Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus

ATRIAL FIBRILASI

Disusun Oleh:
AL BUKHARI

Pembimbing:
dr. SRI MURDIATI, Sp.JP (K) FIHA

BAGIAN/SMF KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2015
PENDAHULUAN

Fibrilasi atrium (atrial fibrillation, AF) adalah takikardia supraventrikuler


dengan karakteristik aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi, suatu aritmia yang
ditandai oleh gangguan koordinasi dari depolarisasi atrium. AF adalah gangguan
irama yang paling sering ditemukan. AF sering terjadi pada pria dibandingkan
wanita.1,2 Di Amerika Serikat diperkirakan 2,3 juta penduduk mengalami AF
dengan >10% berusia diatas 50 tahun dan diperkirakan akan terus bertambah
menjadi 4,78 juta pada tahun 2035.2 Angka kejadian fibilasi atrium dipastikan
akan terus meningkat terkait dengan usia harapan hidup yang meningkat,
perbaikan dalam manajemen penyakit jantung koroner maupun penyakit jantung
kronis lainnya, serta sebagai konsekuensi dari semakin baiknya alat monitoring
diagnosis.2

Literatur menyebutkan atrial fibrilasi (AF) merupakan salah satu kondisi

aritmia yang paling umum terjadi pada usia diatas 75 tahun (Barrett, Martin,

Storrow, 2011). Kejadian atrial fibrilasi meningkat dengan bertambahnya usia

(Patrick, 2002). Pada abad ke-21 ini semakin meningkat jumlah pasien dengan

diagnosa atrial fibrilasi (Alfred, Jennife, Steven, Devender , 2012). Pada tahun

2001, jumlah pasien dengan atrial fibrilasi mencapai 2,3 juta di Amerika dan 4, 5

juta pasien di Eropa. Dan diperkirakan kejadian atrial fibrilasi akan terus

meningkat 0,1% setiap tahunnya pada populasi umur 40 tahun ke atas, 1,5% pada

wanita, dan 2% pada lansia dengan umur lebih dari 80 tahun (Camm, Kirchhof,

Lip, Schotten, Irene, Ernst, Gelder et al 2010). Angka kejadian atrial fibrilasi di

dunia pada tahun 2010 diperkirakan 2,66 miliar dan pada tahun 2050 diperkirakan

sejumlah 12 miliar jiwa. Dalam dua dekade ini angka kematian akibat

atrial fibrilasi meningkat 3.


AF dapat menyebabkan gagal jantung kongestif terutama pada pasien yang
frekuensi ventrikelnya tidak dapat dikontrol. Adanya gagal jantung dihubungkan
dengan prognosis yang lebih buruk. Studi terbaru menemukan adanya 10-30% AF
pada pasien gagal jantung yang simptomatik, dengan peningkatan kematian 34%
bila dibandingkan dengan gagal jantung itu sendiri. AF juga menurunkan status
kesehatan, kapasitas jantung dan kualitas hidup seseorang.
Dalam dua dekade terakhir telah terjadi peningkatan angka rawat di rumah
sakit akibat gangguan listrik jantung. Fungsi ventrikel kiri juga terganggu dengan
adanya irama tidak teratur dan cepat, yang menyebabkan hilangnya fungsi
kontraksi atrium dan meningkatnya tekanan pengisian pada saat akhir diastolik
ventrikel kiri.3
Deteksi dini AF masih sangat sulit dilakukan sebab riwayat perjalanan
penyakit AF sering tidak ditemukan (silent natural history). Sekitar sepertiga
pasien dengan AF bersifat asimptomatik (AF asimptomatik)1. Tujuan utama dari
terapi AF adalah untuk mengurangi gejala kardiovaskular, morbiditas dan
mortalitas.4
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu aritmia yang ditandai oleh disorganisasi
dari depolarisasi atrium sehingga berakibat pada gangguan fungsi mekanik
atrium.2 Atrial fibrilasi mempunyai karakteristik sebagai berikut:3
1. Interval RR tidak teratur, yaitu tidak ada pola repetitif pada elektrokardiografi
(EKG)
2. Tidak ada gambaran gelombang P yang jelas pada EKG
3. Siklus atrial (jika terlihat) yaitu interval di antara dua aktivasi atrial sangat
bervariasi >300 kali per menit

