Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan pada
seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada
umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun
kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai
dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari
atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih
sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).

Autis merupakan gangguan perkembangan kompleks yang muncul tiga tahun


pertama kehidupan akibat gangguan neurologi yang mempengaruhi fungsi otak
The Autism Society Of America 2004 dalam (Hasdianah, 2013). Autisme adalah
gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya harus sudah muncul sebelum
anak berusia 3 tahun (Yayasan Autisme Indonesia, 2015).

Tahun 2011 tercatat 35 juta orang penyandang autisme di dunia, rata-rata 6 dari
1000 orang di dunia penyandang autisme United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization (UNESCO, 2011). Maret 2013, Amerika Serikat
melaporkan, adanya peningkatan prevelensi menjadi 1:50 dalam kurun waktu
setahun terakhir (Center for Diseases Control and Prevention [CDC], 2014).
Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan, Diah Setia menyebutkan
terdapat 112.000 anak di Indonesia yang menyandang autisme dengan rentang
usia 5-19 tahun. Maka jika diasumsikan dengan prevalensi autisme 1,68 per 1000
anak dibawah 15 tahun. Jumlah anak yang berumur 5-19 tahun di Indonesia
mencapai 66.000.805 jiwa, maka terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang
autisme pada rentang usia 5-9 tahun (Hazliansyah, 2013). Data yang diperoleh
pada tahun 2001-2010 terdapat peningkatan jumlah penderita autis di DIY yang
mencapai 3-4% tiap tahun (Jogja Autism Care, n.d). berdasarkan hal diatas, maka
penulis tertarik untuk membahas konsep anak dengan autis.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa defenisi dari autis ?

2. Apa etiologi dari autis ?

3. Apa patofiosiologi dari autis?

1
4. Bagaimana pathway dari autis?

5. Apa manifestasi klinis dari autis ?

6. Apa saja pemeriksaan penunjang autis?

7. Apa saja penatalaksaan anak autis?

8. Apa saja pencegahan autis?

9. Apa saja komplikasi autis?

10. Bagaiamana asuhan keperawatan pada anak autis?

1.3 Tujuan

1. Tujuan Umum

Memenuhi tugas mata kuliah anak tentang asuhan keperawatan anak autis

2. Tujuan Khusus

a. Memahami defenisi autis


b. Memahami etiologi penyakit autis
c. Memahami patofisiologi dari autis
d. Memahami pathway terjadinya autis
e. Memahami manifestasi klinis
f. Memahami pemeriksaan penunjang autis?
g. Memahami penatalaksaan anak autis?
h. Memahami pencegahan autis?
i. Memahami komplikasi autis?
j. Memahami asuhan keperawatan pada anak autis

1.4 Manfaat

Hasil dari makalah dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa
tentang asuhan keperawatan pada anak autis. Hasil dari makalah dapat digunakan
bagi mahasiswa keperawatan, sebagai sumber informasi dan bahan perbandingan
untuk penulisan makalah tentang asuhan keperawatan pada anak autis

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Autisme adalah gangguan perkembangan yang umumnya menimpa anak-


anak.Gangguan ini membuat anak tidak mampu berinteraksi sosial dan seolah-
olah hidup dalam dunianya sendiri. (Aizid, Rizem. 2011)

Autism merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa


sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang
menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi
tumbuh kembang pada beberapa aspek, yaitu antara lain; komunikasi,
kemampuan berinteraksi sosial, dan gerakan motorik baik kasar maupun halus.
Dan gejala-gejala autism terlihat dari adanya penyimpangan dari ciri-ciri tumbuh
kembang anak secara normal yang sebaya dengannya (Sunu: 2012).

2.2 Etiologi

Autisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di bawah ini adalah faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya autis menurut Kurniasih (2002) diantaranya
yaitu:
a. Faktor Genetik
Faktor pada anak autis, dimungkinkan penyebabnya adanya kelainan
kromosom yang disebutkan syndrome fragile – x (ditemukan pada 5-20%
penyandang autis).
b. Faktor Cacat (kelainan pada bayi)
Disini penyebab autis dapat dikarenakan adanya kelainan pada otak anak,
yang berhubungan dengan jumlah sel syaraf, baik itu selama kehamilan
ataupun setelah persalinan, kemudian juga disebabkan adanya Kongenital
Rubella, Herpes Simplex Enchepalitis, dan Cytomegalovirus Infection.
c. Faktor Kelahiran dan Persalinan
Proses kehamilan ibu juga salah satu faktor yang cukup berperan dalam
timbulnya gangguan autis, seperti komplikasi saat kehamilan dan persalinan.
Seperti adanya pendarahan yang disertai terhisapnya cairan ketuban yang
bercampur feces, dan obat-obatan ke dalam janin, ditambah dengan adanya
keracunan seperti logam berat timah, arsen, ataupun merkuri yang bisa saja
berasal dari polusi udara, air bahkan makanan.

3
Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi
makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun
yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan
masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.

Ada beberapa faktor utama penyebab terjadinya perilaku anak autis yaitu:

a. Faktor-faktor yang terjadi selama kehamilan, seperti:

1) Selama masa kehamilan sering mengalami pendarahan, hal ini juga


menjadi salah satu pemicu anak autis dikarenakan adanya gangguan pada
placental complications yang mengakibatkan gangguan transportasi
oksigen dan nutrisi ke bayi dan berpengaruh pada otak janin

2) Kelahiran bayi yang prematur dan berat bayi yang rendah juga
merupakan resiko terjdinya perilaku autis pada anak disebabkan suka
mengonsumsi obat-obatan.

3) Faktor ketidakseimbangan biokimia, faktor genetik dan gangguan


kekebalan tubuh.

4) Faktor akibat imunisasi pada masa balita yang tidak tepat

5) Sering mengalami infeksi saluran kencing, stress atau depresi

6) Faktor kurangnya gizi dan nutrisi, baik ketika masa kehamilan maupun
anak sudah balita (Widodo Judarwanto, 2006)

2.3 Patofisiologi

Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik
(dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks).
Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna
putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps.

Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada
trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan
akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.
Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa

4
bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini
dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai
brain growth factors dan proses belajar anak.

Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson,


dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian
otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit,
dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian
sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps. Kelainan genetis, keracunan logam
berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pada proses – proses tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas
pertumbuhan sel saraf.

Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan


abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan
neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4, vasoactive
intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia
otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi,
diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth
factors ini penting bagi pertumbuhan otak.

Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan


abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth
without guidance, di mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak
beraturan. Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan
sel saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel
saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada
autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson,
glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi
pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara
abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived
neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye.

Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder.
Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan
gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan. Degenerasi sekunder
terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang
menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa
kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide.

5
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami
aktivasi selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses
mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan
reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan
target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.

Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian
depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan
berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang
berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping
depan otak besar yang berperan dalam proses memori).

2.4 Pathways

6
2.5 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang ditemui pada penderita Autisme :


1. Penarikan diri
2. Kemampuan komunikasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau
kurang berkembang. Mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu
dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit
estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan
mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya
empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki
kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat
memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik mungkin
terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar
yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
3. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang
sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
4. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada
objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa
dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
5. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk
memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak
menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat
diramalkan.
6. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
7. Kontak mata minimal atau tidak ada.
8. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda,
dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan
sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap
nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak
menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
9. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada
emosional.
10. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat)
saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak
berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak

7
umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan
kecakapan pada umur 2 tahun.

Tanda dan gejala tersebut dapat terlihat sejak bayi dan harus diwaspadai:

USIA TANDA DAN GEJALA AWAL


0 – 6  Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
bulan  Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
 Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
 Tidak “babbling”
 Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
 Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
 Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
6 – 12  Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
bulan  Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
 Gerakan tangan dan kaki berlebihan
 Sulit bila digendong
 Menggigit tangan dan badan  orang lain secara berlebihan
 Tidak ditemukan senyum sosial
 Tidak ada kontak mata
 Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
1 – 2  Kaku bila digendong
tahun  Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-
da)
 Tidak mengeluarkan kata
 Tidak tertarik pada boneka
 Memperhatikan tangannya sendiri
 Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor
kasar/halus
 Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
2 – 3  Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
tahun  Melihat orang sebagai “benda”
 Kontak mata terbatas
 Tertarik pada benda tertentu
 Kaku bila digendong
4 – 5  Sering didapatkan ekolalia (membeo)
tahun  Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)

8
 Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
 Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala) dan temper
tantrum

