Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa
merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang terbebas dari gangguan
jiwa, dan memiliki sikap positif untuk menggambarkan tentang kedewasaan
serta kepribadiannya. Menurut data WHO pada tahun 2012 angka penderita
gangguan jiwa mengkhawatirkan secara global, sekitar 450 juta orang yang
menderita gangguan mental. Orang yang mengalami gangguan jiwa
sepertiganya tinggal di negara berkembang, sebanyak 8 dari 10 penderita
gangguan mental itu tidak mendapatkan perawatan. (Kemenkes RI, 2012).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia DEPKES RI (2012),
gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap
negara tidak hanya di Indonesia saja. Gangguan jiwa yang dimaksud tidak
hanya gangguan jiwa psikotik/ skizofrenia saja tetapi kecemasan, depresi dan
penggunaan Narkoba Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (NAPZA) juga
menjadi masalah gangguan jiwa.
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Terdapat sekitar 35 juta orang
terkena depresi, 60 juta orang mengalami bipolar, 21 juta terkena skizofrenia,
serta 47,5 jutamengalami dimensia (World Health Organiation (WHO))
berdasarkan terjemahan bebas dalam (Kemenkes,2016).
Dalam prevalensi Kesehatan Jiwa, Indonesia merupakan negara yang
memiliki populasi tinggi dengan 34 provinsi, hal tersebut meyebabkan risiko
gangguan jiwa lebih tinggi. Pada tahun 2018 prevalensi gangguan jiwa berat
di Indonesia sebesar 7 permil. Provinsi-provinsi besar pun menjadi daerah
dengan jumlah gangguan jiwa terbanyak di Indonesia seperti Bali, DI
Yogyakarta, NTB, Aceh, jawa tengah. Sedangkan gangguan mental di
Indonesia tahun 2018 masih cukup tinggi yaitu 9,8 %, dengan derah tertinggi
adalah Sulawesi Tengah, Gorontalo, NTT, Banten, Maluku Utara ( Riskesdas,

1
2

2018, Hlm.78) Peningkatan proporsi gangguan jiwa pada data yang


didapatkan Riskesdas 2018 cukup signifikan jika dibandingkan dengan
Riskesdas (2013) mengalami peningkatan 5,3% dari 1,7% menjadi 7%.
Berdasarkan data Riskesdas (2013) prevalensi gangguan mental
emosional di Indonesia pada usia 15 tahun keatas mencapai sekitar 14 juta
orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan data dokumen
rekam medik Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru pada tahun 2017
mencatat bahwa pasien rawat inap sebanyak 1.887 orang. Data dokumen
rekam medik Rumah Sakit Jiswa Tampan Pekanbaru tahun 2017 juga
mencatat alasan pasien dirawat adalah dengan masalah gangguan persepsi
sensori: halusnasi sebesar 62%, gangguan proses pikir: waham sebesar 5%,
perilaku kekerasan sebesar 26%, isolasi sosial sebesar 4%, gangguan konsep
diri: harga diri rendah sebesar 6%, defisit perawatan diri sebesar 7%, dan
resiko bunuh diri sebesar 2% (RSJ Tampan, 2017). Sehingga dapat
disimpulkan persentase tertinggi kedua adalah perilaku kekerasan yaitu 26%.
Berdasarkan survei masalah keperawatan dari Rs. Jiwa Tampan pada
tahun 2019 di instalasi rawat inap diruang Indragiri terdapat 7,7 % kasus
resiko perilaku kekerasan. Pasien yang mengalami perilaku kekerasan
biasanya menunjukan tanda dan gejala seperti muka merah dan tegang,
pandangan tajam, mengepalkan tangan, mengatup rahang dengan kuat, bicara
kasar, jalan mondar-mandir, menjerit atau berteriak, suara tinggi, mengancam
secara verbal atau fisik dan melempar atau memukul benda/ orang lain
(Purba, Wahyuni, Nasution & Daulay, 2010).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis tertarik dan
ingin memberikan asuhan keperawatan kepada pederita gangguan jiwa
khususnya bagi klien dengan perilaku kekerasan. Asuhan keperawatan yang
diberikan meliputi pelayanan kesehatan secara holistic dan komunikasi
terapeutik yang bertujuan untuk mencegah resiko menciderai diri sendiri, orang
lain dan lingkungan dan munculnya gangguan jiwa yang lainnya, serta
meningkatkan kesejahteraan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
3

karena itu kelompok tertarik mengangkat judul dengan “Asuhan Keperawatan


Jiwa Pada Ny. S Dengan Resiko Perilaku Kekerasan di ruang Indragiri”.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan resiko perilaku kekerasan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep dasar resiko perilaku kekerasan
(pengertian, tanda dan gejala, penyebab dll).
b. Untuk mengetahui proses pengkajian pada pasien Ny. S dengan
resiko perilaku kekerasan.
c. Untuk mengetahui analisa data pada pasien Ny. S dengan resiko
perilaku kekerasan.
d. Agar mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien Ny. S
dengan resiko perilaku kekerasan.
e. Agar mampu menyusun intervensi/ rencana keperawatan pada Ny. S
dengan resiko perilaku kekerasan.
f. Agar mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada Ny. S
dengan resiko perilaku kekerasan.

C. Manfaat
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
Bagi rumah sakit jiwa dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan terhadap perawat dalam merawat pasien dengan perilaku
kekerasan dan dapat memberikan pemahaman kepada pasien tentang
mengontrol cara yang efektif serta meningkatkan pengetahuan pasien
tentang masalah yang dihadapinya sehingga pasien dapat mengatasi
masalahnya.
4

2. Bagi Ilmu Keperawatan


Keperawatan kesehatan jiwa merupakan salah satu sumber daya
yang terpenting dalam pemberi pelayanan kesehatan. Asuhan
keperawatan ini diharapkan dapat menghasilkan suatu metode dan
intervensi dalam memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik
kepada pasien perilaku kekerasan dan menjadi motivasi bagi perawat
jiwa dapat meningkatkan perannya status kesehatan jiwa.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Jenny, Purba,
Mahnum, & Daulay, 2008).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik
kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik
pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai amuk dan gaduh
gelisah yang tak terkontrol (Farida & Yudi, 2011).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang
menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam
bentuk destruktif dan masih terkontrol (Yosep, 2007). Resiko
mencederai diri yaitu suatu kegiatan yang dapat menimbulkan
kematian baik secara langsung maupun tidak langsung yang
sebenarnya dapat dicegah (Depkes, 2007).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
perilaku kekerasan yaitu ungkapan perasaan marah yang
mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu bisa
berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

5
6

2. Rentang Respon
Rentang Respon Marah
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Perilaku Kekerasan
(sumber : Fitria, 2010)
a. Asertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai

perasaan orang lain, tanpa merendahkan harga diri orang lain.


b. Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan

atau keinginan
c. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan

perasaan yang dialami, sifat tidak berani mengemukakan keinginan

3. Tanda dan Gejala


Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku
kekerasan terdiri dari :
a) Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang
mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b) Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan
nada keras, kasar, ketus.
c) Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
d) Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel,tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
e) Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f) Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat.
g) Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindiran.
7

h) Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual

4. Faktor Penyebab
Menurut Direja (2011) faktor-faktor yang menyebabkan perilaku
kekerasan pada pasien gangguan jiwa antara lain
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor psikologis
a) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu
tujuan mengalami hambatan akan timbul dorongan
agresif yang memotivasi perilaku kekerasan.
b) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu
dan masa kecil yang tidak menyenangkan.
c) Rasa frustasi.
d) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau
lingkungan.
e) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku
agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan
rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
f) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan
perilaku yang dipelajari, individu yang memiliki
pengaruh biologik dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor
predisposisi biologik.
8

2) Faktor sosial budaya


Seseorang akan berespons terhadap peningkatan
emosionalnya secara agresif sesuai dengan respons yang
dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut Bandura bahwa
agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain.
Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi,
dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin
besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat
mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan
menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaiannya
masalah perilaku kekerasan merupakan faktor predisposisi
terjadinya perilaku kekerasan.
3) Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya
stimulus elektris ringan pada hipotalamus (pada sistem
limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif, dimana jika
terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku),
lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus
temporal (untuk interpretasi indra penciuman dan memori)
akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi,
dan hendak menyerang objek yang ada di sekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa
hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan
perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut;
a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem
neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi
dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik sangat
9

terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku


bermusuhan dan respon agresif.
b) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam
Townsend (1996) menyatakan bahwa berbagai
neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine,
asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Peningkatan hormon androgen dan norepinefrin serta
penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan
serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting
yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif
sangat erat kaitannya dengan genetik termasuk genetik
tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh
penghuni penjara tindak kriminal (narapidana).
d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan
dengan berbagai gangguan serebral, tumor otak
(khususnya pada limbik dan lobus temporal) trauma
otak, apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tindak kekerasan.

b. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa
terancam, baik berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman
konsep diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut.
1) Klien. Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan,
kehidupan yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang
tidak menyenangkan.
10

2) Interaksi. Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang


berarti, konflik, merasa terancam baik internal dari
permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari
lingkungan.
3) Lingkungan. Panas, padat, dan bising.

Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang


dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain
sebagai berikut.
a) Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
b) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
c) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang
yang dewasa.
d) Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu
mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
e) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan keluarga.

5. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah
langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998). Kemarahan merupakan
ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998) Sublimasi : Menerima
11

suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk


suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara
normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi
ketegangan akibat rasa marah.
a. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
b. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau
membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak
yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.
Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik
dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakannya.
c. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya
seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
d. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti
yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya
Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat
hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya.
Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
12

6. Penatalaksanakan
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa
perilaku kekerasan ada 2 yaitu:
a. Medis

1) Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.

2) Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak


diri.

3) Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan


menenangkan hiperaktivitas.

4) ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien


bila mengarah pada keadaan amuk.

b. Penatalaksanaan keperawatan

1) Psikoterapeutik

2) Lingkungan terapieutik

3) Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)

4) Pendidikan kesehatan

B. Asuhan Keperawatan Teoritis


Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
proses keperawatan yang meliputi 4 tahapan yaitu : Pengkajian,
perencanaan/intervensi, pelaksanaan/implementasi dan evaluasi, yang
masing-masing berkesinambungan serta memerlukan kecakapan
keterampilan professional tenaga keperawatan. Proses keperawatan adalah
cara pendekatan sistimatis yang diterapkan dalam pelaksanaan fungsi
keperawatan, ide pendekatan yang dimiliki, karakteristik sistimatis,
13

bertujuan, interaksi, dinamis dan ilmiah. Proses keperawatan klien marah


adalah sebagai berikut : (Keliat, dkk, 1996)
1. Pengkajian Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari
proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data,
klasifikasi data, analisa data, dan perumusan masalah atau kebutuhan
klien atau diagnosa keperawatan. Pengumpulan data Data yang
dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
a. Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah
meningkat, tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran
urine meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang
terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini
disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
b. Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak
berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain,
mengamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan
menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan
melalui proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam
proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu
mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan,
bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik
14

tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati
dengan mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai
suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri,
menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan
individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma
yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu
mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi,
intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan
sebagai berikut :
a. Aspek fisik: terdiri dari :muka merah, pandangan tajam,
napas pendek dan cepat, berkeringat, sakit fisik,
penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat.
b. Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam,
jengkel.
c. Aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme,
berdebat, meremehkan.
d. Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan,
ejekan, humor. Klasifiaksi data Data yang didapat pada
pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam
yaitu data subyektif dan data obyektif. Data subyektif
adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien
dan keluarga. Data ini didapatkan melalui wawancara
perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan data
obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini
didapatkan melalui obsevasi atau pemeriksaan langsung
oleh perawat. Analisa data Dengan melihat data
subyektif dan data objektif dapat menentukan
15

permasalahan yang dihadapi klien dan dengan


memperhatikan pohon masalah dapat diketahui
penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari
hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa
keperawatan. Pohon masalah Laporan Pendahuluan
Perilaku Kekerasan.

2. Pohon Masalah

Resiko Tinggi Mencederai, Orang Lain, dan Efek


Lingkungan

Perilaku Kekerasan Core problem

Gangguan Harga diri : Harga Etiologi


Diri Rendah

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons
aktual dan potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap
masalah kesehatan sebagai proses kehidupan” (Carpenito, 2000).
Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada klien marah
dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
a. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan
berhubungan dengan perilaku kekerasan.
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah

Anda mungkin juga menyukai