Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konseling tidak dapat lepas dari komunikasi timbal-balik antara
konselor dan konseli. Komunikasi disini diartikan sebagai proses
penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak lain agar saling
memengaruhi di antara keduanya. Komunikasi merupakan landasan bagi
berlangsungnya konseling. Di dalam relasi konselor-konseli terjadi
komunikasi verbal (bahasa lisan), yang di dalamnya terlibat perilaku non
verbal. Maka untuk terlaksananya komunikasi yang dialogis dan mengajak
konseli berpartisipasi secara aktif, selain dari memahami karakter konseli
adalah juga perlu menguasai keterampilan komunikasi dalam konseling.
Sebagai suatu proses komunikasi, konseling melibatkan
keterampilan konselor dalam menangkap atau merespon pernyataan
konseli dan mengkomunikasikannya kembali kepada konseli tersebut.
Walgito (2010: 8) mendefinisikan konseling sebagai suatu bantuan yang
diberikan kepada individu untuk memecahkan masalah kehidupannya
dengan cara wawancara dan cara yang sesuai dengan keadaan yang
dihadapi individu untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Untuk itu,
kegiatan konseling tidak dapat berjalan apabila seorang konselor tidak
mempunyai keterampilan komunikasi yang baik, sebab hubungan personal
antara konselor dengan konseli merupakan inti yang perlu diciptakan dan
dikembangkan dalam proses konseling.
Komunikasi yang baik dalam konseling merupakan suatu hal
mutlak yang harus dikuasai dan dipahami oleh konselor, yang nantinya
akan dilaksanakan selama proses konseling berlangsung. Seorang konselor
dapat dikatakan berhasil mencapai tujuan konseling apabila telah mampu
melaksanakan proses konseling ataupun merespon konseli dengan
menggunakan komunikasi yang benar sesuai dengan keadaan yang
dihadapi konseli, sehingga konseli memperoleh kesadaran secara penuh.

1
Oleh karena itu, sebagai calon guru bimbingan dan konseling/ konselor,
saya sangat tertarik membahas komunikasi dalam konseling pada makalah
ini.
Masalah remaja (usia >10-19 tahun) merupakan masalah yang
perlu diperhatikan dalam pembangunan nasional di Indonesia. Masalah
remaja terjadi karena mereka tidak dipersiapkan mengenai pengetahuan
tentang aspek yang berhubungan dengan masalah peralihan dari masa anak
ke dewasa. Masalah kesehatan remaja mencangkup aspek fisik biologis
dan mental social. Pada masa remaja adalah masa-masa yang rawan
terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi, kehamilan remaja
dengan segala konsekuensinya.
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang
menyangkut system, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki remaja.
Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas dari penyakit atau
bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta social.
Kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko
terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. Setiap tahun kira-kira 15
juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan
hampir 100 juta terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) yang dapat
disembuhkan. Secara global 40% dari semua kasus infeksi HIV terjadi
pada kaum muda yang berusia 15-24 tahun. Perkiraan terakhir adalah,
setiap hari ada 7.000 remaja terinfeksi HIV (PATH, 1998). Oleh karena itu
penyebaran informasi kesehatan dikalangan remaja, perlu diupayakan
secara tepat guna agar dapat memberi informasi yang benar dan tidak
terjerumus terutama di institusi pendidikan sekolah.
Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki
informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor
yang ada disekitarnya. Dengan informasi yang benar, diharapkan remaja
memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses
reproduksi.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi dalam konseling?
2. Bagaimana langkah-langkah komunikasi dalam konseling?
3. Apa yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi remaja?
4. Apa saja masalah-masalah kesehatan reproduksi remaja?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari komunikasi dalam konseling.
2. Untuk mengetahui langkah-langkah komunikasi dalam konseling.
3. Untuk mengetahui pengertian dari reproduksi remaja.
4. Untuk mengetahui masalah-masalah kesehatan reproduksi remaja.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Komunikasi dan Konseling


1. Pengertian Komunikasi Dalam Konseling
a. Pengertian Komunikasi
Komunikasi mengandung arti bersama-sama (common). Istilah
komunikasi berasal dari bahasa Latin, yaitu communicatio yang berarti
pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya communis, yang
bermakna umum atau bersama-sama (Wiryanto 2004: 5).
Everett Rogress dan Lawrence (dalam Wiryanto, 2004: 6)
menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang
atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara
satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi pengertian yang
mendalam. Komunikasi tersebut tidak hanya terbatas pada komunikasi
verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, gerak isyarat, gerak tubuh,
air muka, getaran suara, cara duduk dan sebagainya, hal-hal tersebut
merupakan suatu bentuk komunikasi non verbal. Perilaku non verbal
tersebut amat diperlukan oleh seorang konselor untuk memahami atau
memperjelas makna bahasa lisan yang diucapkan seorang konseli.
b. Pengertian Konseling
Walgito (2010: 8) mengungkapkan bahwa konseling merupakan
bantuan yang diberikan kepada individu untuk memecahkan masalah
kehidupannya dengan cara wawancara dan dengan cara yang sesuai
dengan keadaan yang dihadapi individu untuk mencapai kesejahteraan
hidupnya. Sedangkan menurut Surya (2004: 37) pengertian konseling
adalah seluruh upaya bantuan yang diberikan konselor kepada konseli
supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri, untuk
dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah lakunya pada masa
yang akan datang. Dalam pembentukan konsep kepribadian yang
sewajarnya mengenai dirinya sendiri, orang lain, pendapat orang lain

4
tentang dirinya, tujuan-tujuan yang hendak dicapai, dan kepercayaan
diri.
c. Pengertian Komunikasi Dalam Konseling
Menurut Dance (dalam Suryanita, 2011) komunikasi dalam
konseling adalah suatu proses pemindahan informasi antara dua orang
manusia (konselor-konseli) atau lebih yang menimbulkan respon,
dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami bersama.
Berdasarkan pengertian istilah-istilah di atas, dapat disimpulkan bahwa
komunikasi dalam konseling merupakan suatu proses pemindahan/
penyampain informasi, pikiran dan sikap antara konselor dan konseli,
terjadi dalam konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada
kesempatan untuk melakukan umpan balik sehingga dapat
meningkatkan pemahaman informasi diantara kedua belah pihak.
2. Langkah-langkah Komunikasi dalam Konseling
a. Menghampiri konseling
Menghampiri mengacu pada cara agar konselor dapat bersama
dengan konseli baik secara fisik maupun psikologis. Karakteristik
perilaku menghampiri yang efektif adalah mengatakan kepada konseli
bahwa konselor ada bersama mereka sehingga mereka dapat berbagai
cerita kepada konselor. Selain itu, karakteristik perilaku menghampiri
yang efektif lainnya adalah menempatkan konselor pada posisi untuk
mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh konseli.
Contoh perilaku menghampiri di antaranya adalah menganggukan
kepala tanda setuju, menunjukkan ekspresi wajah tenang dan
tersenyum, posisi tubuh yang condong ke arah konseli, jarak yang
sesuai antara konselor dan konseli, dan mendengarkan dengan aktif.
b. Mendengarkan dengan aktif
Mendengarkan mengacu pada kemampuan konselor untuk
menangkap dan memahami pesan yang dikomunikasikan oleh konseli,
baik pesan verbal maupun pesan nonverbal. Mendengarkan dengan
aktif umumnya memerlukan keterampilan lain seperti mendengarkan

5
dan memahami pesan verbal yang disampaikan oleh konseli,
mendengarkan dan menafsirkan pesan nonverbal yang disampaikan
oleh konseli, mendengarkan dan memahami konseli dalam konteks
tertentu, dan mendengarkan dengan empati.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh konselor di antaranya
adalah menghindari distraksi, menyiapkan diri secara psikologis untuk
mendengarkan, tetap bersikap terbuka, berpikir analisis,
mengidentifikasi argument dan fakta yang mendukung, bersikap
objektif, dan lain-lain.
c. Bersikap empati
Empati adalah kemampuan konselor untuk mengenal dan
mengakui perasaan konseli tanpa harus mengalami emosi yang sama
dengan yang dialami konseli. Empati merupakan upaya yang
dilakukan oleh konselor untuk memahami dunia konseli. Empati
dilakukan dengan cara mendengarkan konseli dengan penuh perhatian,
memahami konseli serta memahami apa yang menjadi perhatian
konseli. Pemahaman mengenai dunia konseli kemudian harus dibagi
dengan konseli melalui pernyataan baik secara verbal maupun
nonverbal. Contoh pernyataan yang menunjukkan sikap empati adalah
“Saya memahami apa yang Anda rasakan”.
d. Menangkap pesan
Menangkap pesan adalah suatu teknik komunikasi yang digunakan
untuk menyatakan kembali apa yang disampaikan oleh klien terkait
dengan permasalahan yang dihadapi.
Tujuannya adalah untuk mengatakan kembali kepada konseli
bahwa konselor memahami apa yang disampaikan oleh konseli serta
mengendapkan apa yang telah disampaikan oleh konseli dalam bentuk
ringkasan, memberi arah wawancara konseling, dan memeriksa
kembali persepsi konselor tentang apa yang diungkapkan oleh konseli.

6
e. Memberikan pertanyaan
Agar konseli bersedia mengungkapkan apa yang ia pikirkan,
rasakan, dan alami kepada konselor maka konselor dapat memberikan
pertanyaan kepada konseli dalam bentuk pertanyaan terbuka maupun
pertanyaan tertutup. Tujuan konselor memberikan pertanyaan adalah
untuk mendorong konseli untuk tidak menggunakan komunikasi asertif
ketika hendak mengekspresikan dirinya, membantu konseli agar
kembali fokus pada permasalahan, membantu konseli untuk
mengidentifikasi kembali pengalaman atau perilaku atau perasaan yang
hilang dari diri konseli, membantu konseli untuk terus berusaha, dan
membantu konseli untuk memahami dirinya sendiri dan situasi
permasalahan yang sedang dihadapi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh konselor ketika
memberikan pertanyaan kepada konseli adalah memperhatikan situasi
kondisi konseling dan konseli; menguasai materi yang berhubungan
erat dengan pertanyaan; mengajukan pertanyaan secara jelas, terarah,
dan tidak keluar dari topik permasalahan, dan segera memberikan
tanggapan terhadap pertanyaan yang disampaikan dengan baik dan
simpatik .
f. Memberikan dorongan minimal
Dalam konseling, konselor adakalanya perlu memberikan semacam
dorongan minimal terhadap apa yang disampaikan oleh konseli.
Tujuan pemberian dorongan minimal ini adalah agar konseli dapat
dengan bebas mengekspresikan dirinya dan memberikan arahan
kepada konseli agar tujuan pembicaraan dapat tercapai.
Waktu yang tepat untuk memberikan dorongan minimal ini adalah
saat konseli menghentikan pembicaraannya atau saat konseli kurang
fokus pada apa yang dibicarakan atau saat konselor merasa ragu
dengan apa yang disampaikan oleh konseli.
g. Memberikan arahan kepada konseli

7
Teknik komunikasi dalam konseling lainnya yang dapat diterapkan
oleh konselor adalah mengarahkan konseli atau memberikan arahan
kepada konseli. Maksudnya adalah konselor mengajak dan
mengarahkan konseli untuk melakukan sesuatu misalnya bermain
peran atau membayangkan sesuatu.
h. Menyimpulkan sementara
Adakalanya konselor perlu untuk menyimpulkan sementara apa
yang telah dibicarakan dengan konseli agar nantinya arah pembicaraan
menjadi semakin jelas. Tujuan dilakukannya penyimpulan sementara
adalah memberikan kesempatan kepada konseli untuk melihat kembali
apa yang telah dibicarakan, mencegah konseli mengulang apa yang
telah dikatakan, memberikan arah kepada konseli, membantu klien
untuk mengidentifikasi bagian yang hilang dari kisah yang
disampaikan kepada konselor, dan membantu agar konselor dan
konseli lebih fokus pada konseli.
i. Memimpin jalannya konseling
Konselor juga dapat menggunakan teknik ini selama
berlangsungnya proses konseling. Teknik memimpin adalah teknik
dalam konseling guna mengarahkan atau memimpin jalannya
konseling agar maksud dan tujuan konseling dapat terlihat dengan
jelas. Pada umumnya, teknik ini disebut juga dengan teknik bertanya
karena dalam penerapannya kerap menggunakan kalimat tanya.
j. Memusatkan perhatian pada masalah
Selama proses konseling, konselor dapat menggunakan teknik ini
sebagai alat bantu bagi konseli untuk lebih fokus pada topik
pembicaraan. Hal ini perlu dilakukan mengingat saat konseling
biasanya konseli akan menyampaikan sejumlah permasalahan yang
tengah dihadapi kepada konselor. Untuk itu, konselor hendaknya dapat
membantu konseli agar fokus pada permasalahan tertentu yang lebih
penting.
k. Konfrontasi

8
Konfrontasi adalah teknik menantang konseli yang diterapkan oleh
konselor manakala konselor melihat adanya ketidakkonsistenan antara
apa yang disampaikan oleh konseli dengan perbuatan, ide awal dengan
ide berikutnya, dan lain-lain.
Tujuannya adalah untuk mendorong konseli agar lebih jujur
tentang dirinya sendiri.  Teknik konfrontasi perlu dilakukan dengan
hati-hati dengan cara melihat waktu dan saat yang tepat, tidak
menyalahkan konseli, dilakukan dengan perilaku menghampiri dan
empati.
l. Menjelaskan kata-kata yang kurang jelas atau meragukan
Jika saat konseling terdapat kata-kata konseli yang dirasa kurang
jelas atau meragukan bagi konselor, konselor dapat menggunakan
teknik ini untuk menjelaskan atau mengklarifikasi kata-kata yang
kurang jelas atau meragukan tersebut. Tujuan diterapkannya teknik ini
adalah untuk mengajak konseli agar menyampaikan pesan dengan jelas
dan logis. Teknik ini dilakukan oleh konselor dengan menggunakan
kata-kata pendahuluan seperti pada intinya, pada pokonya, dengan kata
lain, singkat kata, dan lain sebagainya.
m. Merefleksikan perasan
Tujuannya untuk memantulkan kembali perasaan atau sikap yang
terkandung di balik pernyataan konseli. Menggunakan kata-kata
pendahuluan seperti agaknya, sepertinya, dan lain sebagainya. Selain
itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh konselor yaitu
menghindari stereotip, memilih waktu yang tepat untuk menanggapi
pernyataan konseli, menggunakan kata-kata yang tepat
menggambarkan perasaan atau sikap konseli, dan menyesuaikan
bahasa yang tepat atau sesuai dengan konseli.
n. Diam
Diam adalah salah satu teknik komunikasi dalam konseling yang
ditandai dengan tidak adanya suara atau tidak adanya interaksi antara
konselor dan konseli dalam proses konseling. Adapun tujuan

9
digunakannya teknik diam dalam konseling adalah menunggu dan
memberikan kesempatan kepada konseli untuk berpikir sebelum
mengekspresikan dirinya, menunjang perilaku menghampiri,
memberikan kesempatan kepada konseli untuk beristirahat atau
mengorganisasi pesan, menunjang sikap empati konselor kepada
konseli agar konseli bebas berbicara, mendorong konseli atau dan
memberikan motivasi kepada konseli untuk mencapai tujuan
konseling. Teknik diam ini dapat dilakukan oleh konselor maupun
konseli.
o. Membuat simpulan akhir
Teknik komunikasi dalam konseling yang terakhir adalah membuat
simpulan akhir dari pembicaraan yang telah dilakukan antara konselor
dan konseli. Pada umumnya, simpulan yang dibuat oleh konselor
meliputi perasaan konseli setelah konseling, pematangan rencana
konseli, pemahaman konseli, dan berbagai pokok pembicaraan yang
akan dilakukan pada konseling berikutnya jika dibutuhkan.

B. Kesehatan Reproduksi Remaja


1. Pengertian Kesehatan Reproduksi Remaja
Dalam proses tumbuh kembang, masa remaja merupakan peralihan
antara masa kanak-kanak ke masa dewasa. Proses ini ditandai dengan
pertumbuhan fisik dan pematangan fungsi organ hormonal serta pengaruh
lingkungan. Factor-faktor ini berhubungan dengan Kesehatan Reproduksi
Remaja yang didefinisikan sebagai seuatu keadaan kesehatan yang
sempurna secara fisik, mental dan social dan bukan semata-mata terbebas
dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan
dengan system reproduksi.
Reproduksi adalah suatu proses kehidupan manusia dalam
menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup. 7Kesehatan reproduksi
adalah keadaan sehat jasmani, rohani dan bukan hanya terlepas dari
ketidakhadiran penyakit atau kecacatan semata, yang berhubungan dengan

10
sistem, fungsi dan proses reproduksi. Kesehatan reproduksi menurut
Depkes (2004) adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang
utuh (tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan) dalam segala
hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta prosesnya.
Iskandar (1995), menambahkan bahwa kesehatan reproduksi yaitu
mencakup kondisi dimana wanita dan pria dapat melakukan hubungan
seks secara aman, dengan atau tanpa tujuan terjadinya kehamilan, dan bila
kehamilan diinginkan, wanita dimungkinkan menjalankan kehamilan
dengan aman, melahirkan anak yang sehat serta didalam kondisi siap
merawat anak yang dilahirkan. Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu
kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang
dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti
bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental
serta sosial kultur (BKKBN, 2001 ).
2. Masalah Kesehatan Reproduksi pada Remaja
a. Hamil yang Tidak Dikehendaki (Unwanted Pregnancy)
Kehamilan yang tidak dikehendaki (Unwanted pregnancy)
merupakan salah satu akibat dari kurangnya pengetahuan
remajamengenai perilaku seksual remaja. Faktor lain penyebab
semakin banyaknya terjadi kasus kehamilan yang tidak dikehendaki
(unwanted pregnancy) yaitu anggapan-anggapan remaja yang keliru
seperti kehamilan tidak akan terjadi apabila melakukan hubungan seks
baru pertama kali, atau pada hubungan seks yang jarang dilakukan,
atau hubungan seks dilakukan oleh perempuan masih muda usianya,
atau bila hubungan seks dilakukan sebelum atau sesudah menstruasi,
atau hubungan seks dilakukan dengan menggunakan teknik coitus
interuptus (senggama terputus) (Notoadmodjo, 2007).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Khisbiyah (1995) terdapat
responden yang mengatakan untuk menghindari kehamilan maka
hubungan seks dilakukan di antara dua waktu menstruasi. Informasi itu
melakukan hubungan seks diantara dua menstruasi ini tentu saja

11
bertentangan dengan kenyataan bahwa sebenarnya masa anatara dua
siklus menstruasi merupakan masa subur bagi seorang wanita
(Notoatmodjo, 2007).
Kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy)
membawa remaja pada dua pilihan yaitu melanjutkan kehamilan
kemudian melahirkan dalam usia remaja (early childbearing) atau
menggugurkan kandungan merupakan pilihan yang harus remaja itu
jalani. Banyak remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak
diinginkan (unwanted pregnancy) terus melanjutkan kehamilannya.
Menurut Affandi (1995) cit Notoatmodjo (2007) konsekuensi dari
keputusan untuk melanjutkan kehamilan adalah melahirkan anak yang
dikandungnya dalam usia yang relatif muda. Hamil dan melahirkan
dalam usia remaja merupakan salah satu faktor resiko kehamilan yang
tidak jarang membawa kematian ibu. Kematian ibu yang hamil dan
melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun lebih besar 3-4 kali dari
kematian ibu yang hamil dan melahirkan pada usia 20-35 tahun. Dari
sudut kesehatan obstetri, hamil pada usia remaja dapat mengakibatkan
resiko komplikasi pada ibu dan bayi antara lain yaitu terjadi
perdarahan pada trimester pertama dan ketiga, anemia, preeklamsia,
eklamsia, abortus, partus prematurus, kematian perinatal, berat bayi
lahir rendah (BBLR) dan tindakan operatif obstetri (Sugiharta, 2004)
cit (Soetjiningsih, 2004).
b. Aborsi
Aborsi (pengguguran) berbeda dengan keguguran. Aborsi atau
pengguguran kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan
yang disengaja (abortus provokatus). Abortus provocatus yaitu
kehamilan yang diprovokasi dengan berbagai macam cara sehingga
terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah kehamilan berhenti
karena faktor-faktor alamiah (abortus spontaneus) (Hawari, 2006).
Data yang tersedia dari 1.000.000 aborsi sekitar 60,0% dilakukan oleh
wanita yang tidak menikah, termasuk para remaja. Sekitar 70,0- 80,0%

12
merupakan aborsi yang tidak aman (unsafe abortion). Aborsi tidak
aman (unsafe abortion) merupakan salah satu faktor menyebabkan
kematian ibu.
Menurut Hawari (2006), aborsi yang disengaja (abortus
provocatus) ada dua macam yaitu pertama, abortus provocatus
medicalis yakni penghentian kehamilan (terminasi) yang disengaja
karena alasan medik. Praktek ini dapat dipertimbangkan, dapat
dipertanggungjawabkan dan dibenarkan oleh hukum. Kedua, abortus
provocatus criminalis, yaitu penghentian kehamilan (terminasi) atau
pengguguran yang melanggar kode etik kedokteran, melanggar hukum
agama, haram menurut syariat Islam dan melanggar Undang-Undang
(kriminal).
c. Penyakit Menular Seksual (PMS)
Menurut Notoatmodjo (2007), penyakit menular seksual
merupakan suatu penyakit yang mengganggu kesehatan reproduksi
yang muncul akibat dari prilaku seksual yang tidak aman. Penyakit
Menular Seksual (PMS) merupakan penyakit anak muda atau remaja,
karena remaja atau anak muda adalah kelompok terbanyak yang
menderita penyakit menular seksual (PMS) dibandingkan kelompok
umur yang lain. PMS adalah golongan penyakit yang terbesar
jumlahnya (Duarsa, 2004) cit (Soetjiningsih, 2004) Remaja sering kali
melakukan hubungan seks yang tidak aman, adanya kebiasaan bergani-
ganti pasangan dan melakukan anal seks menyebabkan remaja semakin
rentan untuk tertular Penyakit Menular Seksual (PMS), seperti Sifilis,
Gonore, Herpes, Klamidia. Cara melakukan hubungan kelamin pada
remaja tidak hanya sebatas pada genital-genital saja bisa juga
orogenital menyebabkan penyakit kelamin tidak saja terbatas pada
daerah genital, tetapi juga pada daerah-daerah ekstra genital
(Notoatmodjo, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya resiko penularan
penyakit menular seksual (PMS) pada remaja adalah faktor biologi,

13
faktor psikologis dan perkembangan kognitif, perilaku seksual, faktor
legal dan etika dan pelayanan kesehatan khusus remaja.
d. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus and Acquired
Immunodeficiency Syndrome)
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu
sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi
kekebalan tubuh yang berat dan merupakan manifestasi stadium akhir
infeksi virus “HIV” (Notoatmodjo, 2007). HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus RNA tunggal yang
menyebabkan AIDS (Soetjiningsih, 2004). Menurut Limantara (2004)
faktor yang beresiko menyebabkan HIV pada remaja adalah perubahan
fisiologis, aktifitas sosial, infeksi menular seksual, prilaku penggunaan
obat terlarang dan anak jalanan dan remaja yang lari dari rumah.
Perubahan fisiologis yang dapat menjadi resiko penyebab infeksi dan
perjalanan alamiah HIV meliputi perbedaan perkembangan sistem
imun yang berhubungan dengan jumlah limfosit dan makrofag pada
stadium pubertas yang berbeda dan perubahan pada sistem reproduksi.
Aktifitas seksual tanpa proteksi merupakan resiko perilaku yang
paling banyak pada remaja. Hubungan seksual dengan banyak
pasangan juga meningkatkan resiko kontak dengan virus HIV. Ada
tiga tipe hubungan seksual yang berhubungan dengan transmisi HIV
yaitu vaginal, oral, dan anal.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Komunikasi dalam konseling merupakan suatu proses pemindahan/
penyampain informasi, pikiran dan sikap antara konselor dan konseli, terjadi
dalam konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan
untuk melakukan umpan balik sehingga dapat meningkatkan pemahaman
informasi diantara kedua belah pihak. Unsur-unsur yang harus ada dalam
komunikasi khususnya dalam kegiatan konseling yaitu adanya komunikator
(konselor), komunikan (konseli), pesan yang disampaikan, media sebagai
penunjang dalam berkomunikasi, dan umpan balik (feedback) berupa respon.
Komunikasi yang efektif dalam konseling memiliki lima kriteria, yaitu
pemahaman yang cermat atas pesan yang disampaikan, terciptanya hubungan
yang menyenangkan, sikap komunikan berubah ke arah yang positif,
hubungan yang semakin baik, dan komunikan melakukan tindakan sesuai
dengan apa yang diharapkan komunikator. Keterampilan dalam konseling
yang harus dikuasai oleh konselor sebagai modal awal dalam komunikasi
yaitu keterampilan penghampiran (attending), empati, merangkum
penyampaian konseli yang panjang, bertanya, kejujuran, asertif, konfrontasi,
dan pemecahan masalah.
Dalam proses konseling selain menggunakan komunikasi verbal dengan
melakukan wawancara, ada komunikasi dalam bentuk lain, yaitu komuikasi
non verbal yang juga memegang peran penting. Komunikasi non verbal adalah
pesan atau informasi yang tidak disampaikan secara lisan maupun tulis.
Masa remaja ialah periode waktu individual beralih dari fase anak ke fase
dewasa (lowdermik dan jensen,2004).Tugas-tugas perkembangan remaja
terdiri dari  : menerima citra tubuh,menerima identitas seksual,
mengembangkan sistem nilai personal,membuat persiapan untuk hidup
mandiri,menjadi mandiri /bebas dari orang tua,mengembangkan
keterampilan,mengambil keputusan dan mengembangkan identitas seorang

15
yang dewasa.Identitas status kesehatan anak remaja terdiri dari :identitas
seksual,identitas kelompok,identitas pekerjaan,identitas moral,dan identitasa
kesehatan.Masa remaja  ada dua aspek perubahan  yaitu perubahan fisik dan
perubahan psikologis.    Keluarga, sekolah, dan tetangga merupakan aspek
yang secara langsung mempengaruhi kehidupan remaja. Banyak remaja
mengira bahwa kehamilan tidak akan terjadi pada intercourse (senggama)
yang pertama kali atau mereka merasa bahwa dirinya tidak akan pernah
terinfeksi HIV / AIDS karena pertahanan tubuhnya cukup kuat.

B. Saran
1. Mahasiswa diharapkan dapat melaksanakan program yang mengajarkan
perilaku sehat kepada para remaja.
2. Pembaca diharapkan bisa memahami pembahasan keperawatan komunitas
tentang kesehatan reproduksi remaja.
3. Para pemimbing atau pengajar diharapkan mampu memberi pendidikan
kesehatan secara lebih detail tentang kesehatan reproduksi remaja.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bobak,Lowdermik, jensen.(2004).”Buku Ajar Fundamental Keperawatan,Edisi


4.EGC.Jakarta

Musliha; Fatmawati, S (2010). Komunikasi Keperawatan. Yogyakarta: Muha

Medika: Priyanto, A. (2009). Komunikasi dan Konseling. Aplikasi dalam Sarana


Pelayanan kesehatan untuk Perawat dan Bidan. Jakarta: Salemba Medika Tyastuti,

S.; Kusmiyati, Y.; Handayani, S. (2010). Komunikasi dan Konseling dalam


Pelayanan Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya. Wulandari, D. (2009). Komunikasi
dan Konseling dalam Praktik Kebidanan. Jogyakarta: Nuha Medika

Soekidjo, Notoatmodjo.(2007).Kesehatan masyarakat,edisi ke 11.Jakarta : Rineka


Cipta.

Potter& perry.(2005).Buku Ajar Fundamental Keperawatan.Edisi 4.EGC.Jakarta

17

Anda mungkin juga menyukai