Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai
dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut
jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi
supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi dan deteriorisasi
fungsi mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik
atau pompa darah jantung Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodik maupun
permanen.(1,2)
Pada Gambaran Elektrokardigram (EKG), tidak terlihat adanya gelombang P
sejati. Bahkan, garis dasar tampak rata atau sedikit bergelombang. Nodus AV yang
diserang bertubi-tubi oleh impuls atrium ini hanya mampu meloloskan impuls dengan
interval yang berbeda-beda sehingga menghasilkan frekuensi ventrikel yang tidak
teratur. Gambaran kompleks QRS yang tidak teratur, ditambah dengan tidak adanya
gelombang P yang jelas, menjadi kunci mengenali atrial fibrilasi. Bentuk seperti
gelombang yang kerap muncul bila kita mengamati dengan seksama garis dasar EKG
yang bergelombang disebut gelombang fibrilasi.3,4

Gambar 1.1 Gambaran EKG Atrial Fibrilasi


2

1.2 Epidemiologi
Atrial fibrilasi merupakan jenis aritmia yang paling sering terjadi. Atrial
fibrilasi dialami lebih dari 2.7 juta diantara 6.1 juta orang di Amerika Serikat.
Prevalensi Atrial fibrilasi adalah 0,1% pada usia dibawah 55 tahun, usia 60 tahun atau
lebih 3,8%, serta 10% pada usia 80 tahun atau lebih. Dengan kenaikan populasi lansia
di Amerika Serikat, prevalensi AF kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali
lipat pada tahun 2050.5,6,7

1.3 Etiologi
Atrial Fibrilasi berhubungan dengan faktor resiko sebagai berikut:
a) Penyakit jantung yang berhubung dengan AF, yaitu: penyakit jantung koroner,
kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertrofik, penyakit katup jantung
reumatik dan non reumatik, aritmia jantung serta perikarditis.
b) Penyakit di luar jantung yang berhubungan dengan AF yaitu hipertensi
sistemik, diabetes mellitus, hipertiroidisme, penyakit paru (penyakit paru
obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut) dan
neurogenik.8

1.4 Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi
dan durasinya, yaitu:
a. AF pertama, kategori ini berlaku terhadap pasien yang pertama kali datang
dengan manifestasi klinis AF, tanpa memandang durasi aritmia, berat atau
ringannya gejala yang muncul.
b. AF Paroksismal, episode AF berhenti atau kembali ke irama sinus secara
spontan dalam 7 hari (kebanyakan episode berakhir kurang dari 48 jam)
c. AF Persisten, yaitu AF berlangsung lebih dari 7 hari atau membutuhkan
kardioversi untuk mengubahnya ke irama sinus, baik secara medikamentosa
maupun elektrik.
d. AF Persisten Lama, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 12 bulan, baik karena
kardioversi yang gagal atau belum pernah dicoba sebelumnya.
3

e. AF Permanen, yaitu AF yang sudah diterima baik dengan dokter maupun


pasiennya secara permanen sehingga strategi kendali irama sudah tidak
dikenakan lagi.2

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh
awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-
ciri dari pasien:
a. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi
jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
b. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,
katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
c. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu
FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.
Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA
valvular.2
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat
dibedakan menjadi:
a. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/menit.
b. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/menit.
c. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/menit.2
4

Klasifikasi simptomp terkait AF.9


Kelas EHRA Gejala Deskripsi
1 Tidak Ada Tidak Ada Gejala
2a Ringan Aktivitas harian normal tidak terganggu
2b Sedang Aktifitas normal harian tidak terganggu, namun pasien
kesusahan dengan gejala
3 Berat Aktivitas normal harian terganggu
4 Disabling Aktivitas normal harian terhenti

1.5 Patofosiologi
Terdapat tiga perubahan pada atrium seiring perkembangan dari AF, yaitu:
a. Remodelling elektrikal
Proses remodelling elektrikal memberikan kontribusi terhadap peningkatan
stabilitas AF selama hari-hari pertama setelah onset. Pada proses ini terjadi
peningkatan laju atrium, termasuk pemendekan periode refrakter dari miosit
atrium dan perlambatan kecepatan konduksi atrium. Mekanisme selular utama
yang mendasari pemendekan periode refrakter adalah penurunan
(downregulation) arus masuk kalsium (melalui kanal tipe-L) dan peningkatan
(up-regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari setelah kembali ke irama
sinus, maka periode refrakter atrium akan kembali normal.
b. Remodelling struktur
Proses remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan proliferasi dan
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan deposisi
jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses remodelling atrium menyebabkan
gangguan elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta
menjadi faktor pemicu sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya AF.
Reaksi fibrosis interstisial memisahkan muscle bundle, sedangkan jaringan
fibrotic menggantikan cardiomyosit yang telah mati. Fibrosis menyebabkan AF
berkembang menjadi bentuk permanen.
5

c. Remodeling Kontraktilitas
Remodeling kontraktilitas paling utama disebabkan karena gangguan arus
masuk kalsium serta hambatan pelepasan kalsium intraselular yang akhirnya
dapat membuat disfungsi mekanis yang dapat menjadi disfungsi sementara atau
irreversibel. gangguan kontraktilitas dihasilkan dari perubahan lokal struktur
miosit atrium (kehilangan gap junctions). Hal ini akhirnya dapat mempengaruhi
energi miofibril untuk berkontraksi.2,10,11
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu
(trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis FA dapat
dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme reentri
mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat. Meskipun demikian,
keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul bersamaan.
1. Mekanisme fokal
Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu dari daerah-daerah
tertentu, yakni 72% di Vena Pulmoner dan sisanya (28%) bervariasi dari vena
kava superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista terminalis
(3,7%), sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%), dan septum
interatrium. Teori ini menyatakan bahwa AF hanya berlangsung di daerah yang
terisolasi di miokardium atrium. studi menunjukkan bahwa fokus fokal ini
dapat diidentifikasi pada manusia dan jika diisolasi dapat menghilangkan AF.
Vena pulmonar menjadi sumber paling utama untuk fokus automatik tersebut.
otot di dalam vena pulmoner memiliki aktivitas listrik yang mirip namun tidak
sama dengan dengan myosit atrium. Teori mengatakan heterogenitas konduksi
listrik di sekitar vena pulmonar mendorong reentry dan AF berkelanjutan.
Dengan demikian, trigger automatic vena pulmoner dapat memicu AF secara
terus menerus.2,12
2. Mekanisme Reentri Mikro
Dalam mekanisme reentri mikro, AF dilanggengkan oleh adanya konduksi
beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar melalui otot-otot
atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama kali dikemukakan oleh
6

Moe yang menyatakan bahwa AF dilanggengkan oleh banyaknya wavelet yang


tersebar secara acak dan saling bertabrakan satu sama lain dan kemudian
padam, atau terbagi menjadi banyak wavelet lain yang terus-menerus
merangsang atrium. Oleh karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil, beberapa
menghilang, sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini memiliki
panjang. Siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan setidaknya 4-6 wavelet
mandiri untuk melanggengkan AF.2,5
1.6 Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis AF, terdapat beberapa langkah yang harus
dilakukan dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan
penunjang.
1) Anamnesis
Hampir >50% episode atrial fibrilasi tidak menyebabkan gejala (silent atrial
fibrillation), namun pada anamnesis, terdapat beberapa gejala ringan yang
mungkin dikeluhkan pasien, seperti palpitasi, mudah lelah atau toleransi rendah
terhadap aktifitas fisik, presinkop atau sinkop, kelemahan umum dan pusing.
Atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati
yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik. Penilaian awal
dari pasien dari pasien dengan AF yang baru pertama kali terdiagnosis harus
berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.
Selain gejala yang dirasakan oleh pasien, anamnesis juga harus meliputi
pertanyaan-pertanyaan yang relevan, seperti:
1. Penilaian klasifikasi AF berdasarkan waktu presentasi, durasi dan frekuensi
gejala.
2. Penilaian faktor-faktor pemicu, seperti aktifitas, tidur, dan kafein
3. Riwayat penggunaan obat anti aritmia serta penilaian adakah penyakit yang
mendasari terjadinya atrial fibrilasi tersebut, baik penyakit jantung maupun
bukan penyakit jantung.
7

