ATRIAL FIBRILASI
Disusun Oleh:
AL BUKHARI
Pembimbing:
dr. SRI MURDIATI, Sp.JP (K) FIHA
aritmia yang paling umum terjadi pada usia diatas 75 tahun (Barrett, Martin,
(Patrick, 2002). Pada abad ke-21 ini semakin meningkat jumlah pasien dengan
diagnosa atrial fibrilasi (Alfred, Jennife, Steven, Devender , 2012). Pada tahun
2001, jumlah pasien dengan atrial fibrilasi mencapai 2,3 juta di Amerika dan 4, 5
juta pasien di Eropa. Dan diperkirakan kejadian atrial fibrilasi akan terus
meningkat 0,1% setiap tahunnya pada populasi umur 40 tahun ke atas, 1,5% pada
wanita, dan 2% pada lansia dengan umur lebih dari 80 tahun (Camm, Kirchhof,
Lip, Schotten, Irene, Ernst, Gelder et al 2010). Angka kejadian atrial fibrilasi di
dunia pada tahun 2010 diperkirakan 2,66 miliar dan pada tahun 2050 diperkirakan
sejumlah 12 miliar jiwa. Dalam dua dekade ini angka kematian akibat
Definisi
Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu aritmia yang ditandai oleh disorganisasi
dari depolarisasi atrium sehingga berakibat pada gangguan fungsi mekanik
atrium.2 Atrial fibrilasi mempunyai karakteristik sebagai berikut:3
1. Interval RR tidak teratur, yaitu tidak ada pola repetitif pada elektrokardiografi
(EKG)
2. Tidak ada gambaran gelombang P yang jelas pada EKG
3. Siklus atrial (jika terlihat) yaitu interval di antara dua aktivasi atrial sangat
bervariasi >300 kali per menit
Patofisiologi
Ada dua mekanisme yang memicu dan mempertahankan kejadian AF yaitu
adanya otomatisasi satu atau lebih focus depolarisasi dan adanya re-entry yang
menjadi suatu sirkuit agar AF dapat terus berlangsung. Hal ini menyebabkan
remodeling atrium yang ditandai dengan fibrosis yakni suatu penumpukan
kolagen yang abnormal dan berlebihan, infiltrasi lemak pada nodus sinoatrial,
perubahan molecular pada kanal ino dan perubahan pola depolarisasi dan
penggunaan energy sel serta apoptosis.5
Klasifikasi
Secara klinis, terdapat 5 tipe AF yang dapat dibedakan berdasarkan presentasi dan
durasi aritmia.
1. First diagnosed AF: setiap pasien yang baru pertama kali terdiagnosis dengan
AF tanpa melihat durasi atau beratnya gejala yang ditimbulkan oleh AF
tersebut.
2. Paroxysmal AF: AF yang biasanya hilang dengan sendirinya dalam 48 jam
sampai 7 hari. Jika dalam 48 jam belum berubah ke irama sinus maka hanya
kemungkinan kecil untuk dapat berubah ke irama sinus lagi sehingga perlu
dipertimbangkan pemberian antikoagulan.
3. Persistent AF: episode AF yang bertahan sampai lebih dari 7 hari dan
membutuhkan kardioversi untuk terminasi dengan obat atau dengan elektrik.
4. Long standing persistent AF: episode AF yang berlangsung lebih dari 1 tahun
dan strategi yang diterapkan masih kontrol irama jantung (rhythm control).
5. Permanent AF: jika AF menetap dan secara klinis dapat diterima oleh pasien
dan dokter sehingga strategi managemen adalah tata laksana kontrol laju
jantung (rate control).
Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
AF memiliki gejala klinis yang luas. Beberapa kasus bisa jadi asimptomatik.
Keluhan yang sering dialami pasien adalah palpitasi, dispneu, fatigue, mata
berkunang-kunang dan nyeri dada. Karena gejala AF tidak spesifik maka tidak
bisa digunakan untuk menegakkan dan menentukan onset AF.5 AF dapat pula
diawali dengan manifestasi stroke atau TIA (transient ischemic attack) sehingga
beralasan bila penyakit ini disebut asimptomatik dan sering pula AF kembali
secara spontan (self terminating)
b. Pemeriksaan Penunjang
Adanya denyut irregular seharusnya selalu memunculkan kecurigaan ke
arah AF, dan untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan dengan EKG1.
Bila EKG tidak menunjukkan adanya AF namun dugaan AF sangat kuat maka
sebaiknya lakukan pengawasan dengan Holter 24 jam untuk mendokumentasikan
ada tidaknya aritmia. Jika pasien tidak stabil karena hipotensi, ongoing ischemia,
gagal jantung berat, kardioversi elektrik darurat harus segera dilakukan. Namun,
bila klinis pasien stabil, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
seharusnya dilakukan dan difokuskan pada pencarian penyabab dasar yang
memicu dan kondisi komorbid yang menyertai. Pemeriksaan standar yang
biasanya dilakukan untuk evaluasi fungsi jantung dan identifikasi kondisi
komorbid termasuk EKG, darah lengkap, profil metabolik lengkap, pengukuran
hormon tiroid, foto thoraks dan ekokardiografi5.
1. Antitrombotik
Pemilihan antitrombotik harus didasarkan ada tidaknya faktor risiko stroke
dan tromboemboli, pengelompokan menggunak skor CHADS2. CHADS2 yang
merupakan singkatan dari Cardiac failure, Hypertension, Age (>75 tahun),
Diabetes Mellitus dan riwayat Stroke atau TIA masing-masing diberi skor 1
kecuali riwayat stroke mendapat skor 2. Makin tinggi skor CHADS2, maka makin
tinggi risiko stroke, dalam hal ini skor 0 dikelompokka sebagai risiko rendah, skor
1-2 risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.7
2. Kontrol laju
Terapi awal setelah awitan AF harus selalu meliputi antitrombotik yang
adekuat dan mengontrol laju ventrikel.7 Strategi menurunan laju ventrikel dikenal
sebagai laju kontrol, berfungsi untuk memperbaiki pengisian diastolik, perfusi
koroner, menurunkan kebutuhan energi miokardium dan mencegah kardiomiopati
yang diperantarai oleh takikardi.5
Target utama dari pendekatan ini adalah meredakan gejala klinis dan
pencegahan komplikasi hemodinamik dengan cara mengontrol respons laju
ventrikel. Target terapi adalah laju ventrikel antara 60-80 kpm saat istirahat dan
90-115 kpm saat beraktivitas sedang. Obat yang menjadi lini pertama adalah
golongan penyekat beta (metoprolol dan atenolol). Jika monoterapi belum
berhasil, maka agen kedua atau ketiga dapat ditambahkan. Golongan antagonis
kalsium non-dihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil dapat menjadi pilihan
lini kedua pada pasien yang kontraindikasi atau nontoleransi dengan penyekat
beta. Penyekat beta dan antagonis kalsium bersifat depresif terhadap fungsi
ventrikel sehingga harus berhati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan
hipotensi atau payah jantung. Digoxin dapat dijadikan pilihan sebagai kontrol laju
pada pasien payah jantung dengan fibrilasi atrium. Namun digoxin kurang efektif
dalam mengontrol denyut jantung pada saat beraktivitas atau dalam kondisi
hiperadrenergik seperti demam, tirotoksikosis dan pasca operasi. Upaya non-
farmakologis berupa ablasi nodus AV dan pacing dapat menjadi pilihan yang
efektif dalam control laju bagi pasien yang gagal terapi dengan agen-agen
farmakologis2.
3. Kontrol irama
Merubah AF ke irama sinus dilakukan bila pasien masih terdapat gejala
simtomatik dengan pendekatan kontrol laju. Harus diingat bahwa pendekatan
kontrol irama belum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal penurunan
mortalitas atau kejadian tromboemboli dibandingkan dengan pendekatana kontrol
laju. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan kontrol irama hanya bila pasien
masih simtomatik.7
Kontrol irama atau kardioversi mengacu pada upaya reversi dan
mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang. Kontrol irama dapat dicapai
secara farmakologis dengan menggunakan agen anti-aritmia maupun dengan
kardioversi elektrik. Kardioversi secara farmakologis kurang efektif jika
dibandingkan dengan kardioversi elektrik bifasik. Namun metode kardioversi
manapun akan membawa risiko tromboemboli, terutama jika aritmia telah
berlangsung >48 jam, kecuali jika profilaksis dengan antikoagulan telah diberikan
sebelumnya.2 Agen farmakologik yang dapat dipakai adalah flecainide, dofetilide,
propafenone, dan ibutilide. Amiodaron masih merupakan obat dengan efektifitas
yang paling baik untuk control irama.7 Sebaiknya kardioversi farmakologik
dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium agar efektivitasnya lebih
baik. Panduan dari NICE (National Institute for Health and Clinical Exellence)
menganjurkan strategi kontro laju sebagai pilihan pertama pada pasien dengan
fibrilasi atrium persisten dengan karakteristik sebagai berikut; berusia >65 tahun,
dengan penyakit jantung koroner, kontraindikasi terhadap agen antiaritmia, tanpa
adanya gagal jantung kongestif, dan tidak cocok untuk kardioversi. Sedangkan
strategi rhythm control selayaknya menjadi pilihan pertama pada fibrilasi atrium
persisten yang bergejala, usia pasien lebih muda, tampil pertama kali sebagai
fibrilasi atrium ataupun paroksismal terhadap suatu presipitan.2
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. Bk
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. CM : 1-03-47-41
Alamat : Pidie Jaya
Tgl. Masuk RS : 13 Maret 2014
Tgl. Pemeriksaan : 19 Maret 2015
2. Anamnesis
sering cepat lelah. Hal ini dirasakan pasien pada saat beraktivitas seperti ke
kamar mandi, berjalan jarak pendek, dan membaik ketika pasien beristirahat.
Cepat capek yang dirasakan pasien disertai dengan sesak napas. Selain itu pasien
juga mengeluh sering nyeri dada dan jantung terasa berdebar-debar hebat terutma
Pasien sudah mengkonsumsi obat jantung sejak 2 tahun yang lalu, namun
pasien lupa nama obat yang telah diberikan
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien. Ada riwayat hipertensi dalam keluarga.
3. Vital Sign
Kesadaran : Kompos mentis (E4 M6 V5)
Tekanan darah : 135/70 mmHg
Nadi : 128 kali/menit, irreguler
RR : 23 kali/menit
T : 36,70C
4. Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva palpebral inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : normotia, serumen (-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa bibir lembab (+)
Leher : pembesaran KGB (-), JVP R-2 cmH2O
Thorax :
Inspeksi : simetris, retraksi SS, IC dan epigastrium (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), SF kanan = SF kiri
Perkusi : sonor (+/+) di seluruh lapangan paru
Auskultasi : ves (+/+), rh (-/-) basah halus, wh (-/-)
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan di linea parasternalis dekstra batas
jantung kiri di 1 jari dari linea midclacicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I>II, irregular (+), bising(-)
Abdomen :
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-), hepar/lien/renal tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : peristaltik (+) N, bising usus (-)
Ekstremitas:
Ekstremitas superior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin (-/-)
Ekstremitas inferior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin(-/-)
CRT <2”
5. Pemeriksaan Penunjang
EKG (18 maret 2015)
Interpretasi EKG :
Irama : Atrial Firilasi RVR
Axis : normoaksis
Gelombang P : sulit dinilai
Interval P-R : sulit dinilai
QRS rate : 131 kali/menit
ST elevasi : negatif
ST depresi : negatif
Kesimpulan : Atrial Fibrilasi RVR + VES + RBBB
6. Diagnosis Kerja
1. Atrial Fibrilasi
2. VES Multifokal
7. Penatalaksanaan
1.7.1 Non-Medikamentosa
- Bed rest semi fowler
- Balance cairan
- Kurangi asupan lemak
- Meningkatkan konsumsi buah dan sayur.
3.7.2 Medikamentosa
Inj. Furosemid 2 x 40 mg (pagi)
Simarc 1x20 mg (malam)
Digoxin 1 x 0.25 tablet (pagi)
Spironolacton 1x25 mg
Lansoprazole 2 x 30 mg
Cardace 1 x 2,5 mg
8 Planning Diagnostik
- EKG serial setiap hari
- Balance cairan
- Pemeriksaan laboratorium (profil lipid, ureum, kreatinin, elektrolit dan
TSH)
- Foto Thorax AP
- Echocardiografi
9 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam