Mikfar Kelompok
Mikfar Kelompok
“PROTOZOA”
Disusun oleh :
Kelompok 6 (S1-3B)
Dosen pengampu :
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.Tak lupa pula kami mengucapkan
terima kasih kepada dosen Mata Kuliah Mikrobiologi Farmasi yang telah memberikan tugas
ini kepada kami sebagai upaya untuk menjadikan kami manusia yang berilmu dan
berpengetahuan.
Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak.Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang
makalah ini.Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang dapat membangun kami.Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Pustaka
BAB I :Pendahuluan
BAB II : Pembahasan
2.1 Giardiasis
2.2 Scabies
2.3 Malaria
2.4 Taeniasis
2.5 Ascariasis
2.6 Filariasis
2.7 Amoebiasis
2.8 Enterobiasis
2.9 Toxoplasmosis
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Protozoa merupakan organisme bersel tunggal yang sudah memiliki membran inti
(eukariota). Protozoa berukuran mikroskopis, yaitu sekitar 100 sampai 300 mikron. Bentuk
sel Protozoa sangat bervariasi ada yang tetap dan ada yang berubah-ubah. Protozoa
umumnya dapat bergerak aktif karena memiliki alat gerak berupa kaki semu (pseudopodia),
bulu cambuk (flagellum), bulu getar (cilia), namun ada juga yang tidak memiliki alat gerak.
Sebagian besar Protozoa hidup bebas di air tawar dan laut sebagai komponen biotik.
Beberapa jenis Protozoa hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia. Protozoa hidup
secara heterotrop dengan memangsa bakteri,protista lain, dan sampah organisme.
Ukuran protozoa beranekaragam, yaitu mulai kurang dari 10 mikron sampai ada yang
mencapai 6 mm, meskipun jarang. Diperairan, protozoa adalah penyusun zooplankton.
Makanan protozoa meliputi bakteri, jenis protista lain, atau detritus (materi organic dari
organisme mati). Protozoa hidup soliter atau berkoloni. Jika keadaan lingkungan kurang
menguntungkan, protozoa membungkus diri membentuk kista untuk mempertahankan diri.
Bila mendapat lingkungan yang sesuai hewan ini akan aktif lagi. Cara hidupnya ada yang
parasit, saprofit, dan ada yang hidup bebas (soliter).
2.1 Giardiasis
Giardia lamblia adalah salah satu protozoa penyebab infeksi pada saluran pencernaan
manusia. Protozoa ini ditemukan pertama kali oleh Leuwenhoek tahun 1681 pada fesesnya
sendiri. Nama lain dari Giardia lamblia adalah Lamblia intestinalis atau Giardia doudenalis.
Selain menyerang saluran pencernaan manusia, protozoa flagellata ini dapat pula menyerang
kucing, anjing, burung, sapi, berang-berang, rusa dan domba.
Penyakit yang disebabkan oleh Giardia lamblia dinamakan giardiasis. Penyakit ini
terdapat di negara berkembang yang beriklim panas. Giardiasis lebih sering terjadi pada
anak-anak dibanding dewasa. Hampir 100% anak mengalami infeksi giardia lamblia saat 2
tahun pertama kehidupannya. Infeksi oleh parasit ini kemungkinan terjadi dalam interval
yang sering sehingga sebagian orang melihat Giardia lamblia sebagai flora normal pada
individu yang tinggal di negara berkembang.
2.1.2 Taksonomi
Kingdom : Protista
Subkingdom : Protozoa
Phylum : Sarcomastigophora
Subphylum : Mastigophora
Class : Zoomastigophora
Order : Diplomonadida
Family : Hexamitidae
Genus : Giardia
Species : Lamblia
2.1.3 Morfologi
Dalam morfologi atau bentuk dari protozoa parasit Giardia Lamblia ini mempunyai 2
stadium yaitu:
a) Stadium trofozoit
b) Stadium kista
Berbentuk oval berukuran 8-12 mikron, mempunyai dinding yang tipis dan kuat.
Sitoplasmanya berbutir halus dan letaknya jelas terpisah dari dinding kista. Kista yang baru
terbentuk mempunyai 2 inti, yang matang mempunyai 4 inti, letaknya pada satu kutub. Kista
berukuran lebih kecil daripada trofozoit yaitu panjang 8-18 μm dan lebar 7-10 μm. Letak
kariosom lebih eksentrik bila dibandingkan dengan trofozoit. Pada kista yang telah matur
terdapat 4 buah median bodies, 4 buah nuclei, dan dapat pula ditemukan longitudinal fibers.
2.1.4 Habitat
Giardia lamblia ditemukan di tanah, air, atau makanan yang telah terkontaminasi tinja
dari manusia yang terinfeksi atau protozoa G.lamblia bisa berasal dari air yang
terkontaminasi yang meliputi air yang tidak direbus, disaring, atau didesinfeksi dengan
bahan kimia.
Jika protozoa ini dalam usus manusia,protozoa tersebut dapat hidup di rongga usus
kecil, yaitu duodenum dan bagian proksimal jejenum dan kadang-kadang di saluran dan
kandung empedu. Bila kista matang tertelan oleh hospes, maka akan terjadi ekskistasi di
duodenum, kemudian sitoplasma membelah dan flagel tumbuh dari aksonema sehingga
terbentuk 2 trofozoit. Dengan pergerakan flagel yang cepat trofozoit yang berada di antara
villi usus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Bila berada pada villi, trofozoit dengan
batill isap akan melekatkan diri pada epitel usus. Trofozoit kemudian berkembangbiak
dengan cara belah pasang longitudinal. Bila jumlahnya banyak sekali maka trofozoit yang
melekat pada mukosa dapat menutupi permukaan mukosa usus halus (Wolfe, 1992;
Farthing, 1999; Hawrelak, 2003). Trofozoit yang tidak melekat pada mukosa usus, akan
mengikuti pergerakan peristaltik menuju ke usus bagian distal yaitu usus besar. Enkistasi
terjadi dalam perjalanan ke kolon, bila tinja mulai menjadi padat, sehingga stadium kista
dapat ditemukan dalam tinja yang padat. Cara infeksi dengan menelan kista matang yang
dapat terjadi secara tidak langsung melalui air dan makanan yang terkontaminasi, atau secara
langsung melalui fecal-oral.Giardia lamblia mempunyai bentuk tropozoit dan kista, dan
hidup di duodenum dan di proksimal jejenum. Makan di ambil dari isi usus, meskipun
parasite ini mungkin mendapat makanan dengan mempergunkan batil isapnya dari sel-sel
epitel. Sedangkan cara berkembang biaknya dengan cara pembelahan mitosis selama
terbentuk kista.
Penularan dapat terjadi dari orang ke orang melalui tangan yang mengandung kista dari
tinja orang yang terinfeksi ke mulut orang lain, penularan terjadi terutama di asrama dan
tempat penitipan anak. Cara-cara penularan seperti ini adalah yang paling utama. Hubungan
seksual melalui anus juga mempermudah penularan. KLB terbatas dapat terjadi karena
menelan kista dari air minum yang terkontaminasi tinja penderita, dan tempat rekreasi air
yang tercemar dan jarag sekali penularan terjadi karena makanan yang terkontaminasi tinja.
Kadar chlorine yang digunakan secara rutin untuk pengolahan air bersih tidak dapat
membunuh kista Giardia, khususnya pada saat air dalam keadaan dingin; air kotor yang
tidak disaring dan air danau yang terbuka terhadap kontaminasi oleh tinja manusia dan
hewan merupakan sumber infeksi.
Penyebab penyakit Giardiasis adalah adanya parasit yang hidup di dalam perut. Nama
parasit tersebut adalah Intestinalis Giardia. Mikro organisme ini hidup sebagai parasit
dalam perut manusia.Intestinalis Giardia dapat melakukan penyebaran ketika orang yang
terinfeksi melakukan buang air besar, mikro organsime ini bisa ikut keluar bersamaan
dengan feses atau tinja, dan dapat bertahan hidup selama beberapa dalam beberapa minggu
dan dapat menyebar pada air minum yang yang dikonsumsi.
Orang yang berpotensi mengalami adalah mereka yang sering melakukan kontak
dengan tempat keluarnya feses, seperti saat mengganti popok bayit atau memberishkan
tinjanya (cebok). Jika tidak pandai pandai menjaga kebersihannya, maka dari sinilah mikro
organisme yang bernama Intestinalis Giardia dapat ditransfer. Selain itu orang yang juga
dapat berpotensi memiliki penyakit Giardiasis adalah mereka yang sering menkonsumsi air
di bawah standar bersih.
Parasit ini ditularkan dari orang ke orang melalui kista dalam tinja.
Penularan langsung terjadi diantara anak-anak atau mitra seksual, atau secara tidak langsung
melalui air atau makanan yang terkontaminasi.
Giardiasis terjadi di seluruh dunia dan terutama pada anak-anak dan di daerah yang
tingkat kebersihannya buruk.Lebih sering ditemukan pada laki-laki homoseksual dan pada
orang-orang yang mengadakan perjalanan ke negara-negara berkembang.
Pada kebanyakan kasus yang terjadi , orang yang terinfeksi biasanya mampu diatasi
dengan sistem kekebalan tubuh yang mereka miliki dan tidak memberikan gejala. Jika
gejala terjadi , mereka bisa datang pada satu sampai dua minggu setelah kontak pertama
dengan giardia tersebut. Gejala infeksi giardial dapat bervariasi dari orang ke orang , tetapi
secara umum mereka biasanya mengalami diare.
Giardiasis adalah infeksi usus halus bagian atas sering tanpa gejala. Namun ada pula
infeksi yang diikuti dengan berbagai gejala intensinal seperti diare kronis, steatorrhea,
kejang perut, bau saat bersedawa, kembung, mengalami dehidrasi, buang air besar berkali-
kali, tinja pucat berlemak, lelah penurunan berat badan. Biasanya tidak terjadi invasi
ekstraintestinal, tetapi terjadi reaksi radang sendi dan pada giardiasis yang berat, mungkin
terjadi gangguan pada usus dua belas jari dan kerusakan sel mukosa jejunum.
Adapun cara yan dapat kita lakukan untuk meminimalizir atau mencegah menular atau
tersebarnya protozoa parasit Giardia Lamblia ini dengan melakukan berbagai cara, seperti:
Mengkonsumsi air minum yang sudah melalui proses pengolahan atau tanpa
pengolahan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan
Pada umumnya G. Lamblia resisten terhadap klorin, sehingga penyaringan
sangat diperlukan untuk menghilangkan kontaminasi oleh protozoa patogen ini.
Melindungi tempat persediaan air dari hospes reservoir (berang-berang dan
tikus air).
Meningkatkan hygiene perorangan,misalnya berperilaku hidup bersih dan
sehat.
Penyediaan makanan yang bersih dan baik.
Pada daerah terbuka dimana jarang ditemukan air di permukaan tanah, memerlukan
penyaringan dengan filter yang memiliki nominal 1-pori ukuran mikrometer. Disarankan
untuk menggunakan yodium atau klorin dioksida pada air yang akan dikonsumsi. Parameter
air seperti suhu, kekeruhan, dan kepekatan juga dapat mempengaruhi efektivitas suatu
perawatan terhadap infeksi.
Penyaringan dengan filter yang memiliki nominal 1-pori ukuran mikromiter pada air
permukaan tanah yang daerah terbuka
Menggunakan Yodium atau klorin dioksida pada air yang dikonsumsi
Parameter air seperti suhu, kekeruhan dan kepekatan juga dapat mempengaruhi
efektifitas suatu perwatan terhadap infeksi.
2.2 Scabies
2.2.1 Definisi Skabies
Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan gatal
agogo. Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan hasil produknya (Handoko dkk, 2005).
Skabies terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, di semua geografi daerah,
semua kelompok usia, ras dan kelas sosial. Namun menjadi masalah utama pada daerah
yang padat dengan gangguan sosial, sanitasi yang buruk, dan negara dengan keadaan
perekonomian yang kurang. Skabies ditularkan melalui kontak fisik langsung (skin-to-skin)
maupun tak langsung (pakaian, tempat tidur, yang dipakai bersama) (Handoko dkk, 2005).
Gejala utama adalah pruritus intensif yang memburuk di malam hari atau kondisi
dimana suhu tubuh meningkat. Lesi kulit yang khas berupa terowongan, papul, ekskoriasi
dan kadang-kadang vesikel. Tungau penyebab skabies merupakan parasit obligat yang
seluruh siklus hidupnya berlangsung di tubuh manusia. Tungau tersebut tidak dapat terbang
atau meloncat namun merayap dengan kecepatan 2.5 cm per menit pada kulit yang hangat
(Chosidow, 2006)
Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terjangkit
tungau scabies (Chosidow , 2006). Studi epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi
skabies cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis
kelamin, ras, dan umur. Faktor primer yang berkontribusi adalah kemiskinan dan kondisi
hidup di daerah yang padat.
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei adalah parasit manusia obligat yang
termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, superfamili Sarcoptes.
Bentuknya lonjong, bagian chepal depan kecil dan bagian belakang torakoabdominal
dengan penonjolan seperti rambut yang keluar dari dasar kaki (Burns, 2004).
Tungau skabies mempunyai empat kaki dan diameternya berukuran 0,3 mm.
Sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Tungau ini tidak dapat terbang atau
melompat dan hanya dapat hidup selama 30 hari di lapisan epidermis (Mitolin et al, 2008).
Skabies betina dewasa berukuran sekitar 0,4 mm dengan luas 0,3 mm , dan jantan dewasa
lebih kecil 0,2 mm panjang dengan luas 0,15 mm. Tubuhnya berwarna putih susu dan
ditandai dengan garis melintang yang bergelombang dan pada permukaan punggung
terdapat bulu dan dentikel (Burns, 2004).
Tungau skabies memiliki empat pasang kaki pendek, di bagian depan terdapat dua
pasang kaki yang berakhir dengan perpanjangan peduncles dengan pengisap kecil di bagian
ujungnya. Pada tungau betina, terdapat dua pasang kaki yang berakhir dengan rambut
(Satae) sedangkan pada tungau jantan rambut terdapat pada pasangan kaki ketiga dan
peduncles dengan pengisap pada pasangan kaki keempat (Burns, 2004).
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di
atas kulit, tungau jantan akan mati. Tapi kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari
dalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan
sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai 40-50 telur yang
dihasilkankan oleh setiap tungau betina selama rentang umur 4-6 minggu dan selama itu
tungau betina tidak meninggalkan terowongan. Setelah itu, larva berkaki enam akan
muncul dari telur setelah 3-4 hari dan keluar dari terowongan dengan memotong atapnya.
Larva kemudian menggali terowongan pendek (moulting pockets) di mana mereka berubah
menjadi nimfa. Setelah itu berkembang menjadi tungau jantan dan betina dewasa. Seluruh
siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12
hari (Brook, 1995).
Tungau skabies lebih suka memilih area tertentu untuk membuat terowongannya dan
menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaseus. Biasanya, pada satu individu
terdapat kurang dari 20 tungau di tubuhnya, kecuali pada Norwegian scabies dimana
individu bisa didiami lebih dari sejuta tungau. Orang tua dengan infeksi virus
immunodefisiensi dan pasien dengan pengobatan immunosuppresan mempunyai risiko
tinggi untuk menderita Norwegian scabies.
Penyakit scabies ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kutu
sarcoptes scabei. Faktor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah sosial ekonomi
yang rendah, higiene perorangan yang jelek, lingkungan yang tidak
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian larva meninggalkan
terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa
yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati setelah meninggalkan telur,
sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi.( Mulyono, 1986). Sarcoptes scabiei betina
dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih kurang 7 – 14 hari. Yang diserang adalah
bagian kulit yang tipis dan lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi,
karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang. (Andrianto dan
Tang Eng Tie, 1989).
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga
terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal
yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang
memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit
menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan
garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan
gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau.(Handoko, R, 2001). Reaksi alergi
yang sensitif terhadap tungau dan produknya memperlihatkan peran yang penting dalam
perkembangan lesi dan terhadap tim bulnya gatal. Sarcoptes scabiei melepaskan substansi
sebagai respon hubungan antara tungau dengan keratinosit dan sel-sel langerhans ketika
melakukan penetrasi ke dalam kulit. (Hickz and Elston, 2009).
10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papul-papul dan nodul
inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah sel limfosit T yang
banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang menyerupai dermatitis tersebut sering
terjadi lebih luas dibandingkan lokasi tungau dengan efloresensi dapat berupa papul, nodul,
vesikel, urtika dan lainnya. Akibat garukan yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta hingga terjadinya infeksi sekunder (Harahab, 2000).
Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung.
Penularan melalui kontak langsung (skin-to-skin) menjelaskan mengapa penyakit ini sering
menular ke seluruh anggota keluarga. Penularan secara tidak langsung dapat melalui
penggunaan bersama pakaian, handuk, maupun tempat tidur. Bahkan dapat pula ditularkan
melalui hubungan seksual antar penderita dengan orang sakit, namun skabies bukan
manifestasi utama dari penyakit menular seksual (Walton and Currie, 2007).
Terdapat beberapa terapi untuk skabies yang memiliki tingkat efektivitas yang
bervariasi. Faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan yang antara lain umur pasien,
biaya pengobatan, berat derajat erupsi, dan factor kegagalan terapi yang pernah diberikan
sebelumnya.
Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan di seluruh permukaan tubuh
kecuali area wajah dan kulit kepala, dan lebih difokuskan di daerah sela-sela jari, inguinal,
genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien anak dan
scabies berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus dioleskan skabisid topikal. Pasien
harus diinformasikan bahwa walaupun telah diberikan terapi skabisidal yang adekuat, ruam
dan rasa gatal di kulit dapat tetap menetap hingga 4 minggu. Jika tidak diberikan
penjelasan, pasien akan beranggapan bahwa pengobatan yang diberikan tidak berhasil dan
kemudian akan menggunakan obat anti scabies secara berlebihan.
Steroid topikal, anti histamin maupun steroid sistemik jangka pendek dapat
diberikan untuk menghilangkan ruam dan gatal pada pasien yang tidak membaik setelah
pemberian terapi skabisid yang lengkap.
4.Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan teratur
dan bila perlu direndam dengan air panas.
2.2.7 Pencegahan
Selain itu untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui seprei, bantal, handuk
dan pakaian yang digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih dan
dikeringkan dengan udara panas karena tungau scabies dapat hidup hingga 3 hari
diluar kulit, karpet dan kain pelapis lainnya sehingga harus dibersihkan (vacuum
cleaner).
2.2.8 Komplikasi
Infeksi sekunder pada pasien skabies merupakan akibat dari infeksi bakteri atau
karena garukan. Keduanya mendominasi gambaran klinik yang ada. Erosi merupakan
tanda yang paling sering muncul pada lesi sekunder. Infeksi sekunder dapat ditandai
dengan munculnya pustul, supurasi, dan ulkus. Selain itu dapat muncul eritema,
skuama, dan semua tanda inflamasi lain pada ekzem sebagai respon imun tubuh yang kuat
terhadap iritasi. Nodul-nodul muncul pada daerah yang tertutup seperti bokong, skrotum,
inguinal, penis, dan axilla. Infeksi sekunder lokal sebagian besar disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan biasanya mempunyai respon yang bagus terhadap topikal atau
antibiotic oral, tergantung tingkat pyodermanya. Selain itu, limfangitis dan septiksemia
dapat juga terjadi terutama pada skabies Norwegian, post- streptococcal glomerulonephritis
bisa terjadi karena skabies-induced pyodermas yang disebabkan oleh Streptococcus
pyogens.
2.2.9 Prognosis
Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap untuk beberapa tahun. Pada individu yang
immunocompetent, jumlah tungau akan berkurang seiring waktu. Infestasi scabies dapat
disembuhkan. Seorang individu dengan infeksi scabies, jika diobati dengan benar, memiliki
prognosis yang baik, keluhan gatal dan ekzema akan sembuh.
2.3 Malaria
Penyakit malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang bersifat akut maupun
kronik, menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam
darah. Plasmodium protista eukariotik yang ditularkan oleh nyamuk adalah penyebab utama
dari penyakit malaria. Didalam tubuh manusia penyakit ini bersembunyi dan berkembang
biak didalam hati (liver). Menginfeksi sel darah merah sehingga menyebabkan gejala Seperti
demam, menggigil, anemia, sakit kepala dan pembesaran limpa. yang mana pada kasus yang
parah akan mengarah ke koma (tidak sadarkan diri) dan kematian. Infeksi malaria dapat
berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai
malaria berat.
Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia family plasmodiidae dan
ordo coccidiidae. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 macam parasit malaria yaitu:
Prognosa umumnya baik, namun penyakit ini dapat kambuh kembali sepuluh tahun
kemudian. Orang yang pernah terkena penyakit ini sewaktu muda, suatu waktu mengalami
demam Seperti gejala penyakit malaria, maka perlu pemeriksaan darah untuk menemukan
parasit malarianya.
Jenis malaria ini tersebar luas di semua pulau di Indonesia. Masa inkubasi 9-14 hari.
Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat (ganas), diitandai dengan sakit kepala,
pegal linu dan sakit pinggang, lengan dan tungkai dingin, mual dan muntah, kadang-kadang
disertai diare, demam ringan, limpa dan hati membengkak, gangguan pada ginjal.
Jika tidak diobati penyakit ini akan berlanjut terus dan semakin parah. Dan ketika
sudah menyerang otak akan timbul kejang dan lumpuh, serta kesadaran menurun bahkan
dalam kondisi tertentu penderita bisa sampai meninggal. Tetapi penyakit ini masih bisa
disembuhkan dengan cara penambahan takaran dan pengobatan, Seperti penambahan
antibiotic atau campuran berbagai anti malaria.
Untuk kelangsungan hidup nyamuk diperlukan air, Jika tidak ada air maka siklus hidup
nyamuk akan terputus. Tingkatan kehidupan yang berada di dalam air ialah : telur, jentik dan
kepompong. Setelah satu atau dua hari telur berada didalam air maka telur akan menetas dan
keluar jentik. Jentik yang baru keluar dari telur masih sangat halus seperti jarum. Dalam
pertumbuhannya jentik anopheles mengalami pelepasan kulit sebanyak empat kali.
Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan jentik antara 8-10 hari tergantung pada
suhu, keadaan makanan serta species nyamuk. Dari jentik akan tumbuh menjadi kepompong
(pupa) yang merupakan tingkatan atau stadium istirahat dan tidak makan. Pada tingkatan
kepompong ini memakan waktu satu sampai dua hari. Setelah cukup waktunya, dari
kepompong akan keluar nyamuk dewasa yang telah dapat dibedakan jenis kelaminnya.
Setelah nyamuk bersentuhan dengan udara, tidak lama kemudian nyamuk tersebut
telah mampu terbang, yang berarti meninggalkan lingkungan berair untuk meneruskan
hidupnya didarat atau udara. Dalam meneruskan keturunannya. Nyamuk betina kebanyakan
kawin satu kali selama hidupnya. Biasanya perkawinan terjadi setelah 24 -48 jam dari saat
keluarnya dari kepompong.
Sebagian besar nyamuk anopheles akan mengigit pada waktu senja, atau pada waktu
malam hari. Pada beberapa jenis nyamuk puncak gigitannya adalah tengah malam sampai
fajar. Plasmodium akan mengalami dua siklus, siklus aseksual (skizogoni) terjadi pada tubuh
manusia. Sedangkan siklus seksual (sporogoni) terjadi pada nyamuk.
Parasit berkembang biak secara aseksual dalam tubuh manusia, Dimulai dengan
bersatunya gamet jantan dan betina untuk membntuk ookinet dalam perut nyamuk. Ookinet
akan menembus dinding lambung untuk membentuk kista di selaput luar lambung nyamuk.
Waktu yang diperlukan sampai pada proses ini adalah 8-35 hari, tergantung dari situasi
lingkungan dan jenis parasitnya. Pada tempat inilah kista akan membentuk ribuan sporozoit
yang terlepas dan kemudian tersebar ke seluruh organ nyamuk termasuk kelenjar ludah
nyamuk.
Pada kelenjar inilah sporozoit menjadi matang dan siap ditularkan, Nyamuk anopheles
yang didalam tubuhnya mengandung parasit menggigit manusia. Sporozoit masuk kedalam
darah melalui gigitan tersebut. Manusia yang tergigit nyamuk infektif akan mengalami
gejala sesuai dengan jumlah sporozoit, kualitas plasmodium dan daya tahan tubuhnya.
Sporozoit akan memulai stadium eksoeritrositer dengan masuk ke sel hati. Di hati sporozoit
matang menjadi skizon yang akan pecah dan melepaskan merozoit jaringan. Merozoit akan
memasuki aliran darah dan menginfeksi aliran darah untuk memulai siklus eritrositer.
Merozoit dalam eritrosit akan mengalami perubahan morfologi yaitu :
Proses perubahan ini memerlukan waktu 2-3 hari. Diantara merozoit-merozoit tersebut
akan ada yang berkembang membentuk gametosit untuk kembali memulai siklus seksual
menjadi mikrogamet (jantan) dan mikrogamet (betina). Eritrosit yang terinfeksi biasanya
pecah yang bermanifestasi pada gejala klinis. Jika ada nyamuk yang menggigit manusia
yang terinfeksi ini, maka gametosit yang ada pada darah manusia akan terhisap oleh
nyamuk.
Penularan malaria dapat terjadi secara alamiah melalui gigitan nyamuk anopheles atau
malaria bawaan (congenital) yang Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya
menderita malaria, penularan terjadi melalui tali pusat atau placenta.
Secara mekanik Penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik
yang tidak steril lagi. Cara penularan ini pernah dilaporkan terjadi disalah satu rumah sakit
di Bandung pada tahun 1981, pada penderita yang dirawat dan mendapatkan suntikan intra
vena dengan menggunakan alat suntik yang dipergunakan untuk menyuntik beberapa pasien,
dimana alat suntik itu seharusnya dibuang sekali pakai (disposeble).
Gejala klinis dengan gejala utama demam mengigil secara berkala dan sakit
kepala kadang-kadang dengan gejala klinis lain sebagai berikut:
a. Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
b. Nafsu makan menurun.
c. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
d. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan plasmodium
Falciparum.
e. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa.
f. Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan penurunan.
g. Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol
adalah diare dan pucat, karena anemia serta berasal dari daerah malaria.
Gejala klasik malaria, biasanya terdiri atas 3 stadium yang berurutan yaitu:
Pada plasmodium vivax dan P. ovale sison-sison dari setiap generasi menjadi matang
setiap 48 jam sekali sehingga demam timbul setiap tiga hari terhitung dari serangan demam
sebelumnya. Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada plasmodium
malariaa, fenomena tersebut 72 jam sehingga disebut malaria P. vivax/P. ovale, hanya
interval demamnya tidak jelas. Serangan demam di ikuti oleh periode laten yang lamanya
tergantung pada proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang kemudian timbul
pada penderita.
Taeniasis merupakan penyakit yang yang disebabkan oleh infeksi cacing pita
(Taenia). Cacing pita ini bisa menjangkiti manusia dan hewan. Meski infeksi cacing ini bisa
ditangani dengan mudah, infeksi ini bisa menyebar ke organ lainnya di dalam tubuh. Kondisi
inilah yang bisa berujung pada masalah kesehatan lainnya yang lebih serius.
Cacing pita memiliki ukuran tubuh yang besar, beberapa di antaranya bisa tumbuh hingga 9
meter di dalam tubuh. Sayangnya, pengidap taeniasis tidak mengetahui keberadaan cacing di
dalam tubuhnya. Kondisi ini baru disadari ketika mereka melihat bagian tubuh cacing yang
keluar saat buang air besar.
Taeniasis terjadi saat telur atau larva cacing pita masuk ke dalam tubuh. Jika
seseorang mengonsumsi makanan atau minuman terkontaminasi kotoran manusia atau
hewan yang mengandung cacing pita, maka ia menelan telur cacing pita berukuran kecil.
Setelah tertelan, telur akan berkembang menjadi larva di saluran pencernaan. Manusia bisa
menelan larva cacing pita yang tersembunyi pada daging hewan yang mentah atau dimasak
tidak matang. Cacing pita dewasa bisa memanjang sampai 15 meter dan mampu bertahan
hidup hingga 30 tahun dalam tubuh inangnya.
Jika larva cacing bermigrasi keluar dari usus dan membentuk kista pada jaringan
tubuh lain, maka pengidap taeniasis akan merasakan beberapa gejala seperti:
Munculnya benjolan.
Sakit kepala.
Infeksi bakteri.
Batuk atau nyeri pada paru-paru akibat abses (nanah).
Reaksi alergi terhadap larva.
Gejala neurologis, termasuk kejang-kejang.
Seperti penyakit pada umumnya, dokter akan melakukan wawancara medis dan
pemeriksan fisik seputar gejala-gejala yang dialami oleh pasien. Selanjutnya, dokter akan
melakukan pemeriksaan lanjutan seperti mengambilan sampel tinja, tes darah lengkan,
hingga pemeriksaan pemindaian seperti CT scan, rotgen, hingga MRI bila pasien mengalami
infeksi berat.
Infeksi taeniasis yang tak ditangani dengan tepat, bisa memicu bebagai masalah
lainnya. Berikut beberapa komplikasi yang mungkin terjadi.
Penyakit Hidatidosa.
Gangguan sistem saraf pusat dan otak.
Terganggunya fungsi organ seperti pada paru-paru atau hati bila larva pindah ke
bagian tersebut.
Gangguan pencernaan seperti pencernaan tersumbat
Ada beberapa kasus, pengidap taeniasis bisa sembuh tanpa pengobatan. Cacing pita
akan keluar dari tubuh dengan sendirinya. Untuk menangani taeniasis, biasanya dokter akan
meresepkan beberapa obat-obatan untuk membasmi cacing pita dewasa saja.
Untuk infeksi invasif akan ditangani berdasarkan lokasi dan efek infeksi. Beberapa
langkah penanganan untuk infeksi invasif adalah:
Antelmintik
Obat jenis ini bisa membunuh parasit cacing dan membuat cacing keluar dari saluran
pencernaan bersama dengan kotoran.
Pemasangan Shunt
Jika infeksi invasif menyebabkan penimbunan cairan pada otak, dokter akan
menyarankan pemasangan tabung permanen untuk mengeringkan cairan.
Terapi Anti-epilepsi
Pembedahan
Tindakan pembedahan juga bisa dilakukan dokter untuk mengangkat kista cacing
pita yang mengganggu fungsi organ tubuh.
Terapi Anti-inflamasi.
Terapi ini diperlukan karena kista cacing pita yang akan mati bisa menyebabkan
peradangan pada jaringan atau organ.
Hindari mengonsumsi daging, ikan, dan daging babi yang tidak matang
sempurna.
Cuci dan masaklah semua buah-buahan serta sayuran sebelum dimakan.
Bagi yang memiliki peternakan, buanglah kotoran hewan dan manusia dengan
benar, agar tidak mencemari makanan dan minuman.
Harap berhati-hati saat mengonsumsi makanan dan minuman ketika berada di
kawasan rawan cacing pita (biasanya di negara berkembang).
Bawalah hewan peliharaan ke dokter hewan jika terinfeksi cacing pita.
Masaklah daging hingga benar-benar matang.
Bekukan daging setidaknya 12 jam, dan ikan minimal 24 jam untuk membunuh
telur dan larva cacing pita.
Cucilah tangan dengan sabun sebelum dan sesudah mengolah makanan, sebelum
makan, dan setelah keluar dari toilet.
2.5 Ascariasis
Pada fase awal, menetasnya infeksi telur-telur cacing yang tertelan ke dalam tubuh.
Keadaan ini memicu gejala berupa demam, batuk kering, napas pendek, serta mengi.
Fase ini dapat berlangsung hingga 21 hari.
Pada fase lanjut, larva-larva telah berpindah ke usus dan berkembang menjadi cacing
dewasa. Gejala dapat dirasakan ringan sampai sedang, seperti sakit perut, mual,
muntah, diare, atau timbulnya darah pada tinja. Pada gejala yang berat dapat timbul
muntah-muntah, kelelahan, terdapat cacing dalam muntah atau tinja, anemia, serta
penurunan berat badan
Pada ascariasis berat, jumlah cacing di usus sampai menyebabkan usus dan saluran
empedu tersumbat. Dalam kondisi tersebut, dokter akan menjalankan operasi, untuk
membuang cacing dari dalam usus, dan memperbaiki kerusakan usus pasien.
Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, misalnya sebelum makan,
memasak, maupun setelah buang air besar.
Memastikan masakan benar-benar matang sebelum mengonsumsinya.
Meminum air dalam kemasan yang tersegel ketika bepergian.
Memasak air hingga mendidih sebelum meminumnya.
Mengonsumsi buah-buahan yang bisa dikupas, misalnya jeruk atau apel.
Mencuci buah dan sayuran hingga bersih sebelum dikonsumsi.
2.8 Enterobiasis
Cacing kremi
2.8.2 Epidemiologi
Infeksi cacing kremi lebih umum dalam keluarga dengan anak usia sekolah, terutama
pengasuh anak yang terinfeksi dan anak yang hidup dalam lingkungan yang sama (asrama,
panti asuhan).
Seseorang yang terinfeksi cacing kremi karena menelan telur infektif secara langsung
atau tidak langsung. Telur-telur ini diletakkan di sekitar anus oleh cacing betina dan dapat
terbawa ke permukaan (tangan, mainan, kasur/seprai, pakaian dan tempat duduk toilet).
Dengan meletakkan tangan siapun yang terkontaminasi (termasuk tangan penderita sendiri)
di sekitar daerah mulut atau meletakkan mulut pada permukaan yang biasa terkontaminasi,
seseorang dapat menelan telur cacing kremi dan menjadi terinfeksi parasit cacing kremi.
Karena telur cacing kremi sangat kecil, hal itu memungkinkan untuk tertelan saat bernapas.
Sesudah seseorang menelan telur cacing kremi, terdapat masa inkubasi 1-2 bulan atau
lebih bagi cacing betina untuk dewasa. Sesudah dewasa, cacing betina bermigrasi untuk
bertelur disekitar anus pada malam hari, ketika banyak dari hospes sedang tidur. Orang yang
terinfeksi cacing kremi dapat menularkan parasit tersebut ke orang lain selama masih
terdapat cacing betina yang meletakkan telurnya pada kulit perianal. Seseorang juga dapat
terinfeksi kembali karena dirinya sendiri (autoinfeksi) atau terinfeksi kembali karena telur
dari orang lain.
2.8.5 Gejala
Gejala klinis yang penting dan paling sering ditemukan adalah rasa gatal pada anus
(pruritus ani), yang timbul terutama pada malam hari. Rasa gatal ini harus dibedakan dengan
rasa gatal yang disebabkan oleh jamur, alergi dan pikiran. Gejala lain adalah anoreksi, badan
menjadi kurus, sukar tidur dan pasien menjadi iritabel, seringkali terjadi terutama pada anak.
Pada wanita dapat menyebabkan vaginitis. Cacing dewasa di dalam usus dapat
menyebabkan gejala nyeri perut, rasa mual, muntah, diare yang disebabkan karena iritasi
cacing dewasa pada sekum, apendiks dan sekitar muara anus besar. (Sudoyo, 2007)
2.8.6 Diagnosis
Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus
pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa.
Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempatkan di
sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan cebok. (Sudoyo, 2007)
Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya
dilekatkan scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus,
telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca
benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan
dilakukan tiga hari berturut-turut (Gandahusada, 1998). Pemeriksaan darah tepi umumnya
normal, hanya ditemukan sedikit eosinofilia (Sudoyo, 2007).
2.8.7 Komplikasi
2. Vaginitis (peradangan vagina)
3. Infeksi ulang.
2.8.8 Pengobatan
Obat-obat antihelmintik digunakan untuk mengurangi sejumlah parasit cacing di
saluran cerna atau jaringan tubuh. Parasit ini mengalami proses biokimiawi dan fisiologi
dengan inang mamalianya, sekarang dengan adanya perbedaan yang tidak jelas dapat
dimulai untuk menghasilkan penelitian farmakologi. Kebanyakan antihelmintik yang
digunakan sekarang ini aktif terhadap parasit spesifik dan beberapa bersifat toksik. Karena
itu, parasit tersebut harus dikenali terlebih dahulu sebelum pengobatan dimulai, biasanya
dengan menggunakan parasit, telur, atau larva di urin, tinja, darah, sputum, atau jaringan
inang. (Katzung, 1998)
Seluruh anggota keluarga sebaiknya diberi pengobatan bila ditemukan salah seorang
anggota terkena enterobiasis. Pengobatan secara periodik memberikan prognosis yang baik.
Adapun obat-obat yang dapat diberikan antara lain: (Katzung, 1998)
1. Mebendazol
Mebendazol menghambat sintesis mikrotubulus nematoda, sehingga mengganggu
ambilan glukosa yang irreversibel. Akibatnya parasit intestinal diimobilisasi atau mati secara
perlahan, dan bersihannya dari saluran cerna mungkin tidak lengkap sampai beberapa hari
setelah pengobatan. Efikasi obat ini bervariasi dengan waktu transit saluran cerna, beratnya
infeksi, serta apakah obat ini dikunyah atau tidak, dan mungkin dengan strain parasit.
Mebendazol diberikan dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2 minggu.
2. Albendazol
Albendazol menghambat ambilan glukosa oleh larva dan parasit stadium dewasa yang
rentan, mengurangi penyimpanan glikogen dan menurunkan pembentukan ATP. Sebagai
akibatnya, parasit diimobilisasi dan mati. Diberikan dosis tunggal 400 mg, diulang setelah 2
minggu.
3. Pirantel pamoat
Pirantel pamoat efektif terhadap cacing bentuk matur atau imatur yang rentan dalam
saluran cerna tetapi tidak efektif terhadap stadium migrasi dalam jaringan. Obat ini
merupakan agen penghambat depolarisasi neuromuskular yang menyebabkan pelepasan
asetilkolin, menghambat kolinesterase, dan merangsang reseptor ganglionik. Diberikan
dengan dosis 10 mg/kg berat badan sebagai dosis tunggal dan maksimum 1 gram.
2.8.9 Pencegahan
Pencegahan cacingan dilakukan dengan menjaga kebersihan pribadi, atau orang tua
dapat menjaga kebersihan anaknya dengan melakukan tindakan berikut:
2.9 Toksoplasmosis
2.9.1 Pengertian Toxoplasmosis
Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasit obligat
intraselluler Toxoplasma gondii. Infeksi toxoplasma bisa bersifat akut dan kronik atau
keduanya. Infeksi toxoplasma akut adalah infeksi yang didapat sesudah bayi dilahirkan,
biasanya asimptomatik sedangkan infeksi toxoplasma kronik adalah terjadinya persistensi
kista dalam jaringan yang berisi parasit pada individu yang secara klinis asimptomatik.
Toxoplasmosis akut maupun kronik adalah suatu keadaan saat parasit menjadi penyebab
terjadinya gejala dan tanda klinis ( antara lain : ensefalitis, miokarditis, pneumonia ). Selain
itu ada juga yang disebut Toxoplasmosis congenital dimana infeksi pada bayi baru lahir
yang terjadi akibat penularan parasit secara transplasental dari ibu yang terinfeksi terhadap
janinnya. Bayi ini biasanya asimptomatik pada saat dilahirkan tapi di kemudian hari akan
timbul manifestasi berupa gejala dan tanda dengan kisaran yang luas seperti : korioretinitis,
strabismus, epilepsi dan retardasi psikomotor.
Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, karena
berkembangbiak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian (Levine, 1990).
Menurut Levine (1990) klasifikasi parasit sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Protozoa
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Sub Kelas : Coccidiasina
Bangsa : Eucoccidiorida
Sub Bangsa : Eimeriorina
Suku : Sarcocystidae
Marga : Toxoplasma
Jenis : Toxoplasma gondii.
2.9.2 Etiologi
Toxoplasmosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma
gondii. Parasit ini termasuk protozoa sub filum apicomplexa, kelas sporozoa, sub kelas
coccidia.
Pada tahun 1970 parasit yang sudah dikenal sebagai pathogen pada manusia selama
setengah abad diklasifikasikan secara taxonomi dalam coccidia dan diketahui bahwa bangsa
kucing adalah hospes definitifnya serta menjadi jelas bahwa dalam siklus hidupnya terdapat
siklus seksual yang terjadi pada pada bangsa kucing (felidae) dan hal ini mempunyai
implikasi epidemiologik yang penting untuk transmisi parasit ini.
2.9.4 Penularan
Penularan ke manusia umumnya secara aktif (didapat) dan secara pasif (bawaan).
Penularan secara aktif terjadi bila menelan ookista infektif atau kista, sedangkan penularan
secara pasif terjadi melalui plasenta dari ibu ke anak.
Penularan secara aktif antara lain diperoleh dari:
1) Makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi (mengandung
kista), misalnya daging sapi, kambing, domba,kerbau, babi, ayam, kelinci dan lain-
lain.Kemungkinan besar penularan toksoplasma kemanusia melalui jalur ini, yaitu
makan satesetengah matang atau masakan lainnya yang dimasak tidak sempurna.
2) Makan makanan tercemar ookista dari feses kucing yang menderita toksoplasmosis.
Feses kucing yang mengandung ookista akan mencemari tanah(lingkungan), dan dapat
menjadi sumber penularan baik pada manusia maupun hewan.Tingginya resiko infeksi
toksoplasmosismelalui tanah yang tercemar, karena ookista bersporulasi bisa bertahan
di tanah sampai beberapa bulan, air minum dan susu.
3) Penularan toksoplasmosis dapat juga melalui transfusi darah (trofozoit),transplantasi
organ atau cangkok jaringan(trofozoit, kista), kecelakaan di laboratoriumyang
menyebabkan T. Gondii masuk ke dalamtubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka.
Penularan secara pasif: Pada toxoplasmosis konginetal transmisi toxoplasma kepada
janin terjadi in utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.
2.9.5 Patomekanisme
Toxoplasma gondii dapat menyerang semua sel yang berinti sehingga dapat
menyerangsemua organ dan jaringan tubuh hospes kecuali sel darah merah. Bila terjadi
invasi oleh parasit ini yang biasanya di usus , maka parasit ini akan memasuki sel hospes
ataupun difagositosis. Sebagian parasit yang selamat dari proses fagositosis akan memasuki
sel, berkembangbiak yang selanjutnya akan menyebabkan sel hospes menjadi pecah dan
parasit akan keluar serta menyerang sel - sel lain. Dengan adanya parasit ini di dalam sel
makrofag atau sel limfosit maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh
bagian tubuh menjadi lebih mudah terjadi. Parasitemia ini dapat berlangsung selama
beberapa minggu.
Kista jaringan akan terbentuk apabila telah ada kekebalan tubuh hospes terhadap
parasit ini. Kista jaringan dapat ditemukan di berbagai organ dan jaringan dan dapat menjadi
laten seumur hiduppenderita. Derajat kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh tergantung
pada umur penderita, virulensi strain parasit ini, jumlah parasit ini dan jenis organ yang
diserang. Lesi pada susunan saraf pusat dan pada mata biasanya bermanifestasi lebih berat
dan bersifat permanen sebab jaringan – jaringan tersebut tidak mempunyai kemampuan
untuk melakukan regenerasi.
Kelainan – kelainan pada Susunan Saraf Pusat umumnya berupa nekrosis yang
disertai dengan kalsifikasi sedangkan terjadinya penyumbatan aquaductus sylvii akibat
ependymitis dapat mengakibatkan kelainan berupa hydrocephalus pada bayi. Infeksi yang
bersifat akut pada retina akan mengakibatkan reaksi peradangan fokal dengan edema dan
infiltrasi leucocyte yang dapat menyebabkan kerusakan total pada mata serta pada proses
penyembuhan akan terjadi sikatriks. Akibat dari pembentukan sikatriks ini maka akan dapat
terjadi atrofi retina dan coroid disertai pigmentasi.
Pada toxoplasmosis aquisita , infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui
sebab jarang menimbulkan gejala , tetapi bila infeksi primer terjadi pada masa kehamilan
maka akan terjadi toxoplasmosis congenital pada bayinya. Manifestasi klinis yang paling
sering terjadi pada toxoplasmosisaquisita adalah limfadenopati, rasa lelah, demam dan sakit
kepala dan gejala ini mirip dengan mononucleosis infeksiosa, kadang – kadang dapat terjadi
eksantema.
Toxoplasmosis sistemik pada penderita dengan imunitas yang normal dapat
bermanifestasi dalam bentuk hepatitis, pericarditis dan meningoencephalitis. Penyakit ini
dapat berakibat fatal walaupun itu sangat jarang terjadi. Pada penderita dengan keadaan
immunocompromised misalnya pada penderita HIV –AIDS atau pada orang-orang yang
mengonsumsi imunosupresan,infeksi oleh parasit ini mungkin dapat meluas yang ditandai
dengan ditemukannya proliferasi tachizoite di jaringan otak, mata, paru, hepar, jantung dan
organ – organ lainnya sehingga dapat berakibat fatal. Apabila infeksi oleh parasit ini tidak
diobati dengan baik dan penderita masih tetap hidup, maka penyakit ini akan memasuki fase
kronik yang ditandai dengan terbentuknya kista jaringan yang berisi bradizoite dan ini
terutama didapatkan di jaringan otak serta kadang kadang tidak memberikan gejala klinik
yang jelas. Fase kronik ini dapat berlangsung lama selama bertahun- tahun bahkan dapat
berlangsung seumur hidup.
2.9.8 Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita toxoplasmosis dengan status imun yang baik dan hanya
dengan limfodenopati ringan tidak memerlukan pengobatan. Pemberian pengobatan
terutama diberikan kepada wanita hamil dengan infeksi baru atau reaktivasi infeksi lama dan
penderita-penderita dengan status imun yang jelek (immunocompromised). Obat-obat yang
sering diberikan antara lain :
1) Kombinasi sulfadiazine dengan pyrimethamine
Kombinasi kedua obat ini merupakan jenis pengobatan awal. Kedua obat tersebut dapat
menembus sawar otak. Pasien dengan okuler toxoplasmosis harus diobati selama 1 bulan.
Pyrimethamine dan sulfadiazine dapat menghambat siklus p-amino asam benzoate dan
sintesa asam folat yang diperlukan untuk replikasi parasite. Dosis awal pada pemberian
pirimetamin ialah 50-75 mg/hari dan ditambahkan dengan sulfadiazine 4-6 g/hari dalam
dosis yang terbagi menjadi 4. Kekurangan obat ini ialah memiliki efek teratogenik sehingga
tidak dianjurkan untuk wanita hamil, selain itu obat ini memiliki efek samping leukopenia
dan trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dalam kalsium
folinat 10-15 mg/hari selama 6 minggu dan yeast selama pengobatan. Yang perlu diketahui
semua preparat ini hanya bekerja pada toxoplasmosis stadium takizoit pada toxoplasmosis,
sehingga perlu dilanjutkan dengan terapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin (25-
50mg) dan sulfadiazine (2-4 g).
2) Spiramisin
Spiramisin merupakan antibiotika golongan makrolid yang aman diberikan pada wanita
hamil sehiingga obat ini dapat direkomendasikan untuk diberikan pada wanita hamil
dengan toxoplasmosis.
3) Obat-obat lain
Obat obat lain yang dapat dipakai pada toxoplasmosis adalah : clindamycin,
Azithromicin,Clarithromycin, dan Atovoqoune yang dilaporkan efektif mencegah reaktivasi.
Selain itu, Obat-obat imunostimulan dengan tujuan untuk menstimulasi komponen sistem
imun yang telah diketahui bersifat protektif terhadap organisme patogen yang menginfeksi.
2.9.9 Pencegahan
Dalam hal pencegahan toxoplasmosis yang penting ialah menjaga kebersihan,
mencuci tangan setelah memegang daging mentah menghindari feces kucing pada waktu
membersihkan halaman atau berkebun. Memasak daging minimal pada suhu 66oC atau
dibekukan pada suhu 20oC. Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi dengan binatang
rumah atau serangga. Wanita hamil trimester pertama sebaiknya diperiksa secara berkala
akan kemungkinan infeksi dengan toxoplasma gondii. Mengobatinya agar tidak terjadi
abortus, lahir mati ataupun cacat bawaan.
2.9.10 Komplikasi Toksoplasmosis
Kebutaan. Kondisi ini terjadi pada penderita toksoplasmosis yang mengalami infeksi
mata, yang tidak diobati dengan sempurna.
Ensefalitis. Infeksi otak serius dapat terjadi pada penderita toksoplasmosis dengan
sistem imunitas rendah karena penyakit HIV/AIDS.
Gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, dan retardasi mental. Komplikasi ini
dapat menimpa penderita toksoplasmosis bayi baru lahir
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Protozoa merupakan mikroorganisme menyerupai hewan yang merupakan salah satu
filum dari Kingdom Protista.Karakteristik protozoa adalah merupakan organisme uniseluler
(bersel tunggal),Eukariotik (memiliki membran nukleus), Hidup soliter (sendiri) atau
berkoloni (kelompok), Umumnya tidak dapat membuat makanan sendiri (heterotrof), Hidup
bebas, saprofit atau parasit, dan dapat membentuk sista untuk bertahan hidup.
Protozoa berkembang biak secara aseksual (vegetatif) dengan cara pembelahan
multiple, schizogoni, budding atau tunas, spora, dan pembelahan mitosis (biner),
sedangkanperkembangbiakan secara seksual dengan cara peleburan gamet sporozoa dan
konjugasi.Cara makan protozoa dapat dibedakan menjadi beberapa cara yaitu bersifat
parasit, holozoik, holofitik, dan saprofitik
Protozoa diklasifikasikan menjadi 4 kelas berdasarkan alat gerak yaitu Kelas
Rhizopoda (Sarcodina) yang alat geraknya berupa pseudopoda (kaki semu) , Flagellata
(Mastigophora) alat geraknya berupa flagel (bulu cambuk), Ciliata (Ciliophora) alat gerak
berupa silia (rambut getar) dan Sporozoa yang tidak memiliki alat gerak.
3.2 Saran
Diharapkan masyarakat dapat menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitarnya
agar terhidar dari segala sumber penyakit yang ditimbulkan oleh Protozoa atau
mikroorganisme lain yang dapat memberikan dampak negative pada kesehatan, karena lebih
baik mencegah dari pada mengobati.
DAFTAR PUSTAKA
Supartini,N,T,Ilmu Penyakit Untuk Siswa Sekolah Pengatur Rawat Gigi, Depkes RI,
Tasikmalaya. 1996
Sutawanir. D., Metode Survei Sampel. Penerbit Karunika, UT, Jakarta. 1986