tungkai, bagian tubuh lain, seperti organ kelamin, lengan, dan dada, juga
dapat mengalami pembengkakan. Sebelum timbul pembengkakan, penyakit kaki
gajah tidak menimbulkan gejala yang spesifik, sehingga pengobatannya sering
kali terlambat.

Oleh karena itu, pencegahan kaki gajah sangat penting. Pencegahannya dapat
dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk dan mengikuti program pemberian
obat pencegahan massal (POPM) yang dilakukan oleh pemerintah.

Penyebab dan Penularan Kaki Gajah

Penyakit kaki gajah atau filariasis disebabkan oleh infeksi cacing jenis filaria pada
pembuluh getah bening. Cacing ini dapat menular dari satu orang ke orang lain
melalui gigitan nyamuk.

Walaupun menyerang pembuluh getah bening, cacing filaria juga beredar di


pembuluh darah penderita kaki gajah. Jika penderita kaki gajah digigit oleh
nyamuk, cacing filaria dapat terbawa bersama darah dan masuk ke dalam tubuh
nyamuk.

Lalu bila nyamuk ini menggigit orang lain, cacing filaria di tubuh nyamuk akan
masuk ke dalam pembuluh darah dan pembuluh getah bening orang tersebut.
Cacing filaria kemudian akan berkembang biak di pembuluh getah bening dan
menyumbat peredaran getah bening, hingga menyebabkan kaki gajah.

Beberapa jenis cacing filaria yang menyebabkan filariasis atau kaki gajah adalah
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timor. Sedangkan jenis nyamuk
penyebar cacing filaria adalah nyamuk jenis Culex, Aedes, Anopheles, dan
Mansonia.

Melihat cara penularannya, seseorang akan lebih berisiko terkena penyakit kaki
gajah jika:

 Tinggal di lingkungan endemik kaki gajah.


 Tinggal di lingkungan yang tingkat kebersihannya buruk.
 Sering digigit nyamuk atau tinggal di lingkungan yang banyak nyamuk.

17
Gejala Kaki Gajah

Sesuai namanya, gejala utama kaki gajah adalah pembengkakan pada tungkai.
Selain di tungkai, pembengkakan juga bisa terjadi di bagian tubuh lainnya, seperti
lengan, kelamin, dan dada.

Kulit pada tungkai yang bengkak akan menebal, kering, menjadi lebih gelap,
pecah-pecah, dan terkadang muncul luka. Sayangnya, tungkai yang sudah
mengalami pembengkakan dan perubahan kulit tidak dapat kembali seperti
semula. Pada kondisi ini, kaki gajah sudah memasuki fase kronik.

Pada awal penyakit, penderita kaki gajah biasanya tidak mengalami gejala apa
pun. Hal ini menyebabkan penderita tidak sadar telah tertular penyakit kaki gajah
(filariasis), sehingga terlambat melakukan penanganan. Peradangan pembuluh
atau kelenjar getah bening juga dapat muncul di fase awal, berupa pembengkakan
setempat pada pembuluh dan kelenjar getah bening.

Kapan harus ke dokter ?

Bila Anda berencana berpergian ke daerah yang terdapat kasus kaki gajah,
berkonsultasilah terlebih dahulu dengan dokter. Tanyakan kepada dokter adakah
cara untuk mencegahnya. Anda juga perlu berkonsultasi dengan dokter bila di
lingkungan tempat tinggal Anda ada yang menderita penyakit kaki gajah.

Temui dokter bila timbul pembengkakan pada saluran dan kelenjar getah bening,
terutama bila Anda tinggal di tempat yang banyak terdapat kasus kaki gajah atau
sehabis berpergian ke daerah yang terdapat kasus kaki gajah. Apalagi bila
pembengkakan kelenjar getah bening tersebut terjadi berulang.

Diagnosis Kaki Gajah

Dokter akan bertanya kepada penderita mengenai gejala yang dirasakan dan sejak
kapan gejala muncul. Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk
memeriksa gejala tersebut.

Jika menduga pasien menderita kaki gajah, dokter akan menganjurkan tes darah.
Sampel darah akan diperiksa guna mengetahui apakah terdapat cacing filaria atau
tidak. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mikroskop atau melalui tes kimia khusus
menggunakan antigen.

18
Jika diperlukan, penderita juga dapat menjalani pemeriksaan penunjang lainnya
untuk melihat dampak dari penyakit kaki gajah yang dideritanya. Pemeriksaan
yang dilakukan antara lain tes pemindaian dengan USG atau foto Rontgen dan tes
urine.

Pengobatan Kaki Gajah

Pengobatan yang dapat dijalani oleh pasien filariasis bertujuan untuk mencegah
infeksi bertambah buruk dan menghindari komplikasi filariasis. Untuk
mengurangi jumlah parasit dalam tubuh, pasien dapat mengonsumsi obat cacing,
seperti ivermectin, albendazole, atau diethylcarbamazine.

Bila filarisis sudah menimbulkan pembengkakan tungkai dan kaki, ukurannya


tidak dapat kembali seperti semula. Namun ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menjaga kebersihan kaki yang bengkak, antara lain:

 Istirahatkan tungkai dan selalu jaga posisi tungkai lebih tinggi, saat duduk
atau berbaring.
 Gunakan stocking kompres, sesuai anjuran dokter.
 Bersihkan bagian tungkai yang bengkak dengan air dan sabun setiap hari.
 Jika mengalami luka, segera bersihkan luka dengan antiseptik.
 Gerakkan tungkai melalui olahraga ringan untuk menjaga kelancaran
aliran getah bening di bagian yang bengkak.

Jika pembengkakan pada tungkai sudah sangat parah, atau jika terdapat
pembengkakan skrotum (hidrokel), pasien dapat menjalani operasi untuk
mengecilkan pembengkakan tersebut. Operasi yang dilakukan akan mengangkat
sebagian kelenjar dan pembuluh limfa yang mengalami infeksi.

Kaki yang sudah mengalami pembengkakan akibat filariasis tidak dapat kembali
normal. Oleh karena itu, langkah-langkah pencegahan filariasis sangat penting
untuk dijalankan, terutama bagi orang yang berisiko terkena penyakit ini.

Komplikasi Kaki Gajah

Komplikasi utama yang dapat muncul akibat kaki gajah adalah pembengkakan
parah pada bagian tubuh yang terinfeksi. Pembengkakan ini dapat menimbulkan
rasa nyeri dan menyebabkan kecacatan. Namun, rasa nyeri dan tidak nyaman yang
timbul dapat diredakan melalui langkah-langkah pengobatan kaki gajah.

19
Kaki yang bengkak juga dapat mengalami infeksi bakteri sekunder, karena kulit
kaki gajah sering mengalami luka.

Pencegahan Kaki Gajah

Langkah utama untuk mencegah kaki gajah adalah dengan menghindari gigitan
nyamuk. Hal ini sangat penting dilakukan, terutama di daerah endemik kaki gajah.
Untuk memaksimalkan perlindungan terhadap gigitan nyamuk, Anda dapat
melakukan langkah-langkah sederhana berikut ini:

 Mengenakan baju dan celana panjang


 Mengoleskan losion antinyamuk
 Tidur dalam kelambu
 Membersihkan genangan air di sekitar rumah

Penyebaran kaki gajah juga dapat dihentikan dengan cara mengikuti program
pemerintah untuk memberantas kaki gajah, yaitu pemberian obat pencegahan
massal (POPM).

Program ini dilakukan di daerah yang masih memiliki kasus kaki gajah, seperti
provinsi Papua, Papua Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nanggroe Aceh
Darussalam, dan Sulawesi Tenggara.

2.5.2 Brugia malayi

Community-created content on this topic is also available

 Automatic translation
 Contribute

Brugia malayi adalah nematoda ( cacing gelang ), salah satu dari tiga agen
penyebab filariasis limfatik pada manusia. Filariasis limfatik, juga dikenal sebagai
elephantiasis , adalah suatu kondisi yang ditandai dengan pembengkakan pada
tungkai bawah. Dua penyebab filariasis filariasis limfatik lainnya adalah
Wuchereria bancrofti dan Brugia timori , yang keduanya berbeda dari B. malayi
secara morfologis, simtomatik, dan secara geografis.

20
Siklus hidup Brugia malayi .

Keistimewaan

B. malayi ditularkan oleh nyamuk Mansonia dan terbatas ke Asia Selatan dan
Tenggara. Ini adalah salah satu penyakit tropis yang ditargetkan untuk
dihilangkan pada tahun 2020 oleh Organisasi Kesehatan Dunia , yang telah
memacu pengembangan vaksin dan obat, serta metode baru pengendalian vektor.

Tanda dan gejala

B. malayi adalah salah satu agen penyebab filariasis limfatik , suatu kondisi yang
ditandai oleh infeksi dan pembengkakan sistem limfatik. Penyakit ini terutama
disebabkan oleh adanya cacing di pembuluh limfatik dan respon radang yang
dihasilkan dari inang. Tanda-tanda infeksi biasanya konsisten dengan yang terlihat
pada Bancroftian filariasis — demam, limfadenitis , limfangitis , limfedema , dan
infeksi bakteri sekunder — dengan beberapa pengecualian.

 Limfadenitis

Limfadenitis , pembengkakan kelenjar getah bening, adalah gejala umum


dari banyak penyakit. Ini adalah manifestasi awal dari filariasis, biasanya
terjadi di daerah inguinal selama infeksi B. malayi dan dapat terjadi
sebelum cacing matang.

21
 Limfangitis

Limfangitis adalah peradangan pembuluh limfatik sebagai respons


terhadap infeksi. Ini terjadi pada awal perjalanan infeksi sebagai respons
terhadap perkembangan cacing, ganti kulit, kematian, atau infeksi bakteri
dan jamur. Pembuluh limfatik yang terkena menjadi buncit dan lunak, dan
kulit di atasnya menjadi eritematosa dan panas. Pembentukan abses dan
ulserasi kelenjar getah bening yang terkena kadang-kadang terjadi selama
infeksi B. malayi , lebih sering daripada pada Bancroftian filariasis. Sisa-
sisa cacing dewasa kadang-kadang dapat ditemukan di drainase ulkus.

 Limfedema

Tanda infeksi yang paling jelas, elephantiasis, adalah pembesaran tungkai


- biasanya kaki. Komplikasi infeksi yang terlambat, kaki gajah adalah
bentuk limfedema dan disebabkan oleh peradangan berulang pada
pembuluh limfatik. Reaksi inflamasi yang berulang menyebabkan
pelebaran pembuluh dan penebalan pembuluh limfatik yang terkena, yang
dapat mengganggu fungsi. Sistem limfatik biasanya berfungsi untuk
menjaga keseimbangan cairan antara jaringan dan darah dan berfungsi
sebagai bagian integral dari sistem kekebalan tubuh. Penyumbatan
pembuluh darah ini karena fibrosis yang diinduksi inflamasi, cacing mati,
atau reaksi granulomatosa dapat mengganggu keseimbangan cairan
normal, sehingga menyebabkan pembengkakan di ekstremitas.
Elephantiasis akibat infeksi B. malayi biasanya memengaruhi bagian distal
ekstremitas. Tidak seperti Bancroftian filariasis, B. malayi jarang
mempengaruhi genitalia dan tidak menyebabkan funiculitis, orkitis,
epididimitis, hidrokel, atau chyluria, kondisi yang lebih sering diamati
dengan infeksi Bancroftian.

 Infeksi bakteri sekunder

Infeksi bakteri sekunder adalah umum di antara pasien dengan filariasis.


Fungsi kekebalan tubuh yang terganggu akibat kerusakan limfatik selain
ulserasi kelenjar getah bening dan paparan abses serta gangguan sirkulasi
karena elefantiasis dapat menyebabkan infeksi bakteri atau jamur
sekunder. Elephantiasis, di samping beban fisik anggota badan yang
bengkak, dapat menjadi kondisi yang sangat parah karena infeksi bakteri.
Bagian dari "Strategi untuk Menghilangkan Limfatik Filariasis" WHO
menargetkan program promosi kebersihan untuk mengurangi penderitaan
individu yang terkena dampak (lihat Strategi Pencegahan).

22
Namun, manifestasi klinis infeksi bervariasi dan tergantung pada
beberapa faktor, termasuk sistem imun inang, dosis infeksi, dan perbedaan
strain parasit. Sebagian besar infeksi muncul tanpa gejala, namun
bervariasi dari satu individu ke individu lainnya. Individu yang tinggal di
daerah endemik dengan mikrofilaremia mungkin tidak pernah hadir
dengan gejala yang jelas, sedangkan dalam kasus lain, hanya beberapa
cacing yang dapat memperburuk respons peradangan yang parah.

Namun, perkembangan penyakit pada manusia tidak dipahami dengan


baik. Orang dewasa biasanya mengalami gejala yang lebih buruk,
mengingat waktu pajanan yang lama diperlukan untuk infeksi. Infeksi
dapat terjadi selama masa kanak-kanak, tetapi penyakit tampaknya
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk terwujud. Masa inkubasi untuk
infeksi berkisar dari 1 bulan hingga 2 tahun dan biasanya mikrofilaria
muncul sebelum gejala nyata. Limfedema dapat berkembang dalam waktu
enam bulan dan perkembangan elephantiasis telah dilaporkan dalam waktu
satu tahun infeksi di antara para pengungsi, yang lebih naif secara
imunologis. Pria cenderung mengembangkan gejala yang lebih buruk
daripada wanita.

Penyebab Brugia malayi

Siklus Hidup

Pengembangan dan replikasi B. malayi terjadi dalam dua fase terpisah: pada
vektor nyamuk dan pada manusia. Kedua tahap ini penting untuk siklus hidup
parasit.

 Nyamuk: Nyamuk berfungsi sebagai vektor biologis dan inang perantara -


diperlukan untuk siklus perkembangan dan penularan B. malayi .
4. Nyamuk memakan darah manusia dan menelan mikrofilaria (telur
seperti selubung cacing) yang bersirkulasi dalam aliran darah manusia.
5-7 Pada nyamuk, mikrofilaria melepaskan selubung, menembus midgut,
dan bermigrasi ke otot-otot dada ketika ukuran mikrofilaria meningkat,
berganti kulit, dan berkembang menjadi larva infektif (L1 dan L3) selama
rentang 7-21 hari. Tidak ada multiplikasi atau reproduksi mikrofilaria
secara seksual pada nyamuk.
8-1 Larva infektif (L3) bermigrasi ke kelenjar ludah, memasuki belalai dan
melarikan diri ke kulit manusia ketika nyamuk mengambil makanan darah
lainnya.

23
 Manusia: B. malayi mengalami perkembangan lebih lanjut pada manusia
serta reproduksi seksual dan produksi telur.
1-2 Larva infektif (L3) secara aktif menembus kulit melalui lubang gigitan
dan berkembang menjadi orang dewasa dalam sistem limfatik selama
rentang 6 bulan. Cacing dewasa dapat bertahan hidup dalam sistem
limfatik selama 5-15 tahun
3. Cacing jantan dan betina dewasa betina dan betina menghasilkan rata-
rata 10.000 telur berselubung (mikrofilaria) setiap hari Mikrofilaria
memasuki aliran darah dan menunjukkan periodisitas dan sub periodisitas
malam hari.
4. Nyamuk lain memakan darah dan mencerna mikrofilaria. Infeksi
tergantung pada nyamuk yang mengambil makanan darah selama episode
periodik - ketika mikrofilaria hadir dalam aliran darah.

Morfologi

 Dewasa

Cacing dewasa menyerupai cacing gelang nematoda yang khas. Panjang dan mirip
benang, B. malayi dan nematoda lainnya hanya memiliki otot memanjang dan
bergerak dalam gerakan bentuk-S. Orang dewasa biasanya lebih kecil daripada
orang dewasa W. bancrofti , meskipun beberapa orang dewasa telah diisolasi.
Cacing betina dewasa (50 mm) lebih besar dari cacing jantan (25 mm).

 Mikrofilaria

B. malayi mikrofilaria memiliki panjang 200-275 μm dan memiliki ujung anterior


bulat dan ujung posterior runcing. Mikrofilaria terselubung, yang sangat ternoda
dengan Giemsa. Sarung sebenarnya adalah kulit telur, lapisan tipis yang
mengelilingi kulit telur saat mikrofilaria bersirkulasi dalam aliran darah.
Mikrofilaria mempertahankan sarungnya sampai dicerna di midgut nyamuk.

B. malayi mikrofilaria menyerupai W. bancrofti dan Loa loa mikrofilaria dengan


perbedaan kecil yang dapat membantu dalam diagnosis laboratorium. B. malayi
mikrofilaria dapat dibedakan dengan deretan nukleus yang tidak kontinu yang
ditemukan di ujung ekor. Ada dua inti terminal yang secara jelas terpisah dari inti
lainnya di ekor, sedangkan ekor W. bancrofti tidak mengandung inti dan inti Loa
loa microfilariae membentuk barisan kontinu di ekor. B. malayi mikrofilaria juga
memiliki rasio ruang cephalic karakteristik 2: 1.

24
 Sebar

B. malayi ditularkan oleh vektor nyamuk. Vektor nyamuk utama termasuk


Mansonia , Anopheles , dan nyamuk Aedes . Distribusi geografis penyakit ini
tergantung pada habitat perkembangbiakan nyamuk yang sesuai.

 Bentuk periodik nokturnal ditularkan oleh Mansonia dan beberapa


nyamuk anopheline di rawa-rawa terbuka dan daerah penanaman padi.
Nyamuk ini cenderung menggigit pada malam hari dan tampaknya hanya
menginfeksi manusia. Infeksi hewan alami jarang terjadi dan hewan
percobaan tidak mengalami infeksi.
 Bentuk sub-periodik nokturnal ditransmisikan oleh Mansonia di rawa-
rawa hutan, di mana nyamuk menggigit di tempat teduh setiap saat. Infeksi
zoonosis alami sering terjadi. Kucing, anjing, monyet, kukang, kucing
luwak, dan hamster semuanya telah berhasil diinfeksi secara eksperimental
dengan B. malayi dari manusia dan dapat berfungsi sebagai reservoir
penting.

Akumulasi banyak gigitan nyamuk infektif - beberapa ratus hingga ribuan -


diperlukan untuk membuat infeksi. Ini karena nyamuk yang kompeten biasanya
mentransmisikan hanya beberapa larva L3 infektif (lihat Siklus hidup ), dan
kurang dari 10% dari larva tersebut berkembang melalui semua langkah
pergantian bulu yang diperlukan dan berkembang menjadi cacing dewasa yang
dapat kawin. Dengan demikian, mereka yang paling berisiko terkena infeksi
adalah orang-orang yang tinggal di daerah endemis — wisatawan jangka pendek
tidak mungkin mengembangkan filariasis limfatik.

 Diagnosis

Kelenjar getah bening inguinalis yang lunak atau membesar atau bengkak di
ekstremitas dapat membuat dokter atau petugas kesehatan masyarakat terinfeksi.

Dengan peralatan laboratorium yang tepat, pemeriksaan mikroskopis fitur


mikrofilaria diferensial morfologi dalam film darah bernoda dapat membantu
diagnosis-khususnya pemeriksaan bagian ekor, adanya selubung, dan ukuran
ruang cephalic. [2] Pewarnaan Giemsa secara unik akan menodai B. malayi sheath
pink. [9] Namun, menemukan mikrofilaria pada film darah bisa sulit karena
periodisitas malam hari dari beberapa bentuk B. malayi .

Tes berbasis PCR sangat sensitif dan dapat digunakan untuk memantau infeksi
pada manusia dan vektor nyamuk. Namun, tes PCR memakan waktu, padat karya

25
dan membutuhkan peralatan laboratorium. Filariasis limfatik terutama menyerang
orang miskin, yang tinggal di daerah tanpa sumber daya tersebut. [14]

Tes kartu antigen TIK banyak digunakan dalam diagnosis W. bancrofti , tetapi
antigen komersial B. malayi belum tersedia secara luas. Namun, perkembangan
penelitian baru telah mengidentifikasi antigen rekombinan (BmR1) yang spesifik
dan sensitif dalam pendeteksian antibodi IgG4 terhadap B. malayi dan B. timori
dalam uji immunosorbent terkait-enzim dan uji dipstick cepat imunokromatografi
(Brugia Rapid). . Namun, tampaknya imunoreaktivitas terhadap antigen ini
bervariasi pada individu yang terinfeksi nematoda filaria lainnya. [15] Penelitian ini
telah mengarah pada pengembangan dua tes kaset IgG4 imunokromatografi cepat
baru - WB cepat dan panLF cepat - yang mendeteksi filariasis Bancroftian dan
ketiga spesies filariasis limfatik, masing-masing, dengan sensitivitas dan
selektivitas tinggi. [14]

Pencegahan

 Vaksin

Saat ini tidak ada vaksin berlisensi untuk mencegah filariasis limfatik. Namun,
penelitian terbaru telah menghasilkan kandidat vaksin dengan hasil yang baik
pada hewan percobaan. Glutathione-S-transferase, enzim detoksifikasi pada
parasit yang diisolasi dari Setaria cervi , parasit filaria sapi, mengurangi B. parasit
malayi dewasa dengan beban lebih dari 82% selama 90 hari setelah pengobatan.
[16]

 Kontrol vektor

Pengendalian vektor telah efektif dalam menghilangkan filariasis limfatik di


beberapa daerah, tetapi pengendalian vektor yang dikombinasikan dengan
kemoterapi menghasilkan hasil terbaik. Disarankan bahwa 11 hingga 12 tahun
pengendalian vektor yang efektif dapat menghilangkan filariasis limfatik. [17]
Metode pengendalian vektor B. malayi yang berhasil adalah penyemprotan rumah
menggunakan DDT dan kelambu berinsektisida. Larva Mansonia menempelkan
tabung pernapasannya ke akar dan tanaman bawah air agar dapat bertahan hidup.
Sementara larvasida kimia hanya memberikan kontrol parsial, pemindahan
tanaman dapat mencegah perkembangan vektor, tetapi juga potensi efek buruk
pada lingkungan air. Pengendalian vektor filariasis limfatik diabaikan
dibandingkan dengan upaya yang jauh lebih mapan untuk mengendalikan vektor
malaria dan demam berdarah. Metode pengendalian vektor terpadu harus

26
diterapkan di daerah di mana spesies nyamuk yang sama bertanggung jawab
untuk mentransmisikan banyak patogen. [18]

 Manajemen

Aliansi Global untuk Menghilangkan Filariasis Limfatik diluncurkan oleh


Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 2000 dengan dua tujuan utama: 1) untuk
menghentikan penularan dan 2) untuk mengurangi penderitaan individu yang
terkena dampak. Program pengobatan massal adalah strategi utama untuk
menghentikan penularan parasit, dan manajemen morbiditas, yang berfokus pada
kebersihan, meningkatkan kualitas hidup individu yang terinfeksi. [19]

 Obat

Tujuan dari upaya berbasis masyarakat adalah untuk menghilangkan mikrofilaria


dari darah orang yang terinfeksi untuk mencegah penularan ke nyamuk. Ini
terutama dicapai melalui penggunaan obat-obatan. Pengobatan untuk infeksi B.
malayi sama dengan pengobatan untuk Bancroftian filariasis. Diethylcarbamazine
telah digunakan dalam program perawatan massal sebagai obat mikrofilarikidal
yang efektif di beberapa lokasi, termasuk India. [20] Meskipun dietilkarbamazin
cenderung menyebabkan reaksi merugikan seperti demam dan kelemahan
langsung, ia tidak diketahui menyebabkan efek samping obat jangka panjang.
Telah terbukti membunuh cacing dewasa dan mikrofilaria. Di Malaysia, dosis
diethylcarbamazine (6 mg / kg setiap minggu selama 6 minggu; 6 mg / kg setiap
hari selama 9 hari) mengurangi mikrofilaria sebesar 80% selama 18-24 bulan
setelah pengobatan tanpa kontrol nyamuk. [2] Jumlah mikrofilaria perlahan
kembali berbulan-bulan setelah pengobatan, sehingga membutuhkan beberapa
dosis obat dari waktu ke waktu untuk mencapai kontrol jangka panjang. Namun,
tidak diketahui berapa tahun pemberian obat massal diperlukan untuk
menghilangkan penularan. ada kasus yang dikonfirmasi resistensi
diethylcarbamazine pada 2007. [20]

Dosis tunggal dari dua obat (albendazole-diethylcarbamazine dan albendazole-


ivermectin) telah terbukti menghilangkan 99% mikrofilaria selama satu tahun
setelah pengobatan dan membantu meningkatkan kaki gajah selama tahap awal
penyakit. [19] Ivermectin tampaknya tidak membunuh cacing dewasa tetapi
berfungsi sebagai mikrofilarikida yang kurang toksik. [2]

Sejak penemuan pentingnya bakteri Wolbachia dalam siklus hidup B. malayi dan
nematoda lainnya, upaya obat baru telah menargetkan endobacterium. Tetrasiklin,
rifampisin, dan kloramfenikol telah efektif secara in vitro dengan mengganggu

27
penggerusan larva dan perkembangan mikrofilaria. Tetrasiklin telah terbukti
menyebabkan kelainan reproduksi dan embriogenesis pada cacing dewasa,
menghasilkan sterilitas cacing. Percobaan klinis telah menunjukkan keberhasilan
pengurangan Wolbachia dan mikrofilaria pada pasien yang terinfeksi
onchocerciasis dan W. bancrofti . Antibiotik ini, walaupun bertindak melalui rute
yang sedikit lebih tidak langsung, menjanjikan obat antifilaria. [21]

Kebersihan

Infeksi bakteri sekunder sering diamati dengan filariasis limfatik. Praktik


kebersihan yang ketat, termasuk mencuci dengan sabun dan air setiap hari dan
luka disinfektan dapat membantu menyembuhkan permukaan yang terinfeksi, dan
memperlambat dan berpotensi membalikkan kerusakan jaringan yang ada.
Mempromosikan kebersihan sangat penting untuk pasien filariasis limfatik yang
diberikan sistem kekebalan dan kerusakan limfatik yang rusak dan dapat
membantu mencegah penderitaan dan kecacatan. [13] [19]

Epidemiologi

B. malayi menginfeksi 13 juta orang di Asia selatan dan tenggara dan bertanggung
jawab atas hampir 10% dari total kasus filariasis limfatik di dunia. [17] [18] Infeksi
B. malayi adalah endemik atau berpotensi endemik di 16 negara, di mana itu
paling umum di Cina selatan dan India, tetapi juga terjadi di Indonesia, Thailand,
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan. [10] Distribusi B. malayi tumpang
tindih dengan W. bancrofti di wilayah ini, tetapi tidak hidup berdampingan
dengan B. timori . [2] Fokus endemisitas regional sebagian ditentukan oleh vektor
nyamuk (lihat Transmisi).

