PENDAHULUAN
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan pada
seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada
umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun
kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai
dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari
atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih
sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Tahun 2011 tercatat 35 juta orang penyandang autisme di dunia, rata-rata 6 dari
1000 orang di dunia penyandang autisme United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization (UNESCO, 2011). Maret 2013, Amerika Serikat
melaporkan, adanya peningkatan prevelensi menjadi 1:50 dalam kurun waktu
setahun terakhir (Center for Diseases Control and Prevention [CDC], 2014).
Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan, Diah Setia menyebutkan
terdapat 112.000 anak di Indonesia yang menyandang autisme dengan rentang
usia 5-19 tahun. Maka jika diasumsikan dengan prevalensi autisme 1,68 per 1000
anak dibawah 15 tahun. Jumlah anak yang berumur 5-19 tahun di Indonesia
mencapai 66.000.805 jiwa, maka terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang
autisme pada rentang usia 5-9 tahun (Hazliansyah, 2013). Data yang diperoleh
pada tahun 2001-2010 terdapat peningkatan jumlah penderita autis di DIY yang
mencapai 3-4% tiap tahun (Jogja Autism Care, n.d). berdasarkan hal diatas, maka
penulis tertarik untuk membahas konsep anak dengan autis.
1
4. Bagaimana pathway dari autis?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Memenuhi tugas mata kuliah anak tentang asuhan keperawatan anak autis
2. Tujuan Khusus
1.4 Manfaat
Hasil dari makalah dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa
tentang asuhan keperawatan pada anak autis. Hasil dari makalah dapat digunakan
bagi mahasiswa keperawatan, sebagai sumber informasi dan bahan perbandingan
untuk penulisan makalah tentang asuhan keperawatan pada anak autis
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
2.2 Etiologi
Autisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di bawah ini adalah faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya autis menurut Kurniasih (2002) diantaranya
yaitu:
a. Faktor Genetik
Faktor pada anak autis, dimungkinkan penyebabnya adanya kelainan
kromosom yang disebutkan syndrome fragile – x (ditemukan pada 5-20%
penyandang autis).
b. Faktor Cacat (kelainan pada bayi)
Disini penyebab autis dapat dikarenakan adanya kelainan pada otak anak,
yang berhubungan dengan jumlah sel syaraf, baik itu selama kehamilan
ataupun setelah persalinan, kemudian juga disebabkan adanya Kongenital
Rubella, Herpes Simplex Enchepalitis, dan Cytomegalovirus Infection.
c. Faktor Kelahiran dan Persalinan
Proses kehamilan ibu juga salah satu faktor yang cukup berperan dalam
timbulnya gangguan autis, seperti komplikasi saat kehamilan dan persalinan.
Seperti adanya pendarahan yang disertai terhisapnya cairan ketuban yang
bercampur feces, dan obat-obatan ke dalam janin, ditambah dengan adanya
keracunan seperti logam berat timah, arsen, ataupun merkuri yang bisa saja
berasal dari polusi udara, air bahkan makanan.
3
Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi
makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun
yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan
masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Ada beberapa faktor utama penyebab terjadinya perilaku anak autis yaitu:
2) Kelahiran bayi yang prematur dan berat bayi yang rendah juga
merupakan resiko terjdinya perilaku autis pada anak disebabkan suka
mengonsumsi obat-obatan.
6) Faktor kurangnya gizi dan nutrisi, baik ketika masa kehamilan maupun
anak sudah balita (Widodo Judarwanto, 2006)
2.3 Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik
(dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks).
Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna
putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada
trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan
akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.
Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa
4
bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini
dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai
brain growth factors dan proses belajar anak.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder.
Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan
gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan. Degenerasi sekunder
terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang
menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa
kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide.
5
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami
aktivasi selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses
mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan
reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan
target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian
depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan
berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang
berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping
depan otak besar yang berperan dalam proses memori).
2.4 Pathways
6
2.5 Manifestasi klinis
7
umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan
kecakapan pada umur 2 tahun.
Tanda dan gejala tersebut dapat terlihat sejak bayi dan harus diwaspadai:
8
Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala) dan temper
tantrum
9
a. Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa
kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang
didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15;
anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan
gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan
komunikasi verbal
b. The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan
autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur
18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
c. The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri
dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk
mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
d. The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screeningautisme bagi
anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt
didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor
dan konsentrasi.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin
ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog, dokter
rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli terapi
bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah untuk
mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar dan
perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini
mungkin dan dilakukan manajemen multidisiplin yang sesuai yang tepat
waktu, diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari perkembangan
anak dengan autisme.
10
yang individual, metode pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam
ruang kelas yang ditata khusus.
b. Terapi perilaku (Applied Behaviour Analisis)
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun
metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin
yang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak
dipakai adalah ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana
keberhasilannya sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan
(terbaik sekitar usia 2–5 tahun).
c. Terapi wicara (Terapi Bahasa)
Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan,
mengingat tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi
secara verbal. Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif
dengan terapi-terapi yang lain.
d. Terapi okupasi/fisik
Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat
melakukan gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol
dan teratur sesuai kebutuhan saat itu.
e. Sensori integrasi
Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk
menghasilkan respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada
otak menerima informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan
sekitarnya, sehingga diharapkan semua gangguan akan dapat teratasi.
f. AIT (Auditory Integration Training)
Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang
mengganggu pendengaran dengan audimeter. Lalu diikuti dengan
seri terapi yang mendengarkan suara-suara yang direkam, tapi tidak
disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan
desentisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut.
g. Intervensi keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan
keluarga baik perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun
dorongan untuk dapat tercapainya perkembangan yang optimal dari
seorang anak, mandiri dan dapat bersosialisai dengan lingkungannya.
Untuk itu diperlukan keluarga yang dapat berinteraksi satu sama lain
(antar anggota keluarga) dan saling mendukung. Oleh karena itu
11
pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi
menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita
dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme.
2. Medikamentosa
Individu yang destruktif sering kali menimbulkan suasana yang tegang
bagi lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya.
Kondisi ini seringkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang
mempunyai potensi untuk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan
bersama-sama dengan intervensi edukational, perilaku dan sosial.
2.8 Pencegahan
a. Konsumsi makanan yang mengandung asam folat saat hamil
Asam folat yang dikonsumsi selama kehamilan terbukti dapat membantu
perkembangan otak dan mencegah terjadinya kecacatan.
b. Jauhi alkohol, rokok, dan obat-obatan tertentu
Ketiga hal ini harus dijauhi selama kehamilan karena bisa mengakibatkan
dampak buruk pada anak, seperti munculnya gangguan mental atau
autisme.
c. Konsumsi makanan organik
Makanan organik menjadi rekomendasi untuk menghindari autisme pada
anak, karena tingkat residu pestisida yang rendah di dalamnya.
d. Memberikan ASI Eksklusif pada bayi
Berdasarkan salah satu penelitian, bayi yang tidak diberikan ASI atau
hanya mengkonsumsi susu formula saja tanpa asam lemak atau DHA, akan
memiliki resiko tinggi pada gangguan spektrum autisme.
e. Jauhi kandungan merkuri dalam makanan atau kosmetik
Jika ibu hamil mengkonsumsi makanan atau menggunakan kosmetik yang
mengandung merkuri, maka resiko spektrum autisme pada bayinya akan
meningkat.
2.9 Komplikasi
12
a. Masalah sensorik
Pasien dengan autis dapat sangat sensitif terhadap input sensorik.
Sensasi biasa dapat menimbulkan ketidaknyamanan emosi. Kadang-
kadang, pasien autis tidak berespon terhadap beberapa sensasi yang
ekstrim, antara lain panas, dingin, atau nyeri.
b. Kejang
Kejang merupakan komponen yang sangat umum dari autisme. Kejang
sering dimulai pada anak-anak autis muda atau remaja.
c. Masalah kesehatan mental
Menurut National Autistic Society, orang dengan ASD rentan terhadap
depresi, kecemasan, perilaku impulsif, dan perubahan suasana hati.
d. Tuberous sclerosis
Gangguan langka ini menyebabkan tumor jinak tumbuh di organ,
termasuk otak. Hubungan antara sclerosis tuberous dan autisme tidak
jelas. Namun, tingkat autisme jauh lebih tinggi di antara anak-anak
dengan tuberous sclerosis dibandingkan mereka yang tanpa kondisi
tersebut.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Aizid, Rizem, 2011, Sehat dan Cerdas dengan Terapi Musik, Laksana, Jogyakarta.
15