Patofisiologi
Ada dua mekanisme yang memicu dan mempertahankan kejadian AF yaitu
adanya otomatisasi satu atau lebih focus depolarisasi dan adanya re-entry yang
menjadi suatu sirkuit agar AF dapat terus berlangsung. Hal ini menyebabkan
remodeling atrium yang ditandai dengan fibrosis yakni suatu penumpukan
kolagen yang abnormal dan berlebihan, infiltrasi lemak pada nodus sinoatrial,
perubahan molecular pada kanal ino dan perubahan pola depolarisasi dan
penggunaan energy sel serta apoptosis.5

Gambar Prinsip mekanisme elektrofisiologi fibrilasi atrium.


Keterangan gambar:
A, Aktivasi fokal (focal activation). Fokus pencetus (ditandai bintang)
seringkali terletak diantara muara vena pulmonalis. Wavelets yang dihasilkan
merupakan konduksi fibrilasi seperti pada multiple-wavelet re-entry.
B. Multiple-wavelet re-entry. Wavelets (tanda panah) secara acak masuk
kembali ke jaringan yang sebelumnya diaktivasinya atau diaktivasi oleh wavelets
lain. Perjalanan wavelets bervariasi. LA - left atrium; PV- pulmonary vein; ICV –
inferior vena cava; SCV - superior vena cava; RA - right atrium.
Dapat disimpulkan bahwa AF dimulai dengan adanya aktivitas listrik secara
cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis. Aritmia ini akan
berlangsung terus dengan adanya lingkaran sirkuit re-entry yang multipel.
Penurunan masa refrakter dan terhambatnya konduksi akan memfasilitasi
terjadinya re-entry. Setelah AF timbul secara terus-menerus akan terjadi
remodeling listrik (electrical remodeling) yang selanjutnya akan membuat AF
permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi permanen
seiring terjadinya perubahan struktur, bila AF berlangsung lama.
AF kronik dapat menyebabkan regangan dan dilatasi atrium dikarenakan
gangguan kontraktilitas dari atrium, sehingga proses fibrosis pada atrium tersebut
justru merupakan konsekuensi dari AF . Fibrosis interstisial, dilatasi atrium dan
payah jantung akan memfasilitasi AF menjadi persisten, sehingga hal tersebut
bagaikan suatu lingkaran setan dalam perjalanan klinis aritmia ini.2

Klasifikasi

Secara klinis, terdapat 5 tipe AF yang dapat dibedakan berdasarkan presentasi dan
durasi aritmia.
1. First diagnosed AF: setiap pasien yang baru pertama kali terdiagnosis dengan
AF tanpa melihat durasi atau beratnya gejala yang ditimbulkan oleh AF
tersebut.
2. Paroxysmal AF: AF yang biasanya hilang dengan sendirinya dalam 48 jam
sampai 7 hari. Jika dalam 48 jam belum berubah ke irama sinus maka hanya
kemungkinan kecil untuk dapat berubah ke irama sinus lagi sehingga perlu
dipertimbangkan pemberian antikoagulan.
3. Persistent AF: episode AF yang bertahan sampai lebih dari 7 hari dan
membutuhkan kardioversi untuk terminasi dengan obat atau dengan elektrik.
4. Long standing persistent AF: episode AF yang berlangsung lebih dari 1 tahun
dan strategi yang diterapkan masih kontrol irama jantung (rhythm control).
5. Permanent AF: jika AF menetap dan secara klinis dapat diterima oleh pasien
dan dokter sehingga strategi managemen adalah tata laksana kontrol laju
jantung (rate control).

Gambar Klasifikasi atrial fibrilasi1

Berdasarkan laju respon ventrikel, AF dibagi menjadi :


1. AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel >100 kali/menit
2. AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel ±60 kali/menit
3. AF respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100
kali permenit.

Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis
AF memiliki gejala klinis yang luas. Beberapa kasus bisa jadi asimptomatik.
Keluhan yang sering dialami pasien adalah palpitasi, dispneu, fatigue, mata
berkunang-kunang dan nyeri dada. Karena gejala AF tidak spesifik maka tidak
bisa digunakan untuk menegakkan dan menentukan onset AF.5 AF dapat pula
diawali dengan manifestasi stroke atau TIA (transient ischemic attack) sehingga
beralasan bila penyakit ini disebut asimptomatik dan sering pula AF kembali
secara spontan (self terminating)
b. Pemeriksaan Penunjang
Adanya denyut irregular seharusnya selalu memunculkan kecurigaan ke
arah AF, dan untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan dengan EKG1.
Bila EKG tidak menunjukkan adanya AF namun dugaan AF sangat kuat maka
sebaiknya lakukan pengawasan dengan Holter 24 jam untuk mendokumentasikan
ada tidaknya aritmia. Jika pasien tidak stabil karena hipotensi, ongoing ischemia,
gagal jantung berat, kardioversi elektrik darurat harus segera dilakukan. Namun,
bila klinis pasien stabil, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
seharusnya dilakukan dan difokuskan pada pencarian penyabab dasar yang
memicu dan kondisi komorbid yang menyertai. Pemeriksaan standar yang
biasanya dilakukan untuk evaluasi fungsi jantung dan identifikasi kondisi
komorbid termasuk EKG, darah lengkap, profil metabolik lengkap, pengukuran
hormon tiroid, foto thoraks dan ekokardiografi5.

Gambaran EKG menunjukkan adanya AF. Gelombang P tidak ada dan


digantikan oleh aktifitas elektrik ireguler. Laju ventrikel ireguler dan kacau5
Tabel Evalusi klinis pasien dengan AF6

Evaluasi minimum Pemeriksaan tambahan


1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Satu atau beberapa pemeriksaan
 Ada tidaknya gejala klinis AF berikut perlu dilakukan
 Klasifikasi AF (first episode, 1. Six-minute walk test
paroxysmal, persistent, or  Jika efektifitas terapi rate
permanent) control masih dipertanyakan
 Onset serangan pertama atau 2. Exercise testing
waktu ditegakknya AF  Jika efektifitas terapi rate
 Frekuensi, durasi, faktor control pada AF permanen
pemicu dan cara berakhirnya masih dipertanyakan
AF  Untuk mencari tahu adanya AF
 Respon terhadap obat yang yang dipicui oleh latihan
diberikan 3. Holter monitoring
 Adanya penyakit jantung yang  Jika tipe aritmia masih
mendasari atau kondisi lain dipertanyakan
seperti hipertiroid atau  Sebagai alat untuk evaluasi
konsumsi alkohol terapi rate control
2. EKG, untuk identifikasi 4. Foto thoraks, untuk evaluasi
 Ritme (memastikan AF)  Bila penemuan klinis
 Hipertrofi ventrikel kiri mengarah kepada abnormalitas
 Durasi dan morfologi parenkim paru dan pembuluh
gelombang P darah paru
 Preeksitasi
 Bundle branch block
 MI
 Aritmia atrial lainnya
 Mengukur interval R-R, QRS
dan QT sebagai evaluasi
terhadap terapi antiaritmia
3. Ekokardiografi, untuk identifikasi
 Penyakit katup jantung
 Ukuran atrium kanan dan kiri
 Ukuran dan fungsi ventrikel
kiri
 Tekanan ventrikel kanan
(hipertensi pulmonal)
 Hipertrofi ventrikel kiri
 Thrombus atrium kiri
(sensitivitas rendah)
 Penyakit perikardium
4. Pemeriksaan tiroid, ginjal dan
fungsi hati
 Pada first episode AF dengan
denyut jantung sulit dikontrol
Tata Laksana

Tata laksana AF bertujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah


komplikasi. Pencegahan komplikasi AF diupayakan melalui terapi antitrombotik,
mengontrol laju ventrikel (rate control) dan terapi adekuat terhadap penyakit
jantung penyerta. Terapi tersebut juga akan menghilangkan symptom, tetapi untuk
menghilangkan symptom sepenuhnya diperlukan terapi kontrol irama (rhythm
control) melalui kardioversi, terapi antiaritmia atau bahkan ablasi.7

Gambar Kaskade tata laksana AF1

Pada kasus AF paroksismal, target terapi umumnya adalah mereduksi


aritmia yang terjadi dan mempertahankan irama sinus. Sedangkan pada AF
permanen, pendekatan rate control lebih menjadi pilihan2. Terapi pada pasien AF
yang persisten masih kontroversial apakah berusaha untuk mempertahankan irama
sinus atau membiarkan pasien dalam irama AF dan mengontrol laju jantung.
Sampai saat ini pada tahap awal para klinisi tetap berusaha tetap mempertahankan
irama sinus dengan kardioversi dan obat antiaritmia3. Namun apapun jenis
fibrilasi atriumnya, upaya prevensi risiko tromboemboli, meredakan gejala klinis
dan hemodinamik serta penanganan komorbid merupakan aspek penting
manajemen keseluruhan.2
Strategi dalam pengobatan AF adalah sebagai berikut:

1. Antitrombotik
Pemilihan antitrombotik harus didasarkan ada tidaknya faktor risiko stroke
dan tromboemboli, pengelompokan menggunak skor CHADS2. CHADS2 yang
merupakan singkatan dari Cardiac failure, Hypertension, Age (>75 tahun),
Diabetes Mellitus dan riwayat Stroke atau TIA masing-masing diberi skor 1
kecuali riwayat stroke mendapat skor 2. Makin tinggi skor CHADS2, maka makin
tinggi risiko stroke, dalam hal ini skor 0 dikelompokka sebagai risiko rendah, skor
1-2 risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.7

Skema pemilihan antitrombotik1

2. Kontrol laju
Terapi awal setelah awitan AF harus selalu meliputi antitrombotik yang
adekuat dan mengontrol laju ventrikel.7 Strategi menurunan laju ventrikel dikenal
sebagai laju kontrol, berfungsi untuk memperbaiki pengisian diastolik, perfusi
koroner, menurunkan kebutuhan energi miokardium dan mencegah kardiomiopati
yang diperantarai oleh takikardi.5
Target utama dari pendekatan ini adalah meredakan gejala klinis dan
pencegahan komplikasi hemodinamik dengan cara mengontrol respons laju
ventrikel. Target terapi adalah laju ventrikel antara 60-80 kpm saat istirahat dan
90-115 kpm saat beraktivitas sedang. Obat yang menjadi lini pertama adalah
golongan penyekat beta (metoprolol dan atenolol). Jika monoterapi belum
berhasil, maka agen kedua atau ketiga dapat ditambahkan. Golongan antagonis
kalsium non-dihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil dapat menjadi pilihan
lini kedua pada pasien yang kontraindikasi atau nontoleransi dengan penyekat
beta. Penyekat beta dan antagonis kalsium bersifat depresif terhadap fungsi
ventrikel sehingga harus berhati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan
hipotensi atau payah jantung. Digoxin dapat dijadikan pilihan sebagai kontrol laju
pada pasien payah jantung dengan fibrilasi atrium. Namun digoxin kurang efektif
dalam mengontrol denyut jantung pada saat beraktivitas atau dalam kondisi
hiperadrenergik seperti demam, tirotoksikosis dan pasca operasi. Upaya non-
farmakologis berupa ablasi nodus AV dan pacing dapat menjadi pilihan yang
efektif dalam control laju bagi pasien yang gagal terapi dengan agen-agen
farmakologis2.
3. Kontrol irama
Merubah AF ke irama sinus dilakukan bila pasien masih terdapat gejala
simtomatik dengan pendekatan kontrol laju. Harus diingat bahwa pendekatan
kontrol irama belum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal penurunan
mortalitas atau kejadian tromboemboli dibandingkan dengan pendekatana kontrol
laju. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan kontrol irama hanya bila pasien
masih simtomatik.7
Kontrol irama atau kardioversi mengacu pada upaya reversi dan
mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang. Kontrol irama dapat dicapai
secara farmakologis dengan menggunakan agen anti-aritmia maupun dengan
kardioversi elektrik. Kardioversi secara farmakologis kurang efektif jika
dibandingkan dengan kardioversi elektrik bifasik. Namun metode kardioversi
manapun akan membawa risiko tromboemboli, terutama jika aritmia telah
berlangsung >48 jam, kecuali jika profilaksis dengan antikoagulan telah diberikan
sebelumnya.2 Agen farmakologik yang dapat dipakai adalah flecainide, dofetilide,
propafenone, dan ibutilide. Amiodaron masih merupakan obat dengan efektifitas
yang paling baik untuk control irama.7 Sebaiknya kardioversi farmakologik
dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium agar efektivitasnya lebih
baik. Panduan dari NICE (National Institute for Health and Clinical Exellence)
menganjurkan strategi kontro laju sebagai pilihan pertama pada pasien dengan
fibrilasi atrium persisten dengan karakteristik sebagai berikut; berusia >65 tahun,
dengan penyakit jantung koroner, kontraindikasi terhadap agen antiaritmia, tanpa
adanya gagal jantung kongestif, dan tidak cocok untuk kardioversi. Sedangkan
strategi rhythm control selayaknya menjadi pilihan pertama pada fibrilasi atrium
persisten yang bergejala, usia pasien lebih muda, tampil pertama kali sebagai
fibrilasi atrium ataupun paroksismal terhadap suatu presipitan.2

Skema Pemilihan antiaritmia untuk mempertahankan irama sinus pada pasien


dengan AF paroksismal dan persisten berulang6
4. Ablasi
Indikasi ablasi AF adalah AF simtomatik yang refrakter atau intoleren
terhadap terapi paling tidak satu antiaritmia kelas 1 atau 3. Ablasi juga dapat
dilakukan pada pasien gagal jantung simtomatik. Ada juga pasien yang memilih
ablasi sebagai upaya terbebas dari keharusan minum antikoagulan jangka panjang.
Adanya thrombus di atrium kiri merupakan kontraindikasi ablasi.7
Skema Manajemen farmakologi pasien dengan AF paroksismal berulang6

Skema Manajeman farmakologi pasien dengan AF persisten atau permanen


berulang6
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. Bk
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. CM : 1-03-47-41
Alamat : Pidie Jaya
Tgl. Masuk RS : 13 Maret 2014
Tgl. Pemeriksaan : 19 Maret 2015
2. Anamnesis

Keluhan utama : Cepat Capek

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke poli jantung bersama istrinya dengan keluhan merasa

sering cepat lelah. Hal ini dirasakan pasien pada saat beraktivitas seperti ke

kamar mandi, berjalan jarak pendek, dan membaik ketika pasien beristirahat.

Cepat capek yang dirasakan pasien disertai dengan sesak napas. Selain itu pasien

juga mengeluh sering nyeri dada dan jantung terasa berdebar-debar hebat terutma

saat sedang capek..

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien pernah mengalami gejala yang sama sebelumnya, Riwayat hipertensi


tidak diketahui, namun pasien baru tahu sejak tahun 2013. Tahun 2013 pasien
pernah dirawat di ruang Geulima. Riwayat diabetes mellitus (-), riwayat stroke (-).

Riwayat penggunaan obat:

Pasien sudah mengkonsumsi obat jantung sejak 2 tahun yang lalu, namun
pasien lupa nama obat yang telah diberikan
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien. Ada riwayat hipertensi dalam keluarga.

3. Vital Sign
Kesadaran : Kompos mentis (E4 M6 V5)
Tekanan darah : 135/70 mmHg
Nadi : 128 kali/menit, irreguler
RR : 23 kali/menit
T : 36,70C
4. Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva palpebral inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : normotia, serumen (-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa bibir lembab (+)
Leher : pembesaran KGB (-), JVP R-2 cmH2O
Thorax :
Inspeksi : simetris, retraksi SS, IC dan epigastrium (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), SF kanan = SF kiri
Perkusi : sonor (+/+) di seluruh lapangan paru
Auskultasi : ves (+/+), rh (-/-) basah halus, wh (-/-)
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan di linea parasternalis dekstra batas
jantung kiri di 1 jari dari linea midclacicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I>II, irregular (+), bising(-)

Abdomen :
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-), hepar/lien/renal tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : peristaltik (+) N, bising usus (-)

Ekstremitas:
Ekstremitas superior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin (-/-)
Ekstremitas inferior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin(-/-)
CRT <2”

5. Pemeriksaan Penunjang
EKG (18 maret 2015)

Interpretasi EKG :
Irama : Atrial Firilasi RVR
Axis : normoaksis
Gelombang P : sulit dinilai
Interval P-R : sulit dinilai
QRS rate : 131 kali/menit
ST elevasi : negatif
ST depresi : negatif
Kesimpulan : Atrial Fibrilasi RVR + VES + RBBB

Laboratorium darah (16 Februari 2015)


Hb : 14,7 g/dl
Ht : 45%
Eritrosit : 5,1 x 106/mm3
Leukosit : 7,3 x 103/mm3
Trombosit : 150 x 103/mm3
Hitung jenis : E/B/NS/L/M = 41/1/63/20/8
Na/K/Cl : 142/3,5/95
GDS : 104 mg/dL
Ur/Cr : 23/0,77 mg/dL
TSH : 0,97 uiU/ml

Foto Thorax PA (16 Maret 2015)


Kesimpulan : Dalam batas normal

Ekokardiografi (18 Maret 2015)


Kesimpulan : RV Fungsi menurun, TR Severe PTI Moderate

6. Diagnosis Kerja
1. Atrial Fibrilasi
2. VES Multifokal

7. Penatalaksanaan
1.7.1 Non-Medikamentosa
- Bed rest semi fowler
- Balance cairan
- Kurangi asupan lemak
- Meningkatkan konsumsi buah dan sayur.
3.7.2 Medikamentosa
 Inj. Furosemid 2 x 40 mg (pagi)
 Simarc 1x20 mg (malam)
 Digoxin 1 x 0.25 tablet (pagi)
 Spironolacton 1x25 mg
 Lansoprazole 2 x 30 mg
 Cardace 1 x 2,5 mg

8 Planning Diagnostik
- EKG serial setiap hari
- Balance cairan
- Pemeriksaan laboratorium (profil lipid, ureum, kreatinin, elektrolit dan
TSH)
- Foto Thorax AP
- Echocardiografi

9 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

10 Anjuran Ketika Pulang


- Perbanyak istirahat di rumah
- Olahraga teratur
- Hindari makanan berlemak dan mengandung garam yang berlebih
- Minum obat yang teratur
- Kontrol ke poliklinik jantung
DISKUSI
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien didapatkan keluhan berdebar-
debar yang hilang sendiri (self terminating) dan sesak nafas. Hasil pemeriksaan
EKG ditemukan irama asinus, dengan normoaxis, sementara gelombang P sulit
dinilai dan interval P-R sulit dinilai, sehingga disimpulkan adanya suatu atrial
fibrilasi.
AF terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak terorganisirnya sinyal
listrik dibagian atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan
tidak teratur. Akibat dari hal ini, darah terkumpul diatrium dan tidak benar-benar
dipompa ke ventrikel, sehingga heart rate pasien sangat cepat, dan gelombang P
didalam EKG tidak dapat dilihat (sulit dinilai).
Gambaran EKG pada AF terdapat irama yang tidak teratur dengan
frekuensi laju jantung bervariasi (bisa normal/lambat/cepat). Jika laju jantung <60
kali/menit disebut AF dengan respon ventrikel lambat, jika laju jantung 60-100
kali/menit disebut AF respon ventrikel normal, sedangkan jika laju jantung >100
kali/menit disebut AF dengan respon ventrikel cepat.
Pasien datang dengan keluhan merasa cepat lelah, yang dirasakan pada
saat beraktivitas, berdebar-debar dan sesak. Fungsi kontraksi atrial yang sangat
berkurang pada atrial fibrilasi akan menurunkan curah jantung dan berisiko
menyebabkan gagal jantung kongestif. (AHA,2009). AF dapat mempermudah
perkembangan dan perburukan gagal jantung dengan beberapa cara seperti
peningkatan laju jantung istirahat, respon laju jantung yang berlebihan terhadap
latihan dapat menyebabkan menurunnya waktu pengisian diatolik dan penurunan
curah jantung (Rilantono, Lily l).
Pada dasarnya AF tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada
perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut
jantung, ketidak teraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik.
Disamping itu AF juga memberikan gejala lain yang yang disebabkan oleh
penurunan oksigenisasi darah kejaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan,
sesak, dan nyeri dada. Tetapi 90% episode dari AF tdak memberikan gejala
tersebut.
Tujuan yang ingin dicapai pada pengobatan AF adalah mengembalikan ke irama
sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan tromboemboli (Nasution, Sally).
Pada Kasus ini diberika Inj. Furosemid 2 x 40 mg (pagi), Simarc 1x20 mg (malam),
Digoxin 1 x 0.25 tablet (pagi), Spironolacton 1x25 mg, Lansoprazole 2 x 30 mg
Cardace Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol
perifer, dengan mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stres
dan kebutuhan oksigen (oxygen demand). Nitrat juga menambah suplai oksigen dengan
vasodilatasi pembuluh koroner (Nasution, Sally).
Furosemide (loop diuretik) adalah diuretik kuat, cepat menguras cairan
tubuh dan elektrolit sehingga tidak di anjurkan untuk kecuali pada pasien HT yang
juga menderita retensi cairan yang berat. Indikasi dari loop diuretik adalah edema
pada sindrom nefrotik, chronic renal insufficiency, atau cirrhosis hepatis yang
refrakter terhadap diuretik lain (Rilantono, Lily l).
Warfarin adalah antikoagulan oral yang merupakan antagonis vitamin K.
Warfarin sangat efektif mencegah stroke pada pasien AF. Perlu dicatat bahwa
stroke dapat masih dapat terjadi dalam terapi warfarin disebabkan oleh
ketidakpatuhan pasien meminum obat dan target terapi tidak tercapai. Untuk dapat
efektif mencegah stroke, warfarin harus mencapai target terapi yaitu nilai INR
(International Normalization Ratio) 2-3. INR yang terlalu rendah tidak efektif,
sebaliknya bila terlalu tinggi beresiko perdarahan serius (Rilantono,Lily l).
Spironolakton adalah anti-aldosteron, memiliki efek antihipertensi lemah
dan meningkatkan kadar kalium dalam plasma, sehingga obat ini selalu
dikombinasikan dengan dengan HCT (hidroklorotiazid) atau furosemide untuk
mencegah terjadinya hipokalemia. Spironolakton menurunkan mortalitas pasien
hypertensive heart failure. Obat ini juga dianjurkan pada penderita infark miokard
karena mencegah remodeling. Efek samping spironolakton adalah impoten,
gynecomastia, dan hipertrofi prostat (Rilantono,Lily l).
Cardace adalah obat yang anti hipertensi dengan komposisi Ramipril.
Indikasi pemberiannya ialah untuk hipertensi, gagal jantung setelah infark
miokard akut, stroke, kematian kardiovaskuler atau kebutuhan akan prosedur
revaskularisasi pada pasien diabetes mellitus dan usia lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

1. European Society of Cardiology. Guidelines for the management of atrial


fibrillation. European Heart Journal. 2010. 31. p.2369–2429.
2. Dinarti LK,Suciadi LP. Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien
dengan Fibrilasi Atrium. Maj Kedokt Indon. 2009. Vol.59 (6). p. 277-284.
3. Yansen I, Yuniadi Y. Tata Laksana Fibrilasi Atrium: Kontrol Irama atau Laju
Jantung. CDK-202. 2013. Vol.40 (3). p.171-175.
4. Rienstra M et al. Symptoms and Functional Status of Patients WithAtrial
Fibrillation: State of the Art and Future Research Opportunities. Circulation.
2012. 125:p.2933-2943.
5. Gutierrez C et al. Atrial Fibrillation: Diagnosis and Treatment. American
Family Physician. 2011. Vol.83 (1). p. 61-68.
6. American College of Cardiology Foundation and American Heart Association.
ACCF/AHA Pocket Guideline Management of Patients With Atrial
Fibrillation (Adapted from the 2006 ACC/AHA/ESC Guideline and the 2011
ACCF/AHA/HRS Focused Updates). ACC/AHA. 2011.
7. Yuniadi Y. Waspada Fibrilasi Atrium. Dalam: Rilantono LI. Penyakit
Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2012. p.390-
408.

Anda mungkin juga menyukai