Ciri yang khas pada anak yang austis :


1. Keterlambatan komunikasi
Ciri anak autis salah satunya adalah lambat bicara, bicara dengan suara atau
kata-kata yang tidak jelas, tidak mengerti suatu pembicaraan, meniru
pembicaraan, wajah datar saat berbicara, dan untuk kasus yang parah bahkan
tidak bisa berbicara. Biasanya anak tidak komunikatif dan tidak bisa memulai
atau menjaga pembicaraan secara dua arah.
2. Gangguan interaksi sosial
Interaksi sosial yang terhambat misalnya adalah lebih cenderung menghindari
kontak mata saat sedang berhadapan dengan lawan bicara, lebih suka
menyendiri, menarik diri dan menarik tangan orang yang terdekatuntuk bisa
melakukan hal yang dia inginkan, tidak suka diajak bermain, dan tidak bisa
mencari teman dengan cepat.
3. Perubahan perilaku ( perilaku yang berulang-ulang)
Ciri anak autis lainnya adalah anak mengalami perubahan perilaku, contohnya
anak tertarik pada roda sehingga ia akan bermain dengan roda selama berjam-
jam, hal ini juga dilakukan secara berulang-ulang dan dilakukan secara terus
menerus. Selain itu, ia mempunyai cara yang aneh dalam memainkan permainan,
dan hal ini bisa dilakukan sampai menjadi suatu kebiasaan.
4. Gangguan Emosi
Ditandai dengan kemampuan yang minim untuk bisa mengandalikan emosi.
Mereka juga biasanya cenderung tidak bisa berempati, tidak bisa merasakan apa
yang orang lain rasakan, sedih atau senang tanpa sebab yang jelas, sering
menangis dan juga tertawa sendiri, memukul dan bisa melakukan kekerasan agar
apa yang diinginkan bisa didapatkan.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik


Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti
dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral
maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa
instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk
mendiagnosa autisme:

9
a. Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa
kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang
didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15;
anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan
gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan
komunikasi verbal
b. The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan
autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur
18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
c. The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri
dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk
mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
d. The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screeningautisme bagi
anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt
didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor
dan konsentrasi.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin
ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog, dokter
rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli terapi
bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah untuk
mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar dan
perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini
mungkin dan dilakukan manajemen multidisiplin yang sesuai yang tepat
waktu, diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari perkembangan
anak dengan autisme.

Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua yaitu non


medikamentosa dan medika mentosa.
1. Non medikamentosa
a. Terapi edukasi / Intervensi Pendidikan
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan
sehari-hari agar anak menjadi mandiri.
Terdapat berbagai metode pengajaran antara lain metode TEACHC
(Treatment and Education of Autistic and related
Communication Handicapped Children) metode ini merupakan suatu
program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan metode klasikal

10
yang individual, metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam
ruang kelas yang ditata khusus.
b. Terapi perilaku (Applied Behaviour Analisis)
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun
metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin
yang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak
dipakai adalah ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana
keberhasilannya sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan
(terbaik sekitar usia 2–5 tahun).
c. Terapi wicara (Terapi Bahasa)
Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan,
mengingat tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi
secara verbal. Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif
dengan terapi-terapi yang lain.
d. Terapi okupasi/fisik
Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat
melakukan gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol
dan teratur sesuai kebutuhan saat itu.
e. Sensori integrasi
Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk
menghasilkan respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada
otak menerima informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan
sekitarnya, sehingga diharapkan semua gangguan akan dapat teratasi.
f. AIT (Auditory Integration Training)
Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang
mengganggu pendengaran dengan audimeter. Lalu diikuti dengan
seri terapi yang mendengarkan suara-suara yang direkam, tapi tidak
disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan
desentisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut.
g. Intervensi keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan
keluarga baik perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun
dorongan untuk dapat tercapainya perkembangan yang optimal dari
seorang anak, mandiri dan dapat bersosialisai dengan lingkungannya.
Untuk itu diperlukan keluarga yang dapat berinteraksi satu sama lain
(antar anggota keluarga) dan saling mendukung. Oleh karena itu

11
pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi
menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita
dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme.
2. Medikamentosa
Individu yang destruktif sering kali menimbulkan suasana yang tegang
bagi lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya.
Kondisi ini seringkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang
mempunyai potensi untuk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan
bersama-sama dengan intervensi edukational, perilaku dan sosial.
2.8 Pencegahan
a. Konsumsi makanan yang mengandung asam folat saat hamil
Asam folat yang dikonsumsi selama kehamilan terbukti dapat membantu
perkembangan otak dan mencegah terjadinya kecacatan.
b. Jauhi alkohol, rokok, dan obat-obatan tertentu
Ketiga hal ini harus dijauhi selama kehamilan karena bisa mengakibatkan
dampak buruk pada anak, seperti munculnya gangguan mental atau
autisme.
c. Konsumsi makanan organik
Makanan organik menjadi rekomendasi untuk menghindari autisme pada
anak, karena tingkat residu pestisida yang rendah di dalamnya.
d. Memberikan ASI Eksklusif pada bayi
Berdasarkan salah satu penelitian, bayi yang tidak diberikan ASI atau
hanya mengkonsumsi susu formula saja tanpa asam lemak atau DHA, akan
memiliki resiko tinggi pada gangguan spektrum autisme.
e. Jauhi kandungan merkuri dalam makanan atau kosmetik
Jika ibu hamil mengkonsumsi makanan atau menggunakan kosmetik yang
mengandung merkuri, maka resiko spektrum autisme pada bayinya akan
meningkat.
2.9 Komplikasi

Beberapa anak autis tumbuh dengan menjalani kehidupan normal atau


mendekati normal. Anak anak dengan kemunduran kemampuan bahasa di awal
kehidupan, biasanya sebelum usia 3 tahun,mempunyai resiko epilepsi atau
aktivitas kejang otak. Selama masa remaja, beberapa anak dengan autisme
dapat menjadi depresi atau mengalami masalah perilaku.
Beberapa komplikasi yang dapat muncul pada penderita autis antara lain:

12
a. Masalah sensorik
Pasien dengan autis dapat sangat sensitif terhadap input sensorik.
Sensasi biasa dapat menimbulkan ketidaknyamanan emosi. Kadang-
kadang, pasien autis tidak berespon terhadap beberapa sensasi yang
ekstrim, antara lain panas, dingin, atau nyeri.
b. Kejang
Kejang merupakan komponen yang sangat umum dari autisme. Kejang
sering dimulai pada anak-anak autis muda atau remaja.
c. Masalah kesehatan mental
Menurut National Autistic Society, orang dengan ASD rentan terhadap
depresi, kecemasan, perilaku impulsif, dan perubahan suasana hati.
d. Tuberous sclerosis
Gangguan langka ini menyebabkan tumor jinak tumbuh di organ,
termasuk otak. Hubungan antara sclerosis tuberous dan autisme tidak
jelas. Namun, tingkat autisme jauh lebih tinggi di antara anak-anak
dengan tuberous sclerosis dibandingkan mereka yang tanpa kondisi
tersebut.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan


berinteraksi social serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain dan
emosi. Penyebabnya karena antar jaringan otak tidak sinkron. Ada yang maju
pesat, sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja. Penyebab autisme sangat
kompleks, tak lepas dari factor genetika dan lingkungan social.
Terapi penyembuhan yang diterapkan dilakukan dengan berbagai varian
tehnik, diantaranya tehnik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara
vebal maupun non verbal, dengan melibatkan orang tua dan ada juga yang
tidak. Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir
berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan sindrom yang disandang
anak.

3.2 Saran

Kami selaku penulis senantiasa berharap penulisan makalah ini bisa


bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkan. Penulis menyadari
bahwa makala ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran maupun
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
penulisan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aizid, Rizem, 2011, Sehat dan Cerdas dengan Terapi Musik, Laksana, Jogyakarta.

Aziz Alimul.2008. Pengantar Ilmu Keperawatan 2. Edisi pertama. Jakarta :


Salemba Medika

Hasdianah. 2013. Autis Pada Anak. Yogyakarta: Nuha Medika

Hidayat, A. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Ed.2. Jakarta : Salemba


Medika

Judarwanto. 2006. Autism In Children.

Kurniasih, dkk. 2002. Menangani Anak Autis. Majalah Nakita. Gramedia

Sunu, Chrisoper. 2012. Panduan Memecahkan Masalah Autism Unlocking Autism.


Yogyakarta. Lintang Terbit

15

Anda mungkin juga menyukai