Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

Hipospadia merupakan malformasi kongenital anatomi genitalia eksterna laki-


laki. Kelainan ini ditandai dengan perkembangan abnormal pada lipatan uretra dan
kulit ventral penis yang menyebabkan posisi muara uretra yang abnormal.1
Hipospadia sebagai kelainan kongenital penis yang paling banyak ditemui dapat
dialami 1 dari 300 laki-laki.2,3
Pada hipospadia letak meatus uretra bisa terletak pada glandular hingga
perineal, tidak didapatkan prepusium ventral sehingga prepusium dorsal menjadi
berlebihan (dorsal hood) dan sering disertai dengan korde (penis angulasi ke ventral). 4
Sekitar 70% kasus meatus uretra terletak di distal batang penis, tipe ini dianggap
sebagi bentuk yang ringan dan tidak berkaitan dengan kelainan urogenital lain.
Sedangkan 30% sisanya terletak di proksimal penis dan seringkali lebih kompleks.
Pada keadaan ini diperlukan evaluasi endokrin untuk menyingkirkan gangguan
diferensiasi seksual, terutama pada kasus-kasus yang dibarengi dengan UDT
(undescended testis).5
Etiologi pasti dari hipospadia masih belum diketahui, namun hipotesis
mengenai predisposisi genetik dan pengarah hormonal. Kelainan kongenital pada
penis menjadi masalah yang sangat penting karena penis berfungsi sebagai saluran
pengeluaran urin juga media penyaluran sperma pada proses fertilisasi. Maka dari itu
tujuan fungsional operasi hipospadia adalah kosmetik penis sehingga fungsi miksi
dan fungsi seksual normal (ereksi lurus dan pancaran ejakulasi kuat) serta penis dapat
tumbuh dengan normal.4-6
DEFINISI4
Definisi hipospadia menurut Purnomo dalam Dasar-Dasar Urologi adalah
kelainan kongenital berupa muara uretra yang terletak di sisi ventral penis dan
sebelah proksimal ujung penis.

ETIOLOGI1-3
Etiologi pasti hipospadia masih belum diketahui, namun dipercayai muncul
dari faktor genetik, endokrin dan lingkungan. Faktor keturunan dan genetik
dihubungkan dengan polimorfisme genetik yang memainkan peran lebih dominan
dibandingkan defek gen tertentu. Hipospadia lebih umum ditemui pada laki-laki
dengan penurunan androgen atau penurunan sensitivitas reseptor androgen. Terdapat
bukti yang kuat bahwa penurunan aktivitas androgen dapat memberi gambaran
sindroma disgenesis testikular, termasuk didalamnya adalah kriptorkidisme,
hipospadia dan gangguan spermatogenesis. Paparan estrogen pada lingkungan intra-
uterin selama kehamilan melalui sisa pestisida di buah-buahan dan sayuran juga
memiliki aktivitas anti-androgenik.

EPIDEMIOLOGI
Hipospadia adalah kelainan kongenital terbanyak kedua pada laki-laki setelah
kriptorkidisme. Walaupun demikian hipospadia merupakan malformasi kongenital
penis yang paling banyak.2 Hipospadia dialami 1 dari 300 pria (0,3%) dengan risiko
pengulangan 13 kali lebih besar pada first-degree relatives.3 Insidensi hipospadia di
US dilaporkan sebesar 0.4% dengan 1 kejadian dari 250 laki-laki. Penelitian di
Amerika serikat memperkirakan prevalensi global dari hipospadia sebesar 11.3 dari
10.000 kelahiran.1 Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSMH palembang dari
januari 2017 sampai juni 2018 menunjukkan 63% kasus kelainan kongenital pada
sistem urogenital adalah hipospadia dengan 69 kasus dari total 109 kasus.7
PATOFISIOLOGI1,2
Peristiwa patofisiologis utama untuk perkembangan hipospadia adalah
penutupan uretra yang anomali atau tidak sempurna pada minggu-minggu pertama
perkembangan embrional. Perkembangan genitalia eksternal terjadi dalam dua fase.
Fase pertama, yang terjadi antara minggu kelima dan kedelapan kehamilan, ditandai
oleh pembentukan genitalia primordial tanpa stimulasi hormon. Pada fase ini, lipatan
kloaka dibentuk dari sel-sel mesodermal yang dijajarkan pada sisi lateral membran
kloaka. Lipatan ini melebur ke anterior dan membentuk struktur yang disebut genital
tubercle (GT), dan secara posterior mereka terbagi menjadi lipatan urogenital yang
mengelilingi sinus urogenital dan lipatan anal.
Fase kedua, yang merupakan tahap yang dipengaruhi hormone. Fase ini
dimulai. dengan diferensiasi gonad menjadi testis pada pria dengan kromosom XY.
Diferensiasi organ genital dan perkembangan uretra dimulai sekitar minggu ke-8 dan
selesai pada minggu ke-15. Testosteron yang disintesis memiliki dua fungsi yang
sangat penting: perpanjangan GT dan pembentukkan urethral groove. Uretra
dibentuk dari fusi lipatan uretra (urethral fold) sepanjang permukaan ventral penis
yang memanjang sampai ke korona distal shaft. Glandular uretra dibentuk dari
kanalisasi korda ektodermal yang tumbuh melewati glans dan menyatu dengan fusi
lipatan uretra dan kulit penis terbentuk dari lapisan terluar sel ektodermal.
Segala macam gangguan genetik atau perubahan dalam signaling-pathway
pada perkembangan genital eksternal pria dan penggabungan (fusi) lipatan uretra
tidak terjadi dapat menyebabkan gambaran hipospadia.

KLASIFIKASI
Klasifikasi hipospadia berdasarkan lokasi meatus uretra menurut Smith and Tanagho
Urology2:
1. Glandular
2. Coronal
3. Penile shaft
4. Penoscrotal
5. Perineal

Berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan koreksi korde, Browne


(1936) membagi hipospadia dalam tiga bagian besar, yaitu (1) hipospadi anterior
terdiri atas tipe glanular, sub-koronal, dan penis distal, (2) hipospadi medius terdiri
atas: midshaft, dan penis proksimal, dan (3) hipospadi posterior terdiri atas
penoskrotal, skrotal, dan perineal.4
Pada hipospadia ringan, aliran kemih biasanya tidak terpengaruh, tetapi dalam
bentuk yang lebih parah, meatus mungkin menyempit, dan sudut aliran mungkin
miring ke bawah. Pasien dengan angulasi abnormal pada penis mungkin mengalami
ereksi yang menyakitkan, kesuburan terganggu dengan ejakulasi abnormal, dan dalam
beberapa kasus ketidakmampuan penetrasi selama hubungan seksual.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Donaire AE, Mendez MD. Hypospadias. In: Lincoln Medical Center, editor.
StatPearls Publising; 2019. Available from:
www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482122/#_NBK
2. McAninch JW. Disorders of the Penis & Male Urethra. In: Smith & Tanagho’s
General Urology. 18th ed. USA: McGraw-Hill; 2013. p. 633–9.
3. Warren TS, Bush NC. Hypospadias. In: campbell-Walsh Urology. 11th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 3399–429.
4. Purnomo BB. Dasar-dasar Urologi. 2nd ed. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2003.
197–198 p.
5. Van der Horst HJ., de Wall LL. Hypospadia, all there is to know. Eur J Pediatr.
2017;176(4):435–41.
6. Saputra IA. Hipospadia [Internet]. 2012. Available from:
www.scribd.com/doc/101215156/Hipospadia
7. Novianti R., Triwani, Roflin E. No Title. Maj Kedokt Sriwij. 2019;51(2):97–
107.

Anda mungkin juga menyukai