2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi dan tanda-tanda vital, untuk mengarahkan tindak lanjut terhadap
A F . Pemeriksaan fisik juga dapat memberikan informasi tentang dasar penyebab
dan gejala sisa dari AF.
1. Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi
oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali
laju yang adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisik, denyut nadi umumnya
ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-
170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung
dapat mengalami bradikadia.
2. Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran
tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada arteri
karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya
komorbiditas penyakit jantung koroner..
3. Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya
penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya AF (seperti
penyakit paru kronik atau asma)
4. Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting pada pasien AF. Palpasi dan auskultasi
yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung katup
atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau adanya bunyi
jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan
peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi jantung II yang mengeras
dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal.
8

5. Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang
dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati. Nyeri
kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi
perifer.
6. Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh
atau edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin
mengindikasikan embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat
mengindikasikan penyakit arterial perifer atau curah jantung yang menurun.
7. Neurologis
Tanda-tanda TIA atau kejadian serebrovaskular terkadang dapat ditemukan
pada pasien AF. Peningkatan refleks dapat ditemukan pada hipertiroidisme.
3) Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam
menegakkan diagnosis atrial fibrilasi, diantaranya adalah:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan darah rutin
lengkap, elektrolit, ureum dan kreatinin darah, enzim jantung (Troponin I dan
CKMB), D-dimer, fungsi tiroid, serta kadar digoksin.Pemeriksaan tersebut
ditujukan untuk mencari gangguan/penyakit lain yang dapat mendasari
terjadinya atrial fibrilasi.
2. Elektrokardiogram
Temuan EKG dapat mengkonfirmasi diagnosis atrial fibrilasi dan biasanya
mencakup laju ventrikel bersifat ireguler serta tidak terdapat gelombang P
yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang acak, diikuti oleh kelompok
QRS yang ireguler pula.
Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai AF antara lain:
 Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang
melebihi 160-170x/menit
9

 Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah


siklus interval R-R panjang pendek (fenomena Ashman)
 Preeksitasi
 Hipertrofi ventrikel kiri
 Blok berkas cabang
 Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS
dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk atrial fibrilasi.
3. Foto Thoraks
Pemeriksaan foto thoraks biasanya normal, tetapi kadang-kadang
ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau
vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia).
4. Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal
adalah modalitas terpilih untuk tujuan ini.2
1.7 Komplikasi
Tromboemboli merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada AF.
Darah yang statis pada atrium karena tidak masuk ke ventrikel menyebabkan
terbentuknya thrombus pada atrium. Trombus tersebut dapat meninggalkan jantung
dan menyumbat pembuluh darah. Salah satu pembuluh darah yang sering tersumbat
adalah pembuluh darah di otak yang dapat bermanifestasi ke stroke iskemik. Oleh
karena itu pencegahan komplikasi ini harus dapat dilakukan sedini mungkin.
CHA2DS2-VASc score digunakan untuk memprediksi resiko thromboemboli pada
AF.
CHA2DS2-VAS2 terdiri dari Congestive heart failure history (1 poin),
Hypertension history(1 poin), Age >74(2 poin), Diabetes history (1 poin), previous
Stroke/Transient ischemic attack/thromboembolism history (2 poin), Vascular
disease (1 poin), Age between 65 to 74 years(1 poin), dan Sex category(Female=1
poin, Male=0 poin).
10