Sejarah Parasit yang Berbeda

B. malayi ditemukan pada tahun 1927 oleh parasitolog Belanda Steffen Lambert
Brug (1879–1946) (yang umumnya dikenal dalam literatur ilmiah sebagai SL
Brug) ketika bekerja di Indonesia. Itu mirip dengan cacing gelang filaria
Wuchereria bancrofti (kemudian disebut Filaria (Microfilaria) bancrofti ). Tetapi
spesies baru filaria manusia di Sumatera Utara berbeda secara fisiologis dan
morfologis dari mikrofilaria W. bancrofti yang biasa ditemukan di Jakarta.
Berdasarkan kemiripan dan perbedaan mereka, spesies baru itu bernama Filaria
malayi . [22] Meskipun penelitian epidemiologis mengidentifikasi Filaria malayi di
India, Sri Lanka, Cina, Vietnam Utara, dan Malaysia pada 1930-an, hipotesis
Lichtenstein dan Brug tidak diterima sampai tahun 1940-an, ketika Rao dan
Mapelstone mengidentifikasi dua cacing dewasa di India. [23]

28
Berdasarkan kesamaan dengan W. bancrofti , Rao dan Mapelstone mengusulkan
untuk memanggil parasit Wuchereria malayi. [22] Setelah penemuan spesies baru
seperti W. pahangi (sekarang B. pahangi ) pada tahun 1956, dan W. patei
(sekarang B. patei ) pada tahun 1958, klasifikasi ilmiah dinilai kembali pada tahun
1960. Buckley mengusulkan untuk membagi yang lama genus Wuchereria ,
menjadi dua genera, Wuchereria dan memperkenalkan Brugia baru setelah
penemu asli. Kemudian Wuchereria hanya mengandung W. bancrofti , yang
sejauh ini telah ditemukan hanya menginfeksi manusia, dan genus Brugia
mengandung B. malayi , yang menginfeksi manusia dan hewan, serta spesies
zoonosis lainnya. [11]

Strain Berbeda

Pada tahun 1957, dua subspesies yang menginfeksi manusia B. malayi ditemukan
oleh Turner dan Edeson di Malaysia berdasarkan pengamatan berbagai pola
periodisitas mikrofilaria. [22] Periodisitas mengacu pada puncak yang jelas dalam
jumlah mikrofilaria selama interval 24 jam ketika mikrofilaria hadir dan terdeteksi
dalam darah yang bersirkulasi. [11] Basis untuk fenomena ini sebagian besar masih
belum diketahui. [2]

 Periodisitas malam hari: mikrofilaria tidak terdeteksi dalam darah untuk


sebagian besar hari, tetapi kepadatan mikrofilaria memuncak antara tengah
malam dan 02:00 malam.
 Sub periodisitas nokturnal: mikrofilaria hadir dalam darah setiap saat,
tetapi muncul dengan kepadatan terbesar antara siang dan 8 malam. [11]

Penelitian

Pada 2007, para ilmuwan merangkai genom Brugia malayi . [24] Identifikasi gen
organisme ini dapat menyebabkan pengembangan obat dan vaksin baru . [25]

Untuk menguraikan genom, "Whole Genome Shotgun Sequencing" dilakukan.


Genom itu ditemukan berukuran sekitar 90-95 megabase. Hasil dari sekuensing
kemudian dibandingkan dengan nematoda referensi elegans Caenorhabditis ,
bersama dengan prototipe Caenorhabditis briggsae . Dua nematoda yang hidup
bebas ini tergabung dalam penelitian dan penting karena beberapa alasan:

 membandingkan genom menggunakan C. elegans diizinkan untuk


mengidentifikasi keterkaitan serupa dalam gen . Para peneliti menemukan
konservasi genom dengan tidak adanya konservasi pada tingkat gen yang
lebih lokal ini menunjukkan bahwa penataan ulang telah terjadi dari

29
waktu ke waktu antara C. elegans dan B. malayi dan memungkinkan para
peneliti untuk mengidentifikasi gen atau protein yang spesifik untuk B.
malayi

 gen unik ini penting karena dapat menyebabkan parasitisme yang terlihat
pada B. malayi , dan karena itu merupakan target potensial untuk studi di
masa depan

 hubungan gen menawarkan wawasan tentang tren evolusi gen parasit yang
dapat menghasilkan petunjuk untuk lebih lanjut menjelaskan kemampuan
unik mereka untuk berhasil bertahan hidup selama bertahun-tahun pada
manusia

Obat baru

Perbandingan sekuensing antara kedua genom memungkinkan untuk pemetaan C.


elegans orthologs ke gen B. malayi . Dengan menggunakan pemetaan ortologi
(antara C. elegans dan B.malayi ) dan menggabungkan data genomik dan
fungsional genomik yang luas, termasuk layar RNAi lebar genom yang sudah ada
untuk C. elegans , gen esensial yang berpotensi di B. malayi dapat diidentifikasi.
Para ilmuwan berharap dapat menargetkan gen-gen ini sebagai target potensial
baru untuk perawatan obat. Umur panjang dari parasit ini mempersulit perawatan
karena sebagian besar obat yang ada menargetkan larva dan karenanya tidak
membunuh cacing dewasa. Obat-obatan sering harus diminum secara berkala
selama bertahun-tahun, dan cacing dapat menyebabkan reaksi kekebalan besar-
besaran ketika mereka mati dan melepaskan molekul asing di dalam tubuh.
Perawatan obat untuk filariasis tidak berubah secara signifikan dalam lebih dari
20 tahun, dan dengan risiko resistensi meningkat, ada kebutuhan mendesak untuk
pengembangan terapi obat anti-filaria baru. Dari urutan genom, beberapa jalur
metabolisme telah diidentifikasi, mengandung puluhan produk gen yang dapat
membantu dalam penemuan terapi obat yang lebih bertarget dan efektif.

 Target obat baru yang mungkin termasuk:


o ganti kulit
o reseptor nuklir
o kolagen dan pemrosesan kolagen
o pensinyalan neuron
o kinome B. malayi
o ketergantungan pada metabolisme host ( B. malayi ) dan
endosimbion ( Wolbachia )

30
Target potensial baru ini untuk obat-obatan atau vaksin dapat memberikan
peluang baru untuk memahami, merawat dan mencegah kaki gajah.

Hubungan dengan Wolbachia

Hubungan antara bakteri Wolbachia dan B. malayi tidak sepenuhnya dipahami.


Ekstrapolasi dari penelitian yang dilakukan dengan Wuchereria bancrofti ,
nematoda lain yang menyebabkan filariasis, Wolbachia dapat membantu dalam
embriogenesis cacing, bertanggung jawab atas respons inflamasi yang kuat dari
makrofag dan penyakit filaria, dan dikaitkan dengan timbulnya lifedema dan
kebutaan yang kadang-kadang dikaitkan dengan B. infeksi malayi . Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh University of Bonn di Ghana, doksisiklin secara
efektif menghabiskan Wolbachia dari W. bancrofti . Sangat mungkin bahwa
mekanisme doksisiklin mirip dengan yang ada pada spesies filaria lainnya, yaitu,
blokade dominan embriogenesis, yang mengarah ke penurunan mikrofilaria sesuai
dengan waktu paruh mereka. Hal ini dapat menjadikan pengobatan doksisiklin
sebagai alat tambahan untuk pengobatan penyakit terkait mikrofilaria di
Bancroftian filariasis, bersama dengan B. malayi fiariasis. Kursus perawatan
dengan doksisiklin bisa jauh lebih pendek karena akan membuat cacing dewasa
menjadi steril dalam satu suntikan daripada berulang kali harus menargetkan larva
yang telah diisi ulang oleh perawatan saat ini, dan akan ada lebih sedikit efek
samping untuk individu yang terinfeksi.

2.5.3 Brugia malayi

Brugia malayi (B. malayi) adalah sebuah nematoda (cacing) parasit yang
merupakan salah satu penyebab filariasis limfatik.[1] B. malayi merupakan
nematoda yang prevalen di daerah India, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.[1]

Daftar isi

1. Morfologi
2. Siklus hidup
3. Epidemiologi
4. Diagnosa
5. Pengobatan dan Pencegahan
6. Referensi

31
Morfologi

Cacing dewasa umumnya mirip dengan Wuchereria bancrofti, hanya saja cacing
B. malayi lebih kecil.[2] Panjang cacing betina beriksar 43 hingga 55 mm,
sedangkan panjang cacing jantan berkisar 13 hingga 23 mm.[2]

Cacing dewasa dapat memproduksi mikrofilaria di dalam tubuh manusia.[2]


Mikrofilaria tersebut memiliki lebar berkisar 5 hingga 7 um dan panjang berkisar
130 hingga 170 um.[2] Cacing memiliki semacam selubung dan biasanya memiliki
periodisitas nokturnal.[2]

Siklus Hidup

Siklus hidup B. malayi

Biasanya, vektor yang umum berperan dalam penyebaran B. malayi adalah


nyamuk yang berasal dari genera Mansonia dan Aedes.[2] Ketika nyamuk
menghisap darah manusia, nyamuk yang terinfeksi B. malayi menyelipkan larva
B. malayi ke dalam inang manusia.[2] Di dalam tubuh manusia, larva B. malayi
berkembang menjadi cacing dewasa yang biasanya menetap di dalam pembuluh
limfa.[2] Cacing dewasa dapat memproduksi mikrofilaria yang dapat menyebar
hingga mencapai darah tepi.[2] Ketika nyamuk menggigit manusia yang telah
terinfeksi, mikrofilaria dapat terhisap bersamaan dengan darah kedalam perut
nyamuk.[2]

Setelah masuk kedalam tubuh nyamuk, mikrofilaria menanggalkan


selubungnya.[2] Mikrofilaria kemudian berenang melalui dinding proventikulus
dan porsi kardiak (bagian dalam perut nyamuk), hingga mencapai otot toraksis

32
(otot dada).[2] Di dalam otot toraksis, larva filaria berkembang menjadi larva tahap
akhir.[2] Lava tahap akhir berenang melalui homocoel (rongga tubuh) hingga
sampai pada prosbosis (sungut) nyamuk.[2] Ketika tiba di dalam probosis nyamuk,
cacing tersebut siap menginfeksi inang manusia yang selanjutnya.[2]

Epidemiologi

Infeksi B. malayi terbatas pada wilayah Asia.[3] Beberapa negara yang mempunyai
prevalensi B. malayi antara lain adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, dan India.[3]
Pada tahun 2008, Korea Selatan dan Tiongkok telah dinyatakan bebas dari infeksi
cacing filariasis.[3] Tidak seperti Wuchereria brancofti, B. malayi dapat hidup
pada inang primata atau kucing.[3]

Terdapat dua bentuk B. malayi yang dapat dibedakan bedasarkan periodisitas


mikrofilarianya pada darah tepi.[4] Bentuk yang pertama, bentuk periodis
nokturnal, hanya dapat ditemukan pada darah tepi pada malam hari.[4] Bentuk
yang kedua, bentuk subperiodis, dapat ditemukan pada darah tepi setiap saat,
hanya saja jumlah mikrofilaria terbanyak ditemukan di malam hari.[4]

Diagnosa

Deteksi mikrofilaria di dalam darah atau di dalam cairan limfatik akan


memastikan keberadaan infeksi B. malayi di dalam tubuh.[5] Pemeriksaan
mikroskopis untuk mendeteksi morfologi B. malayi dapat membantu diagnosis.[5]
Pewarnaan Giemsa, secara khusus, dapat mewarnai selubung B. malayi dengan
warna merah muda.[5] Akan tetapi, karena sifat nokturnal yang dimiliki oleh
beberapa galur B. malayi, pewarnaan darah utuk diagnosis tergolong
menyulitkan.[5]

Esai berbasis reaksi polimerase berantai (polymerase chain reaction atau PCR)
dapat mendeteksi infeksi B. malayi dengan sensitivitas tinggi.[5] Lebih jauh lagi,
uji tersebut dapat digunakan untuk mengamati infeksi pada inang manusia
maupun vektor nyamuk.[5]

Beberapa uji serologis dapat digunakan untuk mendeteksi kadar IgE yang naik
pada tubuh pasien.[5] Diagnosis serologis tersebut dapat didukung oleh
perhitungan kadar eosinofil dalam darah pasien.[5]

33
Pengobatan dan Pencegahan

Pengobatan infeksi B. malayi, serupa dengan pengobatan infeksi W. brancrofti.[5]


Obat antihistamin dan anti-peradangan digunakan untuk mengobati peradangan,
rasa tidak nyaman, dan respon alergi.[5] Lebih jauh lagi, respon alergi dapat
diringankan dengan konsumsi obat kortikosteroid.[5]

Beberapa obat dapat diberikan untuk memusnahkan parasit, termasuk


Invermectin, yang masing-masing dosisnya dikonsumsi 6 bulan sekali.[5]

Tersumbatnya pembuluh darah limfa oleh parasit dapat menyebabkan


pembengkakan.[5] Untuk gangguan peredaran limfa, pembedahan mungkin
dibutuhkan untuk memperbaiki pembuluh yang tersumbat.[5]

Pada daerah endemik B. malayi, untuk mencegah infeksi, dietil karbamat (DEC)
dapat diberikan kepada masyarakat untuk dikonsumsi.[5] Mencegah gigitan
nyamuk menggunakan obat nyamuk, kelambu disaat tidur, atau pakaian berlengan
panjang dapat menurunkan risiko infeksi B. malayi.[5]

2.5.4 Loa-loa

Pengertian Loa loa Loa loa adalah salah satu nematoda jaringan yang bisa
menyebabkan penyakit loiasis / calabar swelling / fugitive swelling / eye worm
disease. Loiasis adalah penyakit kronis yang ditandai dengan proses inflamasi dan
pembengkakan subkutan yang cepat terbentuk dan bersifat sementara yang
disebut dengan calabar swelling. Cacing dewasa dapat berpindah tempat melalui
jaringan subkutan dengan kecepatan 1 cm/menit dan bisa terdapat di semua
bagian tubuh, misalnya di axilla, punggung, kulit kepala dan mata. Nama lain Loa
loa adalah Filaria oculi, Filaria oculi humani, Filaria lacrimalis, Filaria sub
conjunctifslis, dan Dracunculus loa. Siklus Hidup Loa loa siklus hidup Loa loa
siklus hidup Loa loa (sumber : www.cdc.gov) Hospes definitif parasit ini adalah
manusia sedangkan hospes perantara Loa loa adalah lalat Chrysops silacea dan
Chrysops dimidiata. Pertumbuhan mikrofilaria di dalam tubuh lalat terjadi di otot
dan bagian yang berlemak yang berlangsung selama 10 – 12 hari. Mikrofilaria
kemudian menjadi larva infektif yang keluar dari labium ke permukaan kulit dekat
luka gigitan dan menembus ke dalam jaringan subkutan dan otot, serta tumbuh
menjadi dewasa di sini dalam waktu ± 1 tahun. Periodisitas Loa loa adalah diurna
yaitu aktif pada waktu siang hari. Morfologi Loa loa mikrofilaria Loa loa
mikrofilaria Loa loa (sumber : www.uhp-nancy.fr) Ciri-ciri mikrofilaria : ukuran :
panjang 250 – 300 μm dan lebar 6 – 8,5 μm mempunyai sheath / bersarung inti
tubuh teratur sampai ujung posterior Ciri-ciri cacing dewasa / filaria : berbentuk

34
seperti benang ukuran cacing betina : panjang 5 – 7 mm dan lebar ± 0,5 mm
ukuran cacing jantan : panjang 3 – 4 mm dan lebar ± 0,5 mm kutikula berbenjol-
benjol seperti tetesan embun (dew drops) ujung posterior cacing jantan
melengkung ke ventral dan mempunyai 8 pasang papila perianal, spicula tidak
sama panjang Gejala Klinis Loiasis Gejala klinis yang mencolok adalah adanya
tumor yang bersifat sementara yang dapat mencapai ukuran sebesar telur ayam.
Gejala ini timbul secara tiba-tiba dalam waktu yang tidak tentu dan menghilang
setelah 2 – 3 hari sampai 1 minggu. Keadaan ini disebut dengan calabar swelling /
fugitive swelling. Hal ini terjadi karena supersensitivitas hospes terhadap parasit
atau metabolitnya. Cara Diagnosis Infeksi Loa loa iagnosis ditegakkan dengan
menemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah pada waktu siang hari serta
dapat ditemukan cacing dewasa yang mengembara di bawah conjungtiva mata.
Pencegahan dan Pengobatan Loiasis Pencegahan : Menghindari daerah di mana
lalat penyebar loiasis ditemukan, seperti berlumpur, daerah teduh di sepanjang
sungai atau sekitar api kayu. Menggunakan obat anti serangga yang mengandung
DEET (N, N-Diethyl-meta-toluamide). Memakai baju lengan panjang dan celana
panjang selama siang hari. Jika sedang berada di daerah dengan loiasis untuk
jangka waktu yang panjang, konsumsi obat diethylcarbamazine (DEC) 300mg
seminggu sekali, bisa untuk mengurangi risiko infeksi. Pengobatan : Ada dua obat
yang dapat digunakan untuk mengobati infeksi dan meredakan gejala. Obatnya
yaitu obat diethylcarbamazine (DEC) yang dapat membunuh mikrofilaria dan
dewasa cacing serta obat Albendazole yang digunakan sebagai altenatif
diethylcarbamazine (DEC). Epidemiologi Loa loa Loiasis terdapat di daerah
Afrika yang di lewati garis khatulistiwa terutama di daerah Afrika Barat. Lalat
Chrysop merupakan serangga yang menggigit pada siang hari dan mempunyai
tempat perindukan di rawa-rawa dan perairan yan berlumpur. Lalat ini lebih
banyak menggigit orang negro daripada orang berkulit putih.

2.6 Cara Penularan

1. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal


(autoinfeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain
maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-baenda maupun
pakaian yang terkontaminasi.
2. Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan oleh angin
sehingga telur melalui debu dapat tertelan.
3. Retrofeksi melalui anus : larva dari telur yang menetas disekitar anus
kembali masuk ke usus.

35
2.7 Siklus Hidup Nematoda
Siklus Hidup Cacing Usus (Ascaris lumbricoides)

Ascaris lumbricoides adalah Nematoda parasit terbesar yang hidup di dalam usus
manusia, dan dapat menyebabkan penyakit ascariasis. Sebanyak lebih dari 85%
kasus penyakit ini tidak menimbulkan gejala ketika terjadi infeksi, namun
kemudian seiring berjalannya waktu akan muncul beberapa gejala seperti nafas
yang pendek dan demam pada awal mula penyakit ini. Gejala lain seperti bengkak
pada daerah perut, sakit perut, dan diare mungkin akan mengikuti gejala awal.
Ascariasis biasanya menyerang anak-anak sehingga dapat mengakibatkan
pertumbuhan yang buruk, malnutrisi, dan kesulitan belajar. [2]

Siklus hidup cacing usus

Daur hidup Ascaris lumbricoides adalah (lihat gambar di atas): [3]

1. Cacing usus dewasa hidup pada lumen dari usus halus. Cacing betina akan
menghasilkan telur yang dapat mencapai 200.000 butir per hari. Telur-
telur ini dapat berembrio ataupun tidak berembrio.
2. Telur-telur tersebut dikeluarkan melalui kotoran. Hanya telur yang dibuahi
yang dapat berkembang dan menginfeksi manusia.
3. Telur yang berembrio dapat menginfeksi (bersifat infektif) setelah 18 hari
sampai beberapa minggu bergantung dari kondisi lingkungan (kelembaban
tanah, suhu, ada tidaknya sinar matahari).

36
4. Telur infektif tertelan manusia.
5. Larva menetas dan kemudian menyerang membran lendir usus.
6. Larva menembus dinding usus dan terbawa aliran darah menuju paru-paru.
Dalam paru-paru larva tumbuh selama 10 sampai 14 hari dan naik ke
faring.
7. Larva tersebut tertelan kembali dan berkembang menjadi cacing dewasa
dalam usus halus. Cacing usus dewasa dapat hidup selama satu sampai dua
tahun.

Siklus Hidup Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale)

Infeksi ringan cacing tambang hanya menyebabkan sakit perut dan kehilangan
nafsu makan. Akan tetapi, infeksi berat dari cacing ini dapat menimbulkan
kekurangan protein parah dan kekurangan zat besi (anemia). Kekurangan protein
dapat menimbulkan kulit kering, edema, dan perut buncit; dan anemia dapat
membuat keterbelakangan mental dan gagal jantung. [4]

37
Siklus hidup cacing tambang Daur hidup Ancylostoma duodenale adalah (lihat
gambar di atas):

1. Telur dikeluarkan melalui feses, dan dengan kondisi yang tepat (suhu,
kelembaban, keteduhan), larva menetas dalam satu sampai dua hari.

2. Larva yang menetas disebut larva rhabditiform dan tumbuh pada feses atau
tanah.

3. Larva tersebut lalu berkembang menjadi larva filariform setelah lima


sampai sepuluh hari (dan dua kali molting). Larva bentuk ini telah bersifat
infektif dan dapat bertahan hidup tiga sampai empat minggu pada kondisi
lingkungan yang menguntungkan.

4. Ketika bersentuhan dengan manusia, larva filariform menembus kulit


manusia dan terbawa oleh pembuluh darah ke jantung kemudian ke paru-paru.
Lalu naik ke faring dan tertelan menuju ke usus halus untuk hidup dan
mencapai dewasa.

38
5. Cacing filaria dewasa hidup di usus halus untuk kemudian bertelur
kembali.

Ketika penetrasi pada kulit inang, larva rhabditiform dapat dorman sementara
pada usus atau otot.

Siklus Hidup Cacing Filaria (Wuchereria bancrofti)

Cacing filaria membutuhkan inang pembawa (vektor) berupa beberapa jenis


nyamuk dari anggota genus Culex, Anopheles, Aedes, Mansonia, dan
Coquillettidia. Contoh vektor tersebut antara lain Culex quinquefasciatus,
Anopheles bancroftii, Aedes aegypti, dll. Wuchereria bancrofti ini menyebabkan
penyakit filariasis, atau yang biasa dikenal dengan penyakit kaki gajah.

2.8 Cara berkembang biak Nematoda

Nematoda bereproduksi secara seksual. Umumnya diesis atau gonokoris,


yaitu organ kelamin jantan dan betina yang terdapat di individu berbeda.
Fertilisasi terjadi secara internal di dalam tubuh cacing betina. Telur yang sudah
dibuahi memiliki cangkang yang tebal dan keras. Di permukaan cangkang
mempunyai pola yang spesifik digunakan untuk proses identifikasi jenis cacing
yang menginfeksi manusia melalui pengamatan telur cacing pada tinja. Telur
menetas menjadi larva yang berbentuk mirip induknya. Larva mengalami molting
atua pergantian kulit sampai empat kali. Cacing dewasa tidak mengalami
pergantian kulit, tetapi tubuhnya tumbuh membesar.

39
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Di antara semua hewan yang paling tersebar luas, cacing gilig
(nematoda) ditemukan pada sebagian besar habitat akuatik, di dalam tanah
lembap, di dalam jaringan lembap tumbuhan, dan di dalam cairan tubuh
dan jaringan hewan. Sekitar 90.000 spesies kelas ini telah diketahui, dan
yang sebenarnya ada mungkin mencapai sepuluh kali jumlah tersebut.
2. Secara morfologi ukuran tubuh nematoda beragam, mulai dari besar
sampai kecil, kebanyakan cacing yang hidup di tanah berukuran kecil
dengan kisaran panjang 1-2 mm, dan lebar 1/20 mm atau kurang. Bentuk
tubuh nematoda pada ujung anterior adalah meruncing. Pada ujung
anterior terdapat suatu cekungan yang disebut amphid dan pada bagian
posterior terdapat bentuk yang sama, dinamakan phasmid. Amphid dan
phasmid berfungsi sebagai chemoreceptor.
3. Nemathelminthes umumnya melakukan reproduksi secara
seksual.Sistem reproduksi bersifat gonokoris, yaitu organ kelamin jantan
dan betina terpisah pada individu yang berbeda.Fertilisasi terjadi secara
internal.Telur hasil fertilisasi dapat membentuk kista dan kista dapat
bertahan hidup pada lingkungan yang tidak menguntungkan.

B. SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan dah diharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
membangun guna perbaikan kedepannya.

40
DAFTAR PUSTAKA

Ahyan Fahri, Muhammad.(2014). Filum Nematoda. Online.


http://ahyanfahrimuhammad.blogspot.com/2014/02/nematoda.html
(Diakses 28 Januri 2020)

"Siklus Hidup Cacing Gilik (Nematoda)". Online.


https://www.tentorku.com/daur-hidup-cacing-gilik-nematoda/ (diakses
28 Januari 2020)

"Siklus Hidup Cacing Gilik (Nematoda)". Online.


https://www.google.com/amp/s/www.tentorku.com/daur-hidup-
cacing-gilik-nematoda/amp/ (diakses 28 Januari 2020)

Ora, I. (Online).
https://www.google.com/search?q=2.6%09Cara+penularan+nematoda&ie=utf-
8&oe=utf-8 (Diakses 28 Januari 2020)

41

Anda mungkin juga menyukai