Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULAN
3.1. Latar Belakang
Seiring besarnya minat orang pada sebuah cafe, maka fasilitas tersebut telah semakin
banyak dibangun dan tersebar dimana saja, tak hanya di kota besar, cafe-cafe tersebut juga
terdapat di kota-kota kecil seperti Lhokseumawe. Sebagai pengunjung, menikmati suasana
pada sebuah cafe adalah tujuan utama, salah satu cara menikmati suasana adalah dengan duduk
di posisi strategis. Akan tetapi, tujuan utama ini seringkali bergeser saat dihadapkan dengan
adanya kebutuhan akan ruang personal atau ruang privasi. Pada suatu kawasan tertentu, setiap
orang memiliki batasan zonanya masing-masing, konsep teritori memiliki batasan yang jelas
yaitu berupa pembatas massif seperti dinding maupun pagar. Batasan-batasan tersebut untuk
memperjelas atau mempertegas dan melindungi area yang menjadi zona seseorang, sekaligus
memberikan privasi dirinya dari gangguan orang lain.
Yang dimaksud privasi pada penelitian ini adalah kebutuhan seseorang atau sekelompok
orang dalam membatasi dirinya terhadap lingkungan luar tanpa adanya gangguan, baik
gangguan secara langsung maupun tidak langsung. Setiap orang memiliki tingkat privasi yang
berbeda-beda menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk
berinteraksi dengan orang lain atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar di
capai orang lain.
Kenyamanan pengguna sangat dipentingkan pada desain perancangan arsitektur. Sebuah
ketidaknyamanan desain akan menyebabkan penggunanya merasa terganggu sehingga mencari
posisi kenyamanan sendiri. Ketidaknyamanan tersebut bisa berasal dari desain yang tidak tepat
atau situasi kegiatan di suatu ruang yang tidak kondusif sehingga penggunanya perlu banyak
menyesuaikan diri.
Pada sebuah cafe dengan tingkat kepadatan yang cukup tinggi, ruang personal setiap
individu akan menjadi lebih kecil dibandingkan dengan kondisi pada tingkat kepadatan yang
rendah. Konsep teritori-teritori yang telah dibuat secara sadar maupun tidak, telah banyak
dilanggar. Hal seperti ini menyebabkan privasi dari tiap-tiap individu atau kelompok merasa
terganggu sehingga menimbulkan reaksi-reaksi yang mayoritas berupa reaksi negatif.
Tidaklah hal yang mustahil bahwa terjadinya konflik dianggap sebagai dampak dari
kegagalan arsitektur. Perilaku tidak baik manusia selain berasal dari hal non teknis, bisa juga
terpicu dari hal-hal teknis dalam arsitektur terutama pada ruang publik dengan tingkat
kepadatan tinggi, misalnya adalah masalah kelebihan kapasitas pada suatu ruang. Tingkat

Perilaku Perancangan Arsitektur 1


kepadatan yang cukup tinggi dapat mengakibatkan meningkatnya suhu udara, stres,
meningkatnya detak jantung, naiknya tekanan darah, menarik diri dari lingkungan sosial, dan
berkurangnya kontrol seseorang, bahkan kriminalitas.
Pengimplementasian konsep teritori pada lantai satu di Cafe Lampoe Merah merupakan
suatu hal yang menarik untuk diteliti dikarenakan cafe tersebut memiliki pola ruang yang linier
sekaligus vertikal. Pola ruang tersebut pada umumnya saling berdekatan satu sama lain.

3.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang terlampir, maka rumusan dari masalah yang muncul
adalah sebagai berikut :
Aplikasi ruang personal dan teritori akan mengalami perubahan ketika berada dalam ruang
publik, terutama ruang publik dengan tingkat kepadatan tinggi. Ruang personal dan teritori
yang seharusnya melindungi individu dan kelompok dalam berinteraksi, ternyata dapat
memicu hal-hal negatif ketika terjadi invasi terhadap salah satu atau keduanya.
Ruang personal dan teritori yang terganggu, menimbulkan pengaruh negatif terhadap
individu maupun kelompok, dan akan berlanjut kepada tindakan yang lebih mengerikan
seperti anarkis. Pada ruang publik seperti gedung olahraga, tindakan ini sangat mengganggu
kenyamanan baik penonton maupun pemain.

3.3.Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keterkaitan antara teori ruang personal dan teritori
yang bekerja pada ruang publik dengan tingkat kepadatan tinggi khususnya pada kasus cafe.
Kemudian mengolah pengetahuan ini menjadi pengetahuan yang terukur sehingga dapat
dimanfaatkan aplikasinya dalam karya arsitektur.

3.4.Ruang Lingkup
Penelitian ini difokuskan pada bangunan cafe yang sering dikunjungi masyarakat
Lhokseumawe. Pengamatan dilakukan dalam area yang sama namun dengan waktu yang
berbeda. Gedung Cafe Lampoe Merah terdiri dari 2 lantai. Pada lantai 1 terdapat area indoor
dan outdoor serta ruangan lain yaitu dapur, mini bar, kasir, gudang, dan kamar mandi.
Sedangkan pada lantai 2 terdapat fasilitas seperti kamar mandi, tempat wudhu, dan musholla.
Pada penelitan ini penulis mencoba menganalisis pengimplementasian konsep teritori pada
lantai 1.

Perilaku Perancangan Arsitektur 2


3.5.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat, diantaranya:

1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
pengetahuan arsitektur dan hubungannya dengan psikologi lingkungan. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat memperkaya dan dapat memberi gambaran mengenai keterkaitan
antara ruang personal dan teritori dalam kepadatan ruang publik.
2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi
kepada para pihak berkecimpung dalam bidang arsitektur. Khususnya mengenai data-data
terukur sebuah gedung olahraga indoor yang didapat dari penelitian mengenai ruang
personal dan teritori.

3.6.Metode Penelitian
Jenis metoda penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk teritori sebagai hasil adaptasi
pengunjung cafe dengan beberapa ruangan yang ada di cafe. Metoda ini menganalisis dengan
cara memaparkan objek (physical trace), dikaji dengan menggunakan data primer dan
sekunder. Objek penelitian di Cafe Lampoe Merah, Tumpok Teurendam, kecamatan Banda
Sakti, terdiri dari dua lantai. Lantai satu dijadikan sebagai sampel dengan pertimbangan lantai
ini terdapat area indoor, outdoor, dan juga area parkir. Data primer diperoleh dengan
melakukan survey pemetaan pada 2 lokasi publik dan 1 area parkir. Data sekunder bersumber
dari kajian literatur dan dokumentasi. Observasi dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2019
dengan menggunakan media catat berupa buku catatan dan sketsa, alat perekam handphone
untuk merekam sesuatu yang menarik dari hasil pengamatan dan kamera untuk merekam
gambar faktual di lapangan.
Metoda kedua menggunakan deskriptif analisis. Teori yang dijadikan acuan adalah
teori tentang teritori oleh Altman.

Perilaku Perancangan Arsitektur 3


3.7.Sistematika Penulisan

Penulisan disajikan dalam bab-bab sebagai berikut:


BAB I PENDAHULUAN
Berisikan penjelasan singkat tentang latar belakang, masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini, tujuan penelitian, kerangka konsep, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.

BAB II STUDI PUSTAKA


Berisikan penjelasan mengenai teori yang berasal dari literatur, buku teks, maupun
jurnal yang dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah yang telah dijelaskan pada
BAB I.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN


Berisikan pembahasan kasus di lapangan dengan menggunakan teori pada BAB II.

BAB IV KESIMPULAN dan SARAN


Berisikan ringkasan mengenai apa yang didapat dari penelitian kasus yang telah
dikupas menggunakan teori, dan saran yang diberikan.

Perilaku Perancangan Arsitektur 4


BAB II

STUDI PUSTAKA

2.1 Konsep Teritori Menurut Para Ahli


Saat melakukan aktivitas, manusia baik secara individu maupun berkelompok pasti
membutuhkan ruang untuk kenyamanannya saat bergerak. Dalam beraktivitas manusia akan
membentuk perilaku teritori untuk memenuhi kebutuhan privasi sehingga teritori merupakan
salah satu unsur arsitektur perilaku. Kajian atau bahasan tentang konsep teritori sangat banyak
dilakukan untuk mengembangkan teori teritori dan bagaimana penerapan atau
pengimplementasiannya. Adapun para ahli yang mengemukakan teori konsep teritori ini adalah
Hall, Lotman, Raffestin, Porteus, Lauren, Pastalan, dan lain-lain.
Porteous (1977) berpendapat bahwa teritorialitas sebagai batas makhluk hidup yang
menentukan kepemilikan terhadap teritori yang didalamnya terdapat suatu kontrol oleh
individu ataupun kelompok untuk mempertahankan dari kemungkinan intervensi atau agresi
pihak lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat Hall (1969) bahwa teritorialitas berhubungan
dengan kepemilikan dan tingkat kontrol bahwa penghuni memiliki kuasa atas penggunaan
suatu tempat. Teritori menurut Pastalan (1970) merupakan ruang terbatas yang digunakan oleh
individu atau kelompok yang dipertahankan sebagai tempat eksklusif. Hal ini berhubungan
dengan identifikasi psikologis dengan tempat yang ditandai oleh sikap memiliki dan mengatur
objek pada area tersebut. Teritorialitas berhubungan dengan personalisasi. Personalisasi
menurut pendapat Altman (1975) adalah suatu pernyataan kepemilikan individu atau kelompok
terhadap suatu tempat melalui tanda-tanda inisial diri baik secara konkrit (fisik) ataupun
simbolik (non fisik). Secara konkrit ditandai dengan adanya penempatan dan secara simbolik
dengan keterkaitan tempat (attachment) (Brower, 1976). Sedangkan Lotman (1985) dalam
Raffestin (2012) menjelaskan bahwa teritorialitas merupakan penataan kembali ruang-ruang
dan isinya, yang urutannya dapat ditemukan dalam sistem informasi berdasarkan kultur.
Teritori Laurens (2005) berpendapat bahwa teritorialitas sebagai suatu pola tingkah laku yang
merupakan perwujudan egoisme seseorang dikarenakan orang tidak ingin diganggu, atau
sebagai perwujudan privasi seseorang.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat dirangkum tentang pengertian
teritorialitas merupakan ruang yang memiliki batas yang dimiliki oleh individu atau kelompok
tertentu yang di dalamnya terdapat kontrol untuk mengatur objek area tersebut dan untuk
mempertahankan dari interferensil pihak luar.

Perilaku Perancangan Arsitektur 5


2.2 Konsep Teritori
Konsep teritorialitas dapat diartikan sebagai perilaku yang berhubungan dengan
kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu tempat atau suatu lokasi
geografis. Pola perilaku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari
luar. Karakter dasar dari suatu teritori yaitu tentang kepemilikan dan tatanan tempat,
personalisasi atau penandaan wilayah, tatanan untuk mempertahankan terhadap gangguan,
kemampuan berfungsi yang meliputi jangkauan kebutuhan fisik dasar sampai kepuasan
kognitif dan kebutuhan estetika (Lang, 1987).
Esensi teritori ruang meliputi aspek keamanan, kontrol, personalisasi, dan identitas.
Dalam pembahasan tentang teritori ruang maka umumnya akan dilakukan pembagian sifat
ruang menjadi ruang publik, ruang privat serta ruang-ruang antara yang bersifat semi publik
atau privat. Ruang privat merupakan ruang-ruang untuk mewadahi kebutuhan privasi
penghuni. Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang
pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan tersebut
menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan
orang lain atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain.
Altman (1984) menyebutkan fungsi privasi antara lain : mengatur dan
mengontrol interaksi interpersonal, yaitu sejauh manadan kapan hubungan dengan orang lain
diinginkan, merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, dan
untuk memperjelas identitas diri. Pembentukan kawasan teritorial adalah mekanisme untuk
mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas
kawasan yang menjadipembatas antar dirinya dan orang lain maka pada teritorialitas batas-
batas tersebut nyata. Batas-batas teritorial yang tegas pada suatu lingkungan akan membentuk
suatu pola lingkungan yang tertutup
Istilah territory atau “wilayah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
daerah (kekuasaan, pemerintahan, pengawasan); lingkungan daerah (provinsi, kabupaten,
kecamatan). Sedangkan istilah territoriality atau “teritorial” diartikan sebagai bagian wilayah
(daerah hukum) suatu negara.
Fungsi utama teritori adalah sebagai wahana untuk menampilkan identitas seseorang
dan dapat pula diasosiasikan dengan perasaan, penilaian dan ketertarikan atas ruang.
Kebutuhan akan teritorial ditandai dengan penguasaan seseorang akan daerah tertentu sehingga
menciptakan kontrol penuh terhadap daerah tersebut. Kepemilikan terhadap teritori dapat
dipandang melalui dua cara, yakni dengan persepsi aktual yang ditandai dengan adanya batas-
batas solid seperti kamar tidur, atau dipandang melalui persepsi kehendak dengan contoh

Perilaku Perancangan Arsitektur 6


teritori sebuah kelompok terhadap kantin. Teritori ini ada kalanya dipertahankan dengan
perkelahian, dan seringkali ditunjukkan dengan simbol-simbol arsitektur.
Teritorial manusia lebih merujuk kepada elemen sosial, kultural, dan kognitif, manusia
biasanya menyadari sendiri bentuk teritori orang/kelompok lain, sehingga cenderung tidak
mengganggu teritori yang telah ada.

2.3 Teritori Sebagai Properti Ruang


Ruang adalah suatu hal yang selalu menarik untuk dibicarakan, konsep-konsep yang
muncul juga dapat dikatakan tanpa batas. Ruang terlahir sebagai fenomena yang melahirkan
fenomena yang selalu menarik untuk ditelaah atau diteliti. Banyak ilmuwan mencoba
menjelaskan apa sebenarnya yang disebut sebagai ruang. Dalam konsep barat ruang
didefinisikan sebagai sesuatu yang dibatasi oleh kejelasan fisik (a finite element), enclosure
yang terlihat (intangible enclosure) sehingga kemudian disadari eksistensinya, sementara dunia
timur mempunyai konsep ruang yang berbeda dengan berpijak pada “kekosongan” (emptiness)
dari sesuatu yang tidak terlihat (intangible).
Dalam perjalanannya pembahasan mengenai ruang tidak lagi membuat keduanya
sebagai sebuah dikotomi barat dan timur, dari sini paling tidak kita tahu bahwa pada awalnya
ada pemahaman yang sangat berbeda tentang ruang. Disatukannya konsep ruang menurut
pandangan barat dan timur memberikan penjelasan pada kita tentang properti ruang, bahwa
ruang hadir dengan atau tanpa kejelasan fisik. Eksistensi ruang dipahami dengan kelengkapan
properti territori, skala, orientasi dan makna. Dari pemahaman ruang tersebut kemudian
berkembangkanlah konsep territorial, konsep makna, skala dan orientasi.

Perilaku Perancangan Arsitektur 7


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.Gambaran Umum Lokasi


Cafe Lampoe Merah dahulunya adalah bangunan yang sudah tidak dipakai, lalu
setelah direvitalisasi bangunan tersebut diubah menjadi Cafe. Terletak di persimpangan
antara Jalan Merdeka dan Jalan Darussalam. Tepatnya di Tumpok Teurendam, Banda
Sakti, Kota Lhokseumawe. Cafe ini dibangun sejak tahun 2018 dan mulai diresmikan
pada pertengahan tahun 2018 (Gambar 1).

Gambar 1: (a) Lokasi Cafe Lampoe Merah, Lhokseumawe :(b) Peta Indonesia
(Sumber: www.google maps, 2020)

Cafe Lampoe Merah memiliki 2 lantai dimana pada lantai 1 terdapat area indoor
dan outdoor, sedangkan pada lantai 2 hanya terdapat area indoor. Pada lantai 1 terdapat
beberapa ruang, yaitu ruang hidang indoor, ruang hidang outdoor, area parkir roda 2
dan 4, kasir, mini bar, dapur, gudang, dan kamar mandi pria & wanita. Pada lantai 2
terdapat ruang hidang, mushalla, kamar mandi pria & wanita. Ada beberapa zona yang
terdapat pada Cafe Lampoe Merah, yaitu zona privat, zona semi publik, zona servis,
dan zona publik. Zona publik terdiri dari ruang hidang dan area parkir. Zona semi
publik terdiri dari area kasir dan area mini bar. Zona servis terdiri dari kamar mandi
pria & wanita, dan mushalla. Zona privat terdiri dari dapur. Luas total area yang
dimanfaatkan sebagai area privat, servis, semi publik, dan publik seluas 1400 m² pada
kedua lantai. Rincian luas area lantai 1 dapat dilihat pada tabel 1.

Perilaku Perancangan Arsitektur 8


Gambar 2: Denah Lantai 1 Indoor
(Sumber:Data Survey, 2019)

Gambar 3: Denah Lantai 1 Outdoor


(Sumber: Data Survey, 2019)

Tabel 1. Fasilitas dan luas area di Lantai 1 Cafe Lampoe Merah, Lhokseumawe

No Nama Ruang Tipe Ruang Total Luas (m²)


1 Ruang Hidang Indoor Publik 286,25

2 Ruang Hidang Outdoor Publik 140

3 Kasir Semi Publik 9

4 Mini Bar Semi Publik 18,75

5 Dapur Privat 45

6 Parkir Roda 2 & 4 Publik 336

7 Gudang Servis 25

8 Kamar Mandi Servis 24

(Sumber : Hasil Survey, 2019)

Perilaku Perancangan Arsitektur 9


3.2.Typologi Teritori
Setiap individu memiliki perilaku yang berbeda terhadap teritori publik dan
semi publiknya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, dan
design ruang yang tersedia khususnya yang berkaitan dengan ekspansi teritori yang
mempengaruhi individu lainnya (Datta et.al, 2001; Bonilla 2013). Pemanfaatan teritori
ini berpotensi menimbulkan masalah, terutama untuk teritori yang dikuasai oleh
individu atau kelompok tertentu (gabungan individu tertentu) yang berinteraksi di
wilayah tersebut.
Cafe Lampoe Merah mulai diresmikan sejak pertengahan tahun 2018. Pada area
hidang indoor dan outdoor telah disusun meja dan kursi sesuai peletakannya oleh
pegawai cafe tersebut. Pada beberapa situasi, pengunjung cafe dapat mengubah tata
letak kursi dan meja sesuai keinginan dikarenakan terdapat aktivitas khusus yang ingin
dilakukan seperti rapat, diskusi kelompok, berkumpul dengan teman atau saudara, dan
lain-lain. Pemanfaatan ruang publik, semi publik, servis, dan privat di cafe ini, terjadi
secara spontan dan bertahap, dirangsang oleh kebutuhan ruang secara fisik. Saat
pengunjung telah mengklaim teritori tertentu sebagai wilayahnya, maka akan diikuti
dengan mengontrol atau menjaga dan termasuk juga meelakukan penyesuaian atau
modifikasi pada teritori tersebut.
Proses identifikasi teritorial di Cafe Lampoe Merah menunjukkan berbagai
formasi yang dihasilkan dari kegiatan adaptasi dan pengaturan yang kemudian
dirangkum menjadi lima pola teritori. Dari lima kategori pola teritori yang
teridentifikasi, terdapat dua kategori yang terjadi di ruang hidang outdoor, yang
merupakan area publik yang terletak disebelah kanan bangunan cafe. Dua tipe teritori
lainnya berada di ruang hidang indoor. Sedangkan satu tipe teritori yang lain terletak
di area parkir roda 2 dan 4.
Berikut adalah berbagai pola teritori yang terdapat pada Cafe Lampoe Merah:

Gambar 4: Pola Teritori Tipe A


(Sumber: Data Survey, 2019)

Perilaku Perancangan Arsitektur 10


Tipe A (Gambar 4) adalah pola teritori yang terbentuk sesuai susunan yang
telah ditentukan oleh pegawai cafe tersebut pada ruang hidang outdoor. Pada ruang
hidang tersebut disusun meja dengan 2 baris kesamping dan 8 baris kebelakang. Tiap-
tiap meja berkapasitas 4 orang. Penempatan kursi dan meja pada area ini merupakan
salah satu solusi yang diberikan oleh pemilik cafe untuk pengunjung yang ingin
menikmati minuman dan makanan ditempat terbuka dan alami. Salah satu kekurangan
pada ruang hidang outdoor ini adalah ketika angin berhembus, ranting-ranting dari
pohon yang tumbuh rindang di ruang outdoor ini berjatuhan sehingga menggangu
aktifitas pengunjung cafe tersebut. Sehingga malam hari merupakan waktu yang tepat
untuk menikmati ruang hidang outdoor karena angin pada malam hari tidak sampai
menjatuhkan ranting-ranting.

Gambar 5: Pola Teritori Tipe B


(Sumber: Data Survey, 2019)

Tipe B (Gambar 5) adalah pola teritori yang terbentuk sesuai susunan yang telah
ditentukan oleh pegawai cafe tersebut pada ruang hidang interior. Pada ruang hidang
tersebut disusun meja dengan 3 baris kesamping dan 5 baris kebelakang. Selain itu
meja hidang juga terdapat pada beberapa sisi ruang hidang indoor. Tiap-tiap meja
berkapasitas 4 orang. Penempatan kursi dan meja pada area ini merupakan penempatan
yang biasanya diterapkan pada sebuah cafe, yaitu ruang hidang indoor dengan fasilitas
tambahan berupa televisi, washtafel, dan keranjang sampah. Salah satu kekurangan
pada ruang hidang indoor ini adalah kurangnya bukaan pada bangunan sehingga
sirkulasi udara alami tidak optimal pada ruangan ini. Oleh karena itu, pihak pengelola
cafe menempatkan kipas angin pada beberapa titik sebagai penyejuk ruangan.

Perilaku Perancangan Arsitektur 11


Gambar 6: Pola Teritori Tipe C

(Sumber: Data Pribadi, 2019)

Tipe C (Gambar 6) adalah pola teritori yang terbentuk sesuai susunan yang
diinginkan oleh pengunjung. Biasanya menggabungkan 2 meja menjadi 1 sehingga bisa
ditempati lebih dari 4 orang dengan pola melingkari meja tersebut. Penempatan kursi
dan meja pada area outdoor ini merupakan salah satu kebebasan yang diberikan oleh
pemilik cafe untuk pengunjung yang ingin merubah posisi meja dan kursi sesuai
keinginan. Posisi penyusunan teritori seperti ini biasanya terdapat pada beberapa
pengunjung yang menggunakan cafe ini sebagai tempat untuk rapat, nongkrong bareng,
ataupun berkumpul dengan anggota keluarga. Fungsi dari pola teritori seperti ini adalah
agar mendapatkan atmosfer yang lebih privat.

Gambar 7: Pola Teritori Tipe D


(Sumber: Data Survey, 2019)

Tipe D (Gambar 7) adalah pola teritori yang terbentuk sesuai susunan yang
diinginkan oleh pengunjung. Biasanya menggabungkan 2 meja menjadi 1 sehingga bisa
ditempati lebih dari 4 orang dengan pola melingkari meja tersebut. Pada area indoor
sangat jarang ditemui penyusunan seperti ini dikarenakan sirkulasi yang tidak terlalu
leluasa. Penempatan kursi dan meja pada area indoor ini merupakan salah satu
kebebasan yang diberikan oleh pemilik cafe untuk pengunjung yang ingin merubah
posisi meja dan kursi sesuai keinginan. Posisi penyusunan teritori seperti ini biasanya

Perilaku Perancangan Arsitektur 12


terdapat pada beberapa pengunjung yang menggunakan cafe ini sebagai tempat untuk
rapat, nongkrong bareng, ataupun berkumpul dengan anggota keluarga. Fungsi dari
pola teritori seperti ini adalah agar mendapatkan atmosfer yang lebih privat.

Gambar 8: (a) Area Parkir Depan Cafe :(b) Area Parkir Belakang Cafe
(Sumber: Data Survey, 2020)

Pola teritori tipe E (Gambar 8), terdapat pada area publik seperti area parkir
kendaraan roda dua dan empat. Area parkir roda 2 dan 4 memiliki luas 336 m². Parkir
roda 2 terdapat pada sisi kanan, kiri, depan, dan belakang halaman cafe. Sedangkan
parkir roda 4 hanya terdapat pada bagian depan halaman cafe. Pada area ini, terdapat
teritori pada garis-garis parkir kendaraan yang sudah disediakan pihak pengelola cafe.
Jika teritori tersebut diganggu oleh pengunjung lain, maka penggunaan area parkir
tidak efektif sesuai dengan jumlah kendaraan yang dapat diparkirkan di area tersebut.
Pada siang hari, kebanyakan pengunjung lebih memilih memarkirkan kendaraannya di
halaman belakang karena matahari tidak terlalu terik pada area ini.

3.3.Teritori dan Gender


Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori dikaitkan dengan
keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari hari individu
atau kelompok dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut adalah primary,
secondary dan public territory.
1. Primary territory, adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif,
disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama
dalam kegiatan sehari-hari penghuninya.
2. Secondary territory, adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif
oleh seseorang atau sekelompok orang mempunyai cakupan area yang relatif luas,
dikendalikan secara berkala.

Perilaku Perancangan Arsitektur 13


3. Public territory, adalah suatu area yang digunakan dan dapat dimasuki oleh siapapun
akan tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut.
Ketiga kategori tersebut sangat spesifik dikaitkan dengan kekhasan aspek kultur
masyarakatnya. Konsep privasi dan teritorial terkait erat. Namun definisi privasi lebih
ditekankan pada kemampuan individu atau kelompok untuk mengkontrol daya visual,
auditory, dan olfactory dalam berinteraksi dengan sesamanya. Konsep pendekatan
perilaku dalam desain ruang publik, teritorialitas merupakan hal yang sangat
mempengaruhi perilaku pada ruang publik, karena pembentukan teritori yang lebih luas
dari individu atau kelompok akan menyangkut pula pada hak teritorial individu atau
kelompok lainnya. Hal tersebut sering kali membuat terjadinya masalah diruang
publik, hingga dalam desain ruang publik harus betul-betul memperhatikan dan
menekankan desain pada perilaku teritorialitas. Beberapa faktor yang mempengaruhi
teritori adalah karakteristik personal seseorang, perbedaan situasional dan faktor
budaya.
• Faktor Personal
Faktor personal yang mempengaruhi karakteristik seseorang yaitu jenis kelamin, usia
dan kepribadian yang diyakini mempunyai pengaruh terhadap sikap teritorialitas.
• Faktor Situasi
Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi yaitu tatanan
fisik dan sosial budaya yang mempunyai peran dalam menentukan sikap teritorialitas.
• Faktor Budaya
Faktor budaya mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya terdapat perbedaan
sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya seseorang yang sangat beragam.
Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada diluar kultur
budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. Sebagai contoh seorang Eropa
datang dan berkunjung ke Asia dan dia melakukan interaksi sosial di ruang publik
negara yang dikunjungi, ini akan sangat berbeda sikap teritorinya.
Masih menurut Altman (1975), sifat kewilayahan merupakan sifat bawaan dan
membuktikan sifat bawaan agresif dari manusia. Seperti hewan, manusia juga
menandai wilayah mereka. Manusia menggunakan tiga macam penandaan yaitu :
sentral (central), batas (boundary), dan takik (earmarker). Tanda sentral adalah benda
yang diletakkan di suatu wilayah yang dicadangkan. Contohnya meletakkan minuman

Perilaku Perancangan Arsitektur 14


di meja restoran, buku di bangku, atau sweater di sandaran kursi untuk mengisyaratkan
bahwa wilayah itu sudah kita tempati. Tanda batas menetapkan batas-batas yang
memisahkan wilayah dari "wilayah mereka." Misalnya lengan kursi (armrest) yang
memisahkan kursi kita dengan kursi orang di sebelah kita dalam pesawat terbang, dan
kereta api. Tanda takik (earmarker), istilah yang diambiI dari kebiasaan mencap hewan
di bagian telinga mereka, adalah tanda pengidentifikasi yang memperlihatkan
kepemilikan atas suatu wilayah atau obyek. Merek dagang, inisial, serta plat nama di
kemeja atau tas merupakan contoh-contoh tanda takik. Beberapa contoh kasus teritori:

Gambar 9 : Teritori berdasarkan fungsi ruang Gambar 10 : Teritori batas ruang luar dan dalam
(Sumber: Data Survey, 2020) (Sumber: Data Survey, 2020)

Gambar 11 : Teritori untuk pemilik kendaraan roda 4

(Sumber: Data Survey, 2020)

Karakter dasar dari suatu teritori yaitu tentang :


1. Kepemilikan dan tatanan tempat.
2. Personalisasi atau penandaan wilayah.
3. Tatanan untuk mempertahankan terhadap gangguan
4. Kemampuan yang meliputi jangkauan kebutuhan fisik dasar sampai kepuasan
kognitif dan kebutuhan estetik.

Perilaku Perancangan Arsitektur 15


Berpijak dari teori tentang teritori tersebut, dalam penelitian ini muncullah
suatu relasi antara paham kewilayahan dengan permasalahan gender. Menurut Suryadi
dan Idris (2004), gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk
menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Relasi antara teritori dan gender
yang diangkat adalah adanya pembatasan wilayah yang mengatasnamakan perbedaan
gender. Pembatasan wilayah ini ditunjukkan lewat aktivitas yang terjadi yang
melibatkan perbedaan gender. Beberapa kasus yang diangkat dalam penelitian ini
adalah aktivitas yang terjadi pada ruang publik.

Perilaku Perancangan Arsitektur 16


BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada pengimplementasian teritori pada lantai satu di Cafe
Lampoe Merah, Lhokseumawe, telah terjadi perubahan teritori karena berbagai sebab
seperti kebutuhan ruang, aktifitas pengunjung, kondisi eksisting cafe dan sebagainya.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak lima pola teritori yang terbentuk yakni pola A -
E dan memberikan ciri yang berbeda berdasarkan pemanfaatan dan penanda yang
diberikan. Ruang hidang outdoor merupakan area publik yang pada malam hari
penggunaannya mencapai 50%, sedangkan pada siang hari mencapai 20%. Pada ruang
hidang indoor yang juga merupakan area publik yang pada malam hari penggunaannya
mencapai 30%, sedangkan pada siang hari mencapai 50%. Pada area parkir kendaraan,
penggunaannya mencapai 35% pada siang hari dan 75% pada malam hari. Pada
kenyataannya proses pemanfaatan ruang publik, semi publik, servis, dan privat ini tidak
menjadi masalah bagi sebagian besar pegawai ataupun penghuni, karena kebebasan yang
diberikan oleh pengelola Cafe Lampoe Merah.
Teritori berarti wilayah atau daerah, dan teritorialitas adalah wilayah yang dianggap
sudah menjadi hak seseorang. Dari uraian-uraian diatas, teritorialitas dapat diartikan
sebagai suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak
seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat.
Teritorialitas pada manusia mempunyai fungsi yang lebih tinggi daripada sekadar
fungsi mempertahankan hidup. Pada manusia, teritorialitas ini tidak hanya berfungsi
sebagai perwujudan privasi saja, tetapi lebih jauh lagi teritorialitas juga mempunyai
fungsi sosial dan komunikasi. Salah satu yang menjadi batasan teritori seseorang terhadap
orang lain adalah gender. Pembatasan gender sendiri juga mengacu pada konteks sosial
dan budaya.

Perilaku Perancangan Arsitektur 17

Anda mungkin juga menyukai