Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud penyakit leptospirosis ?
2. Apakah penyebab dan bagaimana cara penularan penyakit leptospirosis ?
3. Apa saja gejala penyakit leptospirosis?
4. Siapa saja yang dapat tertular penyakit leptospirosis ?
5. Bagaimana pencegahan penyakit leptospirosis ?
6. Bagaimana pengobatan untuk penyakit leptospirosis ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit leptospirosis.
2. Untuk mengetahui penyebab dan cara penularan penyakit leptospirosis.
3. Untuk mengetahui gejala penyakit leptospirosis.
4. Untuk mengetahui siapa saja yang dapat tertular penyakit leptospirosis.
5. Untuk mengetahui pencegahan penyakit leptospirosis.
6. Untuk mengetahui pengobatan untuk penyakit leptospirosis.

1.4 Manfaat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang. Penyakit
menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang
paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir
karena memang muncul dikarenakan banjir. Dibeberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama
demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit swinherd, demam rawa, penyakit weil, demam
canicola (PDPERSI Jakarta, 2007). Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman
leptospira patogen (Saroso, 2003).
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk
spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti
Mud fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice, Field fever,
Cane cutter dan lain-lain (WHO, 2003).
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan
sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan
urine tikus (Swastiko, 2009).

2.2 Cara penularan

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease). Urin
(air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada
manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi
salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan
membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan bakteri memang tidak
memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan
penyebaran di dalam aliran darah induk semang.

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir
menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek,
berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang
biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang
terluka, selaput lendir mata dan hidung.. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar
utama Leptospirosis, karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi.
Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis,
tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak
langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa)
mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairan abortus (gugur
kandungan). Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi.

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang
telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan
tubuh. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena
selokan banyak tercemar bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit
ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam.
2.3 Gejala Klinis

1. Pada Hewan

Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis (bersifat subklinis),
dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah terserang Leptospirosis.
Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini
ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti.

Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena
pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin. Gejala ini terjadi pada 50
persen kasus, terutama jika penyababnya L. pomona. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan,
depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh, gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian.
Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu radang mukosa
mata (konjungtivitis), radanghidung (rhinitis), radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak napas.

Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar. Pada anjing
yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau radang
hati (hepatitis) kronis. Dalam keadaan demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen
(ascites), banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf. Pada sapi, infeksi
Leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet dibandingkan sapi dewasa dengan gejala
demam, jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine
Leptospirosis). Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15 persen,
sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen.

Pada sapi gejala berupa demam, anoreksia, dispnea dari kongesti paru, ikterus, hemoglobinuria,
dan anemia hemolitik. Suhu tubuh naik secara tiba- tiba mencapai 40,5-41o C. hemoglobinuria jarang
berlangsung lebih dari 48-72 jam. Anemia mulai membaik pada hari ke 4-5 dan kembali normal 7-10 hari
kemudian. Pada sapi perah dapat menurunkan produksi susu 10-75% dan kembali normal pada 10-14 hari
kemudian. Bentuk kronis bermanifestasi pada terjadinya abortus dengan infeksi Pomona dan hardjo.
Umumnya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi awal.

2. Pada Manusia

Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 – 26 hari. Infeksi Leptospirosis mempunyai
manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa.
Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat,
Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif. Sekitar 90 persen
penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil.
Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun. Pada periode
peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan
bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.

a. Fase Septisemik
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat
diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium ini,
penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam,
kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada,
muntah darah, nyeri kepala, takutcahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis),
serta pembesaran limpa dan hati.

b. Fase Imun
Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat
dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah
atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati,
mata atau ginjal
Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit
kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali),
dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas.
Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan
jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi
klinis paling penting pada fase imun.
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada
30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan
kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak
mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen
pasien.
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen penderita
infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona. Infeksi L.
grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona
atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis).
c. Sindrom Weil
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal,
nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase
awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria penyakit Weil
tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri
dada, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari
setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan
dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian
sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia.

2.4 Pengobatan
1. Pada Hewan

Pengobatan yang dilakukan secara dini dapat mencegah kerusakan jaringan ginjal dan hati yang
sifatnya permanen. Setelah gejala klinis terlihat, sebaiknya secepat mungkin diberikan suntikan
streptomisin maupun oksitetrasiklin. Pada sapi untuk mengeliminasi leptospirosis dari kandung kemih
penderita dapat digunakan streptomisin dosis tinggi, 25 mg/kgBB, dengan aplikasi pemberian secara
intramuskuler (IM). Untuk mencegah kematian pada ternak yang disebabkan oleh terjadinya sepsis, dapat
diberikan suntikan penicillin ataupun eritromisin. Akan tetapi ada juga yang melaporkan bahwa kedua
obat tersebut kurang efektif terhadap radang ginjal kronik dan leptospiremia.

Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan intensif
untuk menjamin kesehatanmasyarakat dan mengoptimalkan perawatan. Antibiotik yang dapat diberikan
yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu
diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus. Golongan obat
flouroquinolon seperti enrofloxacin juga bersifat leptospirosidal. Generasi pertama sefalosporin tidak
efektif pada tahap penyakit. Terapi antibiotik dari natrium penisilin G, amfisilin, atau doksisiklin untuk
menghilangkan fase leptospiremia.

2. Pada Manusia.

Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau
amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin,
amoksisillin dan eritromisin.
2.5 Pencegahan

Adapun hal-hal yang dapat dilakukan dalam mencegah penyakit leptospirosis yaitu :

1. Tutupilah luka dan lecet dengan pembalut kedap air.


2. Gunakan pelindung misalnya sarung tangan, terutama jika ada kemungkinan menyentuh
air seninya, saat berkebun.
3. Mandilah sesudah bekerja dan cucilah dengan sabun serta keringkan tangan sesudah
menangani apa pun yang mungkin terkena Leptospira.
4. Jangan makan atau merokok sambil menangani binatang yang mungkin terkena.
5. Ikutilah anjuran dokter hewan kalau memberi vaksin kepada hewan.
6. Pakailah sepatu bila keluar trumah terutama jika tanahnya basah atau berlumpur.
7. Halaulah binatang pengerikit dengan cara membersihkan dan menjauhkan sampah dari
rumah.
8. Cucilah tangan dengan sabun karena kuman Leptospira cepat mati oleh sabun.

BAB III

MATERI DAN METODE

3.1 Kerangka Pemecahan Masalah

Masalah penyakit leptospirosis merupakan suatu permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat. Penyakit leptospirosis berkaitan dengan pengetahuan dan lingkungan tempat tinggal
masyarakat.

Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan penyakit leptospirosis diakibatkan oleh beberapa hal yaitu :

1. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap penyakit leptospirosis yang masih rendah.


2. Sikap masyarakat yang kurang memperhatikan lingkungan sekitar rumah

dari beberapa factor penyebab diatas maka kerangka pemecahan masalah dari penyakit leptospirosis
adalah sebagai berikut: memberikan penyuluhan/sosialisasi kepada ibu-ibu ………

3.2 Pemecahan Masalah, Sasaran, dan Metode Yang Digunakan

Upaya dalam memecahkan masalah tersebut dilakukan dengan cara penyuluhan dan sosialisasi
…………… Sasaran pada kegiatan ini adalah …………
3.3 Keterkaitan

3.4 Rancangan Evaluasi

3.5 Metode Kegiatan

Metode yang digunakan danmateri yang disajikan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan penyuluhan berupa ceramah dan tanya jawab mengenai :


a. Apa itu leptospirosis
b. Apa penyebab dan bagaimana cara penyebarannya
c. Apa gejala leptospirosis
d. Siapa yang dapat tertular
e. Bagaimana pencegahannya
f. Bagaimana pengobatannya
2. Alat dan bahan yang digunakan yaitu :
a. Karton
b.

DAFTAR PUSTAKA

https://charizzogarvet.wordpress.com/2011/06/20/mengenal-leptospirosis/

http://chelfin.blogspot.com/2016/11/bab-i-pendahuluan-1.html

Anda mungkin juga menyukai