Anda di halaman 1dari 12

1.

1 PENGERTIAN
Hipertrofi prostat adalah perbesaran kelenjar prostat yang membesar, memanjang
kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat
mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter. Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti
menunjukkan adanya keterlibatan hormonal. Kondisi ini yang umum terjadi pada pria diatas
usia 50 tahun (Pierce & Neil, 2010).
BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan dimana terjadi pertumbuhan
nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat; pertumbuhan tersebut di mulai dari
bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar
normal yang tersisa dan pembesaran bagian periuretral akan menyebakan obstruksi leher
kandung kemih dan urertra pars prostatika yang mengakibatkankan berkurangnya aliran
kemih dari kandung kemih (Price & Wilson, 2010).
BPH merupakan pertumbuhan berlebihan dari prostat yang bersifat jinak dan bukan
kanker, dimana yang umumnya diderita oleh kebanyakan pria pada waktu meningkatnya usia
sehingga dinamakan penyakit orang tua. Perbesaran dari kelenjar ini lambat laun akan
mengakibatkan penekanan pada saluran urin sehingga menyulitkan berkemih (Rahardja,
2012).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPH merupakan keadaan dimana terjadi pembesaran
pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih dan
menyumbat aliran urine keluar. Kondisi ini umumnya terkait dengan proses penuaan dan
terjadi pada pria di atas usia 50 tahun.

1.2 ETILOGI
Menurut Pakasi (2011) penyebab pasti BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun
yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat
kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. beberapa factor kemungkinan penyebab
antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
c. Peningkatan Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase
diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel
prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya
akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan
berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor kompleks. Kemudian masuk
ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga
terjadi protiferasi sel.
d. Apoptosis
Kematian sel berakibat terjadinya kondensasi dan fragmentasi sel. Sel yang telah
mati tersebut akan difagositosis sel sekitarnya dan didegradasi oleh enzim lisosom.
Hal ini, menyebabkan pertambahan massa prostat.

1.3 MANIFESTASI KLINIS


Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup peningkatan frekuensi berkemih,
nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine
menurun, dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan
dimana urine terus menetes setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong
dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih
setelah berkemih), dan kekambuhan infeksi saluran kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi
azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis
dan volume residu yang besar. Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Smeltzer, 2010).
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-hal berikut dalam derajat
yang berbeda-beda yaitu sering berkemih, nokturia, urgensi (kebelet), urgensi dengan
inkontinensia, tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk mengalirkan kemih, rasa tidak
puas saat berkemih, inkontinensia overflow, dan kemih yang menetes setelah berkemih.
Kandung kemih yang teregang dapat teraba pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan
suprapubik pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa ingin berkemih. Prostat
diraba sewaktu pemeriksaan rectal untuk menilai besarnya kelenjar (Price and Wilson, 2012).
1.4 PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia seiring dengan pertambahan usia, pada
proses penuaan menimbulkan perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen. Keadaan ini dapat menyebabkan pembesaran prostat, jika terjadi pembesaran
prostat maka dapat meluas ke kandung kemih, sehingga akan mempersempit saluran uretra
prostastica dan akhirnya akan menyumbat aliran urine.
Penyempitan pada aliran uretra dapat meningkatkan tekanan pada intravesikal.
Munculnya tahanan pada uretra prostatika menyebabkan otot detrusor kandung kemih akan
bekerja lebih kuat saat memompa urine, penegangan yang terjadi secara terus-menerus
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa pembesaran pada otot detrusor ,
trabekulasi terbentuknya selula, sekula, dan diventrivel kandung kemih. Tekanan yang
terjadi terus-menerus fapat menyebabkan aliran balik urine ke ureter dan bila terjadi terus
menerus mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, dan kemunduran fungsi ginjal [CITATION
Mut14 \l 14345 ].
Salah satu upaya pengobatan pada penderita BPH adalah pembedahan terbuka
merupakan tindakan pembedahan pada perut bagian bawah, kelenjar prostat dibuka dan
mengankat kelenjar prostat yang mengalami pembesaran, untuk mencegah adanya darah
membeku setelah pembedahan, biasanya dialirkan cairan via selang melalui kandung kemih
dan dibiarkan selama 5 hari setelah operasi dan kemudia dikeluarkan jika tidak ada
pendarahan [ CITATION Isk09 \l 14345 ].
1.5 PATHWAY
1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Radiologi
Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk
1 Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia
2  Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
3 Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benigne
Prostat Hyperplasia atau tidak
Beberapa Pemeriksaan Radiologi:
a) Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual urine post
miksi, dipertikel buli.
Indikasi       : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis
Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter
b) BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
c) Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya refluk
vesiko ureter/striktur uretra.
d) USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai
pembesaran prostat jinak/ganas

b. Pemeriksaan Endoskopi
c. Pemeriksaan Uroflowmetri
Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli
Q max  : > 15 ml/detik ® non obstruksi
10 - 15 ml/detik ® border line
< 10 ml/detik ® obstruktif
d. Pemeriksaan Laboratorium
a) Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K,
Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur) Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen
terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah Merah atau PUS.
b) RFT ® evaluasi fungsi renal
c) Serum Acid Phosphatase ® Prostat Malignancy
1.7 DIAGNOSA BANDING
Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya:
1 Struktur uretra
2 Kontraktur leher vesika
3 Batu buli-buli kecil
4 Kanker prostat
5 Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan
obat-obat parasimpatolitik.
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1 Instabilitas detrusor
2 Karsinoma in situ vesika
3 Infeksi saluran kemih
4 Prostatitis
5 Batu ureter distal 6. Batu vesika kecil.
1.8 KOMPLIKASI
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2010) komplikasi BPH adalah :
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
b. Infeksi saluran kemih
c. Involusi kontraksi kandung kemih
d. Refluk kandung kemih
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis.
h. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.

1.9 PENATALAKSAAN
Penatalaksanaan BPH secara umum menurut Grace and Borley (2012) adalah:
a. Medikamentosa, seperti mengubah asupan cairan oral; kurangi konsumsi kafein;
menggunakan Bloker α- adrenergic (misalnya fenoksibenzamin, prazosin);
antiandrogen yang bekerja selektif pada tingkat seluler prostat (misalnya
finasteride); kateterisasi intermiten jika terdapat kegagalan otot detrusor; dan
dilatasi balon dan stenting pada prostat (pada pasien yang tidak siap operasi).
b. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2) Klien dengan residual urin  100 ml.
3) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
4) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat )
2) Retropubic atau Extravesical Prostatectomy
3) Perianal Prostatectomy
4) Suprapubic atau Tranvesical Prostatectomy

Menurut Sjamsuhidjat (2010), dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung


pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu:
a. Stadium I, biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi
tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah
obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II, merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III, reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui
trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV, yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan
dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat
adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti
androgen yang menekan produksi LH.

1.10 KONSEP KEPERAWATAN


1.10.1 PENGKAJIAN
a. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan rektum dengan jari tangan dapat mengungkapkan pembesaran
fokal atau difus prostat
2) Pemeriksaan abdomen bawah (simpisis pubis) dapat memperlihatkan
pembesaran kandung kemih
3) Abdomen: Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan
renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
4) Kandung kemih
- Inspeksi : penonjolan pada daerah supra pubik menunjukan adanya retensi
urine
- Palpasi : akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien
ingin buang air kecil yang menunjukan adanya retensi urine
- Perkusi : suara redup menunjukan adanya residual urine.
5) Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya
stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
6) Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) dilakukan dengan posisi knee
chest dengan syarat vesika urinaria kosong/dikosongkan. Tujuannya adalah
untuk menentukan konsistensi prostat dan besar prostat.
b. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan
pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan
bahwa sakit yang diderita nya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat
perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya?
Dan apa penyebab sakitnya saat ini?
2) Pola nutrisi dan metabolic
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi
pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan
dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
3) Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran
urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit,
frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada
postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur
pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi
warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan
tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan
bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena perubahan pola makan
dan makanan.
4) Pola latihan- aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien
juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Klien dengan BPH
aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.
5) Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu,
disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus
dimana hal ini dapat mengganngu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu
mengkaji berapa lama klien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan lama
tidur sebelum dan selama sakit/ selama dirawat?
6) Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat
dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan
perilaku.
7) Pola kognitif- perceptual
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya
terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien
mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien,
bagaimana status neurologis klien, apakah ada gangguan?
8) Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang
diderita nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien
dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan
klien dengan keluarga dan masyarakat sekitar? apakah ada perubahan peran
selama klien sakit?
9) Pola reproduksi- seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan
kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
10) Pola koping dan toleransi stres
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan
pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa
melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan
tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana
klien menghadapi masalah yang dialami? Apakah klien menggunakan obat-
obatan untuk mengurangi stresnya?
11) Pola keyakinan dan nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan
dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK
yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada
pantangan dalam agama klien untuk proses pengobatan?
1.10.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien BPH yaitu:
a. Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan obstruks anatomik (BPH)
ditandai dengan BAK frekuensi sering namun sedikit-sedikit, nokturia, dysuria,
retensi urine, urgensy (dorongan berkemih), anyang-anyangan, dan dribling.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (BPH) ditandai dengan
melaporkan nyeri secara verbal, peningkatan denyut nadi, peningkatan frekuensi
pernapasan, peningkatan tekanan darah, meringis, melokalisasi nyeri.
c. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (pemasangan kateter).
d. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan prosedur pembedahan
ditandai dengan adanya luka insisi pembedahan.
e. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan informasi ditandai
dengan pengungkapan masalah.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai