Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
AF adalah gangguan yang umum dan penting sistem kelistrikan jantung, ini
adalah salah satu dari jumlah kelainan yang biasa disebut sebagai 'aritmia' atau
'disritmia', di mana jantung berdenyut dengan irama abnormal. Fibrilasi atrium
adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan aktivasi atrium yang
tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada
elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P,
yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo,
bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA biasanya disusul oleh
respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat. Ciri-ciri FA pada
gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa
sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya
bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.
Atrial fibrilasi merupakan salah satu karakteristik takiaritmia. Hal ini
ditandai dengan tidak terkoordinasinya aktivitas atrial sehingga terjadi
kemunduran pada fungsi mekanik atrial. Pada gambaran
elektrokardiogram, atrial fibrilasi digambarkan sebagai tidak adanya
gelombang P, juga terjadinya respon ireguler dari ventrikel ketika
konduksi atrioventricular (AV) dibatasi (National Collaborating Center for
Chronic Condition, 2006).
Atrial fibrilasi terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi secara
spontan dengan kecepatan yang tidak beraturan (300kali/menit) sehingga
atrium  menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke
ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga
sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler (Patrick,
2006).
Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi
supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi sehingga
terjadi gangguan fungsi mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak
efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung. Atrial fibrilasi dapat
terjadi secara episodik maupun permanen. Jika terjadi secara permanen,
kasus tersebut sulit untuk dikontrol (Philip and Jeremy, 2007).  Trombus
dapat terbentuk dalam rongga atrium kiri atau bagian lainnya karena tidak
adanya kontraksi atrium yang mengakibatkan stasis darah. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya emboli pada sirkulasi sistemik terutama otak dan
ekstremitas sehingga atrial fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya
serangan stroke (Philip and Jeremy, 2007).

2.1.2 Anatomi Fisiologi

Jantung adalah pompa yang sangat efisien dengan empat bilik (lihat
Gambar 1). Kedua ruang di sisi kanan jantung menerima darah miskin oksigen
(biru) dari tubuh dan pompa darah ini ke paru-paru, di mana ia menerima oksigen.
Darah kaya oksigen (merah) kembali ke kiri sisi jantung, dan kedua ruang kiri
memompa ini darah beroksigen ke seluruh tubuh. Lebih rendah (utama) memompa
bilik, 'ventrikel', menerima darah dari kamar atas, 'atria', dan melakukan kerja keras
memompa darah ke bagian tubuh yang lain. Dalam hati yang normal, atrium
berkontraksi (meremas) terlebih dahulu, mendorong darah ke dalam ventrikel.
Ventrikel kanan memompa darah ke arah paru-paru dan ventrikel kiri memompa
darah ke bagian lainnya tubuh. Proses ini berulang pada tingkat biasa, biasanya
sekitar 60 sampai 100 kali setiap menit. Biasanya, kontraksi atrium dinyalakan
dengan mungil sinyal listrik itu berasal dari alam yang alami 'alat pacu jantung' -
area kecil jantung disebut sinus simpul yang terletak di atas atrium kanan. Sinyal
perjalanan yang cepat ke seluruh atrium untuk memastikannya, semua serat otot
berkontraksi pada saat bersamaan, mendorong darah ke dalam ventrikel. Sinyal
listrik yang sama diteruskan ke ventrikel melalui atrioventrikular (AV) node dan
penyebabnya ventrikel berkontraksi, beberapa saat kemudian, setelah mereka telah
diisi dengan darah dari atria ini disebut normal irama jantung dikenal sebagai 'ritme
sinus', karena memang begitu dikendalikan oleh node sinus.

2.1.3 Etiologi
Banyak faktor risiko yang menyebabkan berkembangnya kejadian
atrial fibrilasi terutama dengan semakin meningkatnya usia semakin
meningkat pula risiko kejadian atrial fibrilasi (National Collaborating
Center for Chronic Condition, 2006). Faktor risiko lainnya dapat
dibedakan berdasarkan faktor kondisi jantung dan non jantung. Selain
faktor usia, faktor risiko yang berasal dari non-cardiac adalah penyakit
diabetes, penipisan elektrolit, kelainan tiroid, dan emboli pulmonal.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari jantung sendiri adalah atrial
septal defect, post operasi jantung, kardiomiopati, gagal jantung,
hipertensi, penyakit jantung iskemik, dan lain-lain (Berry and Padgett,
2012)
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor,
diantaranya adalah:
1. Hipertensi.
2. Gagal jantung.
3. Penyakit jantung koroner.
4. Hipertiroid.
5. Diabetes Melitus.
6. Obesitas.
7. Penyakit jantung bawaan seperti defek septum atrium, kardiomiopati,
penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
8. Alkohol.
9. Kafein.
2.1.4 Klasifikasi
1. Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan
keberhasilan intervensi dikelompokkan menjadi:
a. AF initial event (episode pertama kali terdeteksi atau new AF)
terjadi pertama kali dengan atau tanpa gejala yang tampak serta
onset tidak diketahui.
b. AF proksimal terjadi jika AF hilang timbul dengan gejala
dirasakan kurang dari tujuh  hari dan kurang dari 48 jam, tanpa
diberikan intervensi baik itu obat ataupun nonfarmakologi seperti
kardioversi.
c. AF persisten terjadi jika atrial fibrilasi yang muncul akan berhenti
jika diberikan obat atau intervensi nonfarmakologi berlangsung
lebih dari tujuh  hari. AF permanen terjadi jika AF tidak hilang
dengan intervensi apapun baik obat maupun kardioversi.
d. Long standing persistent AF merupakan episode AF yang
berlangsung lebih dari 1 tahun dan strategi yang diterapkan masih
kontrol irama jantung (rhythm control).
e. Permanent AF: jika AF menetap dan secara klinis dapat diterima
oleh pasien dan dokter sehingga strategi managemen adalah tata
laksana kontrol laju jantung (rate control).
2. Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang
mendasari yaitu:
a. AF primer jika tidak disertai penyakit jantung lain atau penyakit
sistemik lainnya.
b. AF sekunder jika disertai dengan penyakit jantung lain atau
penyakit sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub
mitral dan lain-lain
3. Klasifikasi lain adalah berdasarkan bentuk gelombang P yang
dibedakan atas: 
a. Coarse AF jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bias
dikenali.
b. Fine AF jika bentuk gelombang P halus hampir seperti garis lurus.
2.1.5 Pathofisiologi
Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis
(timbulnya gelombang yang menetap dari Multiple wavelet reentry
depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial
premature atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara
cepat). Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi
ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan
bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan
fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang
mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel,
atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak
di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan
kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian
juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi
fibrilasi atrium.
Karakteristik pemompaan atrium selama fibrilasi atrium :
Atrial fibrilasi menyebabkan respon ventrikel yang tidak beraturan,
sehingga memunculkan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah
secara lengkap ke atrium dan ventrikel. Hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya gumpalan (emboli) yang dapat berkembang menjadi
tromboembolisme (National Collaborating Center for Chronic Condition,
2006).  Atrium tidak akan memompa darah selama AF berlangsung. Oleh
karena itu atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel.
Walaupun demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke
dalam ventrikel, dan efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya
sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan sifat yang
mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama beberapa
bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun timbul
penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung.
Patofisiologi pembentukan trombus pada AF :
Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi
penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri
dan memudahkan terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus
pada atrium kiri lebih banyak dijumpai pada pasien AF dengan stroke
emboli dibandingkan dengan AF tanpa stroke emboli. 2/3 sampai 3/4 stroke
iskemik yang terjadi pada pasien dengan AF non valvular karena stroke
emboli. Beberapa penelitian menghubungkan AF dengan gangguan
hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis
atrial tetapi mungkin juga sebagai faktor terjadinya tromboemboli pada
AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand
(faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya
melaporkan AF akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal
ini dipengaruhi oleh lamanya AF.

2.1.6 Manifestasi klinik


Menurut Marry, dkk (2007) manifestasi klinis yang dapat dilihat dari
pasien dengan atrial fibrilasi (AF) adalah sebagai berikut :
1. Palpitasi (denyut jantung tidak teratur)
2. Perasaan tidak nyaman di dada (nyeri dada) dan jantung berdebar
3. Dyspnea
4. Merasa pusing atau sinkop (pingsan mendadak) yang dapat terjadi
akibat peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya pengisian sistolik
ventrikel.

2.1.7 Komplikasi
Kelainan irama jantung (disritmia) jenis atrial fibrilasi seringkali
menimbulkan masalah tambahan bagi yang mengidapnya, yaitu serangan
gangguan sirkulasi otak (stroke) dan gagal jantung. Ini terjadi karena
atrium jantung yang berkontraksi tidak teratur menyebabkan banyak darah
yang tertinggal dalam atrium akibat tak bisa masuk ke dalam ventrikel
jantung dengan lancar. Hal ini memudahkan timbulnya gumpalan atau
bekuan darah (trombi) akibat stagnasi dan turbulensi darah yang terjadi.
Atrium dapat berdenyut lebih dari 300 kali per menit padahal biasanya tak
lebih dari 100. Makin tinggi frekuensi denyut dan makin besar volume
atrium, makin besar peluang terbentuknya gumpalan darah. Sebagian dari
gumpalan inilah yang seringkali melanjutkan perjalanannya memasuki
sirkulasi otak dan sewaktu-waktu menyumbat sehingga terjadi stroke.
Pada penyakit katup jantung, terutama bila katup yang menghubungkan
antara atrium dan ventrikel tak dapat membuka dengan sempurna, maka
volume atrium akan bertambah, dindingnya akan membesar dan
memudahkan timbulnya rangsang yang tidak teratur.
Sekitar 20 persen kematian penderita katup jantung seperti ini
disebabkan oleh sumbatan gumpalan darah dalam sirkulasi otak.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien antara lain :
1. Pemeriksaan Fisik :
a. Tanda vital : Denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya,
tekanan darah, dan pernapasan meningkat.
b. Tekanan vena jugularis.
c. Ronkhi pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal
jantung kongestif.
d. Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan
kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif, terdapat bising pada
auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup jantung.
e. Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan.
f. Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif.
2. Laboratorium :
a. Darah rutin : Hb, Ht, Trombosit.
b. TSH (Penyakit gondok)
c. Enzim jantung bila dicurigai terdapat iskemia jantung.
d. Elektrolit : K, Na, Ca, Mg.
e. PT/APTT.
3. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG). EKG akan menunjukkan
karakteristik penyakit yang tidak biasa/ganjil yaitu :
a. QRS complexes (durasi dan struktur tidak teratur)
b. Interval PR hampir tak terlihat
c. P-wafes tak menentu, tegangan rendah atau tidak ada (Marry, dkk.,
2007)

4. Rontgen thorax (gambaran emboli paru, pneumonia, PPOK, cor


pulmonal) (Marry, dkk., 2007)
5. Echocardiografi atau prosedur invasive transesofagus echocardiografi
(TOE). Transesofagus echocardiografi ini berfungsi memberikan
gambaran ukuran atrium kiri dan menentukan fungsi sistolik ventrikel
kiri, selain itu sekaligus dapat memperlihatkan kemungkinan adanya
penyakit katub jantung (Berry and Padgett, 2012). Transesofagus
echocardiografi ini dapat dilakukan sebelum pemberian kardioversi
dan juga setelah dilakukan kardioversi. Karena prosedur ini sangat
spesifik untuk menentukan risiko stroke dan tromboemboli pada
pasien atrial fibrilasi (National Collaborating Center for Chronic
Condition, 2006).
6. Tes fungsi tiroid. Pemeriksaan fungsi tiroid bermanfaat karena sebagai
salah satu faktor risiko terjadinya atrial fibrilasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Canadian Registry of Atrial fibrillation Investigators
menunjukkan bahwa pada 5,4% kasus pasien dengan TSH (Tiroid
Stimulating Hormone) menunjukkan adanya gambaran atrial fibrilasi
akut (Guy, Karine and Jean, 2002).

