Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep Penyakit
1.1.1 Definisi Stroke Non Hemoragik ( SNH )

Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang


cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler.
Sedangkan menurut Muttaqin (2008), Stroke Non Haemoragik adalah
cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak terjadi akibat
pembentukan trombus di arteri cerebrum atau embolis yang mengalir ke otak dan
tempat lain di tubuh.
Stroke non hemoragik adalah stroke yang disebabkan karena sumbatan pada
arteri sehingga suplai glukosa dan oksigen ke otak berkurang dan terjadi kematian
sel atau jaringan otak yang disuplai.
1.1.2 Etiologi
Menurut Price, SA dan Wilson (2007), stroke biasanya diakibatkan dari
salah satu tempat kejadian, yaitu:
1.1.2.1 Trombosis (Bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher).
1.1.2.2 Embolisme serebral (Bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak
dari bagian otak atau dari bagian tubuh lain).
1.1.2.3 Hemorargik cerebral (Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perlahan
ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah
gangguan suplai darah ke otak , menyebabkan kehilangan gerak, pikir,
memori, bicara, atau sensasi baik sementara atau permanen.
Penyebab lain terjadinya Stroke non hemoragik (SNH) adalah:
1.1.2.1 Aterosklerosis
Terbentuknya aterosklerosis berawal dari endapan atheroma (endapan
lemak) yang kadarnya berlebihan dalam pembuluh darah. Selain dari
endapan lemak, aterosklerosis ini juga mungkin karena arteriosklerosis,
yaitu penebalan dinding arteri (tunika intima) karena timbunan kalsium
yang kemudian mengakibatkan bertambahnya diameter pembuluh darah
dengan atau tanpa mengecilnya pembuluh darah.
1.1.2.2 Infeksi
Peradangan juga menyebabkan menyempitnya pembuluh darah, terutama
yang menuju ke otak.
1.1.2.3 Obat-obatan
Ada beberapa jenis obat-obatan yang justru dapat menyebabkan stroke
seperti: amfetamin dan kokain dengan jalan mempersempit lumen pembuluh
darah ke otak.
1.1.2.4 Hipotensi
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke
bisa terjadi jika hipotensi ini sangat parah dan menahun.
Sedangkan faktor resiko pada Stroke non hemoragik (SNH) (Muttaqin
(2008):
1.1.2.1 Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
1.1.2.2 Penyakit kardiovaskuler (Embolisme serebral mungkin berasal dari
jantung).
1.1.2.3 Kadar hematokrit normal tinggi (yang berhubungan dengan infark
cerebral),
1.1.2.4 Kontrasepsi oral, peningkatan oleh hipertensi yang menyertai usia di atas
35 tahun dan kadar esterogen yang tinggi.
1.1.2.5 Penurunan tekanan darah yang berlebihan atau dalam jangka panjang
dapat menyebabkan iskhemia serebral umum.
1.1.2.6 Penyalahgunaan obat tertentu pada remaja dan dewasa muda.
1.1.2.7 Konsultan individu yang muda untuk mengontrol lemak darah, tekanan
darah, merokok dan obesitas.
1.1.2.8 Mungkin terdapat hubungan antara konsumsi alkohol dengan stroke.
1.1.3 Manifestasi klinik
Menurut Smeltzer, Suzanne C (2002) Stroke menyebabkan berbagai defisit
neurologik, gejala muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi akibat
terganggunya aliran darah ke tempat tersebut, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Gejala
tersebut antara lain:
1.1.3.1 Umumnya terjadi mendadak, ada nyeri kepala
1.1.3.2 Parasthesia, paresis, Plegia sebagian badan
1.1.3.3 Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
control volunter terhadap gerakan motorik. Di awal tahapan stroke,
gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralysis dan hilang atau
menurunnya refleks tendon dalam.
1.1.3.4 Dysphagia
1.1.3.5 Kehilangan komunikasi
1.1.3.6 Gangguan persepsi
1.1.3.7 Perubahan kemampuan kognitif dan efek psikologis
1.1.3.8 Disfungsi Kandung Kemih
1.1.4 Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme
vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan pant dan
jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak.
Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi
(Muttaqin, 2008). Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa
sebagai emboli dalam aliran darah.
Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak, yang disuplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area
edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu
sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah
beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan.
Oleh karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding
pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi
berada pada pembuluh darah yang tersumbat maka menyebabkan dilatasi
aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika
aneurisma pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskular,
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum (Muttaqin, 2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nukleus kaudatus, talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral:
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-
6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung
(Muttaqin, 2008).
1.1.5 Komplikasi
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah:
1.1.5.1 Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi.
1.1.5.2 Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi,
deformitas, terjatuh.
1.1.5.3 Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.
1.1.5.4 Hidrosefalus
1.1.6 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis untuk SNH perawatan di Rumah Sakit :
1.1.6.1 Monitor peningkatan Tekanan Intrakranial seperti adakah nyeri pada
kepala
1.1.6.2 Monitor Jantung ,Tanda-tanda vital, dan Pemeriksaan EKG
1.1.6.3 Kontrol kejang jika ada lakukan pemberian antikonvulsan yaitu obat yang
digunakan untuk mengembalikan kestabilan rangsangan sel saraf, dan cegah
resiko cedera yang terjadi
1.1.6.4 Monitor tanda-tanda neurologi seperti tingkat kesadaran, keadaan pupil,
fungsi sensorik dan motorik, nervus kranial, dan refleks
Penatalaksanaan medis untuk SNH perawatan di Rumah:
1.1.6.1 Melatih pergerakan tentang rentang gerak sendi (ROM) pada pasien
1.1.6.2 Pertahankan komunikasi yang efektif seperti mengajak pasien untuk
berbicara atau menggunakan bahasa isyarat
1.1.6.3 Membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membantu pasien
untuk mandi, makan, dan lain-lain
1.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin, (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
ialah sebagai berikut:
1.1.7.1 Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan
seperti aneurisma atau malformasi vaskular.
1.1.7.2 Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada carran lumbal
menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi.
Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif,
sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal
(xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
1.1.7.3 CT scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara
pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan
terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
1.1.7.4 MRI
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang magnetik
untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari
hemoragik.
1.1.7.5 USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
1.1.7.6 EEG
Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
1.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
1.2.1 Pengkajian
Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial.
1.2.1.1 Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
1.2.1.2 Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongau kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
dan penurunan tingkat kesadaran.
1.2.1.3 Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan
kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif, dan konia.
1.2.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan
kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya.
Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi
oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
1.2.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus,
atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
1.2.1.6 Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
1.2.2.2 Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1.2.2.2.1 B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan
pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan
tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada
kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
1.2.2.2.2 B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya
terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200
mmHg).
1.2.2.2.3 B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
1.2.2.2.4 B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
1.2.2.2.5 B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan
produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
1.2.2.2.6 B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh,
adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, serta
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
1.2.2.3 Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
pemantauan pemberian asuhan.
1.2.2.4 Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
1.2.2.5 Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
1.2.2.6 Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada
beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk mengenal
persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
1.2.2.7 Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi
fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian
posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis.
Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca)
didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat
menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan
berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh
paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia
(ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
1.2.2.8 Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf
kranial I-XII.
1.2.2.8.1 Saraf I
Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
1.2.2.8.2 Saraf II
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
1.2.2.8.3 Saraf III, IV, dan VI
Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada satu sisi otot-otot okularis
didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
1.2.2.8.4 Saraf V
Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus,
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
1.2.2.8.5 Saraf VII
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot wajah
tertarik ke bagian sisi yang sehat.
1.2.2.8.6 Saraf VIII
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
1.2.2.8.7 Saraf IX dan X
Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
1.2.2.8.8 Saraf XI
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
1.2.2.8.9 Saraf XII
Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra
pengecapan normal.
1.2.2.9 Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN
bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi ng berlawanan dari otak.
1.2.2.9.1 Inspeksi Umum
Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi
otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah
tanda yang lain.
1.2.2.9.2 Fasikulasi
Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
1.2.2.9.3 Tonus Otot.
Didapatkan meningkat.
1.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, yaitu:
1.2.2.1 Perfusi jaringan cerebral tidak efektif b.d O2 otak menurun.
1.2.2.2 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrient.
1.2.2.3 Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot.
1.2.2.4 Risiko kerusakan integritas kulit b.d faktor risiko: lembap.
1.2.2.5 Gangguan komunikasi verbal b.d. kerusakan neuromuscular, kerusakan
sentral bicara.
1.2.3 Intervensi Keperawatan
Dx 1: Perfusi jaringan serebral tidak efekif berhubungan dengan suplai
oksigen ke Otak menurun
Tujuan:
Gangguan perfusi jaringan dapat tercapai secara optimal
Kriteria hasil:
1.2.3.1 Mampu mempertahankan tingkat kesadaran
1.2.3.2 Fungsi sensorik dan motorik membaik
Intervensi:
1.2.3.1.1 Pantau TTV tiap jam dan catat hasilnya
Rasional: peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah diastolik merupakan tanda peningkatan TIK. Napas tidak teratur
menunjukkan adanya peningkatan TIK.
1.2.3.1.2 Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
Rasional: mampu mengetahui tingkat respon motorik pasien.
1.2.3.1.3 Pantau status neurologis secara teratur
Rasional: mencegah/menurunkan atelektasis
1.2.3.1.4 Dorong latihan kaki aktif/pasif
Rasional: menurunkan statis vena
1.2.3.1.5 Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
Rasional: menurunkan resiko terjadinya komplikasi
Dx 2: Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorsbi
nutrien
Tujuan:
1.2.3.1 Status gizi
1.2.3.2 Asupan makanan
1.2.3.3 Cairan dan zat besi.
Kriteria hasil:
1.2.3.1.1 Menjelaskan komponen kedekatan diet
1.2.3.1.2 Nilai laboratorium (mis, transferin, albumin dan elektrolit).
1.2.3.1.3 Melaporkan keadekuatan tingkat gizi.
1.2.3.1.4 Toleransi terhadap gizi yang dianjurkan.
Intervensi:
1.2.3.1.1 Tentukan motivasi klien untuk mengubah kebiasaan makan
Rasional: motivasi klien mempengaruhi dalam pemberian nutrisi
1.2.3.1.2 Ketahui makanan kesukaan klien
Rasional: makanan kesukaan klien untuk mempermudah pemberian nutrisi
1.2.3.1.3 Rujuk kedokter untuk menentukan penyebab perubahan nutrisi
Rasional: merujuk kedokter untuk mengetahui perubahan klien serta untuk proses
penyembuhan
1.2.3.1.4 Bantu makan sesuai dengan kebutuhan klien
Rasioanal: Membantu makan untuk mengetahui perubahan nutrisi serta untuk
pengkajian.
1.2.3.1.5 Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan.
Rasional: Menciptakan lingkungan untuk kenyamanan istirahat klien serta untuk
ketenangan dalam ruangan.
Dx 3: Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot
Tujuan: Klien diminta menunjukkan tingkat mobilitas, ditandai dengan indikator
berikut (sebutkan nilainya 1-5: ketergantungan (tidak berpartisipasi)
membutuhkan bantuan orang lain, mandiri dengan pertolongan alat bantu atau
mandiri penuh.
Kriteria hasil:
1.2.3.1 Menunjukkan penggunaan alat bantu secara besar dengan pengawasan
1.2.3.2 Meminta bantuan untuk beraktivitas mobilisasi jika diperlukan
1.2.3.3 Menggunakan kursi roda secara efektif
Intervensi:
1.2.3.1.1 Ajarkan klien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilisasi
Rasional: mengajarkan klien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas
klien lebih mudah.
1.2.3.1.2 Ajarkan dan bantu klien dalam proses perpindahan.
Rasional: akan membantu klien latihan dengan cara tersebut
1.2.3.1.3 Dukung teknik latihan ROM
Rasional: mempercepat klien dalam mobilisasi dan mengkendorkan otot.
1.2.3.1.4 Kolaborasi dengan tim medis tentang mobilitas klien.
Rasioanal: mengetahui perkembangan mobilisasi klien sesudah latihan ROM
Dx 4: Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, kerusakan sentral bicara.
Tujuan:
1.2.3.1 Klien dapat mengekplosrasikan perasaan
1.2.3.2 Memahami maksud dan pembicaraan orang lain
1.2.3.3 Pembicaraan pasien dapat dipahami
Intervensi:
1.2.3.1.1 Lakukan komunikasi dengan wajar, bahasa jelas, sederhana dan bila
perlu diulang
Rasional: mengecek komunikasi klien apakah benar-benar tidak bisa melakukan
komunikasi.
1.2.3.1.2 Dengarkan dengan tekun jika pasien mulai berbicara
Rasional: mengetahui bagaiman kemampuan komunikasi klien.
1.2.3.1.3 Berdiri di dalam lapang pandang pasien pada saat bicara
Rasional: mengethaui derajat kemampuan berkomunikasi klien.
1.2.3.1.4 Latih otot bicara secara optimal
Rasional: menurunkan terjadinya komplikasi lanjutan
1.2.3.1.5 Libatkan keluarga dalam melatih komunikasi verbal pada pasien
Rasional: keluarga mengetahui dan mampu mendemonstrasikan cara melatih
komunikasi verbal klien tanpa bantuan perawat.
1.2.3.1.6 Kolaborasi dengan ahli terapi wicara
Rasional: mengetahui perkembangan komunikasi verbal klien.
1.2.4 Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Pada situasi nyata sering implementasi jauh berbeda dengan
rencana. Hal ini terjadi karena parawat belun terbiasa menggunakan rencana
tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa adalah rencana
tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan.
1.2.5 Evaluasi
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap
ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat
berhasil atau gagal.Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi
keperawatan yang telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari
rencana keperawatan dapat diterima. Perencanaan merupakan dasar yang
mendukung suatu evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku Untuk


Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Medica Aesculpalus.


Jakarta: FKUI

Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi


4. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai