Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

CV Citra Palapa Mineral merupakan salah satu perusahaan yang bergerak


dibidang penambangan tanah urug. Secara administratif, wilayah CV Citra Palapa
Mineral berada di Desa Bukit Batu, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten
Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat. CV Citra Palapa Mineral saat ini sedang
dalam proses perencanaan tambang dimana didalam perencaan tambang harus ada
perencanaan reklamasi. (UU No. 78 Tahun 2010)

Penambangan tanah urug dilakukan dengan sistem tambang terbuka


dengan metode quarry. Dimana sistem ini sangat terkait dengan perubahan
bentang alam dengan kerusakan lingkungan. Kerusakan alam erat kaitannya
dengan hilangnya vegetasi telah menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur
tata air, pengendali erosi dan banjir, sumber keanekaragaman hayati, penyerap
karbon, pemasok oksigen, pengatur suhu, lingkungan dan lain-lain. Kerusakan
tanah mengakibatkan berubahnya sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

Perusahaan wajib melakukan reklamasi untuk meminimalisir dampak


negatif yang muncul, sebagaimana yang telah dijelaskan pada UU No. 4 Tahun
2009 pada BAB 1 pasal 1 ayat (26) bahwa “Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan,
dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali
sesuai peruntukannya”.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri


Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 tahun 2014 tentang reklamasi telah
disampaikan bahwa setiap pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi
dalam hal ini perusahaan suatu tambang wajib memiliki rencana kegiatan
reklamasi tambang dan melaksanakan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang
jika tambangnya telah memasuki masa akhir tambang yang berprinsip pada

1
2

pengelolaan lingkungan hidup, agar pada akhir kegiatan penambangan lahan


tersebut dapat menjadi lahan yang bermanfaat bagi perusahaan ataupun
masyarakat sekitar. Oleh karena itu perlu adanya pengkajian mengenai kegiatan
reklamasi ini agar dapat berjalan efektif dan efisien.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan perencanaan reklamasi yang benar


sehingga dapat mengembalikan fungsi lahan sesuai peruntukkannya. Oleh karena
itu, penulis ingin mengangkat beberapa masalah dalam penelitian ini dengan judul
“Rencana Teknis Reklamasi Pada Tambang tanah urug CV Citra Palapa Mineral
Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.”

1.2. Perumusan Masalah


Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah perusahaan sudah merencanakan reklamasi?
2. Pola reklamasi yang sesuai denganan perencanaan reklamasi di CV Citra
Palapa Mineral?
3. Bagaimana perencanaan dan biaya yang digunakan?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui perencanaan reklamasi di CV Citra Palapa Mineral
2. Menentukan pola reklamasi yang sesuai dengan kondisi lingkungan
tambang.
3. Mengetahui jumlah perencanaan dan biaya reklamasi yang akan
digunakan.

1.4. Batasan Masalah


Agar pembahasan ini tidak meluas makan batasan dalam penulisan ini
adalah:
1. Perencanaan reklamasi dilakukan pada 5 tahun pertama.
2. Reklamasi dilakukan pada lahan bekas penambangan.
3

1.5. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan dijadikan
sebagai referensi bagi perusahaan dalam melakukan kegiatan reklamasi.
2. Bagi peneliti, manfaaat dari penelitian ini adalah dapat mengetahui
tahapan pelakasanaan Reklamasi dan diharapkan mampu menerapkan ilmu
yang diperoleh.

.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian


2.1.1. Batas wilayah Administrasi
Lokasi penelitian perusahaan pertambangan berada di Dusun Desa Batu
Kecamatan Sui. Kunyit Kabupaten Mempawah yang letaknya berbatasan
langsung dengan Kabupaten Bengkayang secara administratif batas wilayah
kecamatan sungai kunyit adalah sebagai berikut:

1. Batas utara : Kab. Bengkayang.


2. Batas Timur : Kec. Sadaniang.
3. Batas Selatan : Kec. Mempawawah Hilir.
4. Batas Barat : Selat Karimata (Kecamatan Sungai Kunyit Dalam
Angka,2018)

Lokasi usaha dan/atau kegiatan proyek penambangan Tanah Urug CV


Citra Palapa Mineral ini berada di Desa Batu Kecamatan Sungai Kunyit
Kabupaten Mempawah Provinsi Kalimantan Barat.Secara geografis lokasi
penelitian ini dibatasi oleh koordinat sebagai berikut

Tabel 2.1. Koordinat Wilayah Izin Usaha Pertambangan CV. Citra Palapa
Mineral

No Garis Bujur (BT)   Garis Lintang  


Titik Derajat Menit Detik Derajat Menit Detik LU/LS
1 108 56 31,9 0 31 10 LU
2 108 56 44 0 31 10 LU
3 108 56 44 0 30 46,8 LU
4 108 56 31,9 0 30 46,8 LU
Sumber : Dokumen Studi Kelayakan CV. Citra Palapa Mineral, 2018.

4
Sumber : CV. Citra Palapa Mineral, 2018

Gambar 2.1. Peta Batas IUP CV. Citra Palapa Mineral

5
6

2.1.2. Luas Wilayah Penelitian


Luas areal Pertambangan CV. Citra Palapa Mineralberdasarkan izin usaha
Pertambangan eksplorasi (WIUP) yang diterbitkan oleh Kepala Dinas
Pertambangan Provinsi Kalimantan Barat Nomor : 843/DESDM-B.1/2018 tanggal
30 April 2018 dengan luasan 26,8 hektar. Setelah melakukan serangkaian survey
tinjau pada lokasi yang dimaksud, kemudian kami melakukan pengajuan
permohonan peningkatan dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) menjadi
Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi. Melalui proses persyaratan maka
diterbitkan Izin Usaha pertambangan (IUP) Eksplorasi yang diterbitkan oleh
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi
Kalimantan Barat dengan Surat Keputusan Nomor : 503/ 57/
MINERBA/DPMPTSP-C.1/2018 pada tanggal 17 September 2018 dengan luasan
26,8 hektar.
Sumber : CV. Citra Palapa Mineral, 2018.
Gambar 2.2. Peta Layout Sequen Penambangan CV. Citra Palapa Mineral
8

2.1.3. Kesampaian Lokasi Penelitian


Secara administratif, wilayah IUP CV.Citra Palapa Mineral berada di Desa
Batu Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah dengan luas IUP daerah
sebesar 26,8 Ha.Lokasi tersebut dapat ditempuh dari Kota Pontianak dengan jalur
darat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat menuju Sungai
Kunyit dengan waktu tempuh ±2 jam, kemudian dilanjutkan menuju lokasi quarry
di Desa Batu dengan jarak 3,8 Km. Kondisi Prasarana transportasi dari pontianak
menuju Sungai Kunyit ini merupakan jalan Provinsi yang sebagian besar beraspal
baik dengan kondisi jalan hotmix.

Sumber : CV. Citra Palapa Mineral, 2018

Gambar 2.3. Peta Kesampaian Lokasi CV. Citra Palapa Mineral

2.2 Kondisi Fisik Wilayah Rencana Penelitian


2.2.1 Kondisi Geologi

Berdasarkan data penelitian yang telah dilakukan oleh N.Suwarna (GRDC)


dan R.P.Langford (AGSO) bahwa pembahasan kerangka geologi daerah
penyelidikan termasuk dalam lembar singkawang skala 1:250.000.

Sejarah Geologi mengatakan selama trias akhir, formasi banan tergolok


didalam lingkungan laut dangkal sampai dengan laut terbuka, dekat dengan
9

sumber batuan gunung api asam. Batuan asal dari batuan didekatnya yang
diendapkan dalam waktu yang sama yaitu formasi sadong di Serawak,
mendukung aspek tumbuh asal pasifik, yang serupa dengan tumbuhan dari
Vietnam (Hutchinson 1989) yang merupakan bukti penting terhadap asal Daratan
Gondwanan untuk Kalimantan Barat Laut.
Pada waktu jura awal, kedalaman laut di Singkawang bertambah, seperti
diperlihatkan oleh kemungkinan terbidit yang membentuk formasi Sungai
Betung;Kelanjutan gunung api yang diperlihatkan oleh tufa dibagian atas satuan
ini memberikan dugaan dekat satuan tepian lempeng aktif.Jarum jam, mungking
menghadap suatu samudera pasifik moyang(ancestral).
Dibandingkan dengan sumbat Gabro Biwa yang menerobos bagian utara
batolit schwaner di Nangataman, Gabro setinjam mungkin teralih tempatkan pada
kapur akhir. Perlapisannya dan juga kenaikan yang tetap dari landaian gaya berat
kearah singkapan tunggalnya, memberikan dugaan bahwa ini mewakili material
kerak yang dalam.
Kemungkinan perenggangan kerak pada pertengahan Eosen di Kalimantan
Barat Laut menimbulkan pengalih tempatan batuan Gunung api Serentak dan
batuan terobosan Dasit Bawang yang berkaitan. Batuan Gunung api nya dan tufa
piabung yang kelihatannya seumur berlitologi serupa lebih jauh ketimur
dipercayai mencerminkan perenggangan kerak yang mengawali cekungan
sedimen tersier awal bagian dalam. (Dokumen Studi Kelayakan CV. Citra Palapa
Mineral).

2.2.2 Geologi Regional


Kabupaten Mempawah secara geologi terbagi menjadi alluvial, andesit,
arenit kuarsa, diorite, formasi hamisan, granodiorit dan granodiorit mensibau.
Berdasarkan 9 (sembilan) kecamatan yang ada di Kabupaten Mempawah, kondisi
geologi yang paling dominan adalah aluvial yaitu terdapat di Kecamatan Sungai
Kunyit, Mempawah Hilir, Mempawah Timur, Sungai Pinyuh, Segedong, Siantan
dan Anjongan. Sedangkan untuk Kecamatan Sadaniang yang paling dominan
adalah arenit kuarsa.
10

Sumber : CV. Citra Palapa Mineral, 2018


Gambar 2.4. Peta Geologi Lembar Singkawang
11

2.2.3 Jenis Batuan

Jenis tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Mempawah adalah


aluvial, organosol, low humid clay, dan litosol. Pada bagian wilayah pantai, jenis
tanah yang dominan adalah tanah aluvial dan organosol. Dari keseluruhan wilayah
Kabupaten Mempawah, secara garis besar jenis tanahnya dapat di bagi sebagai
berikut : (Pokja AMS Kab. Mempawah, 2015)
1. Tanah Alluvial
Yang di usahakan sebahagian besar oleh pantai untuk sawah tadah hujan
dan kebun kelapa. Jenis ini sebahagian besar terdapat di daerah pantai
seperti Kecamatan Sungai Kunyit, Sungai Pinyuh dan Mempawah Hilir.
2. Tanah Organosal
Merupakan daerah yang terluas di Kabupaten Mempawah yang meliputi
Kecamatan Sungai Kunyit, Mempawah Hilir, Sungai Pinyuh, Siantan dan
Toho.
3. Tanah Low Humic Clay
Merupakan jenis tanah yang tidak begitu luas, jenis tanah ini terdapat
sedikit di daerah Kecamatan.
2.2.4 Stratigrafi Regional
Berdasarkan pada pembagian zona di peta Geologi Lembar Singkawang
dengan skala 1 : 250.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Bandung Tahun 1993, stratigrafi yang menempati
wilayah lokasi penambangan yaitu daerah perbukitan yang menempati satuan
batuan granitik atau formasi batuan terobosan granodiorit (Klm).
Formasi batuan ini terdiri dari granodiorit, granodiorit hornblend-biotit,
ademelit, tonalit, monzogranit, syenogranit, tonalit diorit kuarsa, monzoit kuarsa
granit dan aplit, kemagnetan sedang sampai kuat, umumnya terubah dan
termodifikasi, setempat tergeruskan kuat, terlimonitkan dan terbreksikan,
mengandung batuan asing (senolit) batuan gunung api dan sedimen, berbutir
sedang dan equgranular batuan ini berupa batolit dan sedikit retas dan stock,
menerobos Batuan Gunung Api Kerabai, Betupasir Bengkayang dan kompleks
Batuan Beku dan Malihan Embuoi. Berumur 87 sampai 128 juta tahun yang lalu
12

(kapur awal). Satuan batuan ini merupakan satuan batuan tertua dan banyak
tersingkap di seluruh daerah penyelidikan. Secara genesis menerobos satuan
batuan diatasnya.

2.2.5 Topografi Regional


Kabupaten Mempawah pada umumnya merupakan dataran rendah,
perbukitan dan pesisir pantainya berawa – rawa. Wilayah ini didominasi oleh
kemiringan lereng 0-8 % atau < 8% dan ketinggian antar 0 - 200 mdpl. Wilayah
dengan kemiringan lereng 0-8 % terdapat di Kecamatan Sungai Kunyit,
Mempawah Hilir, Mempawah Timur, Sungai Pinyuh, Segedong dan Siantan. Luas
wilayah Kabupaten Mempawah berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng adalah
seperti pada tabel 2.4. di bawah ini. (Pemerintah Kab. Mempawah, 2015)

Tabel 2.2. Luas Kemiringan Lahan (rata-rata) Kabupaten Mempawah


No. Kemiringan Luas (Ha)
1. Datar (0 - 8%) 149.948
2. Landai (9 - 15%) 12.644
3. Agak curam (16 - 25%) 28.042
4. Curam (26 - 45%) 2.862
5. Sangat curam (>46%) 14.331
Jumlah 207.789
Sumber: RTRW Kabupaten Mempawah 2014 - 2034

Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL)


pada tahun 2002 telah menyusun Standard Nasional Indonesia untuk satuan
pemetaan geomorfologi berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan oleh Van
Zuidam (1983) selaras dengan skala peta yang digunakan untuk melakukan
pemetaan geomorfologi. Klasifikasi satuan pemetaan geomorfologi tersebut
bersifat holistik (holositic), artinya klasifikasi tersebut dapat dimanfaatkan pada
setiap bidang kajian ilmu kebumian, seperti geologi, geografi, ilmu tanah,
perencanaan wilayah dan tata ruang.
13

Tabel 2.3. Pembagian Satuan Morfologi Berdasarkan “Van Zuidam”


Satuan Relief Kelas Lereng Ketinggian
Dataran atau sangat datar 0–2% <5m
Bergelombang/ Lereng sangat Landai 3–7% < 5-50 m
Bergelombang - bukit landau 8 – 13 % < 25-75 m
Perbukitan curam 14 – 20 % < 50-200 m
Perbukitan sangat curam 21 – 55 % < 200-500 m
Pegunungan curam 56 – 140 % < 500-1.000 m
Pegunungan sangat curam >140 % < 1.000 m
Sumber : (Verstappen dan Van Zuidam, 1968 dan 1975
14

Sumber : CV. Citra Palapa Mineral, 2018

Gambar 2.5. Peta Geologi Daerah Penilitian CV. Citra Palapa Mineral
15

Berdasarkan peta diatas, daerah penelitian termasuk dalam daerah


geologi sebagai berikut:
1. Endapan Alluvial dan Rawa (Qa)
Endapan Alluvial (Qa), Formasi ini mewakili bagian dari timur sampai
selatan daerah penyelidikan. Pasir, kerikil, dan bongkahan. Berasal
dari batuan malihan, batuan bersifat granit dan kuarsif lepas.
Dibeberapa tempat ditemukan lumpur pasir dan tanah liat mengandung
lignitdan limonit. Atuan yang mengeras juga ditemukan terletak di
antar 40 – 50 m diatas permukaan sungai sekarang. Batuan-batuan
tersebut terdapat sebagai endapan sungai, undak dan rawa. Satuan
alluvium ini merupakan endapan kuarter yang terdapat pada daerah-
daerah lembah dan dataran. Satuan ini terdiri dari lumpur, pasir, kerikil
dan sisa-sisa tumbuhan.
2. Mensibau Granodiorite (Klm)
Mensibau Granodiorite (Klm), singkapan satuan ini mendominasi
baratdaya daerah Penyelidikan, intrusinya meliputi granodiorite,
tonalit, diorit kuarsa, granit dan monzonit yang sering terlihat teromba
dan teralterasi. Satuan intrusi ini menjadi bagian dari batolit
Singkawang.

2.2.5 Kondisi Topografi


Kondisi rona lingkungan hidup awal bahwa bentang alam(morfologi dan
topografi) wilayah studi khususnya di rencana bukaan tambang/quarry adalah
berupa perbukitan bergelombang sedang dengan beda ketinggian berkisar
antara<10-50 m dari permukaan laut.
Dengan adanya kegiatan penambangan batu, maka akan menyebabkan
terjadinya perubahan morfologi lahan seperti bentuk dan kemiringan lereng.
Perubahan secara mendasar terhadap bentuk dan ketinggian daerah (morfologi)
yaitu berupa perubahan dari bukit menjadi dataran ataupun cekungan. Walaupun
tindakan penimbunan kembali(backfill) dilakukan namun karena jumlah tanah
16

penutup lebih sedikit dibandingkan dengan ketebalan dan jumlah cadangan


batunya tentu saja tidak akan mengembalikan bentang alam ke bentukkan awalnya
atau terjadi penurunan elevasi bentang alam.
Sesuai dengan metode penambangan, pengelolaan tanah penutup akan
dilakukan secara backfill, yaitu menutup bukaan tambang dengan tanah penutup
bukaan tambang lainnya sesuai kemajuan penambangan. Pada akhir penambangan
nantinya, bekas quarry tidak seluruhnya dilakukan penimbunan backfill namun
ada beberapa lubang yang akan dibiarkan sebagai kolam bila itu terjadi cekungan.
Hal tersebut dilakukan atas dasar permintaan dan kesepakatan dengan
masyarakat/pemilik lahan yang akan menggunakan kolam tersebut untuk
budidaya ikan.
Sedangkan areal bekas tambang datar yang tidak dijadikan kolam, maka
akan ditutup kembali oleh tanah penutup dan tanah pucuk sehingga pada akhir
penambangan morfologi areal bekas tambang dapat dipergunakan sesuai
peruntukkan yang direncanakan selanjutnya.

Sumber : CV. Citra Palapa Mineral, 2018

Gambar 2.5. Peta Topografi Daerah Penelitian CV.Citra Palapa Mineral


17

2.3 Tinjauan Teoritis


2.3.1 Pengertian Tanah urug

Tanah Urug atau sering disebut juga dengan tanah merah merupakan


tanah yang berwarna merah hingga coklat yang terbentuk pada ligkungan yang
lembab, dingin,dan mugkin genangan-genangan air, Secara spesifik tanah merah
memiliki profil tanah yang dalam,mudah menyerap air memiliki kandungan bahan
organik yang sedang dan pH netral hingga asam dan banyak mengandung zat besi
dan aluminium sehingga baik digunakan pondasi bangunan karena mudah
menyerap air. Tekstur tanah merah relative padat dan kokoh untuk menopang
bangunan diatasnya dan sering di gunakan untuk lahan perkebunan palawija,
jagung, kelapa sawit, karet, cengkih, cokelat, kopi,) Jenis tanah ini terdapat mulai
dari tepi pantai yang landau sampai dengan pegunungan yang tinggi dengan iklim
agak kering sampai basah Persebaran mayoritas meliputi sebagian besar lahan
yang ada di Indonesia.

2.3.2 Reklamasi
Kegiatan pertambangan dengan teknik tambang terbuka (surface mining)
telah menyebabkan perubahan bentang alam yang meliputi topografi, vegetasi
penutup, pola hidrologi, dan kerusakan tubuh tanah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan reklamasi yang tepat. Artinya, reklamasi harus diperlakukan sebagai
satu kesatuan yang utuh dari kegiatan pertambangan dan kegiatan reklamasi,
dilakukan sedini mungkin, dan tidak menunggu proses pertambangan selesai.
(Sudjatmiko, 2009).
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha
pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan
dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya (Permen
ESDM No. 7 Tahun 2014). Reklamasi merupakan bentuk tanggung jawab suatu
industri pertambangan terhadap lingkungan karena pertambangan memiliki asas
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, social, dan ekonomi ke
dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
18

keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan (UU No. 32 Tahun 2009).

Prinsip dasar kegiatan reklamasi meliputi :


1. Kegiatan reklamasi harus dianggap sebagai kesatuan yang utuh (holistic) dari
kegiatan penambangan.
2. Kegiatan reklamasi harus dilakukan sedini mungkin dan tidak harus
menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan.

2.3.3 Landasan Hukum Reklamasi


Program reklamasi dalam kegiatan pertambangan adalah hal mutlak yang
harus dilakukan. Pada pelaksanaan kegiatan pertambangan selalu dihadapkan pada
dua kenyataan yang bertentangan yaitu disatu pihak membutuhkan sumber daya
mineral yang tidak dapat diperbarui dan dilain pihak kegiatan pertambangan
mengorbankan sumber alam dan lingkungan sekitarnya bila tidak dikelola dengan
baik. Untuk mengendalikan dampak negatif kegiatan penambangan, sekaligus
mengupayakan pembangunan sektor pertambangan berwawasan lingkungan,
maka kegiatan penambangan yang berdampak besar dan penting diwajibkan
mengikuti peraturan perundangan yang mengatur pengendalian dampak negatif
penambangan.
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2010 tentang
Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya
Mineral Nomor 7 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang,
bahwa setiap pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi dalam hal ini
perusahaan suatu tambang wajib memiliki rencana kegiatan reklamasi tambang
dan melaksanakan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang jika tambangnya telah
memasuki masa akhir tambang yang berprinsip pada pengelolaan lingkungan
hidup.
Demikian juga pasal 6 UU No. 23 Tahun 1998 (Undang-undang Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup), yang menyatakan : “setiap orang berkewajiban
memeliharan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. Kewajiban
19

pelaksanaan kegiatan reklamasi pasca penambangan di wilayah negara Indonesia,


berdasarkan pada peraturan-peraturan yang ada.
Mengacu pada regulasi pemerintah tentang pertambangan berdasar
Undang – Undang Mineral dan Batubara No. 4 tahun 2009, mewajibkan setiap
perusahaan tambang melakukan reklamasi, dan secara rinci diatur pada Peraturan
Pemerintah nomor 78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pasca tambang. Proses
reklamasi bekas tambang diharapkan dapat melibatkan peran masyarakat agar
dapat menyentuh dari sisi sosial, ekonomi, budaya dan politik yang berkembang
di masyarakat.

Prinsip dasar reklamasi adalah bahwa :


1. Kegiatan reklamasi harus dianggap sebagai kesatuan yang utuh dari
kegiatan penambangan.
2. Kegiatan reklamasi harus dilakukan sedini mungkin dan tidak harus
menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan.
Reklamasi adalah usaha sadar untuk memulihkan lingkungan yang sudah
rusak akibat penambangan bagi suatu manfaat tertentu. Untuk itu usaha reklamasi
sebagai aspek penanganan lingkungan pertambangan menjadi salah satu prioritas
demi kelestarian lingkungan hidup, dalam hal ini merupakan bagian dari
konservasi sumber daya alam.

2.3.4 Metode Penambangan


Metode penambangan yang digunakan adalah Tambang terbuka dan
Backfilling. Open pit / open cut / open cast / open mine adalah tambang terbuka
yang diterapkan untuk menambang endapan bijih (ore), perbedaan open pit
dengan open cut / open cast / open mine adalah arah penggalianya. Disebut open
pit apabila penambangannya dilakukan dari permukaan relatif datar menuju
kearah bawah dimana endapan biih (ore) berada. Disebut open cut / open cast /
open mine apabila penggalian endapan bijih dilakukan pada suatu lereng bukit.
Sedangkan Backfilling adalah suatu metode penimbunan kembali material
overburden didalam lubang bukaan bekas tambang bahan galian telah selesai
diambil (Ahmad Riyad Pendra, Hartini Iskandar, Harminuke Eko Handayani).
20

2.3.5 Langkah Pelaksanaan Kegiatan reklamasi


Perencanaan reklamasi harus sudah disiapkan sebelum melakukan operasi
penambangan dan merupakan program yang terpadu dalam kegiatan operasi
penambangan. Hal-hal yang harus diperhatikan di dalam perencanaan reklamasi
adalah sebagai berikut :
1. Penataan Lahan
Reklamasi lahan bekas penambangan diawali dengan penataan
lahan yang menyangkut recountouring atau resloping lubang bekas
penambangan dengan kemiringan lereng yang stabil dan pembuatan
saluran air. Pengaturan bentuk lereng dimaksudkan untuk mengurangi
kecepatan air limpasan (run off), erosi dan sedimentasi serta longsor.
Pengaturan saluran air dimaksudkan untuk mengatur air agar mengalir
pada tempat tertentu dan dapat mengurangi kerusakan hutan. Hal tersebut
dapat dicapai dengan melakukan recountouring menggunakan tanah pucuk
yang dikupas pada saat awal penambangan.

Penimbunan kembali tanah pucuk untuk kegiatan recountouring harus


dilakukan dengan tingkat kepadatan tinggi untuk menjamin kestabilan
lereng. Namun perlu diketahui bahwa pemadatan tanah ini akan
menghambat pertumbuhan akar dan sirkulasi udara, meningkatkan laju
aliran permukaan, dan mengurangi laju infiltrasi (Iskandar, 2012). Oleh
karena itu sering kali dijumpai pada lahan reklamasi, pertumbuhan
tanaman sisi lereng lebih baik dibandingkan daerah datar. Penyebabnya,
tanah didaerah datar lebih sering dilalui oleh alat berat sehingga
menghasilkan kepadatan yang lebih dibandingkan tanah disisi lereng. Hal
yang dapat dilakukan untuk menghindari pemadatan yang berlebihan
tersebut dengan membatasi lalulintas alat berat. Alat berat hanya dapat
melewati pada daerah tertentu. Tetapi tanah yang terlanjur padat akibat
lalulintas alat berat harus digemburkan kembali.
21

2. Penyebaran Tanah Pucuk


Kegiatan penyebaran tanah pucuk dilakukan merata di seluruh
lahan yang akan direklamasi. Tanah pucuk yang digunakan diambil di
sekitar lahan yang akan direklamasi. Metode penyebaran tanah pucuk
tergantung dari volume tersedianya lapisan tanah pucuk dan dari hasil
analisis lapisan penutup yang ada (Romadhon, 2013).
1) Sistem Perataan Tanah
Cara perataan tanah diiterapkan apabila jumlah tanah pucuk dan tanah
penutup tersedia dalam jumlah yang relative banyak untuk menutupi
seluruh lahan bekas penambangan.Volume tanah yang dibutuhkan dalam
kegiatan penataan lahan dengan sistem ini tergantung pada luas area dan
ketebalan penimbunan yang diinginkan.
V=Axt (2.1)

Keterangan:
V : Volume tanah (m³)
A : Luas area (m²)
t : Ketebalan tanah (m)
2) Sistem Pot
Sistem lubang tanam atau sistem pot dilakukan dengancara
membuat lubang-lubang untuk menempatkan lapisan tanah pucuknya.
Dengan dimensi lubang sesuai ketentuan perusahaan, untuk pengisian
tanah pucuk nantinya disesuaikan dengan dimensi lubang yang dibuat
tersebut. Kedalaman lubang juga disesuaian pada jenis tanaman serta tggi
minimal bibit yang akan ditanam sehingga dapat menghindari
kemungkinan tanaman jatuh atau tercabut karena lubang tidak sesuai
dengan tinggi tanaman.
10.000 m²
n= (2.2)
St x Sb
Keterangan:
22

n : Jumlah pot Ha
St : Jarak tanam (m)
Sb : Jarak antar baris (m)
S 1 +S 2
Vp = ( 2) xhxt (2.3)

Keterangan:
S1 : Lebar penampang atas (m)
S2 : Lebar penampang bawah (m)
t : Panjang (m)
h : Kedalaman (m)

Sumber: Romadhon, 2013


Gambar 2.3. Dimensi Pot

Vt = A x n x Vp (2.4)
Keterangan:
Vt : Volume tanah (m³)
Vp : Volume Pot (m³)
N : Jumlah Guludan per Ha
A : Luas area (Ha)
3. Pengaturan Sistem Drainase
Drainase secara umum didefiniskan sebagai ilmu penyaliran air
yang berlebihan dalam suatu konteks pemanfaatan tertentu (Hasmar,
2012). Kelebihan air dapat disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi
23

dan durasi yang lama. Pengaturan drainase pada lingkungan reklamasi


dilakukan untuk menghindari terjadinya erosi dan sedimentasi.
1) Jenis-jenis Drainase
Menurut cara terbentuknya jenis-jenis drainase dibagi menjadi:
(1) Drainase muka tanah (natural drainage)
Terbentuk secara alami, tida ada unsur campur tangan manusia.
(2) Drainase buatan (artificial drainage)
Drainase yang dibentuk berdasarkan analisis ilmu drainase, untuk
menentukan debit akibat hujan, kecepatan resapan air dalam tanah
dan dimensi saluran serta memerlukan bangunan-bangunan khusus
seperti selokan pasangan batu/beton, gorong-gorong, pipa-pipa da
sebagainya.
Menurut letak saluran jenis-jenis drainase dibagi menjadi:
(3) Drainase muka tanah (surface drainage)
Saluran drainase yang berada di atas permukaan tanah yang
berfungsi mengalirkan air limpasan permukaan.
(4) Drainase bawah tanah (su-surface drainage)
Saluran drainase yang bertujan mengalirkan air limpasan
permukaan melal media di bawah permukaan tanah (pipa-pipa),
dikarenakan alas an-alasan tertentu. Alasan itu antara lain: tuntutan
artistic, tuntutan fungsi permukaan tanah yang tidak membolehkan
adanya saluran di permukaan tanah seperti lapangan sepakbola,
lapangan terbang, tanaman dan lain lain.
2) Bentuk Penampang Saluran
Bentuk-bentuk penampang saluran untuk drainase tidak jauh berbeda
dengan saluran irigasi pada umumnya. Perancangan dimensi saluran
harus diusahakan dapat membentuk dimensi yang ekonomis, sebaliknya
dimensi yang terlalu kecil akan menimbulkan permasalahan karena
daya tampung yang tidak memadai. Berikut beberapa bentuk-bentuk
saluran drainase antara lain:
(1) Trapesium
24

Pada umumnya saluran ini terbuat dari tanah akan tetapi tidak
menutup kemungkinan dibuat dari pasangan batu dan beton.
Saluran ini memerlukan cukup ruang. Berfungsi untuk menampung
dan menyalurkan limpasan air hujan serta air buangan domestik
dengan debit yang besar.

Sumber: Hasmar, 2012


Gambar 2.5. Penampang Trapesium

(2) Persegi
Saluran ini terbuat dari pasangan batu dan beton. Bentuk saluran ini
tidak memerlukan banyak ruang dan areal. Berfungsi untuk
menampung dan menyalurkan limpasan air hujan serta air buangan
domestik dengan debit yang besar.

Sumber: Hasmar, 2012


Gambar 2.6. Penampang Persegi
(3) Segitiga
Saluran ini sangat jarang digunakan tetap mungkin digunakan
dalam kondisi tertentu.

Sumber: Hasmar,2012
Gambar 2.7. Penampang Segitiga
(4) Setengah Lingkaran
25

Saluran ini terbuat dari pasangan batu atau dari beton dengan
cetakan yang telah tersedia. Berfungsi untuk menampung dan
menyalurkan air limpasan hujan serta air buangan domestik dengan
debit yang besar.

Sumber: Hasmar, 2012


Gambar 2.8. Penampang Setengah Lingkaran

3) Daerah Tangkapan Hujan (Catchment Area)


Menurut Sri Harto (1993) dalam Mafaza (2015), daerah tangkapan
hujan merupakan suatu area dimana batas wilayah tangkapannya
ditentukan dari titik-titik elevasi tertinggi sehingga akhirnya terbentuk
polygon tertutup. Pola alirannya disesuaikan dengan kondisi topografi
dengan mengikuti arah aliran air. Daerah yang lebih tinggi merupakan
daerah tangkapan (recharge area) dan daerah yang lebih rendah
merupakan daerah buangan (discharge area).

4) Analisa Curah Hujan Rencana


Analisa curah hujan dilakukan dengan menggunakan metode Gumbel,
dimana terlebih dahulu kita ambil data curah hujan bulanan yang ada,
kemudian ambil curah hujan maksimum setiap bulannya dari data
tersebut, untuk sampel bisa dibatasi jumlahnya sebanyak n data.
Tahapan-tahapan berikutnya adalah:
(1) Tentukan rata-rata curah hujan (X) maksimum (Suwandhi, 2004),
dengan rumus:
ΣCH
X= (2.5)
Σn
26

Keterangan:
X : Rata-rata curah hujan
𝞢CH : Jumlah nilai curah hujan
𝞢n : Jumlah data
(2) Tentukan standar deviasi (Suwandhi, 2004), dengan rumus:
Σ ( Xi−X )²
S=
√ (n−1)
(2.6)

Keterangan:
S : Standard Deviasi
Xi : Jumlah data curah hujan ke –i
𝞢n : Jumlah data
(3) Tentukan koreksi variansi (Suwandhi, 2004), dengan rumus:

T −1
[ [ ]⟧
Yt = - ln −ln
T
(2.7)

Keterangan:
Yt : Koreksi variansi
T : Periode Ulang Hujan
(4) Tentukan koreksi rata-rata (Suwandhi, 2004), dengan rumus:
n+ 1−m
Yn = - ln [ - ln [ n+1 ]
(2.8)
Keterangan:
Yn : Koreksi rata-rata
n : Jumlah urut data
m : Nomor urut data
(5) Rata-rata Yn (Suwandhi, 2004), dengan rumus:
ΣYn
YN = (2.9)
n
Keterangan:
YN : Rata-rata Yn
ΣYn : Jumlah nilai Yn
27

N : Jumlah data
(6) Tentukan koreksi simpangan (Suwandhi, 2004), dengan rumus:
ΣYn−YN
Sn =
√ ( n−1)
(2.10)

Keterangan:
Sn : koreksi simpangan
Yn : Nilai Yn ke-i
YN : Rata-rata nilai Yn
n : Jumlah data
(7) Tentukan curah hujan rencana (Suwandhi, 2004), dengan rumus:
S
CHR = X + x (Yt-YN) (2.11)
Sn
Keterangan:
X : Rata-rata intensitas curah hujan
S : Standard deviasi
Sn : Koreksi Simpangan
Yt : Koreksi varians
YN : Rata-rata nilai Yn
5) Intensitas Curah Hujan
Besarnya intensitas hujan kemungkinan terjadi dalam kurun waktu
tertentu dihitung berdasarkan persamaan Mononobe (Suwandhi, 2004),
yaitu:
R 24 24 2
I=
24
x
t ( ) 3
(2.12)

Keterangan:
R24 : Curah Hujan rencana per hari (24 jam)
T : Waktu konsentrasi, jam
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)

Tabel 2.7. Hubungan Derajat dan Intensitas Curah Hujan

Derajat Hujan Intensitas Curah Kondisi


28

Hujan
(mm/menit)
hujan lemah 0,02-0,05 Tanah basah semua
Hujan normal 0,05-0,25 Bunyi hujan terdengar
Air akan tergenang di seluruh
Hujan deras 0,25-1,00 permukaan dan terdengar bunyi dari
genangan
Hujan seperti ditumpahkan, saluran
Hujan sangat deras >1,00
pengairan meluap
Sumber: Suwandhi, 2004
6) Debit Air Limpasan
Debit air limpasan merupakan air hujan yang mengalir di permukaan
tanah. Metode untuk memperkirakan laju aliran permukaan umumnya
menggunakan metode rasional. Metode ini merupakan metode tertua
dalam menghitung debit dari curah hujan. Perhitungan debit air
limpasan dengan metode rasional menurut Soemarto (1987) adalah
sebagai berikut:
Q=CxIxA (2.16)
Keterangan:
Q : Debit Air Limpasan (m³/detik)
C : Koefisien Air Limpasan
I : Intensitas Curah Hujan (m/detik)
A : Luas Daerah Tangkapan Hujan (m²)

Penyerapan air limpasan dipengaruhi oleh jenis material yang


digunakan karena untuk setiap jenis material memiliki koefisien
materialnya masing-masing. Koefisien tersebut untuk memperkirakan
jumlah air hujan yang mengalir menjadi limpasan langsung di
permukaan. Koefisien limpsan dipengaruhi oleh faktor-faktor tutupan
tanah, kemiringan dan lamanya hujan (Suwandhi, 2004). Harga nilai
koefisien limpasan pada masing-masing kategori dapat dilihat pada
Tabel 2.8.
29

Tabel 2.8. Nilai Koefisian Limpasan

Kemiringan Tutupan / Jenis Lahan C


Sawa, rawa 0,2
< 3% (datar) Hutan, perkebunan 0,3
Perumahan 0,4
Hutan, perkebunan 0,4
Perumahan 0,5
3% - 15% (sedang)
Semak-semak agak jarang 0,6
Lahan terbuka 0,7
Hutan 0,6
Perumahan 0,7
> 15% (curam)
Semak-semak agak jarang 0,8
Lahan terbuka daerah tambang 0,9
Sumber: Gautama, 1993 dalam Suwandhi, 2004
7) Perhitungan Dimensi Saluran
Tinggi muka air pada saluran (H) dan lebar saluran (B) merupakan
parameter untuk menentukan luas basah saluran (Fs). Luas basah atau
desain saluran dianalisis berdasarkan debit hujan (Q) yang menjadi
debit saluran dan kecepatan aliran air pada saluran (v). perhitungan
dimensi saluran menurut Hasmar (2012) dapat dihitung menggunakan
rumus manning sebagai berikut:
Fs = Q/v (2.17)
Keterangan:
Fs : Luas basah saluran (m²)
Q : Debit air limpasan (m³/detik)
V : Kecepatan aliran air (m/detik)
30

Menurut Hasmar (2012) kecepatan aliran air pada saluran


ditentukan berdasarkan formula manning .
v = 1/n x R2 /3 x S1 /2 (2.18)
Keterangan:
v : Kecepatan aliran air di saluran (m/detik)
n : Koefisien kekerasan dinding (Tabel 2.9)
R : Radius hidrolik = Fs / Ps
S : Kemiringan saluran (%)
Tabel 2.9. Nilai Koefisien Kekerasan Manning

Bahan Koefisien Manning (n)


Besi tuang dilapis 0,014
Saluran beton 1,013
Bata dilapisi mortar 0,015
Pasangan batu disemen 0,025
Saluran tanah 0,030
Saluran dengan dasar batu dan tebing rumput 0,040
Saluran pada galian batu padas 0,040
Sumber: Hasmar, 2012

Tabel 2.10. Nilai Kemiringan Dasar Saluran

Bahan tanah Kisaran Kemiringan (%)


Batu < 0,25
Gambut kenyal 1-2
Lempung kenyal, tanah luas 1-2
Lempung pasiran, tanah pasiran
1,5- 2,5
kohesif
Pasir lanauan 2-3
Sumber: Standar Perencanaan Irigasi, 2013
Dimensi saluran drainase dapat diilustrasikan pada Gambar 2.9.

Sumber: Standar Perencanaan Irigasi, 2013

Gambar 2.9. Dimensi Saluran


31

4. Penentuan Alat Mekanis


Penentuan alat mekanis berguna untuk menentukan hasil produksi
tanah pucuk untuk menutupi lubang bukaan yang akan direklamasi.
Penentuan alat dapat ditentukan dengan mempelajari dan mengamati
keadaan lokasi penelitian, sehingga target produksi dapat terpenuhi dengan
menggunakan alat yang tepat.
Hal yang perlu diperhatikan kondisi lapangan dalam pemilihan alat
mekanis:
1) Vegetasi; keadaan tanaman atau pepohonan yang terdapat pada area
kerja seperti hutan belukar, rawa, pohon besar, dsb.
2) Daya dukung material; kemampuan material untuk menopang alat berat
di atasnya.
3) Iklim; kondisi saat hujan sangat menganggu kegiatan produksi karena
alat berat tidak akan bekerja dengan baik pada lahan becek dan lengket.
4) Kemiringan, jarak, dan keadaan jalan; hal ini akan berpengaruh pada
daya angkut alat.
5) Efisiensi kerja; pekerja dan mesin tidak selamanya bekerja dengan baik
karena hambatan akan selalu terjadi.
6) Waktu; target produksi harus terpenuhi dalam waktu yang telah
ditetapkan, sehingga keefektifan waktu harus diperhatikan dalam proses
produksi.
7) Ongkos produksi; seperti ongkos asuransi, depresiasi, pajak, upah
pengemudi, ongkos perawatan, pembelian suku cadang, dll.
Kemampuan produksi alat dapat dinilai dari kemampuan memindahkan
material per siklus. Siklus kerja adalah proses gerakan dari suatu alat
dari gerakan mulanya sampai kembali lagi pada gerakan mula tersebut
(Nurhakim, 2004). Produksi Alat Gali Muat
8) Produksi Per Siklus (Nurhakim, 2004)
q = q 1x K (2.19)
Keterangan:
32

q : Produksi per siklus (m³)


q1 : Kapasitas munjung (lihat spesifikasi alat) (m³)
K : Faktor pengisian bucket (Tabel 2.11)

Tabel 2.11. Faktor Pengisian Bucket Excavator

Kondisi pemuatan Faktor


Pemuatan material dari stockpile atau dari material
yang telah dikeruk oleh excavator lain, dengan tidak
Pemuatan
memerlukan lagi daya gali dan bahan dapat 1,0 – 0,8
ringan
munjung di dalam bucket, pasir, tanah berpasir,
tanah colloidal memiliki kadar air sedang, dsb.
Pemuatan dari stockpile tanah lepas yang lebih
sukar dikeruk dan dimasukkan ke dalam bucket
Pemuatan
tetapi dapat dimuat sampai hampir munjung: pasir 0,8 – 0,6
sedang
kering, tanah berpasir, tanah bercampur tanah liat,
tanah liat, gravel yang belum disaring, pasir padat.
Pemuatan batu belah atau batu cadas belah, tanah
liat yang keras, pasir bercampur gravel, tanah
Pemuatan berpasir, tanah colloidal yang liat, tanah liat dengan
0,6 – 0,5
Agak Sulit kadar air yang tinggi, bahan tersebut ada pada
stockpile sulit untuk mengisi bucket dengan
material-material tersebut.
Batu bongkah besar-besar dengan bentuk tidak
beraturan dengan banyak ruangan di antara
Pemuatan tumpukannya, batu hasil ledakan, batu-batu bundar
0,5 – 0,4
Sulit yang besar-besar, pasir bercampur batu besar, tanah
berpasir, tanah campur lempung, tanah liat yang
tidak bisa dimuat-gusur ke dalam bucket.
Sumber: Nurhakim, 2004
Standar cycle time Komatsu Hydraulic Excavator dipengaruhi oleh sudut
putarnya dan faktor konversinya. Standar cycle time Komatsu Hydraulic
Excavator dapat dilihat pada Tabel 2.12. dan faktor konversi untuk excavator
dapat dilihat pada Tabel 2.13.
33

Tabel 2.12. Standar Cycle Time Komatsu Hydraulic Excavator

Range Swing Angle Range Swing Angle


Model 45°- 90° 90°-180° Model 45°- 90° 90°-180°
PC78 10 – 13 13 – 16 PC270, PC290 15 – 18 18 – 21
PW148 11 – 14 14 – 17 PC300, PC350 15 – 18 18 – 21
PC130, PC128US 11 – 14 14 – 17 PC400, PC450 16 – 19 19 – 22
PC160 13 – 16 16 – 19 PC600, PC700 17 – 20 20 – 23
PC750,
PW160, PW180 13 – 16 16 – 19 18 – 21 21 – 24
PC800, PC850
PC180 13 – 16 16 – 19 PC1250 22 – 25 25 – 28
PC200,
13 – 16 16 – 19 PC2000 24 - 27 27 – 30
PC210,PC228US
PW200, PW220 14 – 17 17 – 20
PC220, PC230,
14 – 17 17 – 20
PC240
Sumber: catalog alat berat, 2013

Tabel 2.13. faktor konversi untuk Excavator

Kondisi pemuatan
kedalaman galian
( Max Kedalaman galian ) Pemuatan Pemuatan
Pemuatan
Agak
Pemuatan
Ringan Sedang sulit
Sulit
< 40% 0,7 0,9 1,1 1,4
40 – 75 % 0,8 1 1,3 1,6
>75 % 0,9 1,1 1,5 1,8
Sumber: katalog alat berat, 2013

Untuk menghitung cycle time dapat juga dengan cara menggunakan tabel-
tabel di atas dengan cara sebagai berikut:
CT = standar cycle time x faktor konversi (2.20)
34

9) Produksi Per Jam (Nurhakim, 2004)


q x 3600 x E
Q= (2.21)
CT

Keterangan:
Q : Produksi per jam (m³/jam)
q : Produksi per sisklus C
CT : Waktu edar (detik)
3600 : Konversi jam ke detik
E : Efisiensi Kerja
(1) Produksi Alat Angkut
 Produksi Per Siklus (Nurhakin, 2004)
q = n x q1 x K (2.22)
Keterangan:
Q : Produksi per jam (m³/jam)
n : Jumlah pengisian bak oleh bucket
q1 : Kapasitas munjung (lihat spesifikasi alat) (m³)
K : Faktor pengisian bucket
 Produksi Per Jam (Nurhakim, 2004)
q x 3600 x E
Q =
CT
(2.23)
Keterangan:
Q : Produksi per jam (m³/jam)
q : Produksi per sikls (m³)
CT : Waktu edar (detik)
3600 : Konversi jam ke detik
E : Efisiensi kerja
(2) Produksi Alat Gusur
 Produksi Per Siklus (Nurhakim, 2004)
35

q = L x H² x a
(2.24)
Keterangan:
q : Produksi Per siklus (m³)
L : Lebar Blade (m³)
H : Tinggi Blade (m)
a : Faktor Blade (Table 2.14)

Tabel 2.14. Faktor Blade


Faktor
Derajat Pelaksanaan Penggusuran
Blade
Dapat dilakukan dengan blade penuh tanah lepas:
Penggusura
kadar air rendah, tanah berpasir tak dipadatkan, 1,1 – 0,9
n ringan
tanah biasa, stockpile
Tanah lepas, tetapi tidak mungkin digusur dengan
Penggusura
blade penuh: Tanah bercmpur kerikil atau split, 0,9 – 0,7
n sedang
pasir, batu pecah.
Penggusura Kadar air tinggi dan tanah liat berpasir bercampur
0,7 – 0,6
n agak sulit kerikil, tanah liat yang sangat kering dan tanah asli.
Penggusura
Batuan hasil ledakan, batuan berukuran besar 0,6 – 0,4
n sulit
q x 60 x E
Q= (2.25)
CT
Keterangan:
Q : Produksi per jam (m³/jam)
q : Produksi Per Siklus (m³)
CT : Waktu Edar (menit)
60 : Konversi jam ke menit
E : Efisiensi Kerja
Dalam perhitungan produksi, volume tanah yang telah diganggu dari bentuk
aslinya akan berubah. Perubahan volume tanah dari bentuk asli ke kondisi gembur
dengan melakukan penggalian atau perubahan volume tanah dari kondisi gembur
ke kondisi padat dengan melakukan pemadatan, perlu dikalikan dengan faktor
pengembangan materialnya. (Tenriajeng, 2003) Dari faktor tersebut, bentuk
material dibagi dalam 3 keadaan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.10.
36

Sumber: Tenriajeng, 2003

Gambar 2.10. Keadaan Material dalam Earth Moving

Keadaan asli (Bank Condition), keadaan material yang masih alami dan
belum mengalami gangguan teknologi. Keadaan tanah ini biasanya dinyatakan
dalam ukuran Bank Cubic Meter (BCM) yang digunakan sebagai dasar
perhitungan jumlah pemindahan tanah.
Keadaan gembur (Loose Condition), keadaan material setelah diadakan
pengerjaan. Tanah ini biasanya yang terdapat di depan dozer blade, di atas truk, di
dalam bucket dan sebagainya. Ukuran volume tanah dalam keadaan lepas
biasanya dinyatakan dalam Loose Cubic Meter (LCM).
Keadaan padat (Compact), keadaan material setelah ditimbun kembali
dengan disertai usaha pemadatan. Ukuran volume tanah dalam keadaan padat
biasanya dinyatakan dalam Compact Cubic Meter (CCM). Faktor konversi
volume material (tanah) dapat dilihat pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15. Faktor Konversi Volume Tanah/Material

Perubahan Kondisi Berikutnya


Kondisi
Jenis Material Kondisi Kondisi Kondisi
awal
asli Gembur Padat
(A) 1,00 1,11 0,99
Tanah Berpasir (B) 0,90 1,00 0,80
(C) 1,05 1,17 1,00
(A) 1,00 1,25 0,90
Tanah Biasa (B) 0,80 1,00 0,72
(C) 1,11 1,39 1,00
Tanah Liat (A) 1,00 1,25 0,90
(B) 0,70 1,00 0,63
37

(C) 1,11 1,59 1,00

Tabel 2.15. Faktor Konversi Volume Tanah/Material (Lanjutan)

Perubahan Kondisi Berikutnya


Kondisi
Jenis Material Kondisi Kondisi Kondisi
awal
Asli Gembur Padat
(A) 1,00 1,18 1,08
Tanah Berkerikil (B) 0,85 1,00 0,91
(C) 0,93 1,09 1,00
(A) 1,00 1,13 1,29
Kerikil (B) 0,88 1,00 0,91
(C) 0,97 1,10 1,00
(A) 1,00 1,42 1,03
Kerikil Besar dan Padat (B) 0,70 1,00 0,91
(C) 0,77 1,10 1,00
(A) 1,00 1,65 1,22
Pecahan Batu Kapur, Batu
(B) 0,61 1,00 0,74
Pasir, Cadas Lunak, Sirtu
(C) 0,82 1,35 1,00
Pecahan Granit, Basalt, (A) 1,00 1,70 1,31
Cadas Keras, dan Lainnya (B) 0,59 1,00 0,77
(C) 0,76 1,30 1,00
(A) 1,00 1,75 1,40
Pecahan Cadas (B) 0,57 1,00 0,80
(C) 0,71 1,24 1,00
(A) 1,00 1,80 1,30
Ledakan Batu Cadas,
(B) 0,56 1,00 0,72
Kapur Keras
(C) 0,77 1,38 1,00
Sumber: Tenriajeng, 2003

5. Revegetasi
Kegiatan revegetasi sering kali dihambat keberhasilannya dengan masalah
sifat fisik dan kimia tanah pucuk yang tidak sesuai dengan kebutuhan
tanaman. Berikut cara pengendalian kondisi tanah pucuk (Iskandar, 2008),
yaitu:
1) Sumber Tanah Pucuk
Tanah pucuk dalam kegiatan revegetasi digunakan sebagai media
tanam vegetasi. Tanah pucuk disebar di atas lahan yang telah ditata
ulang dengan ketebalan 50-100 cm. volume tanah pucuk yang
38

diperlukan untuk reklamasi tergantung pada luas area reklamasi dan


juga ketebalan tanah yang diinginkan. Jika volume tidak mencukupi,
diperlukan survey ketersediaan tanah pucuk di sekitar tambang.
2) Kesuburan Tanah Pucuk
Tanah pucuk yang dimaksud di sini berbeda dengan tanah pucuk dalam
ilmu tanah. Tanah pucuk dalam ilmu tanah merupakan lapisan atas
dengan ketebalan sekitar 20 cm dan banyak mengandung bahan
organic, sehingga memiliki konsistensi gembur dan struktur tanah
yang berkembang dengan baik. Sedangkan tanah pucuk untuk
reklamasi merupakan hasil kupasan yang bisa mencapai ketebalan di
atas 100 cm, sehingga memiliki kandungan bahan organik yang sangat
rendah dan struktur yang sudah rusak. Perbandingan tanah pucuk
dalam imu tanah dan kegiatan reklamasi dapat dilihat pada Tabel 2.16.

Tabel 2.16. Perbandingan Sifat Tanah Pucuk dalam Ilmu Tanah dan Kegiatan
Reklamasi
Tanah pucuk Tanah pucuk untuk
Sifat
dalam ilmu tanah kegiatan reklamasi
Kandungan bahan organik Sedang – tinggi Sangat rendah – rendah
Aktivitas mikroorganisme Sedang – tinggi Sangat rendah – rendah
Struktur Baik Rusak
Keras – sangat keras bila
kering
Teguh – sangat teguh bila
Konsistensi Gembur lembap
Lekat – sangat lekat
Plastis – sangat plastis
bila basah
Bobot isi Sekitar 1-1,2 g/cm³ >12 g/cm³
Kapasitas tukar kation Sedang – tinggi Sangat rendah – rendah
Ketersediaan unsur hara Sedang – tinggi Sangat rendah – rendah
Sumber: Iskandar, 2008
39

Rendahnya kesuburan tanah pucuk untuk kegiatan reklamasi seperti yang


dijelaskan di atas, mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman.
3) Kriteria Kesesuaian Lahan Tanaman
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu (Ritung dkk., 2007). Kesesuain lahan tersebut
dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau
setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian
lahan aktual menggambarkan sumber daya lahan sebelum diberikan
upaya untuk mengatasi kendala. Kesesuaian lahan potensial
menggambarkan kesesuaian lahan yang dicapai apabila dilakukan
upaya perbaikan. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara
lahan yang tergolong sesuai (S = Suitable) dengan lahan yang tidak
sesuai (N = Not Suitable).
Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Lahan
yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu:
lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3).
Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan
ke dalam kelas-kelas.
Kelas S1 : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata
terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas
bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas
lahan secara nyata.
Kelas S2 : Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan
berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan
masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani
sendiri.
Kelas S3 : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas
ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan
tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong
S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal
40

tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi)


pemerintah atau pihak swasta.
Kelas N : Lahan yang karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat
dan/atau sulit diatasi.
Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau yang bersifat kompleks dari
sebidang lahan. Kualitas lahan ada yang bisa di estimasi atau diukur secara
langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik
lahan (FAO, 1976 dalam Ritung dkk., 2007).
2.4 Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
NO Nama/Tahun Judul Metode Penelitian Hasil Penelitian
.
1. Arif Gumilar / Rencana Teknis Metode penelitian yang 1. Jumlah tanah yang tersedia untuk penataan lahan di Quarry 1
2013 Penataan Lahan digunakan adalah seluas 63.336 m² adalah 168. 896 m³ loose Overburden dan
pada Bekas survey lapangan dan 25. 334 m³ loose Top Soil.
Penambangan Batu perancangan penataan 2. Produktivitas alat mekanis untuk penataan lahan
Andesit di Quarry lahan. menggunakan sistem perataan tanah dengan 2 excavator
1 PT. Holcim sebesar 391,34 LCM/jam, 4 Dumptruck 432 LCM/jam, dan
Beton Pasuruan dengan kemampuan Bulldozer untuk meratakan tanah seluas
Jawa 2.843 m²/jam yang mampu melayani 38 dumptruck /jam.
Secara actual bulldozer hanya dapat melayani dumptruck
sebanyak 29 dumptruck/jam dengan ketebalan 2 lapis setebal
0,40 m (0,30 m setelah dipadatkan), sehingga perataan tanah
untuk mendapatkan ketebalan 2,40 m dapat diselesaikan
dalam waktu 48 hari kerja.
3. Jarak tanam antar lubang tanam (2 meter x 3 meter) dan
dimensi lubang tanam (30 cm x 30 cm x 30 cm) serta jumlah
bibit tanaman sengon sebanyak 10.558 bibit dengan estimasi
waktu penanaman bibit selama 25 hari kerja.
4. Pengendalian erosi dalam upaya reklamasi
5. dilakukan dengan cara penanaman tanaman penutup (cover
crop) jenis Leguminoceae
2. Muslim Rencana Reklamasi 1. Jenis tanaman yang digunakan pada kegiatan reklamasi di
Hamsah/2012 Dengan Penataan Blok A adalah tanaman sengon (paraserienthes falcataria)
Lahan pada Lahan dan waktu penanaman dilakukan pada musim hujan yaitu

41
Bekas bulan November karena tanaman sengon memerlukan air
Penambangan minimal 3 bulan pada awal pertumbuhan.
Tanah Liat di PT. 2. Jumlah tanah pucuk yang tersedia untuk penataan lahan bekas
Holcim Indonesia tambang di Blok A adalah 69.919,5 m³ LCM.
Tbk, Cilacap, Jawa 3. Sistem penataan lahan bekas tambang di Blok A seluas 2
Tengah hektar menggunakan sistem pot/lubang tanam dengan :
 Jarak antar lubang tanam/pot (3 x 3)
 Dimensi lubang pot/tanam adalah kedalaman 1 m,
panjang 1 m, lebar penampang atas 2 m dan lebar
penampang bawah 1 m.
 Jumlah pot/lubang tanam yang dibuat sebanyak 836
lubang.
 Jumlah tanah pucuk yang dibutuhkan 1.254 m³ LCM.
4. Rencana pengembalian tanah penutup dilakukan setelah
perataan lahan bekas penambangan. Jarak antar tumpukan
tanah penutup sejauh 20 m. volume tanah penutup dalam satu
tumpukan adalah 12 m³ atau 11,04 ton untuk mengisi
sebanyak 8 lubang, setiap lubang diisi 1,5 m³. perkiraan
waktu penumpukan tanah penutup untuk pengisian lubang
adalah selama 1 hari.
5. Pembuatan lubang tanam/pot menggunakan peralatan yang
tersedia di lapangan yaitu Backhoe Caterpillar 320 CL.
Volume setiap pot/lubang tanam adalah 1,5 m³. Material clay
hasil penggalian ini diratakan dengan 1 unit Bulldozer type
CAT D 9 R dapat membuat 8 lubang. Perkiraan waktu untuk
pembuatan lubang adalah selama 4 hari.
6. Pengisian pot/lubang tanam dapat dimulai setelah
penumpukan tanah penutup dan penggalian pot/lubang tanam.

42
3. Muhammad Perencanaan Metode Yang 1. Sistem penataan tanah pucuk menggunakan sistem pot atau
Buby Reklamasi Pada Dilakukan Dalam lubang tanam karena lebih efisien, karena dapat menghemat
Maretio/2015 Lahan Bekas Reklamasi biaya dan kebutuhan tanah pucuk, yaitu sebanyak 1.686 m 3
Pertambangan 1. Metode Dalam tanah pucuk dengan jumlah lubang tanam 13.488 buah.
Bauksit PT Aneka Penimbunan yaitu, 2. Waktu yang diperlukan untuk menata tanah pucuk adalah 8
Tambang Unit High Wall hari yang dipilih yaitu kombinasi alat berat dan tenaga
Bisnis 2. Metode Dalam manusia. kombinasi alat berat dan tenaga manusia lebih
Pertambangan Penataan Tanah efektif karena dilakukan bersamaan sehingga memaksimalkan
Bauksit Tayan, Pucuk yaitu, pot alat kerja yang ada.
Kabuaten Sanggau atau lubang tanam. 3. Pola penanaman dilakukan dengan metode tumpang sari,
Provinsi 3. Metode Dalam yaitu durian, rambutan, langsat dan cempedak serta
Kalimantan Barat Revegetasi yaitu, tanaman penutup untuk menghasilkan lahan perkebunan
Tumpang Sari yang bermanfaat bagi masyarakat serta menjaga tekstur
maupun pengembalian kesuburan tanah yang baik dalam
proses pengembalian kondisi lingkungan di area
pertambangan bauksit.

4. Ryan Bagus Rancangan Teknis


Rangin/2018 Reklamasi Pada
Penambangan
Andesit di CV
Surya Prima Artha,
Gunung Urug,
Desa Paturaman,
Kecamatan
Cihampelas,
Kabupaten

43
Bandung, Provinsi
Jawa Barat, West
Java Province

44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan pada penelitian adalah metode kuantitatif dengan


melakukan survey lapangan dan perancangan penataan lahan. Untuk membuat
rancangan penataan lahan dilakukan perhitungan volume tanah pucuk yang
tersedia untuk pemilihan metode penataan tanah pucuk. Kemudian menentukan
ukuran dan dimensi dari saluran drainase. Kegiatan penelitian ini meliputi
identifikasi komponen teknis reklamasi dan rencana model penataan lahan.

3.1 Tahapan Penelitian


3.1.1 Studi Pustaka
Studi pustaka adalah kegiatan untuk menghimpun informasi yang relevan
dengan topik atau masalah yang menjadi obyek penelitian. Informasi tersebut
dapat diperoleh dari buku-buku, karya ilmiah, tesis, internet, dan sumber-sumber
lain.

3.1.3 Survey Awal


Sebagai observasi awal, dilakukan studi lapangan di perusahaan tempat
penelitian dilaksanakan, dalam hal ini di CV Citra Palapa Mineral. Observasi ini
dimaksudkan agar peneliti memperoleh gambaran umum tentang gambaran
lapangan yang akan diteliti dan memahami permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya.

3.1.4 Pengambilan Data


Pengambilan data dibedakan menjadi 2, data primer dan data sekunder :
1. Data Primer
Pada penelitian ini, data primer yang diambil yaitu data luas area
reklamasi, data kualitas tanah, jarak pengambilan tanah pucuk, volume tanah
pucuk yang tersedia.
1) Data luas area reklamasi

45
Luas area yang akan direklamasi didapatkan setelah mengetahui koordinat
area reklamasi yang diambil meggunakan GPS.
2) Volume tanah pucuk yang tersedia
Untuk menghitung volume tanah pucuk yaitu menggunakan metode mean
area. Perhitungan volume dengan metode mean area, volume yang akan
dihitung adalah volume ruang atau bangun dengan penampang atas dan
bawah yang merupakan bentuk yang tidak beraturan.
1
V = x ( L1+ L2) x t (3.1)
2
Keterangan:
V : Volume timbunan (m³)
L1 : Luas penampang atas (m²)
L2 : Luas penampang bawah (m²)
t : Jarak penampang atas dan bawah

3) Estimasi biaya reklamasi


(1) Biaya langsung (Rp)
Biaya langsung meliputi sebagai berikut :
 Biaya Penatagunaan Lahan
 Biaya Penataan Permukaan + Drainage / bulldozer + excavator
(2) Biaya Revegetasi
 Rencana Penanaman dan Perawatan LCC
a) Biaya pengadaan bibit
b) Biaya perawatan
 Rencana Penanaman dan Perawatan Tanaman Pokok
a) Biaya pengadaan bibit dan penanaman
b) Biaya perawatan tahun 1
c) Biaya perawatan tahun 2
d) Biaya perawatan tahun 3
e) Biaya perawatan tahun 4
f) Biaya perawatan tahun 5

46
(3) Biaya pencegahan dan penanggulangan air asam tambang.
(4) Biaya untuk pekerjaan sipil sesuai dengan peruntukan lahan pasca
tambang.
4) Biaya tidak langsung (Rp)
(1) Biaya mobilisasi dan demobilisasi alat. (sebesar 2,5% dari biaya
langsung atau berdasarkan perhitungan).
(2) Biaya perencanaan reklamasi. (sebesar 2%-10% dari biaya langsung).
(3) Biaya administrasi dan keuntungan kontraktor. (sebesar 3%-14% dari
biaya langsung).
(4) Biaya supervisi. (sebesar 2%-7% dari biaya langsung).
(Sumber, kepmen 1827 lampiran 6, tahun 2018)

2. Data Sekunder
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah peta
topografi, data curah hujan, dan data spesifikasi alat mekanis.
1) Peta Topografi
Peta topografi digunakan untuk mengetahui gambaran umum dari lokasi
penelitian. Peta topografi juga digunakan untuk menghitung volume tanah
yang diperlukan untuk penimbunan dengan melakukan recountouring pada
peta topografi dan untuk perencanaan saluran drainase pada area
reklamasi.
2) Data Curah Hujan
Data curah hujan digunakan untuk memperhitungan dimensi saluran
drainase. Data curah hujan dapat diperoleh dari data BPS 10 tahun
terakhir.
3) Data Spesifikasi Alat Mekanis
Data spesifikasi alat mekanis digunakan untuk menghitung waktu kerja
alat mekanis yang akan digunakan untuk pelaksanaan kegiatan reklamasi.
Perhitungan ini dilakukan secara teoritis sesuai data spesifikasi alat.
3.1.5 Analisis Data dan Pembahasan

47
Dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan maka dapat
diinterpretasikan sehingga lebih mudah dimengerti maksudnya dan dilakukan
analisa yang lebih mendalam. Untuk mengetahui kebutuhan tanah yang
diperlukan untuk penataan lahan maka yang harus dilakukan yaitu menentukan
metode penataan lahan.

1. Sistem perataan tanah


Untuk mengetahui volume tanah yang akan digunakan dalam kegiatan
penataan lahan dengan sistem perataan tanah dapat digunakan rumus
sebagai berikut:

V=Axt (3.2)

Keterangan:

V : Volume tanah (m³)


A : Luas area (m²)
t : Ketebalan tanah (m)
2. Sistem pot/lubang tanam
10.000 m²
n=
St x Sb
(3.6)
Keterangan:
n : Jumlah pot Ha
St : Jarak tanam (m)
Sb : Jarak antar baris (m)

Vp = ( S +S2 ) x h x t
1 2
(3.7)

Keterangan:
S1 : Lebar penampang atas (m)
S2 : Lebar penampang bawah (m)
t : Panjang (m)

48
h : Kedalaman (m)

Sumber: Romadhon, 2013


Gambar 2.3. Dimensi Pot

Vt = A x n x Vp (3.8)

Keterangan:
Vt : Volume tanah (m³)
A : Luas area (Ha)
n : Jumlah guludan per Ha
Vp : Volume pot (m³)

3.1.6 Kesimpulan
Analisis hasil pengolahan data dilakukan dengan tujuan memperoleh
kesimpulan sementara dan selanjutnya diolah dalam bagian pembahasan. Dari
pembahasan diatas dapat diketahui reklamasi yang sesuai dan mengetahui estimasi
biaya reklamasi.

49
3.2 Diagram Alir Penelitian
Mulai

Persiapan
- Studi Pustaka
- Survey awal

Pengambilan data

Data primer Data sekunder


 Data luas area reklamasi.  Peta topografi
 Volume tanah pucuk yang  Data spesifikasi alat yang
tersedia. digunakan
 Estimasi biaya reklamasi  Data curah hujan

Pengolahan Data

Analisis Data
anaa
 Analisis metode penataan lahan.
 Perhitungan biaya reklamasi

Kesimpulan

Selesai

50
DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2017. Kecamatan Sungai Kunyit Dalam Angka 2017. Kabupaten


Pontianak: BPS Kabupaten Pontianak.
BPS. 2018. Kecamatan Sungai Kunyit Dalam Angka 2018. Kabupaten
Pontianak: BPS Kabupaten Pontianak.
Dokumen Studi kelayakan CV. Citra Palapa Mineral. 2018.
Dokumen UKL-UPL CV. Citra Palapa Mineral. 2018.
Iskandar, 2008. “Kegiatan revegetasi sering kali dihambat keberhasilannya
dengan masalah sifat fisik dan kimia tanah pucuk yang tidak sesuai dengan
kebutuhan tanaman. Berikut cara pengendalian kondisi tanah pucuk”.
Nurhakim, 2004. “Kemampuan produksi alat dapat dinilai dari kemampuan
memindahkan material per siklus. Siklus kerja adalah proses gerakan dari
suatu alat dari gerakan mulanya sampai kembali lagi pada gerakan mula
tersebut”.
Pokja AMS Kab. Mempawah, 2015. Jenis tanah yang terdapat di wilayah
Kabupaten Mempawah adalah aluvial, organosol, low humid clay, dan
litosol. Pada bagian wilayah pantai, jenis tanah yang dominan adalah tanah
aluvial dan organosol.
Pemerintah Kab. Mempawah, 2015. Dokumen Perencanaan Sanitasi Strategi
Sanitasi Kabupaten Mempawah. Mempawah: Pemerintah Kab.
Mempawah.
Ritung, 2007. “Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk
penggunaan tertentu”.
Romadhon, 2013. “Metode penyebaran tanah pucuk tergantung dari volume
tersedianya lapisan tanah pucuk dan dari hasil analisis lapisan penutup yang
ada”.
Sudjatmiko, 2009. “reklamasi harus diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh
dari kegiatan pertambangan dan kegiatan reklamasi, dilakukan sedini
mungkin, dan tidak menunggu proses pertambangan selesai”.

51
Tenriajeng, 2003. “Perubahan volume tanah dari bentuk asli ke kondisi gembur
dengan melakukan penggalian atau perubahan volume tanah dari kondisi
gembur ke kondisi padat dengan melakukan pemadatan, perlu dikalikan
dengan faktor pengembangan materialnya”.
Van Zuidam, 1983. “Klasifikasi satuan pemetaan geomorfologi tersebut bersifat
holistik (holositic), artinya klasifikasi tersebut dapat dimanfaatkan pada
setiap bidang kajian ilmu kebumian, seperti geologi, geografi, ilmu tanah,
perencanaan wilayah dan tata ruang”.

52

Anda mungkin juga menyukai