Anda di halaman 1dari 6

Makna Dan Hakikat Hidayah Allah

Berbicara tentang hidayah berarti membahas perkara yang paling penting dan
kebutuhan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Betapa tidak, hidayah
adalah sebab utama keselamatan dan kebaikan hidup manusia di dunia dan
akhirat. Sehingga barangsiapa yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk
meraihnya, maka sungguh dia telah meraih keberuntungan yang besar dan
tidak akan ada seorangpun yang mampu mencelakakannya.

Allah Ta’ala berfirman:

َ ِ‫ُو ْال ُم ْه َتدِي َو َمنْ يُضْ لِ ْل َفأُولَئ‬8َ ‫} َمنْ َي ْه ِد هَّللا ُ َفه‬


َ ‫ك ُه ُم ْال َخاسِ ُر‬
{‫ون‬

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat
petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan
akhirat)” (QS al-A’raaf:178).

Dalam ayat lain, Dia Ta’ala juga berfirman:

ِ ‫ُو ْال ُم ْه َت ِد َو َمنْ يُضْ لِ ْل َفلَنْ َت‬8َ ‫} َمن َي ْه ِد هَّللا ُ َفه‬


{‫ًي ا مُرْ شِ ًدا‬8Jًّ ِ‫ج َد لَ ُه َول‬

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat
petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang
disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun yang
dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS al-Kahf:17).

Kebutuhan manusia kepada hidayah Allah Ta’ala


Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk
selalu memohon kepada-Nya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah al-
Fatihah yang merupakan surah yang paling agung dalam Al-Qur-an 1, karena
sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah
Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

{‫}اهْ ِد َنا الص َِّرا َط ْالمُسْ َتقِي َم‬

“Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang hamba senantiasa


kebutuhannya sangat mendesak terhadap kandungan doa (dalam ayat) ini,
karena sesungguhnya tidak ada keselamatan dari siksa (Neraka) dan
pencapaian kebahagiaan (yang abadi di Surga) kecuali dengan hidayah (dari
Allah Ta’ala) ini. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan hidayah ini berarti
dia termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti orang-orang
Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang Nashrani)” 2.

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal ini dengan lebih terperinci,
beliau berkata: “Seorang hamba sangat membutuhkan hidayah di setiap waktu
dan tarikan nafasnya, dalam semua (perbuatan)yang dilakukan maupun yang
ditinggalkannya. Karena hamba tersebut berada di dalam beberapa perkara
yang dia tidak bisa lepas darinya:

 Yang pertama; perkara-perkara yang dilakukannya (dengan cara) yang


tidak sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah Ta’ala) karena
kebodohannya, maka dia butuh untuk memohon hidayah Allah kepada
kebenaran dalam perkara-perkara tersebut.
 Atau dia telah mengetahui hidayah (kebenaran) dalam perkara-perkara
tersebut, akan tetapi dia mengerjakannya (dengan cara) yang tidak
sesuai dengan hidayahsecara sengaja, maka dia butuh untuk bertaubat
dari (kesalahan) tersebut.
 Atau perkara-perkara yang dia tidak mengetahui segi hidayah
(kebenaran) padanya, baik dalam ilmu dan amal, sehingga luput darinya
hidayah untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara tersebut
(secara benar), serta untuk meniatkan dan mengerjakannya.
 Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran)
padanya dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain, maka dia butuh
kesempurnaan hidayah padanya.
 Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran)
padanya secara asal (garis besar), tapi tidak secara detail, sehingga dia
butuh hidayah (pada) perincian (perkara-perkara tersebut).
 Atau jalan (kebenaran) yang dia telah mendapat hidayah kepadanya, tapi
dia membutuhkan hidayah lain di dalam (menempuh) jalan tersebut.
Karena hidayah (petunjuk) untuk mengetahui suatu jalan berbeda
dengan petunjuk untuk menempuh jalan tersebut. Bukankah anda
pernah mendapati seorang yang mengetahui jalan (menuju) kota tertentu
yaitu jalur ini dan itu, akan tetapi dia tidak bisa menempuh jalan tersebut
(tidak bisa sampai pada tujuan)? Karena untuk menempuh perjalanan itu
sendiri membutuhkan hidayah (petunjuk) yang khusus, contohnya
(memilih) perjalanan di waktu tertentu dan tidak di waktu lain, mengambil
(persediaan) di tempat tertentu dengan kadar yang tertentu, serta
singgah di tempat tertentu (untuk beristirahat) dan tidak di tempat lain.
Petunjuk untuk menempuh perjalanan ini terkadang diabaikan oleh orang
yang telah mengetahui jalur suatu perjalanan, sehingga (akibatnya)
diapun binasa dan tidak bisa mencapai tempat yang dituju.
 Demikian pula perkara-perkara yang dia butuh untuk mendapatkan
hidayah dalam mengerjakannya di waktu mendatang sebagaimana dia
telah mendapatkannya di waktu yang lalu.
 Dan perkara-perkara yang dia tidak memiliki keyakinan benar atau
salahnya (perkara-perkara tersebut), maka dia membutuhkan hidayah
(untuk mengetahui mana yang) benardalam perkara-perkara tersebut.
 Dan perkara-perkara yang dia yakini bahwa dirinya berada di atas
petunjuk (kebenaran) padanya, padahal dia berada dalam kesesatan
tanpa disadarinya, sehingga dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk
meninggalkan keyakinan salah tersebut.
 Dan perkara-perkara yang telah dikerjakannya sesuai dengan hidayah
(kebenaran), tapi dia butuh untuk memberi bimbingan, petunjuk dan
nasehat kepada orang lain untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut
(dengan benar). Maka ketidakperduliannya terhadap hal ini akan
menjadikannya terhalang mendapatkan hidayah sesuai dengan (kadar)
ketidakperduliannya, sebagaimana petunjuk, bimbingan dan nasehatnya
kepada orang lain akan membukakan baginya pintu hidayah, karena
balasan (yang Allah Y berikan kepada hamba-Nya) sesuai dengan jenis
perbuatannya”3.

Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir ketika menjawab pertanyaan sehubungan
dengan makna ayat di atas: bagaimana mungkin seorang mukmin selalu
meminta hidayah di setiap waktu, baik di dalam shalat maupun di luar shalat,
padahal dia telah mendapatkan hidayah, apakah ini termasuk meminta sesuatu
yang telah ada pada dirinya atau tidak demikian?

Imam Ibnu Katsir berkata: “Jawabannya: tidak demikian, kalaulah bukan karena
kebutuhan seorang mukmin di siang dan malam untuk memohon hidayah maka
Allah tidak akan memerintahkan hal itu kepadanya. Karena sesungguhnya
seorang hamba di setiap waktu dan keadaan sangat membutuhkan
(pertolongan) Allah Ta’ala untuk menetapkan dan meneguhkan dirinya di atas
hidayah-Nya, juga membukakan mata hatinya, menambahkan kesempurnaan
dan keistiqamahan dirinya di atas hidayah-Nya.Sungguh seorang hamba tidak
memiliki (kemampuan memberi) kebaikan atau keburukan bagi dirinya sendiri
kecuali dengan kehendak-Nya, maka Allah Ta’alamembimbingnya untuk
(selalu) memohon kepada-Nya di setiap waktu untuk menganugerahkan
kepadanya pertolongan, keteguhan dan taufik-Nya. Oleh karena itu, orang
yang beruntung adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’alauntuk (selalu)
memohon kepadanya, karena Allah Ta’ala telah menjamin pengabulan bagi
orang yang berdoa jika dia memohon kepada-Nya, terutama seorang yang
sangat butuh dan bergantung kepada-Nya (dengan selalu bersungguh-
sungguh berdoa kepada-Nya) di waktu-waktu malam dan di tepi-tepi siang” 4.

Makna, hakikat dan macam-macam hidayah


Hidayah secara bahasa berarti ar-rasyaad (bimbingan) dan ad-
dalaalah (dalil/petunjuk) 5.
Adapun secara syar’i, maka Imam Ibnul Qayyim membagi hidayah yang
dinisbatkan kepada Allah Ta’ala menjadi empat macam:

1. Hidayah yang bersifat umum dan diberikan-Nya kepada semua makhluk,


sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:

{8‫ه ُث َّم َه َدى‬8ُ ‫الَّذِي أَعْ َطى ُك َّل َشيْ ٍء َخ ْل َق‬ ‫} َقال ََر ُّب َنا‬

“Musa berkata: “Rabb kami (Allah Ta’ala) ialah (Rabb) yang telah memberikan
kepada setiap makhluk bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk”
(QS Thaahaa: 50).

Inilah hidayah (petunjuk) yang Allah Ta’ala berikan kepada semua makhluk


dalam hal yang berhubungan dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup
mereka dalam urusan-urusan dunia, seperti melakukan hal-hal yang
bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang membinasakan untuk kelangsungan
hidup di dunia.

2. Hidayah (yang berupa) penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik
dan jalan yang buruk, serta jalan keselamatan dan jalan kebinasaan. Hidayah
ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna, karena ini hanya
merupakan sebab atau syarat, tapi tidak mesti melahirkan (hidayah
Allah Ta’ala yang sempurna). Inilah makna firman Allah:

{8‫ َعلَى ْال ُه َدى‬8‫}وأَمَّا َثمُو ُد َف َه َد ْي َنا ُه ْم َفاسْ َت َحبُّوا ْال َع َمى‬
َ

“Adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih
menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk” (QS Fushshilat: 17).

Artinya: Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mereka (jalan kebenaran) tapi
mereka tidak mau mengikuti petunjuk.

Hidayah inilah yang mampu dilakukan oleh manusia, yaitu dengan berdakwah
dan menyeru manusia ke jalan Allah, serta menjelaskan kepada mereka jalan
yang benar dan memperingatkan jalan yang salah, akan tetapi hidayah yang
sempurna (yaitu taufik) hanya ada di tangan Allah Ta’ala, meskipun tentu saja
hidayah ini merupakan sebab besar untuk membuka hati manusia agar mau
mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dengan taufik-Nya.

Allah Ta’ala berfirman tentang Rasul-Nya:

ٍ ‫ إِلَى صِ َراطٍ مُسْ َتق‬8‫ك لَ َت ْه ِدي‬


{‫ِيم‬ َ ‫}وإِ َّن‬
َ

“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-


benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus”
(QS asy-Syuuraa: 52).
3. Hidayah taufik, ilham (dalam hati manusia untuk mengikuti jalan yang benar)
dan kelapangan dada untuk menerima kebenaran serta memilihnya. inilah
hidayah (sempurna) yang mesti menjadikan orang yang meraihnya akan
mengikuti petunjuk Allah Ta’ala. Inilah yang disebutkan dalam firman-Nya:

َ ‫ل َمنْ َي َشا ُء َو َي ْهدِي َمنْ َي َشا ُء َفال َت ْذ َهبْ َن ْف ُس‬8ُّ ِ‫}فإن هللا يُض‬
{ٍ‫ك َعلَي ِْه ْم َح َس َرات‬

“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi


hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir: 8).

Dan firman-Nya:

8َ ‫ ُه َدا ُه ْم َفإِنَّ هَّللا َ ال َي ْهدِي َمنْ يُضِ ُّل َو َما لَ ُه ْم مِنْ َناصِ ِر‬8‫}إِنْ َتحْ ِرصْ َعلَى‬
{‫ين‬

“Jika engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) sangat


mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah
tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya dan mereka
tidak mempunyai penolong” (QS an-Nahl: 37).

Juga firman-Nya:

َ ‫ْت َولَكِنَّ هَّللا َ َي ْهدِي َمنْ َي َشا ُء َوه َُو أَعْ لَ ُم ِب ْال ُم ْه َتد‬
{‫ِين‬ َ ‫ َت ْهدِي َمنْ أَحْ َبب‬8‫ك ال‬
َ ‫}إِ َّن‬

“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) tidak


dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah
memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia yang lebih
mengetahui tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS al-
Qashash: 56).

Maka dalam ayat ini Allah menafikan hidayah ini (taufik) dari
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan menetapkan bagi
beliau Shallallahu’alaihi Wasallam hidayah dakwah (bimbingan/ajakan kepada
kebaikan) dan penjelasan dalam firman-Nya:

ٍ ‫ إِلَى صِ َراطٍ مُسْ َتق‬8‫ك لَ َت ْه ِدي‬


{‫ِيم‬ َ ‫}وإِ َّن‬
َ

“Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-


benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus”
(QS asy-Syuuraa: 52).

4. Puncak hidayah ini, yaitu hidayah kepada Surga dan Neraka ketika
penghuninya digiring kepadanya.

Allah Ta’ala berfirman tentang ucapan penghuni Surga:

ْ ‫ أَنْ َه َدا َنا هَّللا ُ لَ َق ْد َجا َء‬8‫ِي لَ ْوال‬


{ ‫ت ُر ُس ُل َر ِّب َنا ِب ْال َح ِّق‬ 8َ ‫ ُك َّنا لِ َن ْه َتد‬8‫ الَّذِي َه َدا َنا لِ َه َذا َو َما‬8ِ ‫}و َقالُوا ْال َح ْم ُد هَّلِل‬
َ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan
kami tidak akan mendapat hidayah (ke Surga) kalau sekiranya Allah tidak
menunjukkan kami” (QS al-A’raaf: 43).

Adapun tentang penghuni Neraka, Allah Ta’ala berfirman:

ْ
ِ ‫ صِ َراطِ ال َجح‬8‫ون هللاِ َفاهْ ُدو ُه ْم إِلَى‬
{‫ِيم‬ ِ ‫مِنْ ُد‬ .‫ون‬ َ ‫ِين َظلَمُوا َوأَ ْز َو‬
َ ‫ َيعْ ُب ُد‬8‫ َكا ُنوا‬8‫اج ُه ْم َو َما‬ َ ‫ش ُروا الَّذ‬
ُ ْ‫}اح‬

“Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman-teman yang bersama


mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah, lalu tunjukkanlah
kepada mereka jalan ke Neraka” (QS ash-Shaaffaat: 22-23)” 6.

Dari sisi lain, Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi hidayah menjadi dua:

1. Hidayah yang bersifat mujmal (garis besar/global), yaitu hidayah kepada


agama Islam dan iman, yang ini dianugerahkan-Nya kepada setiap
muslim.
2. Hidayah yang bersifat rinci dan detail, yaitu hidayah untuk mengetahui
perincian cabang-cabang imam dan islam, serta pertolongan-Nya untuk
mengamalkan semua itu. Hidayah ini sangat dibutuhkan oleh setiap
mukmin di siang dan malam” 7.

(bersambung ke artikel “Sebab Datang dan Hilangnya Hidayah Allah“)

Anda mungkin juga menyukai