Congestive heart failure adalah tanda ataupun gejala dari gagal jantung atau
bukti objektif dari pengurangan fraksi ejeksi ventricular kiri. Untuk kriteria hipertensi
yaitu jika tekanan darah >140/90 mmHg setidaknya dua kali atau dalam pengobatan
antihipertensi sekarang ini. Diabetes melitus dinilai jika kadar gula darah puasa > 125
mg/dl atau pengobatan dengan agen hipoglikemik oral dan/atau insulin. Pasien juga
pernah mengalami penyakit pembuluh darah atau vascular disease seperti infark
miokard, plak aorta, atau penyakit arteri perifer.14,15,16
Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan dengan risiko
perdarahan akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial yang bersifat fatal
atau menimbulkan disabilitas. Skor HAS-BLED digunakan untuk menilai resiko
perdarahan major pada pasien dengan AF yang menerima antikoagulan oral. Skor
HAS-BLED merupakan kependekan dari Hypertension (1 poin), Abnormal renal or
liver function (2 poin), history of Stroke(1 poin), history of Bleeding(1 poin), Labile
INR value(1 poin), Elderly (1 poin), dan antithrombotic Drugs and alcohol(2 poin).2
Hipertensi berarti dengan TD sistolik >160 mmHg (1 poin). Pada abnormal
liver function yaitu penyakit hati yang kronis (ex: sirosis) atau terjadi perubahan
biokemikal yang signifikan (ex: bilirubin > 2x dari normal dengan nilai
AT/ALT/ALP > 3x nilai normal). Sedangkan abnormal renal function adalah pasien
mengalami dialisis kronik atau transplantasi ginjal atau serum kreatinin > 2,3 mg/dl.
History of bleeding yaitu riwayat perdarahan major seperti anemia atau perdarahan
presdeposisi. INR labile merujuk ke INR yang tidak stabil/tinggi dan rentang waktu
pengobatan < 60%. Elderly adalah jika umur ≥ 65 tahun. Terapi pengobatan atau
drug therapy yaitu riwayat penggunaan obat-obatan seperti antiplatelet ataupun
NSAID. Konsumsi Alkohol (Alcohol intake) yaitu mengkonsumsi delapan gelas atau
lebih alkohol dalam satu minggu.17
Evaluasi risiko perdarahan pada setiap pasien FA harus dilakukan dan jika skor
HAS-BLED ≥3 maka perlu perhatian khusus, pengawasan berkala dan upaya untuk
mengoreksi faktor-faktor risiko yang dapat diubah. Hal yang penting untuk
diperhatikan bahwa pada skor HAS-BLED yang sama, risiko perdarahan intrakranial
dan perdarahan mayor lain dengan pemberian aspirin atau warfarin sama saja.
11

Penggabungan skor CHA2DS2-VASc dan HAS-BLED sangat bermanfaat dalam


keputusan tromboprofilaksis pada praktik sehari-hari.18

Gambar 1.2 Diagram pemilihan antikoagulan

1.8 Tatalaksana
1. Terapi Antitrombotik
Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada pasien AF
meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan baru), dan antiplatelet.
Jenis antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak digunakan untuk prevensi stroke
pasien AF.
12

a. Antagonis vitamin K (AVK)


Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin) adalah obat antikoagulan yang
paling banyak digunakan untuk pencegahan stroke pada AF. Terdapat peningkatan
mortalitas signifikan dengan adanya faktor genetik pada etnis Indonesia yang
berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap warfarin. Bukti tambahan
menunjukkan bahwa pencegahan stroke oleh AVK hanya efektif bila time in
therapeutic range (TTR) baik yaitu >70%. TTR adalah proporsi waktu ketika INR 2-
3 tercapai dibandingkan keseluruhan lama waktu mengkonsumsi AVK. Oleh karena
itu, upaya pengaturan dosis yang terus-menerus harus dilakukan untuk memperoleh
nilai target INR 2-3. Kesulitan pemakaian AVK di Indonesia ialah tidak tersedianya
fasilitas pemeriksaan INR di daerah-daerah perifer. Dalam kaitan ini perlu juga
diperhatikan adanya faktor genetik pada etnis Indonesia yang berkaitan dengan
sensitivitas individu terhadap warfarin.
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses
pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi. Warfarin
diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai puncak konsentrasi
plasma dalam waktu ± 1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin di metabolisme
dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang kemudian diikuti oleh
konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam
b. Antikoagulan Oral Antagonis Non-Vitamin K
Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK di pasaran
Indonesia, yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan
cara menghambat langsung thrombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya
bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.
NOACs, yaitu direct thrombin inhibitor dabigatran dan faktor Xa inhibitors
apixaban, edoxaban, dan rivaroxaban, alternative VKA yang sesuai untuk pencegahan
stroke pada AF. Penggunanaan secara klinis meningkat dengan sangat cepat. Semua
NOACs mempunyai efek yang dapat diprediksi (onset and offset) tanpa
membutuhkan monitoring antikoagulan regular.
13

1) Apixaban
Pada ARISTOTLE (Apixaban for Reduction in Stroke and Other Thrombo-
embolic Events in Atrial Fibrillation) trial apixaban 5 mg dua kali sehari
mengurangi stroke atau emboli sistemik dengan 21% dibandingkan dengan
warfarin, digabung dengan 31% pengurangan pada perdarahan major dan 11%
pengurangan pada semua penyebab moratalitas. penilaian stroke hemoragik dan
perdarahan intracranial, tapi tidak untuk stroke iskemik, lebih rendah pada
apixaban. Angka pada perdarahan gastrointestinal hampir sama antara dua
pengobatan.
Apixaban adalah satu-satunya NOAC yang telah dibandingkan dengan aspirin
pada pasien AF; apixaban secara signifikan mengurangi stroke atau emboli
sistemik dengan 55% dibandingkan dengan aspirin, tidak dengan atau hanya
perbedaan yang kecil pada angka perdarahan major atau perdarahan
intracranial.
2) Dabigatran
Pada penelitian RE-LY (Randomized Evaluation of Long-Term
Anticoagulation Therapy) dabigatran 150 mg dua kali sehari mengurangi stroke
and emboli sistemik 35% dibandingkan dengan warfarin tanpa perbedaan
signifikandalam kejadian perdarahan major. Dabigatran 110 mg dua kali sehari
tidak lebih inferior dibandingkan warfarin untuk pencegahan stroke dan emboli
sistemik, dengan 20% kejadiaan perdarahan major lebih sedikit. kedua dosis
dabigatran tersebut secara signifikan mengurangi stroke hemorragic dan
perdarahan intracranial. Dabigatran 150 mg dua kali sehari secara signifikan
mengurangi stroke iskemik 24% and mortalitas vascular 12%, ketika
perdarahan gastrointestinal secara signifikan meningkat 50%. Tidak terdapat
angka peningkatan signifikan pada angka infark miokard dengan kedua dosis
dabigatran.
3) Edoxaban
Pada trial ENGAGE AF-TIMI 48 (Effective Anticoagulation with Factor
Xa Next Generation in Atrial Fibrillation–Thrombolysis in Myocardial
14

Infarction 48). edoxaban 60 mg sehari sekali dan edoxaban 30 mg sekali sehari


(dengan pengurangan dosis pada beberapa pasien, dibandingkan dengan dosis
tambahan warfarin. Edoxaban 60 mg sehari sekali tidak lebih inferior warfarin.
Edoxaban 60 mg sehari sekali secara signifikan mengurangi stroke atau emboli
sistemik 21% dan secara signifikan mengurangi kejadiaan perdarahan major
20% dibandingkan dengan warfarin, ketika edoxaban 30 mg sehari sekali tidak
lebih inferior dibandingkan warfarin untuk pencegahan stroke and emboli
sistemik tapi secara signifikan mengurangi kejadian perdarahan major 53%.
kematian cardiovascular berkurang pada pasien secara acak pada edoxaban 60
mg sehari sekali atau edoxaban 30 mg sehari sekali dibandingkan dengan
warfarin. Hanya pada dosis yang lebih tinggi yang dibuktikan dapat mencegah
stroke pada AF.
4) Rivaroxaban
Pada trial ROCKET-AF (Rivaroxaban Once Daily Oral Direct Factor Xa
Inhibition Compared with Vitamin K Antagonism for Prevention of Stroke and
Embolism Trial in Atrial Fibrillation), pasien secara acak diberikan rivaroxaban
20 mg sehari sekali atau VKA, dengan dosis tambahan sampai 15 mg setiap
hari. Didapatkan hasil bahwa rivaroxaban non-inferior dibanding warfarin
untuk primary endpoint berupa stroke dan emboli sistemik.
Rivaroxaban tidak mengurangi angka mortalitas, stroke iskemik, atau
kejadiaan perdarahan major dibandingkan dengan VKA. terdapat peningkatan
kejadiaan perdarahan gastrointestinal, tapi secara signifikan mengurangi stroke
hemorrhagic dan perdarahan intracranial dengan rivaroxaban dibandingkan
dengan warfarin.
Penelitian yang membuktikan monoterapi antiplatelet untuk pencegahan
sroke pada AF sangat terbatas.terapi VKA pada pencegahan stroke,emboli
sistemik, infark miokard, dan kematian vaskular lebih baik daripada single atau
dual terapi antiplatelet dengan aspirin dan clopidogrel. Terapi antiplatelet
meningkatkan resiko perdarahan terutama terapi dual antiplatelet,dengan angka
15

perdarahan yang sama pada OAC. Terapi antiplatelet tidak direkomendasikan


untuk mencegah stroke pada pasien AF.
Studi buta ganda ROCKET-AF61 terhadap 14264 pasien FA risiko tinggi
yang diberikan rivaroxaban 20 mg o.d. (15 mg o.d. bila kreatinin klirens hitung
30–49 mL/min) dibandingkan dengan warfarin. Subjek pada studi ini
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk stroke dibandingkan studi AKB lain
tetapi rerata TTR hanya 55% yang lebih rendah dibanding semua studi AKB
lain. Tidak terdapat penurunan angka mortalitas atau stroke iskemik tetapi
terdapat penurunan bermakna stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial.
Tidak ada perbedaan pada primary safety endpoint yaitu gabungan perdarahan
mayor dan perdarahan yang relevan secara klinis tetapi terdapat penurunan
perdarahan fatal pada
c. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit
(COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX 2
ini adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA 2) di
dalam trombosit. Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari
trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan
pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah, terutama
faktor II, VII, IX dan X.
2. Pengontrol denyut jantung
a. Beta blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf
simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut jantung
dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.
b. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung
akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati
Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.
16

c. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih
efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang
abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan
pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.
d. Amiodaron
Amiodaron dapat digunakan sebagai pilihan terakhir dalam tatalaksana
untuk mengontrol laju jantung. Amiodaron direkomendasikan jika heart rate
tidak dapat dikontrol dengan terapi kombinasi (beta blocker atau
verapamil/diltiazem dikombinasikan dengan digoxin)
Pada terapi fase akut lebih digunakan betablocker atau verapamil/diltiazem
dibandingkan dengan digoxin karena onset kerjanya lebih cepat dan efektif. Untuk
penggunaan jangka panjang digunakan beta blocker, Calcium channel blocker,
digitalis, ataupun amiodaron.
3. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk
menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah
suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan
menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu
pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik
(Electrical Cardioversion).
i. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
a. Flecainide
b. Amiodarone
c. Propafenone
d. Ibutilide
e. Vernakalant
f. Quinidine
17

ii. Electrical Cardioversion


Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat logam
(bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah
mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR (nodus
sinus rhythm).
iii. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan sayatan
pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh darah
utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat
elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya AF.
b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation, tetapi pada
maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang berfungsi untuk
membantu menormalitaskan sistem konduksi sinus SA.
c. Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di
jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.2,10
18

BAB II
KESIMPULAN

Atrial Fibrilasi merupakan aritmia yang paling sering terjadi dan didapatkan
pada masyarakat. Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang
ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi
denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Klasifikasi atrial fibrilasi salah
satunya yaitu paroksisimal, persistent, long persistent, dan permanent. Atrial fibrilasi
ditegakkan melaui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang seperti
EKG.
Salah satu komplikasi dari atrial fibrilasi adalah thromboemboli. Untuk menilai
faktor resiko penyebab thromboemboli digunakan CHADS2 VASc score. Skor ini
untuk menilai apakah pasien perlu diberikan antikoagulan oral atau tidak. Untuk
menilai resiko perdarahan digunakan HAS-BLED score. Tatalaksana pada atrial
fibrilasi yaitu berupa pengontrol laju jantung, anti-aritmia, maupun antitrombotik.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-


12-04. Archived from the original on 2009-03-28.

2. Perki. Pedoman tatalaksana atrial fibrilasi. 2015: p. 1-74.

3. European Heart Rhytm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm


Aj, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force
the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology
(ESC). European Heart Journal. 2010;31:2369-429

4. S. Thahler, Malcom. Satu-satunya Buku EKG yang Anda Perlukan. 2016.


Jakarta: EGC.

5. Ferrari R, Bertini M, Blomstrom-Lundqvist C, et al. An update on atrial


fibrillation in 2014: from pathophysiology to treatment. Int J Cardiol. 2016 Jan
15. 203:22-9.

6. Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, et al, for the Writing Group Members,
American Heart Association Statistics Committee., et al. Executive summary:
heart disease and stroke statistics--2016 update: a report from the American
Heart Association. Circulation. 2016 Jan 26. 133 (4):447-54.

7. Abdel Latif A, Messinger-Rapport BJ. Should nursing home residents with


atrial fibrillation be anticoagulated?. Cleve Clin J Med. 2004 Jan. 71 (1):40-4.

8. Sudoyo, Aru K, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi V. 2009.
Jakarta: Interna publishing.

9. 2016 ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation developed in


collaboration with EACTS: The Task Force for the management of atrial
fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). 2016. European Heart
Journal.

10. Friberg J, Buch P, Scharling H, Gadsbphiol N, Jensen GB. Relationship


between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patients with
nonvalvular chronic atrial fibrilation and atrial flutter”. Circulation Journal.
2013;67(1): 68-72.
11. van Brakel TJ, van der Krieken T, Westra SW, van der Laak JA, Smeets JL,
van Swieten HA. Fibrosis and electrophysiological characteristics of the atrial
appendage in patients with atrial fibrillation and structural heart disease. J
Interv Card Electrophysiol. 2013 Nov. 38 (2):85-93.
20

12. Nguyen BL, Fishbein MC, Chen LS, Chen PS, Masroor S. Histopathological
substrate for chronic atrial fibrillation in humans. Heart Rhythm. 2009 Apr. 6
(4):454-60

13. Wu H, Xie J, Li GN, et al. Possible involvement of TGF-β/periostin in fibrosis


of right atrial appendages in patients with atrial fibrillation. Int J Clin Exp
Pathol. 2015. 8 (6):6859-69.

14. Okumura K, Inoue H, Atarashi H, Yamashita T, Tomita H, Origasa H; J-


RHYTHM Registry Investigators.Validation of CHA₂DS₂-VASc and HAS-
BLED scores in Japanese patients with nonvalvular atrial fibrillation: an
analysis of the J-RHYTHM Registry. Circ J. 2014;78(7):1593-9. Epub 2014
Apr 22.

15. Guyatt GH, Akl EA, Crowther M, et al. Executive summary: Antithrombotic
Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed: American College of Chest
Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. Chest. 2012;141(2
Suppl):7S-47S.

16. Lip GY, Nieuwlaat R, Pisters R, Lane DA, Crijns HJ. Refining clinical risk
stratification for predicting stroke and thromboembolism in atrial fibrillation
using a novel risk factor-based approach: the euro heart survey on atrial
fibrillation. Chest. 2010 Feb;137(2):263-72. doi: 10.1378/chest.09-1584. Epub
2009 Sep 17. PubMed PMID: 19762550.

17. Pisters R, Lane DA, Nieuwlaat R, et al. A Novel User-Friendly Score (Has-
Bled) To Assess 1-Year Risk Of Major Bleeding In Patients With Atrial
Fibrillation: The Euro Heart Survey. Chest. 2010;138(5):1093-1100.

18. Iwasaki, Nishida, Kato, Nattel. Atrial fibrillation patophysiology implication


for management. American Heart Association: 2011;124:2264-2274

Anda mungkin juga menyukai