2.1.9 Penatalaksanaan Medis


Tujuan penanganan AF menurut American College of
Cardiology (ACC)/American Heart Association (AHA)/European Society
of Cardiology (ESC) (2006) adalah untuk mengembalikan lagi irama sinus
dan menurunkan risiko terjadinya stroke dengan terapi antirombolitik
(Shay, 2010).
Terdapat tiga kategori tujuan perawatan atrial fiibrilasi yaitu terapi
profilaksis untuk mencegah tromboemboli, mengembalikan kerja
ventrikuler dalam rentang normal, dan memperbaiki irama yang tidak
teratur. Kombinas ketiga strategi tersebut menjadi tujuan penting dalam
mengelola pasien atrial fibrilasi (Shay, 2010).
Tatalaksana AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah
Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III (Irmalita dkk,
2009) yaitu:
1. Medikamentosa/Farmakologi
Rhythm control, tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama
sinus sehingga memungkinkan penderita terbebas dari tromboemboli dan
takikardiomiopati. Dapat diberikan anti-aritmia golongan I seperti
quinidine, disopiramide dan propafenon. Untuk golongan III dapat
diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi dengan
DC shock. (Irmalita dkk, 2009).
Pengembalian irama sinus dengan obat-obatan (amiodaron, flekainid,
atau sotalol) bisa mengubah AF menjadi irama sinus atau mencegah
episode AF lebih lanjut. Antikoagulasi untuk mencegah tromboembolik
sistemik (Patrick, 2006).
  Rate control dan pemberian antikoagulan di lakukan dengan
pemberian obat-obat yang bekerja pada AV node dapat berupa digitalis,
verapamil, dan obat penyekat beta (β bloker). Amiodaron dapat juga
digunakan untuk rate control. Namun pemberian obat-obat tersebut harus
hati-hati pada pasien dengan AF disertai  hipertrovi ventrikel. Pemeriksaan
ekokardiografi bisa membantu sebelum pemberian obat-obat tersebut
(Irmalita dkk, 2009).
Pemberian obat-obat tersebut dapat membantu pengendalian denyut
dengan menurunkan kecepatan ventrikel dengan mengurangi konduksi
nodus AV menggunakan digoksin, β bloker, atau antagonis kanal kalsium
tertentu. Namun kadang AF sendiri tidak menghilang sehingga pasien
membutuhkan digoksin untuk memperlambat repon ventrikel terhadap AF
saat istirahat dan β bloker untuk memperlambat denyut ventrikel selama
olahraga (Patrick, 2006).
2. Non-farmakologi
a. Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada
setiap penderita AF. Jika pasien mengalami AF sekunder, penyakit
penyerta harus dikoreksi terlebih dahulu. Jika AF lebih dari 48 jam
maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu dan 3 minggu
pasca kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat emboli.
Pemeriksaan transesofagus echo dapat direkomendasikan sebelum
melakukan kardioversi dengan DC shock jika pemberian
antikoagulan belum dapat diberikan untuk memastikan tidak
adanya thrombus diatrium.
b. Pemasangan pacu jantung untuk mencegah AF dapat diberikan.
Penelitian menunjukkan pemasangan pacu jantung kamar ganda
lebih dapat mencegah episode AF dibandingkan pemasangan pacu
jantung kamar tunggal. Dan akhir-akhir ini pemasangan lead
atrium pada lokasi Bachman Bundle atau di septum atrium bagian
bawah dapat mencegah terjadinya AF
c. Ablasi kateter untuk mengubah ke irama sinus dengan isolasi vena
pulmonary  dapat dilakukan.  
d. Ablasi AV node dan pemasangan pascu jantung permanen (VVIR).
Teknik ini digunakan terutama pada penderita AF permanen dan
penderita masih menggunakan obat antikoagulan.
e. Pembedahan diperlukan dengan operasi modifikasi Maze. Hal ini
dapat dilakukan sekaligus pada pasien dengan kelainan katub
mitral. (Irmalita dkk, 2009).  
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian primer
a. Airway
1) Kaji dan pertahankan jalan napas.
2) Lakukan head tilt, chin lift jika perlu.
3) Gunakan alat batu untuk jalan napas jika perlu.
4) Pertimbangkan untuk merujuk ke ahli anestesi untuk dilakukan
intubasi jika tidak dapat mempertahankan jalan napas.
b.Breathing
1) Kaji saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter,
untuk mempertahankan saturasi >92%.
2) Berikan oksigen dengan aliran tinggi melalui non re-breathing
mask.
3) Pertimbangkan untuk mendapatkan pernapasan dengan
menggunakan bag-valve-mask ventilation.
4) Lakukan pemeriksaan gas darah arterial untuk mengkaji PaO2
dan PaCO2.
5) Kaji jumlah pernapasan.
6) Lakukan pemeriksan system pernapasan.
7) Dengarkan adanya bunyi pleura.
8) Lakukan pemeriksaan foto thorak.
c. Circulation
1) Kaji heart rate dan ritme, kemungkinan terdengar suara gallop.
2) Kaji peningkatan JVP.
3) Catat tekanan darah.
4) Pemeriksaan EKG.
d.Disability
1) Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU atau
gasglow coma scale (GCS) .
2) Penurunan kesadaran menunjukan tanda awal pasien masuk
kondisi ekstrim dan membutuhkan pertolongan medis segera
dan membutuhkan perawatan di ICU/ICVCU.
e. Exposure
1) Jika pasien stabil lakukan pemeriksaan riwayat kesehatan dan
pemeriksaan fisik lainnya.
2) Jangan lupa pemeriksaan untuk tanda DVT.

Pengkajian Sekunder
a. Riwayat penyakit sekarang
Lama menderita hipertensi atau penyakit jantung lainnya, hal yang
menimbulkan serangan, obat yang pakai tiap hari dan saat 
serangan.
b. Riwayat penyakit sebelumnya
c. Riwayat makanan.
d. Riwayat perawatan keluarga
Adakah riwayat penyakit hipertensi, stroke atau penyakit jantung
lainnya pada keluarga.
e. Riwayat sosial ekonomi
Jenis pekerjaan, kebiasaan seperti merokok atau minuman
beralkohol dan tingkat stressor.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler-alveolar.
2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan
perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik
3) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
kerusakan transpor oksigen melalui membran alveolar/ dan atau
membran kapiler, perubahan kemampuan hemoglobin untuk
mengikat oksigen
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajannya
informasi
2.2.3 Intervensi
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran alveolar-kapiler.
Definisi : Kelebihan atau defisit pada oksigenasi dan atau
eliminasi karbondioksida pada membran alveolar-kapiler.
a) Respiratory status : Gas exchange
b) Respiratory status : Ventilation
c) Vital sign status
Kriteria hasil :
1) Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat
2) Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda
distress pernapasan
3) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed
lips)
4) Tanda-tanda vital dalam rentang normal
Intervensi :
1) Monitor pola napas (bradipnea, takipnea, kusmaull,
hiperventilasi, dll), frekuensi, kedalaman, irama dan usaha
respirasi (adanya pergerakan dada, penggunaan otot bantu
pernapasan, retraksi dinding dada)
Rasional : Mengetahui status pernapasan klien dan sebagai
dasar dalam menentukan intervensi selanjutnya
2) Pantau bunyi nafas, catat krekles
Rasional : Menyatakan adanya kongesti paru/pengumpulan
secret menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.
3) Ajarkan/anjurkan klien untuk batuk efektif, nafas dalam.
Rasional : Membersihkan jalan nafas/mengeluarkan cairan
atau sekret dan memudahkan aliran oksigen.
4) Dorong perubahan posisi.
Rasional : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.
5) Kolaborasi dalam pantau/gambarkan seri GDA, nadi
oksimetri.
Rasional : Hipoksemia dapat terjadi berat selama edema paru.
6) Kolaborasi pemberian obat bronkodilator/suction/oksigen
tambahan sesuai indikasi
Rasional : Membantu dalam mengurangi edema dan
memudahkan jalan nafas.
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan
perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik
Definisi : Ketidakadekuatan darah yang dipompa oleh jantung
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.
1) Cardiac pump effectiveness.
2) Circulation status.
3) Vital sign status.
Kriteria Hasil :
1) Tanda Vital dalam rentang normal (Tekanan darah, Nadi,
respirasi).
2) Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan.
3) Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites.
4) Tidak ada penurunan kesadaran.
Intervensi :
1) Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi dan irama jantung.
Rasional : Biasanya terjadi takikardi (meskipun pada saat
istirahat) untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas
ventrikel.
2) Catat bunyi jantung.
Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya
kerja pompa. Irama Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan
sebagai aliran darah kesermbi yang disteni. Murmur dapat
menunjukkan inkompetensi/stenosis katup.
3) Monitor status pernafasan
Rasional : Dyspnea dapat menunjukkan terjadinya kegagalan
jantung dalam memompa darah
4) Pantau adanya perubahan tekanan darah
Rasional : Pada GJK dini, sedang atau kronis tekanan darah
dapat meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasi dan hipotensi tidak dapat normal lagi.
5) Palpasi nadi perifer
Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan
menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis, pedis dan post
tibia. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk
dipalpasi dan pulse alternan.
6) Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis
Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer
sekunder terhadap tidak adekuatnya curah jantung,
vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapat terjadi sebagai
refrakstori GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atu
belang karena peningkatan kongesti vena.
7) Anjurkan klien untuk menurunkan stres dan aktivitas
Rasional : Mengurangi kebutuhan oksigen
8) Anjurkan klien untuk menghindari mengkonsumsi ethanol
(minuman beralkohol), kafein (coklat, kopi), nikotin (rokok)
Rasional : Ethanol, kafein, dan nikotin dapat memicu aritmia
9) Kolaborasi pemberian oksigen tambahan dengan kanula
nasal/masker dan obat sesuai indikasi
Rasional : Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan
miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat
dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup,
memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
kerusakan transpor oksigen melalui membran alveolar/ dan atau
membran kapiler, perubahan kemampuan hemoglobin untuk
mengikat oksigen
Definisi : Penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat
mengganggu kesehatan
1) Circulation status
2) Tissue perfusion : cerebral
Kriteria Hasil :
1) Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
a) Tekanan sistole dan diastole dalam rentang yang
diharapkan
b) Tidak ada ortostatik hipertensi
c) Tidak ada tanda peningkatan intrakranial (tidak lebih dari
15 mmHg)
2) Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai
dengan :
a) Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan
kemampuan
b) Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
c) Memproses informasi
d) Membuat keputusan dengan benar
3) Menunjukkan fungsi sensori motorik cranial yang utuh :
tingkat kesadaran membaik, tidak ada gerakan-gerakan
involunter
Intervensi :
1) Kaji adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin atau lembab.
Catat kekuatan nadi perifer.
Rasional : Vasokontriksi sistemik diakibatkan karena
penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan
perfusi kulit dan penurunan nadi.
2) Pantau data laboratorium (GBA, BUN, creatinin, dan
elektrolit)
Rasional : Indikator perfusi atau fungsi organ
3) Dorong latihan kaki aktif atau pasif, hindari latihan isometrik
Rasional : Menurunkan statis vena, meningkatkan aliran balik
vena dan menurunkan resiko tromboflebis.
4) Beri obat sesuai indikasi: heparin atau natrium warfarin
(coumadin)
Rasional : Dosis rendah heparin mungkin diberika secara
profilaksis pada pasien resiko tinggi dapat untuk menurunkan
resiko trombofleblitis atau pembentukan trombusmural.
Coumadin obat pilihan untuk terapi anti koangulan jangka
panjang/pasca pulang
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum,
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Definisi : Ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk
melnjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari
yang harus atau yang ingin dilakukan.
1) Energy conservation.
2) Activity tolerance.
3) Self care.
Kriteria Hasil :
1) Berpartisifasi dalam aktifitas fisik tanpa disertai peningkatan
tekanan
darah, nadi dan RR.
2) Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara
mandiri.
3) Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
4) Level kelemahan.
5) Sirkulasi status baik.
6) Status respirasi : pertukaran gas dan ventilasi adekuat.
Intervensi :
1) Bantu klien untuk memilih posisi nyaman untuk istirahat atau
tidur.
Rasional : Meningkatkan kenyamanan klien dalam istirahat
2) Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas,
khususnya
bila klien menggunakan vasodilator, diuretic dan penyekat
beta.
Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas
karena efek obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic)
atau pengaruh fungsi jantung.
3) Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat
takikardi, disaritmia, dispnea berkeringat dan pucat.
Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk
meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dpat
menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan
kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan
kelemahan
4) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
Rasional : Membantu pemenuhan kebutuhan dasar klien dan
mengurangi aktivitas klien
5) Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi
jantung akibat kelebihan aktivitas
6) Kolaborasi Implementasi program rehabilitasi
jantung/aktivitas
Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari
kerja jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan
perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila fungsi jantung
tidak dapat
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajannya
informasi
Definisi : Ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang
berkaitan dengan topik tertentu.
1) Knowledge : disease process
2) Knowledge : health behavior.
Kriteria Hasil :
1) Klien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang
penyakit,
kondisi, prognosis dan program pengobatan
2) Klien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang
dijelaskan secara benar
3) Klien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
Intervensi :
1) Identifikasi kemungkinan penyebab dengan cara yang tepat
Rasional : Mengetahui hal-hal/aktivitas klien yang perlu
dihindari
2) Jelaskan patofisiologi/proses penyakit dengan cara yang tepat
Rasional : Menambah pengetahuan klien tentang proses
penyakit yang dialaminya.
3) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada
penyakit, dengan cara yang tepat
Rasional : Menambah pengetahuan klien tentang tanda dan
gejala yang dapat diidentifikasi saat terjadi
serangan/kekambuhan
4) Sediakan informasi pada klien tentang kondisinya dengan
cara yang tepat
Rasional : Mengurangi kecemasan yang dapat meningkatkan
stress
5) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan
untuk mencegah komplikasii di masa yang akan datang dan
atau proses pengontrolan penyakit
Rasional : Mencegah terjadinya kekambuhan dan komplikasi
6) Dukung klien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan
second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan

1. Discharge planning
a.  Anjurkan pada pasien untuk hindari aktivitas yang bisa
memperburuk keadaan selama di rawat.
b. Anjurkan kepada pasien hindari makanan dan minuman yang dapat
memperlambat proses penyembuhan selama dirawat.
c. Anjurkan kepada pasien tidak melakukan aktivitas berlebih di
rumah
d. Anjurkan pada pasien untuk memperhatikan pola makan dan
minum di rumah.
e. Anjurkan pada pasien untuk berhenti merokok atau minum
beralkohol kalau pasien seorang perokok atau peminum.
f. Anjurkan pada pasien untuk mengkonsumsi obat yang diberikan
sesuai dosis.

2.2.4 Implementasi
Pelakasaan adalah pelakasaan tindakan yang harus dilaksanakan
berdasarkan diagnosis perawat. Pelaksaan tindakan keperawatan dapat
dilaksanakan oleh sebagian perawat, perwata secara mandiri atau bekerja sama
dengan tim kesehatan luar. Dalam hal ini perwat adalah pelaksana asuhan
keperawatan yaitu memberikan pelayanan keperwatan dengan tindakan
keperawatan menggunakan proses keperwatan( Zaidin, 2001).

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan masalah terakhir dalam proses keperawatan yang
merupakan kegitan segaja dan terus menerus yang melipatkan pasien dengan
perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Berry. A and Padgett, H. 2012. Management of patients with atrial fibrillation:


Diagnosis and Treatment. Nursing Standard/RCN Publishing. 26 (22), 47.

Guy, C., Karine, G., and Jean, P. 2002. Atrial fibrillation in the elderly facts and
management. Drugs Aging. 19 (11), 819-846

Irmalita, dkk. 2009. Standar Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi III. Jakarta: RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

Krisanty, Paula. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta. Trans Info
Media

Marry, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Rapha Publishing

National Collaborating Center for Chronic Condition. 2006. Atrial fibrillation.


London. National Clinical Guidline for Management in Primary and
Secondary Care. Royal College of Physicians. www.escardio.org

Patrick Davey. 2006. At a Glance Madicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Philip, I. A., and Jeremy, P. T. W,. 2007. At Glance Sistem Kardiovaskular.


Jakarta: Penerbit Erlangga.

Shay, E. P. 2010. Guideiin-Specific Management of Atrial Fibrilation. Foimulary.


45. www.foimularyjournal.com

Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis


NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai