Anda di halaman 1dari 48

MIKROBIOLOGI FARMASI

“PROTOZOA”

Disusun oleh :

Kelompok 6 (S1-3B)

ANNISA AMALYAH (1801047)

IRA FAZIRAH (18010)

NOVELIA SUKISTA (18010)

RESKY PERTIWI (18010)

Dosen pengampu :

MUSYIRNA RAHMAH Nst,M.Si

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

PEKANBARU

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya

kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.Tak lupa pula kami mengucapkan

terima kasih kepada dosen Mata Kuliah Mikrobiologi Farmasi yang telah memberikan tugas

ini kepada kami sebagai upaya untuk menjadikan kami manusia yang berilmu dan

berpengetahuan.

Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari

bantuan berbagai pihak.Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang

telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada

makalah ini.Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta

kritik yang dapat membangun kami.Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan

untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.Akhir kata semoga makalah ini dapat

memberikan manfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 12 Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Pustaka

BAB I :Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Masalah

BAB II : Pembahasan

2.1 Giardiasis

2.2 Scabies

2.3 Malaria

2.4 Taeniasis

2.5 Ascariasis

2.6 Filariasis

2.7 Amoebiasis

2.8 Enterobiasis

2.9 Toxoplasmosis

BAB III : Penutup

3.1 Simpulan

3.2 Saran

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Protozoa merupakan organisme bersel tunggal yang sudah memiliki membran inti
(eukariota). Protozoa berukuran mikroskopis, yaitu sekitar 100 sampai 300 mikron. Bentuk
sel Protozoa sangat bervariasi ada yang tetap dan ada yang berubah-ubah. Protozoa
umumnya dapat bergerak aktif karena memiliki alat gerak berupa kaki semu (pseudopodia),
bulu cambuk (flagellum), bulu getar (cilia), namun ada juga yang tidak  memiliki alat gerak.
Sebagian besar Protozoa hidup bebas di air tawar dan laut sebagai komponen biotik.
Beberapa jenis Protozoa hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia. Protozoa hidup
secara heterotrop dengan memangsa bakteri,protista lain, dan sampah organisme.
Ukuran protozoa beranekaragam, yaitu mulai kurang dari 10 mikron sampai ada yang
mencapai 6 mm, meskipun jarang. Diperairan, protozoa adalah penyusun zooplankton.
Makanan protozoa meliputi bakteri, jenis protista lain, atau detritus (materi organic dari
organisme mati). Protozoa hidup soliter atau berkoloni. Jika keadaan lingkungan kurang
menguntungkan, protozoa membungkus diri membentuk kista untuk mempertahankan diri.
Bila mendapat lingkungan yang sesuai hewan ini akan aktif lagi. Cara hidupnya ada yang
parasit, saprofit, dan ada yang hidup bebas (soliter).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana siklus hidup dari beberapa protozoa?
1.2.2 Bagaimana cara penyakit menular yang disebabkan oleh protozoa?
1.2.3 Bagaimana gejala-gejala yang akan muncul ketika terkena protozoa?
1.2.4 Bagaimana pengobatan dan pencegahan penyakit yang disebabkan oleh protozoa?

1.3 Tujuan Masalah


1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana siklus suatu protozoa sampai menimbulkan
penyakit
1.3.2 Dapat mengetahui gejala-gejala yang timbul saat terkena penyakit karena protozoa
1.3.3 Untuk mengetahui cara mengobati dan mencegah supaya tidak terkena penyakit
yang disebabkan oleh protozoa
1.3.4 Dapat mengetahui beberapa penyakit yang disebabkan oleh protozoa
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Giardiasis

2.1.1 Pengertian Giardia Lamblia

Giardia lamblia adalah salah satu protozoa penyebab infeksi pada saluran pencernaan
manusia. Protozoa ini ditemukan pertama kali oleh Leuwenhoek tahun 1681 pada fesesnya
sendiri. Nama lain dari Giardia lamblia adalah Lamblia intestinalis atau Giardia doudenalis.
Selain menyerang saluran pencernaan manusia, protozoa flagellata ini dapat pula menyerang
kucing, anjing, burung, sapi, berang-berang, rusa dan domba.

Penyakit yang disebabkan oleh Giardia lamblia dinamakan giardiasis. Penyakit ini
terdapat di negara berkembang yang beriklim panas. Giardiasis lebih sering terjadi pada
anak-anak dibanding dewasa. Hampir 100% anak mengalami infeksi giardia lamblia saat 2
tahun pertama kehidupannya. Infeksi oleh parasit ini kemungkinan terjadi dalam interval
yang sering sehingga sebagian orang melihat Giardia lamblia sebagai flora normal pada
individu yang tinggal di negara berkembang.

2.1.2 Taksonomi

Kingdom : Protista

Subkingdom : Protozoa

Phylum : Sarcomastigophora

Subphylum : Mastigophora

Class : Zoomastigophora

Order : Diplomonadida

Family : Hexamitidae

Genus : Giardia

Species : Lamblia
2.1.3 Morfologi

Dalam morfologi atau bentuk dari protozoa parasit Giardia Lamblia ini mempunyai 2
stadium yaitu:

a) Stadium trofozoit

Ukuran 12-15 mikron,berbentuk simetris bilateral seperti buah


jambu monyet yang bagian anteriornya membulat dan bagian posteriornya meruncing.
Permukaan dorsal cembung (konveks) dan pipih di sebelah ventral dan terdapat batil isap
berbentuk seperti cakram yang cekung dan
menempati setengah bagian anterior badan parasit. Ia mempunyai sepasang inti yang
letaknya di bagian anterior, bentuknya oval dengan kariosom di tengah atau butir-butir
kromatin tersebar di plasma inti. Trofozoit ini mempunyai 4 pasang flagel yang berasal dari
4 pasang blefaroplas.  Terdapat 2 pasang yang lengkung dianggap sebagai benda parabasal,
letaknya melintang di posterior dari batil isap.

b) Stadium kista
Berbentuk oval berukuran 8-12 mikron, mempunyai dinding yang tipis dan kuat.
Sitoplasmanya berbutir halus dan letaknya jelas terpisah dari dinding kista. Kista yang baru
terbentuk mempunyai 2 inti, yang matang mempunyai 4 inti, letaknya pada satu kutub. Kista
berukuran lebih kecil daripada trofozoit yaitu panjang 8-18 μm dan lebar 7-10 μm. Letak
kariosom lebih eksentrik bila dibandingkan dengan trofozoit. Pada kista yang telah matur
terdapat 4 buah median bodies, 4 buah nuclei, dan dapat pula ditemukan longitudinal fibers.

2.1.4 Habitat

Giardia lamblia ditemukan di tanah, air, atau makanan yang telah terkontaminasi tinja
dari manusia yang terinfeksi atau protozoa G.lamblia bisa berasal dari air yang
terkontaminasi yang meliputi air yang tidak direbus, disaring, atau didesinfeksi dengan
bahan kimia.

Jika protozoa ini dalam usus manusia,protozoa tersebut dapat hidup di rongga usus
kecil, yaitu duodenum dan bagian proksimal jejenum dan kadang-kadang di saluran dan
kandung empedu. Bila kista matang tertelan oleh hospes, maka akan terjadi ekskistasi di
duodenum, kemudian sitoplasma membelah dan flagel tumbuh dari aksonema sehingga
terbentuk 2 trofozoit. Dengan pergerakan flagel yang cepat trofozoit yang berada di antara
villi usus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Bila berada pada villi, trofozoit dengan
batill isap akan melekatkan diri pada epitel usus. Trofozoit kemudian berkembangbiak
dengan cara belah pasang longitudinal. Bila jumlahnya banyak sekali maka trofozoit yang
melekat pada mukosa dapat menutupi permukaan mukosa usus halus (Wolfe, 1992;
Farthing, 1999; Hawrelak, 2003). Trofozoit yang tidak melekat pada mukosa usus, akan
mengikuti pergerakan peristaltik menuju ke usus bagian distal yaitu usus besar. Enkistasi
terjadi dalam perjalanan ke kolon, bila tinja mulai menjadi padat, sehingga stadium kista
dapat ditemukan dalam tinja yang padat.  Cara infeksi dengan menelan kista matang yang
dapat terjadi secara tidak langsung melalui air dan makanan yang terkontaminasi, atau secara
langsung melalui fecal-oral.Giardia lamblia mempunyai bentuk tropozoit dan kista, dan
hidup di duodenum dan di proksimal jejenum. Makan di ambil dari isi usus, meskipun
parasite ini mungkin mendapat makanan dengan mempergunkan batil isapnya dari sel-sel
epitel. Sedangkan cara berkembang biaknya dengan cara pembelahan mitosis selama
terbentuk kista.

2.1.5 Siklus Hidup


Siklus hidup Giardia lamblia dimulai dari penularan dimulai dari menelan parasit
dalam bentuk kista. Dinding kista yang tebal akan pecah terkena asam lambung, dan
keluarlah bentuk tropozoit Bentuk tropozoit segera membelah dua, dan bergerombol dengan
parasit lain di daerah usus halus, yang kemudian mulai menimbulkan gejala gangguan
saluran cerna.

Bentuk tropozoit ini mirip buah pear yang dibelah dan mempunyai sepasang


cambuk(flagella) untuk membantu bergerak dan berenang bebas di dalam lumen usus.
Bentuk tropozoit ini kontak dengan cairan empedu, mengubah campuran makanan dan
enzim pencernaan, Kemudian mulai menembus lapisan selaput lendir usus, sambil terus
membelah memperbanyak diri sampai bertahun tahun. Bentuk ada yang mati karena enzim
pencernaan dan ada yang berubah menjadi bentuk kista berdinding tebal dan keras.Yang ikut
aliran cairan usus, akan ikut keluar bersamakotoran, mencemari air sungai, air danau, air
selokan, atau mata air di pegunungan. Parasit G. lamblia mencemari air permukaan,
bersama-sama, Virus Hepatitis A, menyebabkan sakit kuning (hepatitis),
Kuman Salmonella menyebabkan penyakit demam tipus,
kuman Campilobacter menyebabkan diare pada manusia yang tertular melalui konsumsi
daging babi, atau susu mentah. Sanitasi air minum perlu diperhatikan untuk menghindari
penularan parasit, virus dan kuman penyebab penyakit tersebut.

Penularan dapat terjadi dari orang ke orang melalui tangan yang mengandung kista dari
tinja orang yang terinfeksi ke mulut orang lain, penularan terjadi terutama di asrama dan
tempat penitipan anak. Cara-cara penularan seperti ini adalah yang paling utama. Hubungan
seksual melalui anus juga mempermudah penularan. KLB terbatas dapat terjadi karena
menelan kista dari air minum yang terkontaminasi tinja penderita, dan tempat rekreasi air
yang tercemar dan jarag sekali penularan terjadi karena makanan yang terkontaminasi tinja.
Kadar chlorine yang digunakan secara rutin untuk pengolahan air bersih tidak dapat
membunuh kista Giardia, khususnya pada saat air dalam keadaan dingin; air kotor yang
tidak disaring dan air danau yang terbuka terhadap kontaminasi oleh tinja manusia dan
hewan merupakan sumber infeksi.

2.1.6 Penyebab Penyakit

Penyebab penyakit Giardiasis adalah adanya parasit yang hidup di dalam perut. Nama
parasit tersebut adalah Intestinalis Giardia. Mikro organisme ini hidup sebagai parasit
dalam perut manusia.Intestinalis Giardia dapat melakukan penyebaran ketika orang yang
terinfeksi melakukan buang air besar, mikro organsime ini bisa ikut keluar bersamaan
dengan feses atau tinja, dan dapat bertahan hidup selama beberapa dalam beberapa minggu
dan dapat menyebar pada air minum yang yang dikonsumsi.

Orang yang berpotensi mengalami adalah mereka yang sering melakukan kontak
dengan tempat keluarnya feses, seperti saat mengganti popok bayit atau memberishkan
tinjanya (cebok). Jika tidak pandai pandai menjaga kebersihannya, maka dari sinilah mikro
organisme yang bernama Intestinalis Giardia dapat ditransfer. Selain itu orang yang juga
dapat berpotensi memiliki penyakit Giardiasis adalah mereka yang sering menkonsumsi air
di bawah standar bersih.

Parasit ini ditularkan dari orang ke orang melalui kista dalam tinja.
Penularan langsung terjadi diantara anak-anak atau mitra seksual, atau secara tidak langsung
melalui air atau makanan yang terkontaminasi.

Giardiasis terjadi di seluruh dunia dan terutama pada anak-anak dan di daerah yang
tingkat kebersihannya buruk.Lebih sering ditemukan pada laki-laki homoseksual dan pada
orang-orang yang mengadakan perjalanan ke negara-negara berkembang.

Penyakit ini juga lebih sering menyerang:

 Orang-orang yang memiliki kadar asam lambung yang rendah


 Orang yang lambungnya sudah diangkat melalui pembedahan
 Penderita pankreatitis kronis
 Penderita gangguan sistem kekebalan.

Giardia menyebar dengan “fecal-oral” artinya sebagian organismenya keluar dari


kotoran lantas menyebar lewat udara dan masuk ke orang lewat udara yang dihisap. Sekali
bakterinya masuk ke sungai atau danau. Bakteri akan bisa bertahan berbulan-bulan, terutama
di air dingin. Bakteri ini misalnya terdapat di mata air pegunungan. Dari sisi teknis, sekali
air tercurah dari langit lantas mengena tanah maka kemungkinan hadirnya giardia besar
sekali.

2.1.7 Gejala Penyakit Giardiasis

Pada kebanyakan kasus yang terjadi , orang yang terinfeksi biasanya mampu diatasi
dengan sistem kekebalan tubuh yang mereka miliki dan tidak memberikan gejala.  Jika
gejala terjadi , mereka bisa datang pada satu sampai dua minggu setelah kontak pertama
dengan giardia tersebut. Gejala infeksi giardial dapat bervariasi dari orang ke orang , tetapi
secara umum mereka biasanya mengalami diare.

Giardiasis adalah infeksi usus halus bagian atas sering tanpa gejala. Namun ada pula
infeksi yang diikuti dengan berbagai gejala intensinal seperti diare kronis, steatorrhea,
kejang perut, bau saat bersedawa, kembung, mengalami dehidrasi, buang air besar berkali-
kali, tinja pucat berlemak, lelah penurunan berat badan. Biasanya tidak terjadi invasi
ekstraintestinal, tetapi terjadi reaksi radang sendi dan pada giardiasis yang berat, mungkin
terjadi gangguan pada usus dua belas jari dan kerusakan sel mukosa jejunum.

Untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang benar-benar


terkena penyakit giardiasis, seorang dokter biasanya akan melakukan pemeriksaan
dilaboratorium dengan memastikan adanya Intestinalis Giardia dengan menggunakan
sampel tinja.

2.1.8 Pencegahan Penyakit

Adapun cara yan dapat kita lakukan untuk meminimalizir atau mencegah menular atau
tersebarnya protozoa parasit Giardia Lamblia ini dengan melakukan berbagai cara, seperti:
 Mengkonsumsi air minum yang sudah melalui proses pengolahan atau tanpa
pengolahan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan
 Pada umumnya G. Lamblia resisten terhadap klorin, sehingga penyaringan
sangat diperlukan untuk menghilangkan kontaminasi oleh protozoa patogen ini.
 Melindungi tempat persediaan air dari hospes reservoir (berang-berang dan
tikus air).
 Meningkatkan hygiene perorangan,misalnya berperilaku hidup bersih dan
sehat.
 Penyediaan makanan yang bersih dan baik.

Pencegahan infeksi parasit ini terutama dengan memperhatikan hygiene perorangan,


keluarga, dan kelompok., dengan menghindari air minum yang terkontaminasi . Sanitasi air
minum untuk mencegah terjadinya epidemi giardiasis dilakukan dengan metode coagulation-
sedimentation-filtration. Klorinasi air minum untuk mengeliminasi kista memerlukan
konsentrasi yang lebih tinggi dan kontak yang lebih lama pada biasanya. Proteksi individu
dapat dilakukan dengan merebus air sampai mendidih minimal 1 menit. Bila air tidak dapat
direbus, dapat diberikan 2-4 tetes kaporit untuk setiap liter air dan tunggu selama 60 menit
sebelum diminum. Bila airnya dingin dibutuhkan waktu semalam untuk membunuh kista
G.intestinalis. Memanaskan makanan atau makanan yang matang dapat mencegah infeksi
kista G.intestinalis.

Pada daerah terbuka dimana jarang ditemukan air di permukaan tanah, memerlukan
penyaringan dengan filter yang memiliki nominal 1-pori ukuran mikrometer. Disarankan
untuk menggunakan yodium atau klorin dioksida pada air yang akan dikonsumsi. Parameter
air seperti suhu, kekeruhan, dan kepekatan juga dapat mempengaruhi efektivitas suatu
perawatan terhadap infeksi.

 Penyaringan dengan filter yang memiliki nominal 1-pori ukuran mikromiter pada air
permukaan tanah yang daerah terbuka
 Menggunakan Yodium atau klorin dioksida pada air yang dikonsumsi
 Parameter air seperti suhu, kekeruhan dan kepekatan juga dapat mempengaruhi
efektifitas suatu perwatan terhadap infeksi.

2.2 Scabies
2.2.1 Definisi Skabies

Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan gatal
agogo. Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan hasil produknya (Handoko dkk, 2005).

Skabies terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, di semua geografi daerah,
semua kelompok usia, ras dan kelas sosial. Namun menjadi masalah utama pada daerah
yang padat dengan gangguan sosial, sanitasi yang buruk, dan negara dengan keadaan
perekonomian yang kurang. Skabies ditularkan melalui kontak fisik langsung (skin-to-skin)
maupun tak langsung (pakaian, tempat tidur, yang dipakai bersama) (Handoko dkk, 2005).

Gejala utama adalah pruritus intensif yang memburuk di malam hari atau kondisi
dimana suhu tubuh meningkat. Lesi kulit yang khas berupa terowongan, papul, ekskoriasi
dan kadang-kadang vesikel. Tungau penyebab skabies merupakan parasit obligat yang
seluruh siklus hidupnya berlangsung di tubuh manusia. Tungau tersebut tidak dapat terbang
atau meloncat namun merayap dengan kecepatan 2.5 cm per menit pada kulit yang hangat
(Chosidow, 2006)

2.2.2 Epidemiologi Skabies

Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Daerah


endemic skabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Mesir, Amerika
Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Australia, Kepulauan Karibia, India, dan Asia
Tenggara.

Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terjangkit
tungau scabies (Chosidow , 2006). Studi epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi
skabies cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin, ras, dan umur. Faktor primer yang berkontribusi adalah kemiskinan dan kondisi
hidup di daerah yang padat.

2.2.3 Etiologi Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei adalah parasit manusia obligat yang
termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, superfamili Sarcoptes.
Bentuknya lonjong, bagian chepal depan kecil dan bagian belakang torakoabdominal
dengan penonjolan seperti rambut yang keluar dari dasar kaki (Burns, 2004).

Tungau skabies mempunyai empat kaki dan diameternya berukuran 0,3 mm.
Sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Tungau ini tidak dapat terbang atau
melompat dan hanya dapat hidup selama 30 hari di lapisan epidermis (Mitolin et al, 2008).
Skabies betina dewasa berukuran sekitar 0,4 mm dengan luas 0,3 mm , dan jantan dewasa
lebih kecil 0,2 mm panjang dengan luas 0,15 mm. Tubuhnya berwarna putih susu dan
ditandai dengan garis melintang yang bergelombang dan pada permukaan punggung
terdapat bulu dan dentikel (Burns, 2004).

Gambar 1. Sarcoptes scabiei

Tungau skabies memiliki empat pasang kaki pendek, di bagian depan terdapat dua
pasang kaki yang berakhir dengan perpanjangan peduncles dengan pengisap kecil di bagian
ujungnya. Pada tungau betina, terdapat dua pasang kaki yang berakhir dengan rambut
(Satae) sedangkan pada tungau jantan rambut terdapat pada pasangan kaki ketiga dan
peduncles dengan pengisap pada pasangan kaki keempat (Burns, 2004).

Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di
atas kulit, tungau jantan akan mati. Tapi kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari
dalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan
sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai 40-50 telur yang
dihasilkankan oleh setiap tungau betina selama rentang umur 4-6 minggu dan selama itu
tungau betina tidak meninggalkan terowongan. Setelah itu, larva berkaki enam akan
muncul dari telur setelah 3-4 hari dan keluar dari terowongan dengan memotong atapnya.
Larva kemudian menggali terowongan pendek (moulting pockets) di mana mereka berubah
menjadi nimfa. Setelah itu berkembang menjadi tungau jantan dan betina dewasa. Seluruh
siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12
hari (Brook, 1995).

Tungau skabies lebih suka memilih area tertentu untuk membuat terowongannya dan
menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaseus. Biasanya, pada satu individu
terdapat kurang dari 20 tungau di tubuhnya, kecuali pada Norwegian scabies dimana
individu bisa didiami lebih dari sejuta tungau. Orang tua dengan infeksi virus
immunodefisiensi dan pasien dengan pengobatan immunosuppresan mempunyai risiko
tinggi untuk menderita Norwegian scabies.

2.2.4 Patogenesa Skabies

Penyakit scabies ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kutu
sarcoptes scabei. Faktor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah sosial ekonomi
yang rendah, higiene perorangan yang jelek, lingkungan yang tidak

saniter, perilaku yang tidak mendukung kesehatan, serta kepadatan penduduk.


Penyakit scabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung.
Yang paling sering adalah kontak langsung dan erat atau dapat pula melalui alat-alat seperti
tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui
hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika Serikat
dilaporkan, bahwa scabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual meskipun bukan
merupakan akibat utama.
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di
atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan
yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan
dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan sambil meletakkan
telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50 . Bentuk betina yang
telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam
waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal
dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus
hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12 hari
(Handoko, R, 2001).

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva meninggalkan
terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa
yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati setelah meninggalkan telur,
sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi.( Mulyono, 1986). Sarcoptes scabiei betina
dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih kurang 7 – 14 hari. Yang diserang adalah
bagian kulit yang tipis dan lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi,
karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang. (Andrianto dan
Tang Eng Tie, 1989).

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga
terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal
yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang
memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit
menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan
garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan
gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau.(Handoko, R, 2001). Reaksi alergi
yang sensitif terhadap tungau dan produknya memperlihatkan peran yang penting dalam
perkembangan lesi dan terhadap tim bulnya gatal. Sarcoptes scabiei melepaskan substansi
sebagai respon hubungan antara tungau dengan keratinosit dan sel-sel langerhans ketika
melakukan penetrasi ke dalam kulit. (Hickz and Elston, 2009).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV


dan tipe I (Burns, 2004). Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen tungau dengan
Imunoglobulin-E pada sel mast yang berlangsung di epidermis menyebabkan degranulasi
sel-sel mast. Sehingga terjadi peningkatan antibodi IgE. Keterlibatan reaksi
hipersensitivitas tipe IV akan memperlihatkan gejala sekitar

10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papul-papul dan nodul
inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah sel limfosit T yang
banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang menyerupai dermatitis tersebut sering
terjadi lebih luas dibandingkan lokasi tungau dengan efloresensi dapat berupa papul, nodul,
vesikel, urtika dan lainnya. Akibat garukan yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta hingga terjadinya infeksi sekunder (Harahab, 2000).

2.2.5 Cara penularan skabies:

Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung.
Penularan melalui kontak langsung (skin-to-skin) menjelaskan mengapa penyakit ini sering
menular ke seluruh anggota keluarga. Penularan secara tidak langsung dapat melalui
penggunaan bersama pakaian, handuk, maupun tempat tidur. Bahkan dapat pula ditularkan
melalui hubungan seksual antar penderita dengan orang sakit, namun skabies bukan
manifestasi utama dari penyakit menular seksual (Walton and Currie, 2007).

2.2.6 Penatalaksanaan Skabies

Terdapat beberapa terapi untuk skabies yang memiliki tingkat efektivitas yang
bervariasi. Faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan yang antara lain umur pasien,
biaya pengobatan, berat derajat erupsi, dan factor kegagalan terapi yang pernah diberikan
sebelumnya.

Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan di seluruh permukaan tubuh
kecuali area wajah dan kulit kepala, dan lebih difokuskan di daerah sela-sela jari, inguinal,
genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien anak dan
scabies berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus dioleskan skabisid topikal. Pasien
harus diinformasikan bahwa walaupun telah diberikan terapi skabisidal yang adekuat, ruam
dan rasa gatal di kulit dapat tetap menetap hingga 4 minggu. Jika tidak diberikan
penjelasan, pasien akan beranggapan bahwa pengobatan yang diberikan tidak berhasil dan
kemudian akan menggunakan obat anti scabies secara berlebihan.
Steroid topikal, anti histamin maupun steroid sistemik jangka pendek dapat
diberikan untuk menghilangkan ruam dan gatal pada pasien yang tidak membaik setelah
pemberian terapi skabisid yang lengkap.

a. Penatalaksanaan secara umum

Edukasi pada pasien skabies :

1.Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.

2.Pengobatan yang diberikan dioleskan di kulit dan sebaiknya dilakukan pada


malam hari sebelum tidur.

3.Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.

4.Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan teratur
dan bila perlu direndam dengan air panas.

5.Jangan ulangi penggunaan skabisid yang berlebihan dalam seminggu


walaupun rasa gatal yang mungkin masih timbul selama beberapa hari.

6.Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan yang


sama dan ikut menjaga kebersihan.

2.2.7 Pencegahan

Untuk melakukan pencegahan terhadap penularan scabies, orang-orang yang


kontak langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi dengan topikal skabisid.
Terapi pencegahan ini harus diberikan untuk mencegah penyebaran scabies karena
seseorang mungkin saja telah mengandung tungau scabies yang masih dalam periode
inkubasi asimptomatik.

Selain itu untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui seprei, bantal, handuk
dan pakaian yang digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih dan
dikeringkan dengan udara panas karena tungau scabies dapat hidup hingga 3 hari
diluar kulit, karpet dan kain pelapis lainnya sehingga harus dibersihkan (vacuum
cleaner).
2.2.8 Komplikasi

Infeksi sekunder pada pasien skabies merupakan akibat dari infeksi bakteri atau
karena garukan. Keduanya mendominasi gambaran klinik yang ada. Erosi merupakan
tanda yang paling sering muncul pada lesi sekunder. Infeksi sekunder dapat ditandai
dengan munculnya pustul, supurasi, dan ulkus. Selain itu dapat muncul eritema,
skuama, dan semua tanda inflamasi lain pada ekzem sebagai respon imun tubuh yang kuat
terhadap iritasi. Nodul-nodul muncul pada daerah yang tertutup seperti bokong, skrotum,
inguinal, penis, dan axilla. Infeksi sekunder lokal sebagian besar disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan biasanya mempunyai respon yang bagus terhadap topikal atau
antibiotic oral, tergantung tingkat pyodermanya. Selain itu, limfangitis dan septiksemia
dapat juga terjadi terutama pada skabies Norwegian, post- streptococcal glomerulonephritis
bisa terjadi karena skabies-induced pyodermas yang disebabkan oleh Streptococcus
pyogens.

2.2.9 Prognosis

Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap untuk beberapa tahun. Pada individu yang
immunocompetent, jumlah tungau akan berkurang seiring waktu. Infestasi scabies dapat
disembuhkan. Seorang individu dengan infeksi scabies, jika diobati dengan benar, memiliki
prognosis yang baik, keluhan gatal dan ekzema akan sembuh.

2.3 Malaria

2.3.1 Penyakit Malaria

Penyakit malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang bersifat akut maupun
kronik, menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam
darah. Plasmodium protista eukariotik yang ditularkan oleh nyamuk adalah penyebab utama
dari penyakit malaria. Didalam tubuh manusia penyakit ini bersembunyi dan berkembang
biak didalam hati (liver). Menginfeksi sel darah merah sehingga menyebabkan gejala Seperti
demam, menggigil, anemia, sakit kepala dan pembesaran limpa. yang mana pada kasus yang
parah akan mengarah ke koma (tidak sadarkan diri) dan kematian. Infeksi malaria dapat
berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai
malaria berat.

Penyakit ini disebabkan oleh parasit malaria yang merupakan golongan


Plasmodium. Parasit protozoa penyebab penyakit malaria ini ditularkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina. Protozoa parasit jenis ini banyak sekali tersebar di wilayah tropis
dan subtropis, terutama di daerah yang berhutan dan mempunyai iklim basah, seperti di
Amerika, Asia dan Afrik.
2.3.2 Jenis-jenis Parasit Penyebab Penyakit Malaria

                Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia family plasmodiidae dan
ordo coccidiidae. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 macam parasit malaria yaitu: 

a.  Plasmodium vivax penyebab malaria tertina.


Masa Inkubasi 12-17 hari, kadang-kadang lebih panjang 12-20 hari biasanya tanpa
gejala. Simptomatis Didahului dengan gejala nyeri kepala, nyeri pinggang, mual dan
muntah, Badan lesu, rasa ngantuk karena ada gangguan oksigen di otak, demam ( mula-mula
demam tidak teratur kemudian demam mulai teratur setiap 48 jam sekali, timbul setiap hari
ke tiga. Demam timbul waktu siang atau sore hari dan suhu badan dapat mencapai 41°C).
pada perabaan limpa mulai dapat membengkak, manifestasi klinik Pada malaria vivax dapat
berlangsung secara berat tetapi kurang membahayakan. 
Malaria tersiana di Indonesia tersebar hampir diseluruh pulau. Ini merupakan jenis
malaria terbanyak yang ditemukan di daerah-daerah berjangkitnya malaria.

b.  Plasmodium malaria penyebab malariae quartana.


Malaria ini banyak dijumpai didaerah Afrika, Amerika Latin, tetapi jarang ditemui di
Indonesia. Penyebarannya tidak seluas P. vivax dan P. falciparum. Masa inkubasi 18-40 hari.
Manifestasi klinik seperti pada malaria vivax hanya berlangsung lebih ringan. Biasanya
tanpa gejala, sering ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan darah dan dalam sel darah
merah ditemukan parasit malaria. Demam teratur setiap hari ke empat (72 jam sekali),
penyakit ini dapat menggangu ginjal dan berlangsung menahun. Semakin lama kerusakan
maka ginjalnya semakin parah, sehinga sel dan jaringan ginjal rusak dan mati, Gejala
gangguan ginjalnya lebih berat dari pada penyakit lainnya. Limpa membengkak sangat
besar.

Prognosa umumnya baik, namun penyakit ini dapat kambuh kembali sepuluh tahun
kemudian. Orang yang pernah terkena penyakit ini sewaktu muda, suatu waktu mengalami
demam Seperti gejala penyakit malaria, maka perlu pemeriksaan darah untuk menemukan
parasit malarianya.

c.  Plasmodium ovale


Merupakan bentuk yang paling ringan dari semua jenis malaria dan dapat sembuh
dengan sendirinya serta jarang kambuh.
Masa inkubasi 11-16 hari, Apabila terjadi infeksi campuran dengan plasmodium lain,
maka P.ovale tidak akan tampak di darah tepi tetapi plasmodium yang lain yang akan
ditemukan. Gejala klinis hampir sama dengan malaria vivax.

d.  Plasmodium Falciparum penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan


malaria yang berat.

Jenis malaria ini tersebar luas di semua pulau di Indonesia. Masa inkubasi 9-14 hari.
Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat (ganas), diitandai dengan sakit kepala,
pegal linu dan sakit pinggang, lengan dan tungkai dingin, mual dan muntah, kadang-kadang
disertai diare, demam ringan, limpa dan hati membengkak, gangguan pada ginjal.

Jika tidak diobati penyakit ini akan berlanjut terus dan semakin parah. Dan ketika
sudah menyerang otak akan timbul kejang dan lumpuh, serta kesadaran menurun bahkan
dalam kondisi tertentu penderita bisa sampai meninggal. Tetapi penyakit ini masih bisa
disembuhkan dengan cara penambahan takaran dan pengobatan, Seperti penambahan
antibiotic atau campuran berbagai anti malaria.

2.3.3 Siklus Hidup Nyamuk Anopheles

Semua serangga termasuk nyamuk, dalam siklus hidupnya mempunyai tingkatan-


tingkatan yang kadang-kadang antara tingkatan yang satu dengan tingkatan berikutnya
terlihat sangat berbeda. Berdasarkan tempat hidupnya dikenal dua tingkatan kehidupan
yaitu:

a.   Tingkatan di dalam air.


b.   Tingkatan di luar temp at berair (darat/udara).

Untuk kelangsungan hidup nyamuk diperlukan air, Jika tidak ada air maka siklus hidup
nyamuk akan terputus. Tingkatan kehidupan yang berada di dalam air ialah : telur, jentik dan
kepompong. Setelah satu atau dua hari telur berada didalam air maka telur akan menetas dan
keluar jentik. Jentik yang baru keluar dari telur masih sangat halus seperti jarum. Dalam
pertumbuhannya jentik anopheles mengalami pelepasan kulit sebanyak empat kali.
Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan jentik antara 8-10 hari tergantung pada
suhu, keadaan makanan serta species nyamuk. Dari jentik akan tumbuh menjadi kepompong
(pupa) yang merupakan tingkatan atau stadium istirahat dan tidak makan. Pada tingkatan
kepompong ini memakan waktu satu sampai dua hari. Setelah cukup waktunya, dari
kepompong akan keluar nyamuk dewasa yang telah dapat dibedakan jenis kelaminnya.

Setelah nyamuk bersentuhan dengan udara, tidak lama kemudian nyamuk tersebut
telah mampu terbang, yang berarti meninggalkan lingkungan berair untuk meneruskan
hidupnya didarat atau udara. Dalam meneruskan keturunannya. Nyamuk betina kebanyakan
kawin satu kali selama hidupnya. Biasanya perkawinan terjadi setelah 24 -48 jam dari saat
keluarnya dari kepompong.

2.3.4 Mekanisme Penularan

Sebagian besar nyamuk anopheles akan mengigit pada waktu senja, atau pada waktu
malam hari. Pada beberapa jenis nyamuk puncak gigitannya adalah tengah malam sampai
fajar. Plasmodium akan mengalami dua siklus, siklus aseksual (skizogoni) terjadi pada tubuh
manusia. Sedangkan siklus seksual (sporogoni) terjadi pada nyamuk.
Parasit berkembang biak secara aseksual dalam tubuh manusia, Dimulai dengan
bersatunya gamet jantan dan betina untuk membntuk ookinet dalam perut nyamuk. Ookinet
akan menembus dinding lambung untuk membentuk kista di selaput luar lambung nyamuk. 
Waktu yang diperlukan sampai pada proses ini adalah 8-35 hari, tergantung dari situasi
lingkungan dan jenis parasitnya. Pada tempat inilah kista akan membentuk ribuan sporozoit
yang terlepas dan kemudian tersebar ke seluruh organ nyamuk termasuk kelenjar ludah
nyamuk.
Pada kelenjar inilah sporozoit menjadi matang dan siap ditularkan, Nyamuk anopheles
yang didalam tubuhnya mengandung parasit menggigit manusia. Sporozoit masuk kedalam
darah melalui gigitan tersebut. Manusia yang tergigit nyamuk infektif akan mengalami
gejala sesuai dengan jumlah sporozoit, kualitas plasmodium dan daya tahan tubuhnya.
Sporozoit akan memulai stadium eksoeritrositer dengan masuk ke sel hati. Di hati sporozoit
matang menjadi skizon yang akan pecah dan melepaskan merozoit jaringan. Merozoit akan
memasuki aliran darah dan menginfeksi aliran darah untuk memulai siklus eritrositer.
Merozoit dalam eritrosit akan mengalami perubahan morfologi yaitu :

Merozoit bentuk cincin trofozoit merozoit

Proses perubahan ini memerlukan waktu 2-3 hari. Diantara merozoit-merozoit tersebut
akan ada yang berkembang membentuk gametosit untuk kembali memulai siklus seksual
menjadi mikrogamet (jantan) dan mikrogamet (betina). Eritrosit yang terinfeksi biasanya
pecah yang bermanifestasi pada gejala klinis. Jika ada nyamuk yang menggigit manusia
yang terinfeksi ini, maka gametosit yang ada pada darah manusia akan terhisap oleh
nyamuk.

Penularan malaria dapat terjadi secara alamiah melalui gigitan nyamuk anopheles atau
malaria bawaan (congenital) yang Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya
menderita malaria, penularan terjadi melalui tali pusat atau placenta.

Secara mekanik Penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik
yang tidak steril lagi. Cara penularan ini pernah dilaporkan terjadi disalah satu rumah sakit
di Bandung pada tahun 1981, pada penderita yang dirawat dan mendapatkan suntikan intra
vena dengan menggunakan alat suntik yang dipergunakan untuk menyuntik beberapa pasien,
dimana alat suntik itu seharusnya dibuang sekali pakai (disposeble).

2.3.5 Gejala Yang Timbul Akibat Penyakit Malaria

        Gejala klinis dengan gejala utama demam mengigil secara berkala dan sakit
kepala kadang-kadang dengan gejala klinis lain sebagai berikut:

a.  Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
b.  Nafsu makan menurun.
c.   Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
d. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan plasmodium
Falciparum.
e.  Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa.
f.    Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan penurunan.
g.  Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol
adalah diare dan pucat, karena anemia serta berasal dari daerah malaria.

Gejala klasik malaria, biasanya terdiri atas 3 stadium yang berurutan yaitu:

1)  Stadium dingin (cold stage)


Menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi gemeretak dan penderita biasanya
menutup tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia, nadi cepat
tetapi lemah. Bibir dan jari pucat kebiru-biruan, kulit kering. Penderita mungkin muntah dan
pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.

2)  Stadium demam (Hot stage)


Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita merasa kepanasan. Muka
merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala dan muntah, nadi
menjadi kuat lagi. suhu badan dapat meningkat sampai 41°C atau lebih. Stadium ini
berlangsung antara 2 sampai 4 jam. Demam disebabkan oleh pecahnya sison darah yang
telah matang dan masuknya merozoit darah kedalam aliran darah.

Pada plasmodium vivax dan P. ovale sison-sison dari setiap generasi menjadi matang
setiap 48 jam sekali sehingga demam timbul setiap tiga hari terhitung dari serangan demam
sebelumnya. Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada plasmodium
malariaa, fenomena tersebut 72 jam sehingga disebut malaria P. vivax/P. ovale, hanya
interval demamnya tidak jelas. Serangan demam di ikuti oleh periode laten yang lamanya
tergantung pada proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang kemudian timbul
pada penderita.

3)  Stadium berkeringat (sweating stage).


Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali sampai-sampai tempat tidurnya
basah. Suhu badan meningkat dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah suhu normal.
Penderita biasanya dapat tidur nyenyak. Pada saat bangun dari tidur merasa lemah tetapi
tidak ada gejala lain, stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4 jam. Gejala-gejala yang
disebutkan diatas tidak selalu sama pada setiap penderita, tergantung pada species parasit
dan umur dari penderita, gejala klinis yang berat biasanya teljadi pada malaria tropika yang
disebabkan oleh plasmodium falciparum.

2.3.6 Cara Pencegahan dan Pengobatan

           Cara pencegahan, pemahaman tentang kebiasaan dan perilaku nyamuk


Anopheles  betina sangat berguna dalam pencegahan penyakit. Tempat-tempat rawa dan
lingkungan mikro yang tenang dapat mendukung perkembangbiakan nyamuk Anopheles.
Menghindari tempat yang dipenuhi nyamuk dan membersihkan tempat perindukannya dapat
mengurangi kemungkinan gigitan nyamuk.Tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri
dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara tidur menggunakan kelambu, pemasangan kasa
nyamuk pada ventilasi rumah, Kulit dibaluri obat anti nyamuk, memelihara ikan pemakan
jentik nyamuk dll.

           Pengobatan malaria bertujuan untuk pencegahan terhadap pemindahan parasite


(pemutusan rantai penularan). cara pengobatan dapat dilakukan dengan cara pemberian obat
anti malaria (dengan resep dokter), memberikan obat tambahan Seperti analgetik dan
antipiretik. Jika terjadi gangguan fungsi hati, ginjal, otak maka pasien membutuhkan
perawatan rumah sakit.

Dalam pengobatan malaria terapi antiplasmodium dan perawatan suportif sangat


penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Klorokuin merupakan obat anti
malaria yang efektif terhadap P.falciparum yang sensitive terhadap klorokuin.
Keuntungannya tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak mengganggu kehamilan. Namun,
dengan meluasnya resistensi terhadap klorokuin, maka obat ini sudah jarang dipakai untuk
pengobatan malaria berat. Kona merupakan obat anti-malaria yang sangat efektif untuk
semua jenis plasmodium dan dipilih sebagai obat utama untuk menangani malaria berat
karena masih berefek kuat terhadap P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin.
Meskipun kona dapat digunakan pada masa kehamilan, tetapi dapat menyebabkan kontraksi
uterus dan memberikan kontribusi untuk hipoglikemia (Wilson,2001). 
2.4 Taeniasis

2.4.1 Pengertian Taeniasis

Taeniasis merupakan penyakit yang yang disebabkan oleh infeksi cacing pita
(Taenia). Cacing pita ini bisa menjangkiti manusia dan hewan. Meski infeksi cacing ini bisa
ditangani dengan mudah, infeksi ini bisa menyebar ke organ lainnya di dalam tubuh. Kondisi
inilah yang bisa berujung pada masalah kesehatan lainnya yang lebih serius.

Cacing pita memiliki ukuran tubuh yang besar, beberapa di antaranya bisa tumbuh hingga 9
meter di dalam tubuh. Sayangnya, pengidap taeniasis tidak mengetahui keberadaan cacing di
dalam tubuhnya. Kondisi ini baru disadari ketika mereka melihat bagian tubuh cacing yang
keluar saat buang air besar.

2.4.2 Etiologi Taeniasis

Taeniasis terjadi saat telur atau larva cacing pita masuk ke dalam tubuh. Jika
seseorang mengonsumsi makanan atau minuman terkontaminasi kotoran manusia atau
hewan yang mengandung cacing pita, maka ia menelan telur cacing pita berukuran kecil.
Setelah tertelan, telur akan berkembang menjadi larva di saluran pencernaan. Manusia bisa
menelan larva cacing pita yang tersembunyi pada daging hewan yang mentah atau dimasak
tidak matang. Cacing pita dewasa bisa memanjang sampai 15 meter dan mampu bertahan
hidup hingga 30 tahun dalam tubuh inangnya.

Berikut jenis-jenis cacing pita yang bisa menginfeksi tubuh manusia.

 Cacing pita daging sapi dan daging babi.

 Cacing pita ikan.

 Cacing pita kerdil.

 Cacing pita anjing

2.4.3 Faktor resiko taeniasis

Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang lebih berisiko terkena taeniasis


adalah:
 Kebersihan buruk bisa meningkatkan risiko tertular infeksi cacing pita melalui
mulut.
 Kontak dengan kotoran hewan. Risiko ini akan lebih besar bagi seseorang yang
bekerja di peternakan, taitu ketika pembuangan kotoran manusia dan hewan tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
 Bepergian ke negara-negara berkembang. Sanitasi yang buruk dapat
meningkatkan risiko untuk terkena infeksi.
 Mengonsumsi daging mentah atau kurang matang, cara memasak yang tidak
benar tidak bisa membunuh telur dan larva cacing pita yang ada dalam daging.
 Hidup di kawasan endemik taeniasis.
 Mengidap kondisi medis tertentu seperti AIDS atau HIV, diabetes, penerima
transplantasi organ, hingga kemoterapi yang bisa melemahkan sistem kekebalan
tubuh.

2.4.4 Gejala Taeniasis

 Rasa nyeri pada perut bagian atas.


 Berat badan turun tanpa sebab yang jelas.
 Mual dan muntah.
 Nafsu makan menurun.
 Gangguan pencernaan (diare).
 Iritasi pada sekitar anus.
 Sakit kuning.
 Pada tinja terlihat cacing atau telur cacing.

Jika larva cacing bermigrasi keluar dari usus dan membentuk kista pada jaringan
tubuh lain, maka pengidap taeniasis akan merasakan beberapa gejala seperti:

 Munculnya benjolan.
 Sakit kepala.
 Infeksi bakteri.
 Batuk atau nyeri pada paru-paru akibat abses (nanah).
 Reaksi alergi terhadap larva.
 Gejala neurologis, termasuk kejang-kejang.

2.4.5 Diagnosis taeniasis

Seperti penyakit pada umumnya, dokter akan melakukan wawancara medis dan
pemeriksan fisik seputar gejala-gejala yang dialami oleh pasien. Selanjutnya, dokter akan
melakukan pemeriksaan lanjutan seperti mengambilan sampel tinja, tes darah lengkan,
hingga pemeriksaan pemindaian seperti CT scan, rotgen, hingga MRI bila pasien mengalami
infeksi berat.

2.4.6 Komplikasi Taeniasis

Infeksi taeniasis yang tak ditangani dengan tepat, bisa memicu bebagai masalah
lainnya. Berikut beberapa komplikasi yang mungkin terjadi.

 Penyakit Hidatidosa.
 Gangguan sistem saraf pusat dan otak.
 Terganggunya fungsi organ seperti pada paru-paru atau hati bila larva pindah ke
bagian tersebut.
 Gangguan pencernaan seperti pencernaan tersumbat

2.4.7 Pengobatan Taeniasis

Ada beberapa kasus, pengidap taeniasis bisa sembuh tanpa pengobatan. Cacing pita
akan keluar dari tubuh dengan sendirinya. Untuk menangani taeniasis, biasanya dokter akan
meresepkan beberapa obat-obatan untuk membasmi cacing pita dewasa saja.

Untuk infeksi invasif akan ditangani berdasarkan lokasi dan efek infeksi. Beberapa
langkah penanganan untuk infeksi invasif adalah:

 Antelmintik

Obat jenis ini bisa membunuh parasit cacing dan membuat cacing keluar dari saluran
pencernaan bersama dengan kotoran.

 Pemasangan Shunt

Jika infeksi invasif menyebabkan penimbunan cairan pada otak, dokter akan
menyarankan pemasangan tabung permanen untuk mengeringkan cairan.

 Terapi Anti-epilepsi

Jika taeniasis sampai menyebabkan kejang-kejang, dokter akan menyarankan terapi


anti-epilepsi.

 Pembedahan
Tindakan pembedahan juga bisa dilakukan dokter untuk mengangkat kista cacing
pita yang mengganggu fungsi organ tubuh.

 Terapi Anti-inflamasi.

Terapi ini diperlukan karena kista cacing pita yang akan mati bisa menyebabkan
peradangan pada jaringan atau organ.

2.4.8 Pencegahan taeniasis

 Hindari mengonsumsi daging, ikan, dan daging babi yang tidak matang
sempurna.
 Cuci dan masaklah semua buah-buahan serta sayuran sebelum dimakan.
 Bagi yang memiliki peternakan, buanglah kotoran hewan dan manusia dengan
benar, agar tidak mencemari makanan dan minuman.
 Harap berhati-hati saat mengonsumsi makanan dan minuman ketika berada di
kawasan rawan cacing pita (biasanya di negara berkembang).
 Bawalah hewan peliharaan ke dokter hewan jika terinfeksi cacing pita.
 Masaklah daging hingga benar-benar matang.
 Bekukan daging setidaknya 12 jam, dan ikan minimal 24 jam untuk membunuh
telur dan larva cacing pita.
 Cucilah tangan dengan sabun sebelum dan sesudah mengolah makanan, sebelum
makan, dan setelah keluar dari toilet.

2.5 Ascariasis

2.5.1 Pengertian Ascariasis

Ascariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris


lumbricoides). Cacing ini merupakan salah satu jenis parasit yang hidup dan berkembang
biak di dalam usus manusia. Ascariasis biasanya ditemukan di daerah yang memiliki fasilitas
kebersihan yang buruk. Beberapa orang yang mengidap penyakit ini tidak mengalami gejala
sampai keadaannya memburuk.

2.5.2 Etiologi Ascariasis


Penyebab ascariasis adalah tertelannya telur-telur cacing gelang yang terdapat dalam
air atau makanan yang terkontaminasi. Telur cacing gelang yang hidup di bahan makanan
yang tumbuh di tanah juga menjadi penyebab dari ascariasis

2.5.3 Faktor Resiko Ascariasis

 Lingkungan yang kebersihannya tidak terjaga. Ascariasis biasanya hidup di tempat-


tempat yang memiliki sanitasi yang buruk, terutama pada daerah yang memanfaatkan
feses manusia sebagai pupuk tanaman.
 Usia. Usia 10 tahun ke bawah sangat rentan terserang ascariasis.
 Kepadatan penduduk. Infeksi ini sering terjadi di daerah dengan kepadatan penduduk
yang tinggi

2.5.4 Gejala Ascariasis

 Pada fase awal, menetasnya infeksi telur-telur cacing yang tertelan ke dalam tubuh.
Keadaan ini memicu gejala berupa demam, batuk kering, napas pendek, serta mengi.
Fase ini dapat berlangsung hingga 21 hari.
 Pada fase lanjut, larva-larva telah berpindah ke usus dan berkembang menjadi cacing
dewasa. Gejala dapat dirasakan ringan sampai sedang, seperti sakit perut, mual,
muntah, diare, atau timbulnya darah pada tinja. Pada gejala yang berat dapat timbul
muntah-muntah, kelelahan, terdapat cacing dalam muntah atau tinja, anemia, serta
penurunan berat badan

2.5.5 Diagnosis Ascariasis

 Riwayat perjalanan penyakit secara rinci.


 Pemeriksaan fisik yang bertujuan untuk melihat tanda-tanda  yang menunjukkan infeksi
cacing tersebut.
 Memeriksa sampel feses pengidap. Prosedur ini bertujuan untuk memeriksa ada
tidaknya telur-telur cacing pada feses pengidap.
 Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk melihat adanya kenaikan sel darah putih
tertentu yang disebut sebagai eosinophilia. Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
menegakkan ascariasis.
 Pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan X-ray, USG, CT scan, atau MRI untuk
melihat larva di paru-paru, cacing dewasa pada organ hati atau pankreas, serta
gumpalan cacing-cacing yang menyumbat saluran hati atau pankreas.

2.5.6 Pengobatan Ascariasis

Pada sebagian kasus, ascariasis dapat sembuh dengan sendirinya. Meskipun


demikian, disarankan Anda segera ke dokter bila mengalami gejala ascariasis. Dokter akan
meresepkan obat cacing, seperti:

 Mebendazole. Mebendazole diresepkan pada pasien usia 1 tahun ke atas, dengan


dosis 2 kali sehari untuk 3 hari. Sejumlah efek samping yang dapat muncul akibat
penggunaan obat ini meliputi diare, ruam kulit, dan sering buang angin.
 Piperazine. Piperazine diresepkan pada bayi usia 3-11 bulan, dengan 1 dosis
tunggal. Efek samping obat ini antara lain sakit perut, diare, mual, muntah, dan
kolik.
 Albendazole. Obat ini dianjurkan untuk dikonsumsi 2 kali sehari. Sakit perut,
mual, muntah, pusing, serta ruam kulit adalah beberapa efek samping yang dapat
dialami setelah meminum albendazole.

Pada ascariasis berat, jumlah cacing di usus sampai menyebabkan usus dan saluran
empedu tersumbat. Dalam kondisi tersebut, dokter akan menjalankan operasi, untuk
membuang cacing dari dalam usus, dan memperbaiki kerusakan usus pasien.

2.5.7 Pencegahan Ascariasis

 Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, misalnya sebelum makan,
memasak, maupun setelah buang air besar.
 Memastikan masakan benar-benar matang sebelum mengonsumsinya.
 Meminum air dalam kemasan yang tersegel ketika bepergian.
 Memasak air hingga mendidih sebelum meminumnya.
 Mengonsumsi buah-buahan yang bisa dikupas, misalnya jeruk atau apel.
 Mencuci buah dan sayuran hingga bersih sebelum dikonsumsi.

2.8 Enterobiasis
Cacing kremi

Cacing kremi (Enterobius vermicularis).


Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Nematoda
Kelas: Secernentea
Upakelas: Spiruria
Ordo: Oxyurida
Famili: Oxyuridae
Genus: Enterobius
Species
 Enterobius vermicularis (Linnaeus, 1758)[1]
 Enterobius anthropopitheci (Gedoelst, 1916)[1]
 Enterobius gregorii (Hugot, 1983) (disputed)

2.8.1 Pengertian Enterobiasis


Enterobiasis atau oxyuriz merupakan infeksi usus pada manusia parasit yang terutama
menyerang anak-anak, disebabkan oleh nematoda genus Enterobius, khususnya Enterobius
vermicularis atau Oxyuris vermicularis. Penyakit ini biasa dikenal dengan penyakit cacing
kremi. (Dorland, 2002)

2.8.2 Epidemiologi
Infeksi cacing kremi lebih umum dalam keluarga dengan anak usia sekolah, terutama
pengasuh anak yang terinfeksi dan anak yang hidup dalam lingkungan yang sama (asrama,
panti asuhan).
Seseorang yang terinfeksi cacing kremi karena menelan telur infektif secara langsung
atau tidak langsung. Telur-telur ini diletakkan di sekitar anus oleh cacing betina dan dapat
terbawa ke permukaan (tangan, mainan, kasur/seprai, pakaian dan tempat duduk toilet).
Dengan meletakkan tangan siapun yang terkontaminasi (termasuk tangan penderita sendiri)
di sekitar daerah mulut atau meletakkan mulut pada permukaan yang biasa terkontaminasi,
seseorang dapat menelan telur cacing kremi dan menjadi terinfeksi parasit cacing kremi.
Karena telur cacing kremi sangat kecil, hal itu memungkinkan untuk tertelan saat bernapas.
Sesudah seseorang menelan telur cacing kremi, terdapat masa inkubasi 1-2 bulan atau
lebih bagi cacing betina untuk dewasa. Sesudah dewasa, cacing betina bermigrasi untuk
bertelur disekitar anus pada malam hari, ketika banyak dari hospes sedang tidur. Orang yang
terinfeksi cacing kremi dapat menularkan parasit tersebut ke orang lain selama masih
terdapat cacing betina yang meletakkan telurnya pada kulit perianal. Seseorang juga dapat
terinfeksi kembali karena dirinya sendiri (autoinfeksi) atau terinfeksi kembali karena telur
dari orang lain.

2.8.3 Morfologi dan Daur Hidup


Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anterior ada pelebaran
kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali, ekornya panjang
dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh dengan telur. Sedangkan cacing
jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga
bentuknya seperti tanda tanya (?). Spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing
dewasa biasanya di rongga sekum. Makanannya adalah isi dari usus. (Gandahusada, 1998)
Cacing betina gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur, bermigrasi ke daerah
perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang
dikeluarkan di usus, sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dan
lebih datar pada satu sisi (asimetrik). Dinding telur bening dan agak lebih tebal dari dinding
telur cacing tambang. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah
dikeluarkan, pada suhu badan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam
keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. (Gandahusada, 1998)
Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum. Cacing jantan mati
setelah kopulasi, sedangkan cacing betina mati setelah bertelur. Infeksi enterobiasis terjadi
bila menelan telur matang atau bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal
bermigrasi kembali ke usus besar. Bila telur matang yang tertelan, telur menetas di
duodenum dan larva rhabditiformis berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di yeyunum
dan bagian atas ileum. (Gandahusada, 1998)
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang
sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal, berlagsung kira-
kira 1 bulan karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5
minggu sesudah pengobatan. Infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri (self limited). Bila
tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatan pun infeksi dapat berakhir. (Gandahusada, 1998)

2.8.4 Cara Penularan


Adapun penularan penyakit enterobiasis dapat dipengaruhi oleh:
 Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (autoinfeksi) atau
tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena
memegang benda-benda maupun pakaian yang terkontaminasi.
 Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga
telur melalui debu dapat tertelan.
 Retroinfeksi melalui anus, yaitu larva dari telur yang menetas di sekitar anus kembali
masuk ke anus.

2.8.5 Gejala
Gejala klinis yang penting dan paling sering ditemukan adalah rasa gatal pada anus
(pruritus ani), yang timbul terutama pada malam hari. Rasa gatal ini harus dibedakan dengan
rasa gatal yang disebabkan oleh jamur, alergi dan pikiran. Gejala lain adalah anoreksi, badan
menjadi kurus, sukar tidur dan pasien menjadi iritabel, seringkali terjadi terutama pada anak.
Pada wanita dapat menyebabkan vaginitis. Cacing dewasa di dalam usus dapat
menyebabkan gejala nyeri perut, rasa mual, muntah, diare yang disebabkan karena iritasi
cacing dewasa pada sekum, apendiks dan sekitar muara anus besar. (Sudoyo, 2007)

2.8.6 Diagnosis
Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus
pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa.
Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempatkan di
sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan cebok. (Sudoyo, 2007)
Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya
dilekatkan scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus,
telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca
benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan
dilakukan tiga hari berturut-turut (Gandahusada, 1998). Pemeriksaan darah tepi umumnya
normal, hanya ditemukan sedikit eosinofilia (Sudoyo, 2007).

2.8.7 Komplikasi

1. Salpingitis (peradangan saluran indung telur)

2. Vaginitis (peradangan vagina)

3. Infeksi ulang.

2.8.8 Pengobatan
Obat-obat antihelmintik digunakan untuk mengurangi sejumlah parasit cacing di
saluran cerna atau jaringan tubuh. Parasit ini mengalami proses biokimiawi dan fisiologi
dengan inang mamalianya, sekarang dengan adanya perbedaan yang tidak jelas dapat
dimulai untuk menghasilkan penelitian farmakologi. Kebanyakan antihelmintik yang
digunakan sekarang ini aktif terhadap parasit spesifik dan beberapa bersifat toksik. Karena
itu, parasit tersebut harus dikenali terlebih dahulu sebelum pengobatan dimulai, biasanya
dengan menggunakan parasit, telur, atau larva di urin, tinja, darah, sputum, atau jaringan
inang. (Katzung, 1998)
Seluruh anggota keluarga sebaiknya diberi pengobatan bila ditemukan salah seorang
anggota terkena enterobiasis. Pengobatan secara periodik memberikan prognosis yang baik.
Adapun obat-obat yang dapat diberikan antara lain: (Katzung, 1998)
1.       Mebendazol
Mebendazol menghambat sintesis mikrotubulus nematoda, sehingga mengganggu
ambilan glukosa yang irreversibel. Akibatnya parasit intestinal diimobilisasi atau mati secara
perlahan, dan bersihannya dari saluran cerna mungkin tidak lengkap sampai beberapa hari
setelah pengobatan. Efikasi obat ini bervariasi dengan waktu transit saluran cerna, beratnya
infeksi, serta apakah obat ini dikunyah atau tidak, dan mungkin dengan strain parasit.
Mebendazol diberikan dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2 minggu.
2.       Albendazol
Albendazol menghambat ambilan glukosa oleh larva dan parasit stadium dewasa yang
rentan, mengurangi penyimpanan glikogen dan menurunkan pembentukan ATP. Sebagai
akibatnya, parasit diimobilisasi dan mati. Diberikan dosis tunggal 400 mg, diulang setelah 2
minggu.
3.       Pirantel pamoat
Pirantel pamoat efektif terhadap cacing bentuk matur atau imatur yang rentan dalam
saluran cerna tetapi tidak efektif terhadap stadium migrasi dalam jaringan. Obat ini
merupakan agen penghambat depolarisasi neuromuskular yang menyebabkan pelepasan
asetilkolin, menghambat kolinesterase, dan merangsang reseptor ganglionik. Diberikan
dengan dosis 10 mg/kg berat badan sebagai dosis tunggal dan maksimum 1 gram.

2.8.9 Pencegahan

Pencegahan cacingan dilakukan dengan menjaga kebersihan pribadi, atau orang tua
dapat menjaga kebersihan anaknya dengan melakukan tindakan berikut:

 Memotong kuku yang sudah panjang dan kotor


 Selalu mencuci tangan sebelum makan
 Menjauhkan makanan dari debu
 Mencuci bersih dan rutin mengganti pakaian serta alas kasur

2.9 Toksoplasmosis
2.9.1 Pengertian Toxoplasmosis
Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasit obligat
intraselluler Toxoplasma gondii. Infeksi toxoplasma bisa bersifat akut dan kronik atau
keduanya. Infeksi toxoplasma akut adalah infeksi yang didapat sesudah bayi dilahirkan,
biasanya asimptomatik sedangkan infeksi toxoplasma kronik adalah terjadinya persistensi
kista dalam jaringan yang berisi parasit pada individu yang secara klinis asimptomatik.
Toxoplasmosis akut maupun kronik adalah suatu keadaan saat parasit menjadi penyebab
terjadinya gejala dan tanda klinis ( antara lain : ensefalitis, miokarditis, pneumonia ). Selain
itu ada juga yang disebut Toxoplasmosis congenital dimana infeksi pada bayi baru lahir
yang terjadi akibat penularan parasit secara transplasental dari ibu yang terinfeksi terhadap
janinnya. Bayi ini biasanya asimptomatik pada saat dilahirkan tapi di kemudian hari akan
timbul manifestasi berupa gejala dan tanda dengan kisaran yang luas seperti : korioretinitis,
strabismus, epilepsi dan retardasi psikomotor.
Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, karena
berkembangbiak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian (Levine, 1990).
Menurut Levine (1990) klasifikasi parasit sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Protozoa
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Sub Kelas : Coccidiasina
Bangsa : Eucoccidiorida
Sub Bangsa : Eimeriorina
Suku : Sarcocystidae
Marga : Toxoplasma
Jenis : Toxoplasma gondii.

2.9.2 Etiologi
Toxoplasmosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma
gondii. Parasit ini termasuk protozoa sub filum apicomplexa, kelas sporozoa, sub kelas
coccidia.
Pada tahun 1970 parasit yang sudah dikenal sebagai pathogen pada manusia selama
setengah abad diklasifikasikan secara taxonomi dalam coccidia dan diketahui bahwa bangsa
kucing adalah hospes definitifnya serta menjadi jelas bahwa dalam siklus hidupnya terdapat
siklus seksual yang terjadi pada pada bangsa kucing (felidae) dan hal ini mempunyai
implikasi epidemiologik yang penting untuk transmisi parasit ini.

2.9.3 Morfologi dan Siklus Hidup


Dalam sel epitel usus kecil bangsa kucing dapat berlangsung siklus aseksual
(schizogoni) maupun seksual (gametogoni, sporogoni) yang akan menghasilkan oocyst
(ookista). Ookista yang berbentuk oval dengan ukuran 9-11 mikron x 11-14 mikron akan
keluar bersama feces. Ookista akan menghasilkan dua sporokista yang masing – masing
mengandung empat sporozoite (sporosoit).
Apabila ookista tertelan oleh hospes perantara yaitu mamalia lain (termasuk
manusia) dan golongan burung (aves), maka pada berbagai jaringan dari hospes perantara ini
akan terbentuk kelompok – kelompok tropozoite yang membelah secara aktif dan disebut
sebagai tachyzoite yang membelah sangat cepat. Selanjutnya kecepatan membelah dari
tachyzoite akan berkurang secara berangsur dan akan terbentuk cyst (kista) yang
mengandung bradizoite. Masa tersebut adalah masa infeksi klinis menahun yang biasanya
merupakan infeksi laten. Pada hospes perantara tidak terdapat stadium seksual melainkan
terjadi stadium istirahat yaitu adanya kista jaringan.
Apabila hospes definitive (bangsa kucing) memangsa hospes perantara yang
terinfeksi , maka akan terbentuk lagi siklus seksual maupun aseksual di dalam ususnya.
Masa prepaten ( masa sampai dikeluarkannya ookista dari bangsa kucing) adalah tiga sampai
lima hari, sedangkan apabila bangsa kucing makan tikus yang mengandung tachyzoite
biasanya masa prepaten adalah lima sampai sepuluh hari, tetapi apabila bangsa kucing
langsung menelan ookista maka masa prepatennya adalah 20-24 hari. Bangsa kucing lebih
mudah terinfeksi oleh kista jaringan dari pada terinfeksi oleh ookista
Pada berbagai jaringan tubuh bangsa kucing yang terinfeksi juga dapat ditemukan
bentuk tachizoite ( tropozoite) dan kista jaringan sedangkan pada manusia yang terinfeksi
dapat ditemukan adanya tachizoite pada masa infeksi akut serta tachizoite ini dapat
memasuki setiap jenis sel yang berinti.
Bentuk tachizoite menyerupai bulan sabit dengan satu ujungnya meruncing dan
ujung yang lainnya agak membulat dengan ukuran sekitar 4 – 8 mikron dan mempunyai 1
inti yang terletak kira kira ditengah. Tachizoite ini bersifat obligat intraseluler. Tachizoite
berkembang biak dalam sel secara endodiogeni. Bila sel menjadi penuh dengan adanya
tachizoite maka sel tersebut akan pecah dan tachizoite akan keluar serta memasuki sel sel
disekitarnya atau terjadi fagositosis terhadap tachizoite tersebut oleh makrofag.
Kista jaringan dibentuk di dalam sel hospes apabila tachizoite yang membelah telah
membentuk dinding dan kista jaringan ini dapat ditemukan terutama di dalam jaringan otak,
otot jantung dan otot bergaris hospes seumur hidup (laten). Di otak, kista jaringan akan
berbentuk oval sedangkan di sel otot bentukkista jaringan akan mengikuti bentuk sel otot.
Adapun cara infeksi dari parasit ini pada manusia dapat melalui berbagai cara yaitu
yang pertama toxoplasmosiscongenital , transmisi parasit ini kepada janin terjadi inutero
melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer pada saat kehamilan, yang kedua
adalah toxoplasmosis aquisita , infeksi ini dapat terjadi bila makan daging mentah atau
kurang matang yang mengandung kista atau tachizoite parasit ini atau melalui tertelannya
ookista yang dikeluarkan oleh kucing penderita bersama fesesnya , kemungkinan yang
ketiga adalah infeksi di laboratoriumyaitu melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain
yang terkontaminasi oleh parasit ini serta kemungkinan ke empat adalah melalui
transplantasi organ dari donor penderita toxoplasmosis laten.

Gambar 2.1 Daur hidup Toxoplasmagondii, sumber infeksi pada manusia

2.9.4 Penularan
Penularan ke manusia umumnya secara aktif (didapat) dan secara pasif (bawaan).
Penularan secara aktif terjadi bila menelan ookista infektif atau kista, sedangkan penularan
secara pasif terjadi melalui plasenta dari ibu ke anak.
Penularan secara aktif antara lain diperoleh dari:
1) Makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi (mengandung
kista), misalnya daging sapi, kambing, domba,kerbau, babi, ayam, kelinci dan lain-
lain.Kemungkinan besar penularan toksoplasma kemanusia melalui jalur ini, yaitu
makan satesetengah matang atau masakan lainnya yang dimasak tidak sempurna.
2) Makan makanan tercemar ookista dari feses kucing yang menderita toksoplasmosis.
Feses kucing yang mengandung ookista akan mencemari tanah(lingkungan), dan dapat
menjadi sumber  penularan baik pada manusia maupun hewan.Tingginya resiko infeksi
toksoplasmosismelalui tanah yang tercemar, karena ookista bersporulasi bisa bertahan
di tanah sampai beberapa bulan, air minum dan susu.
3) Penularan toksoplasmosis dapat juga melalui transfusi darah (trofozoit),transplantasi
organ atau cangkok jaringan(trofozoit, kista), kecelakaan di laboratoriumyang
menyebabkan T. Gondii masuk ke dalamtubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka.
Penularan secara pasif: Pada toxoplasmosis konginetal transmisi toxoplasma kepada
janin terjadi in utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.

2.9.5 Patomekanisme
Toxoplasma gondii dapat menyerang semua sel yang berinti sehingga dapat
menyerangsemua organ dan jaringan tubuh hospes kecuali sel darah merah. Bila terjadi
invasi oleh parasit ini yang biasanya di usus , maka parasit ini akan memasuki sel hospes
ataupun difagositosis. Sebagian parasit yang selamat dari proses fagositosis akan memasuki
sel, berkembangbiak yang selanjutnya akan menyebabkan sel hospes menjadi pecah dan
parasit akan keluar serta menyerang sel - sel lain. Dengan adanya parasit ini di dalam sel
makrofag atau sel limfosit maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh
bagian tubuh menjadi lebih mudah terjadi. Parasitemia ini dapat berlangsung selama
beberapa minggu.
Kista jaringan akan terbentuk apabila telah ada kekebalan tubuh hospes terhadap
parasit ini. Kista jaringan dapat ditemukan di berbagai organ dan jaringan dan dapat menjadi
laten seumur hiduppenderita. Derajat kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh tergantung
pada umur penderita, virulensi strain parasit ini, jumlah parasit ini dan jenis organ yang
diserang. Lesi pada susunan saraf pusat dan pada mata biasanya bermanifestasi lebih berat
dan bersifat permanen sebab jaringan – jaringan tersebut tidak mempunyai kemampuan
untuk melakukan regenerasi.
Kelainan – kelainan pada Susunan Saraf Pusat umumnya berupa nekrosis yang
disertai dengan kalsifikasi sedangkan terjadinya penyumbatan aquaductus sylvii akibat
ependymitis dapat mengakibatkan kelainan berupa hydrocephalus pada bayi. Infeksi yang
bersifat akut pada retina akan mengakibatkan reaksi peradangan fokal dengan edema dan
infiltrasi leucocyte yang dapat menyebabkan kerusakan total pada mata serta pada proses
penyembuhan akan terjadi sikatriks. Akibat dari pembentukan sikatriks ini maka akan dapat
terjadi atrofi retina dan coroid disertai pigmentasi.
Pada toxoplasmosis aquisita , infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui
sebab jarang menimbulkan gejala , tetapi bila infeksi primer terjadi pada masa kehamilan
maka akan terjadi toxoplasmosis congenital pada bayinya. Manifestasi klinis yang paling
sering terjadi pada toxoplasmosisaquisita adalah limfadenopati, rasa lelah, demam dan sakit
kepala dan gejala ini mirip dengan mononucleosis infeksiosa, kadang – kadang dapat terjadi
eksantema.
Toxoplasmosis sistemik pada penderita dengan imunitas yang normal dapat
bermanifestasi dalam bentuk hepatitis, pericarditis dan meningoencephalitis. Penyakit ini
dapat berakibat fatal walaupun itu sangat jarang terjadi. Pada penderita dengan keadaan
immunocompromised misalnya pada penderita HIV –AIDS atau pada orang-orang yang
mengonsumsi imunosupresan,infeksi oleh parasit ini mungkin dapat meluas yang ditandai
dengan ditemukannya proliferasi tachizoite di jaringan otak, mata, paru, hepar, jantung dan
organ – organ lainnya sehingga dapat berakibat fatal. Apabila infeksi oleh parasit ini tidak
diobati dengan baik dan penderita masih tetap hidup, maka penyakit ini akan memasuki fase
kronik yang ditandai dengan terbentuknya kista jaringan yang berisi bradizoite dan ini
terutama didapatkan di jaringan otak serta kadang kadang tidak memberikan gejala klinik
yang jelas. Fase kronik ini dapat berlangsung lama selama bertahun- tahun bahkan dapat
berlangsung seumur hidup.

2.9.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis berupa trias klasik, yaitu hidrosefalus, pengapuran pada otak dan
khorioretinitis terjadi pada lebih kurang 10% dari kasus infeksi kongenital. Pada garis
besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya, toksoplasmosis dapat
dikelompokkan atas: toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Baik
toksoplasmosis dapatan maupun kongenital sebagian besar asimtomatis atau tanpa gejala.
Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak
sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain. Toksoplasmosis dapatan
biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang
sedang hamil mendapat infeksi primer, ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak
dengan toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-
anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis
dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala.

2.9.7 Langkah Penegakkan Diagnosis


Diagnosis toxoplasmosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
serologis dan menemukan parasit dalam jaringan tubuh penderita. Maka pemeriksaan secara
serologis terhadap antibodi penderita toxoplasmosis merupakan alat bantu diagnosis yang
mudah dan baik.
Dasar pemeriksaan serologis ialah antigen toxoplasmosis bereaksi dengan antibody
spesifik yang terdapa tdalam serum darah penderita. Beberapa jenis pemeriksaan serologis
yang umum dipakai ialah : Dye test Sabin Feldman, Complement Fixation test (CFT), reaksi
Fluoresensi antibodi, Indirect Hemagglutination Test dan enzym linked immunosorben
assay (Elisa). Dye test Sabin Feldman merupakan pemeriksaan yang pertama kali
ditemukan. Dasar test ini yaitu toxoplasma gondii mudah diwarnai dengan metilen blue.
Tetapi bila dicampur dengan serum kebal, maka parasit tidak dapat mengambil warna lagi
karena anti bodi toxoplasma yang ad adalam serum tersebut akan melisis parasitini.
Complement fixaton test (CFT) berdasarkan reaksi antigen antibodi yang akan mengikat
komplement sehingga pada penambahan seldarah merah yang dilapisi anti bodi tidak terjadi
hemolisis. Reaksi fluoresensi anti bodi memakai sediaan yang mengandung toxoplasma
yang telah dimatikan. Anti bodi yang ada dalam serum akan terikat pada parasit setelah
ditambahan tiglobulin manusia yang berlabel fluoresens. Inderect hemaglutination test
mempergunakan antigen yang diletakkan pada sel-sel darah merah, bila dicampur dengan
serum kebal menimbulkan aglutinasis. Elisa mempergunakan antigen toxoplamosis yang
diletakkan pada penyangga padat. Mula-mula diinkubasi dengan serum penderita, kemudian
dengan antibodi berlabel enzim. Kadar antibodi dalam serum penderita sebanding dengan
intertitas warna yang timbul setelah ikatan antigen anti bodi dicampurdengan substrat.
Diagnosis terhadap toxoplasmosis secara mudah dapat ditegakkan dengan
menemukan anti bodi terhadap serum darah penderita. Anti toxoplasma gondii kelas IgM
timbul segera setelah infeksi, dan baru mencapai puncaknya pada minggu keempat
kemudian menurun secara lambat dan tidak terdeteksi lagi setelah empat bulan. Sedang anti
toxoplasma kelas IgG dapat dideteksi setelah 3 atau 4 bulan infeksi dan kadarnya menetap
sampai bertahun-tahun. Dengan memeriksa antibodi kelas IgG dan IgM, maka kita dapat
mengetahui apakah seseorang dalam infeksi akut, rentan atau kebal tehadap toxoplasmosis.
Selain seperti cara diatas bisa juga dilakukan pemeriksaan histopatologis jaringan otak,
sumsum tulang belakang, kelenjar limpe, cairan otak merupakan diagnosis pasti tetapi cara
ini sulit dilakukan.

2.9.8 Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita toxoplasmosis dengan status imun yang baik dan hanya
dengan limfodenopati ringan tidak memerlukan pengobatan. Pemberian pengobatan
terutama diberikan kepada wanita hamil dengan infeksi baru atau reaktivasi infeksi lama dan
penderita-penderita dengan status imun yang jelek (immunocompromised). Obat-obat yang
sering diberikan antara lain :
1) Kombinasi sulfadiazine dengan pyrimethamine
Kombinasi kedua obat ini merupakan jenis pengobatan awal. Kedua obat tersebut dapat
menembus sawar otak. Pasien dengan okuler toxoplasmosis harus diobati selama 1 bulan.
Pyrimethamine dan sulfadiazine dapat menghambat siklus p-amino asam benzoate dan
sintesa asam folat yang diperlukan untuk replikasi parasite. Dosis awal pada pemberian
pirimetamin ialah 50-75 mg/hari dan ditambahkan dengan sulfadiazine 4-6 g/hari dalam
dosis yang terbagi menjadi 4. Kekurangan obat ini ialah memiliki efek teratogenik sehingga
tidak dianjurkan untuk wanita hamil, selain itu obat ini memiliki efek samping leukopenia
dan trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dalam kalsium
folinat 10-15 mg/hari selama 6 minggu dan yeast selama pengobatan. Yang perlu diketahui
semua preparat ini hanya bekerja pada toxoplasmosis stadium takizoit pada toxoplasmosis,
sehingga perlu dilanjutkan dengan terapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin (25-
50mg) dan sulfadiazine (2-4 g).
2) Spiramisin
Spiramisin merupakan antibiotika golongan makrolid yang aman diberikan pada wanita
hamil sehiingga obat ini dapat direkomendasikan untuk diberikan pada wanita hamil
dengan toxoplasmosis.
3) Obat-obat lain
Obat obat lain yang dapat dipakai pada toxoplasmosis adalah : clindamycin,
Azithromicin,Clarithromycin, dan Atovoqoune yang dilaporkan efektif mencegah reaktivasi.
Selain itu, Obat-obat imunostimulan dengan tujuan untuk menstimulasi komponen sistem
imun yang telah diketahui bersifat protektif terhadap organisme patogen yang menginfeksi.

2.9.9 Pencegahan
Dalam hal pencegahan toxoplasmosis yang penting ialah menjaga kebersihan,
mencuci tangan setelah memegang daging mentah menghindari feces kucing pada waktu
membersihkan halaman atau berkebun. Memasak daging minimal pada suhu 66oC atau
dibekukan pada suhu 20oC. Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi dengan binatang
rumah atau serangga. Wanita hamil trimester pertama sebaiknya diperiksa secara berkala
akan kemungkinan infeksi dengan toxoplasma gondii. Mengobatinya agar tidak terjadi
abortus, lahir mati ataupun cacat bawaan.
2.9.10 Komplikasi Toksoplasmosis

 Kebutaan. Kondisi ini terjadi pada penderita toksoplasmosis yang mengalami infeksi
mata, yang tidak diobati dengan sempurna.
 Ensefalitis. Infeksi otak serius dapat terjadi pada penderita toksoplasmosis dengan
sistem imunitas rendah karena penyakit HIV/AIDS.
 Gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, dan retardasi mental. Komplikasi ini
dapat menimpa penderita toksoplasmosis bayi baru lahir

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Protozoa merupakan mikroorganisme menyerupai hewan yang merupakan salah satu
filum dari Kingdom Protista.Karakteristik protozoa adalah merupakan organisme uniseluler
(bersel tunggal),Eukariotik (memiliki membran nukleus), Hidup soliter (sendiri) atau
berkoloni (kelompok), Umumnya tidak dapat membuat makanan sendiri (heterotrof), Hidup
bebas, saprofit atau parasit, dan dapat membentuk sista untuk bertahan hidup.
Protozoa berkembang biak secara aseksual (vegetatif) dengan cara pembelahan
multiple, schizogoni, budding atau tunas, spora, dan pembelahan mitosis (biner),
sedangkanperkembangbiakan secara seksual dengan cara peleburan gamet sporozoa dan
konjugasi.Cara makan protozoa dapat dibedakan menjadi beberapa cara yaitu bersifat
parasit, holozoik, holofitik, dan saprofitik
Protozoa diklasifikasikan menjadi 4 kelas berdasarkan alat gerak yaitu Kelas
Rhizopoda (Sarcodina) yang alat geraknya berupa pseudopoda (kaki semu) , Flagellata
(Mastigophora) alat geraknya berupa flagel (bulu cambuk), Ciliata (Ciliophora) alat gerak
berupa silia (rambut getar) dan Sporozoa yang tidak memiliki alat gerak.
3.2 Saran
Diharapkan masyarakat dapat menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitarnya
agar terhidar dari segala sumber penyakit yang ditimbulkan oleh Protozoa atau
mikroorganisme lain yang dapat memberikan dampak negative pada kesehatan, karena lebih
baik mencegah dari pada mengobati.

DAFTAR PUSTAKA

Jawetz, E. dkk. 2004. “Mikrobiologi Kedokteran”. Jakarta: Penerbit buku kedokteran


EGC.Safar,

Rosdiana. 2009. Parasitologi Kedokteran: Protozoologi, Entomologi dan Helmintologi.


Bandung: Yrama Widya.

Widoyono, Penyakit Tropis Epid. Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya, Penerbit


Erlangga, Semarang. 2005

Supartini,N,T,Ilmu Penyakit Untuk Siswa Sekolah Pengatur Rawat Gigi, Depkes RI,
Tasikmalaya. 1996

Sutawanir. D., Metode Survei Sampel. Penerbit Karunika, UT, Jakarta. 1986

Anda mungkin juga menyukai