Bandura meneliti beberapa kasus, salah satunya ialah kenakalan remaja. Menurutnya,
lingkungan memang membentuk perilaku dan perilaku membentuk lingkungan. Oleh
Bandura, konsep ini disebut determinisme resiprokal yaitu proses yang mana dunia dan
perilaku seseorang saling memengaruhi. Lanjutnya, ia melihat bahwa kepribadian merupakan
hasil dari interaksi tiga hal yakni lingkungan, perilaku, dan proses psikologi seseorang.
Proses psikologis ini berisi kemampuan untuk menyelaraskan berbagai citra (images) dalam
pikiran dan bahasa.
Dalam teorinya, Bandura menekankan dua hal penting yang sangat mempengaruhi perilaku
manusia yaitu pembelajaran observasional (modeling) yang lebih dikenal dengan teori
pembelajaran sosial dan regulasi diri.
Belajar Observasional
Menurut Bandura, belajar observasional mungkin menggunakan imitasi atau mungkin
juga tidak. Misalnya, saat mengendarai mobil di jalan Anda mungkin melihat mobil di depan
Anda menabrak tiang, dan berdasarkan observasi ini Anda mungkin akan berbelok untuk
menghindarinya agar tidak ikut menabrak. Dalam kasus ini Anda belajar dari observasi Anda,
namun Anda tidak meniru apa yang telah Anda amati. Apa yang Anda pelajari, kata Bandura,
adalah informasi, yang diproses secara kognitif dan Anda bertindak berdasar informasi ini
demi kebaikan diri Anda. Jadi, belajar observasional lebih kompleks ketimbang imitasi
sederhana, yang biasanya hanya berupa menirukan tindakan orang lain.
Perbedaan belajar dan performa ditunjukkan oleh sebuah studi yang dilakukan
Bandura (1965). Dalam eksperimen ini, seorang anak melihat sebuah film yang menampilkan
seseorang sebagai model yang sedang memukul dan menendang boneka besar. Dalam teori
Bandura, model adalah apa saja yang menyampaikan informasi, seperti orang, film, televisi,
pameran, gambar, atau instruksi. Dalam kasus ini, film itu menunjukkan agresivitas seorang
model dewasa. Satu kelompok anak melihat model yang agresif itu diperkuat. Kelompok
kedua melihat model yang agresif itu dihukum. Kelompok ketiga melihat konsekuensi netral
atas tindakan agresif si model itu; yakni model tidak diperkuat dan tidak dihukum.
Kemudian, anak-anak dalam ketiga kelompok itu dipertemukan dengan sebuah boneka besar,
dan tingkat agresivitas mereka terhadap boneka itu lalu diukur. Seperti yang diduga, anak
yang melihat model diperkuat setelah melakukan tindak agresif cenderung menjadi anak yang
paling agresif; anak yang melihat model dihukum cenderung paling tidak agresif; sedangkan
bagi anak yang melihat konsekuensi netral dari model, tingkat agresivitasnya berada di antara
posisi dua kelompok lain itu. Studi ini menarik karena ia menunjukkan bahwa perilaku anak
dipengaruhi oleh pengalaman tak langsung atau pengalaman pengganti. Dengan kata lain, apa
yang mereka lihat dilakukan atau dialami orang lain akan memengaruhi perilaku mereka.
Anak dalam kelompok pertama mengamati vicarious reinforcement (penguatan pengganti
atau tak langsung) dan ini menambah agresivitas mereka; anak dalam kelompok kedua
melihat vicarious punishment (hukuman pengganti atau tak langsung) dan ia menghambat
agresivitas
mereka. Meskipun anak tidak mengalami langsung penguatan dan hukuman, namun hal itu
memodifikasi perilaku mereka. Ini bertentangan dengan pendapat Miller dan Dollard bahwa
belajar observasional hanya terjadi jika perilaku nyata organisme diikuti oleh penguatan.
Honzik (1930). Dalam studi Tolman dan Honzik ditemukan bahwa jika seekor tikus
yang menelusuri jalur teka teki tanpa reinforcement (penguatan) tiba-tiba diperkuat saat
memberi respons yang benar, maka performance (performa/kinerja) mereka akan sama
dengan tikus yang diberi penguatan di setiap percobaan. Penjelasan Tolman adalah bahwa
bahkan tikus
yang tidak diperkuat akan mempelajari jalur itu, dan masuknya penguatan ke situasi itu akan
membuat tikus itu menunjukkan informasi yang sudah mereka ketahui. Jadi, tujuan
eksperimen Bandura adalah sama dengan eksperimen Tolman dan Honzik, dan temuan serta
kesimpulan tentang perbedaan belajar dan performa adalah sama. Temuan utama dari kedua
eksperimen itu adalah bahwa penguatan adalah variabel performa, bukan variabel belajar. Ini
tentu saja bertentangan dengan kesimpulan Hull tentang penguatan. Menurutnya, penguatan
adalah variabel belajar, bukan variabel performa.
Jadi, Bandura berbeda pendapat dengan Miller dan Dollard. Menurut Bandura, belajar
observasional terjadi di sepanjang waktu. “Setelah kapasitas untuk belajar observasional
berkembang penuh, seseorang akan selalu belajar dari apa-apa yang mereka saksikan”
(1977, h. 38). Menurut Bandura, belajar observasional tidak membutuhkan respons nyata atau
penguatan.
1. Proses Atensional
Sebelum sesuatu dapat dipelajari dari model, model itu harus diperhatikan. Bandura
menganggap belajar adalah proses yang terus berlangsung, tetapi dia menunjukkan bahwa
hanya yang diamati sajalah yang dapat dipelajari. Craighead, Kazdin, dan Mahoney (1976)
menunjukkan hal ini dengan agak jenaka:
Misalkan Anda menggendong anak usia 4 tahun sedangkan dua anak usia empat tahun
lainnya bermain di ruang lain. Saat anak A sedang memukul-mukul anjing peliharaan
dengan pelanpelan, anak B memasukkan pisau mentega ke stop kontak listrik. Semua
orang akan belajar sesuatu dari insiden ini. Karena diasosiasikan langsung dengan rasa
sakit yang terduga dan diiringi dengan kekagetan, anak B akan belajar menghindari
pisau mentega, dan bahkan mungkin menghindari stop kontak. Anak A mungkin akan
belajar, atau setidaknya mulai belajar, untuk menghindari anjing. Ketika anak B tiba-tiba
menjerit dan menangis, suara itu mengagetkan anak A, dan karena kejadian stimulus
baru yang kuat dan tak terduga ini menimbulkan gerakan otonomik, anjing jinak menjadi
diasosiasikan dengan respons tidak terkondisikan terhadap stimulus yang
menegangkan. Lewat proses memerhatikan, anak di pangkuan Anda mungkin nanti
akan menghindari stop kontak (jika dia memerhatikan anak B) atau menghindari anjing
(jika memerhatikan anak A), atau mungkin menghindari Anda. Secara insidental, karena
banyak prinsip belajar berlaku untuk manusia dan hewan, adalah mungkin pula bahwa si
anjing itu nanti akan menghindari anak-anak. (h. 188)
Jadi, muncul pertanyaan, apa yang membuat sesuatu itu diperhatikan? Pertama, kapasitas
sensoris seseorang akan memengaruhi attentional process (proses atensional/proses
memerhatikan). Jelas stimuli modeling yang digunakan untuk mengajari orang tunanetra atau
tunarungu akan berbeda dengan yang digunakan untuk mengajari orang yang normal
penglihatan dan pendengarannya.
Perhatian selektif pengamat bisa dipengaruhi oleh penguatan di masa lalu. Misalnya,
jika aktivitas yang lalu yang dipelajari lewat observasi terbukti berguna untuk mendapatkan
suatu penguatan, maka perilaku yang sama akan diperhatikan pada situasi modeling
berikutnya.
Dengan kata lain, penguatan sebelumnya dapat menciptakan tata-situasi perseptual dalam diri
pengamat yang akan memengaruhi observasi selanjutnya. Berbagai karakteristik model juga
akan memengaruhi sejauh mana mereka akan diperhatikan. Riset telah menunjukkan bahwa
model akan lebih sering diperhatikan jika mereka sama dengan pengamat (yakni, jenis
kelaminnya sama, usianya sama, dan sebagainya), orang yang dihormati atau memiliki status
tinggi, memiliki kemampuan lebih, dianggap kuat, dan atraktif. Secara umum, Bandura
(1986) mengatakan, “[Orang] memerhatikan model yang dianggap efektif dan mengabaikan
model yang penamnpilan atau reputasinya tidak bagus … Orang akan lebih memilih model
yang lebih mampu dalam meraih hasil yang bagus ketimbang model yang sering gagal” (h.
54).
2. Proses Retensional
Agar informasi yang sudah diperoleh dari observasi bisa berguna, informasi itu harus
diingat atau disimpan. Bandura berpendapat bahwa ada retentional process (proses
retensional) di mana informasi disimpan secara simbolis melalui dua cara, secara imajinal
(imajinatif) dan secara verbal. Simbol-simbol yang disimpan secara imajinatif adalah
gambaran tentang hal-hal yang dialami model, yang dapat diambil dan dilaksanakan lama
sesudah belajar observasional terjadi. Di sini kita melihat kesepakatan lain antara Bandura
dan Tolman. Bandura mengatakan bahwa perilaku setidaknya sebagian ditentukan oleh citra
atau gambaran mental tentang pengalaman di masa lalu; Tolman mengatakan bahwa
kebanyakan perilaku diatur oleh peta kognitif, yang berisi representasi mental dari
pengalaman yang lalu dalam situasi tertentu. Jenis simbolisasi kedua, dan lebih penting
menurut Bandura, adalah verbal:
Kebanyakan proses kognitif yang mengatur perilaku terutama adalah konseptual ketimbang
imajinal. Karena fleksibilitas simbol verbal yang luar biasa, kerumitan dan kepelikan perilaku
bisa ditangkap dengan baik dalam wadah kata-kata. Misalnya, detail rute yang dilalui seorang
model dapat disimpan dan diingat untuk dipakai lagi nanti secara lebih akurat dengan
mengubah informasi visual ke kode verbal yang mendeskripsikan deretan kapan mesti belok
kiri (L) atau kanan (R) (misalnya RLRRL), ketimbang dengan mengandalkan pada imajinasi
visual dari rute itu. (1986, h. 58)
Setelah informasi disimpan secara kognitif, ia dapat diambil kembali, diulangi, dan
diperkuat beberapa waktu sesudah belajar observasional terjadi. Menurut Bandura (1977),
“Peningkatan kapasitas simbolisasi inilah yang memampukan manusia untuk mempelajari
banyak perilaku melalui observasi” (h. 25). Simbol-simbol yang disimpan ini memungkinkan
terjadinya delayed modeling (modeling yang ditunda)—yakni kemampuan untuk
menggunakan informasi lama setelah informasi itu diamati.
4. Proses Motivasional
Dalam teori Bandura, penguatan memiliki dua fungsi utama. Pertama, ia menciptakan
ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak seperti model yang dilihatnya
diperkuat untuk aktivitas tertentu, maka mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak
sebagai insentif untuk menerjemahkan belajar ke kinerja. Seperti telah kita lihat di atas, apa
yang dipelajari melalui observasi akan tetap tersimpan sampai si pengamat itu punya alas an
untuk menggunakan informasi itu. Kedua fungsi penguatan itu adalah fungsi informasional.
Satu fungsi menimbulkan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika merka bertindak
dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, mereka mungkin akan diperkuat. Fungsi lainnya,
motivational processes (proses motivasional) menyediakan motif untuk menggunakan apaapa
yang telah dipelajari. Ini adalah perbedaan utama dengan teori penguatan tradisional, yang
mengklaim bahwa hanya respons yang nyata sajalah yang akan diperkuat dalam situasi
tertentu.
Menurut Bandura, bukan hanya penguatan itu tidak diperlukan agar belajar terjadi,
tetapi pengalaman langsung juga tak selalu perlu. Seorang pengamat dapat belajar cukup
dengan mengamati konsekuensi dari perilaku orang lain, menyimpan informasi itu secara
simbolis, dan menggunakannya jika perilaku itu bisa bermanfaat baginya.
Gambar 13-2.
Ringkasan berbagai proses yang oleh Bandura dianggap memengaruhi belajar observasional.
(Dari Social Funcion of Thought & Acion, h. 52, oleh A. Bandura © 1986.
Dimuat atas seizin Prenice Hall, Upper Saddle, River, New Jersey.)
Determinisme Resiprokal
Mungkin pertanyaan paling dasar dalam semua psikologi adalah, “Mengapa orang
bertindak seperti yang mereka lakukan itu?” Berdasarkan jawaban ini, seseorang dapat
diklasifikasikan sebagai environmentalis (empirisis), nativis, eksistensialis, atau sesuatu yang
lain. Environmentalis (misalnya, Skinner) mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi dari
kontingensi penguatan dalam lingkungan, dan karena itu jika Anda mengubah kontingensi
penguatan Anda akan mengubah perilaku. Nativis menekankan pada disposisi bawaan, ciri
bawaan, atau bahkan ide. Eksistensialis menekankan pada pilihan bebas, yakni orang
melakukan apa-apa yang mereka pilih untuk dilakukan. Jadi, kebanyakan jawaban tradisional
untuk pertanyaan itu menyatakan bahwa perilaku adalah fungsi dari lingkungan, dari ciri atau
disposisi bawaan tertentu, atau kebebasan yang dimiliki manusia.
Jawaban Bandura untuk pertanyaan ini termasuk dalam kategori “sesuatu” yang lain.
Jawabannya adalah orang, lingkungan, dan perilaku orang itu semuanya berinteraksi untuk
menghasilkan perilaku selanjutnya. Dengan kata lain, ketiga komponen itu tak bisa dipahami
secara terpisah-pisah. Bandura (1986, h. 24) meringkas tiga interaksi itu sebagai berikut:
B
P E
Ditemukan bahwa subjek yang percaya mereka berada di jadwal interval tetap
merespons dengan lebih lambat, mereka yang percaya pada jadwal rasio variabel merespons
dengan sangat cepat, dan mereka yang diberi tahu hal sebenarnya akan merespons dengan
kecepatan di antara kedua kelompok lain itu. Berdasarkan studi ini dan studi serupa lainnya,
Bandura (1977) menyimpulkan, “Keyakinan tentang kondisi penguatan yang ada lebih
berpengaruh ketimbang pengaruh dari konsekuensi pengalaman” (h. 166).
Regulasi-Diri Perilaku
Menurut Bandura (1977), “Jika tindakan ditentukan hanya oleh imbalan (penghargaan)
dan hukuman eksternal, orang akan berperilaku mengikuti ke mana angin bertiup, selalu
berubah-ubah arah untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sementara yang mengenai
mereka. Mereka akan bertindak korup saat berhadapan dengan orang yang tidak punya
prinsip, akan bertindak terhormat saat bersama orang yang benar, dan bertindak bebas saat
bersama orang libertarian serta bertindak dogmatik saat bersama orang yang otoriter” (h.
128). Situasi yang dideskripsikan dalam kutipan ini jelas tidak terjadi, namun jika penguat
eksternal dan hukuman eksternal tidak mengontrol perilaku, lalu apa? Jawaban Bandura
adalah perilaku manusia sebagian besar adalah self-regulated behavior (perilaku yang diatur
sendiri). Di antara hal-hal yang dipelajari manusia dari pengalaman langsung atau tidak
langsung adalah performance standards (standar performa), dan setelah standar ini
dipelajari,
standar itu menjadi basis bagi evaluasi diri. Jika performa atau tindakan seseorang dalam
situasi tertentu memenuhi atau melebihi standar, maka ia akan dinilai positif; jika sebaliknya,
ia dinilai negatif.
Standar seseorang bisa datang dari pengalaman langsungnya dengan penguatan dengan
menilai tinggi perilaku yang efektif dalam menghasilkan pujian dari individu yang relevan
dalam kehidupannya, seperti dari orang tuanya. Standar personal juga bisa berkembang
secara tak langsung dengan mengamati perilaku yang dilakukan orang lain yang memperoleh
penguatan. Misalnya, Bandura dan Kupers (1964) menemukan bahwa anak-anak yang
dihadapkan pada model yang menetapkan standar tinggi juga akan ikut menetapkan standar
tinggi dalam melakukan performa, dan anak yang dihadapkan pada model yang menetapkan
standar minimum juga akan mengikuti standar minimum.
Bandura (1977, h. 107) percaya bahwa penguatan intrinsik yang datang dari evaluasi
diri lebih berpengaruh ketimbang penguatan ekstrinsik yang diberikan orang lain. Dia
memberi
beberapa contoh kasus di mana penguatan ekstrinsik telah mereduksi motivasi untuk
melakukan sesuatu. Setelah mengulas banyak riset tentang efektivitas relatif dari penguatan
ekstrinsik (diberikan oleh pihak luar) dengan penguatan intrinsik (muncul dari dalam diri
sendiri), Bandura menyimpulkan, “perilaku yang dihargai oleh dirinya sendiri cenderung
dipertahankan
lebih efektif ketimbang jika perilaku itu diperkuat secara eksternal” (h. 144).
Sayangnya, jika standar performa seseorang terlalu tinggi, standar itu justru bisa
menimbulkan
tekanan atau ketegangan. Bandura (1977) mengatakan, “Dalam bentuknya yang
lebih ekstrem, standar yang keras untuk evaluasi diri akan menimbulkan reaksi depresi,
kelesuan
kronis, perasaan tak berguna, dan kurang arah-tujuan” (h. 141). Menurut Bandura,
menetapkan tujuan yang terlalu tinggi atau terlalu sulit dijangkau akan menimbulkan
kekecewaan: “Tujuan dengan tingkat kesulitan moderat kemungkinan akan memicu motivasi
lebih besar dan memberi kepuasaan” (h. 162).
Seperti standar performa yang diinternalisasikan, perceived self-efficacy (anggapan
tentang kecakapan diri) berperan besar dalam perilaku yang diatur sendiri. Maksud dari
anggapan mengenai kecakapan diri ini adalah keyakinan seseorang tentang kemampuannya
dalam melakukan sesuatu, dan ini muncul dari berbagai macam sumber termasuk prestasi
dan kegagalan personal yang pernah dialaminya, melihat orang yang sukses atau gagal, dan
persuasi verbal. Persuasi verbal mungkin secara sementara bisa meyakinkan seseorang bahwa
mereka harus mencoba atau menghindari suatu tugas, namun dalam analisis terakhir yang
paling berpengaruh terhadap anggapan kecakapan diri ini adalah kegagalan atau kesuksesan
yang dialaminya secara langsung atau tak langsung. Misalnya, pelatih mungkin “membakar
semangat” timnya sebelum pertandingan dimulai dengan cara memberi tahu mereka tentang
betapa besarnya kemampuan mereka, tetapi semangat ini akan berlangsung singkat jika tim
lawan ternyata jauh lebih hebat.
Orang yang menganggap tingkat kecakapan dirinya cukup tinggi akan berusaha lebih
keras, berprestasi lebih banyak, dan lebih gigih dalam menjalankan tugas ketimbang yang
menganggap kecakapan dirinya rendah. Orang yang lebih percaya diri itu juga tidak terlalu
takut atau malu ketimbang orang yang kurang percaya diri (Covert, Tangney, Maddux, &
Heleno, 2003). Bandura (1980b) berpendapat bahwa karena orang dengan anggapan
kecakapan
diri yang tinggi cenderung lebih punya kendali atas kejadian dalam lingkungannya,
maka mereka lebih merasa pasti. Karena individu cenderung takut terhadap kejadian yang
tidak bisa mereka kontrol dan karenanya bersifat tak pasti, maka individu yang memiliki
anggapan kecakapan diri yang tinggi akan cenderung kurang merasa takut.
Anggapan kecakapan diri seseorang mungkin berhubungan atau mungkin tak berhubungan
dengan real self-efficacy (kecakapan diri yang sesungguhnya). Orang mungkin percaya
bahwa kecakapan diri mereka rendah padahal sebenarnya cukup tinggi, dan sebaliknya.
Situasi
terbaik adalah ketika anggapan seseorang itu sesuai dengan kemampuan sesungguhnya. Di
satu sisi, orang yang senantiasa berusaha untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya
akan mengalami frustrasi dan putus asa, dan bahkan akan selalu gampang menyerah. Di sisi
lain, jika orang memiliki anggapan kecakapan diri yang tinggi tidak menghadapi tantangan
yang memadai, perkembangan personalnya mungkin terhambat.
Setelah mengulas banyak riset tentang kecakapan diri pada berbagai kelompok usia baik
di setting laboratorium maupun dunia riil, Bandura dan Locke (2003) mengatakan:
Keyakinan tentang kecakapan bukan hanya memprediksikan fungsi behavioral antar-individu
pada level anggapan kecakapan diri yang berbeda, tetapi juga memprediksi perubahan dalam
fungsi individu pada level kecakapan diri yang berbeda dari waktu ke waktu dan bahkan
memprediksi variasi di dalam individu yang sama dalam menjalankan tugas yang sukses atau
gagal. (h. 87-88)
Tindakan Moral
Seperti standar performa dan anggapan kecakapan diri, moral code (kode
moral) seseorang
berkembang melalui interaksi dengan model. Dalam kasus moralitas, orang tua
biasanya
memberi contoh aturan moral yang kemudian diinternalisasikan oleh anak.
Setelah
terinternalisasi, kode moral seseorang akan menentukan perilaku (atau pikiran)
mana yang
akan mendapat hukuman dan mana yang tidak. Menyimpang dari kode moral
akan menimbulkan
sikap self-contempt (mencela diri) atau penyesalan, yang bukan merupakan
peng
alaman yang menyenangkan, dan karenanya biasanya orang bertindak sesuai
dengan kode
moralnya. Bandura (1977) mengatakan, “Rasa mencela diri (penyesalan) setelah
melanggar
standar akan menjadi sumber motivasi bagi seseorang untuk menjaga
perilakunya sejalan
dengan standarnya saat berhadapan dengan motif yang bertentangan. Tidak
ada hukuman
yang lebih buruk ketimbang pencelaan diri” (h. 154).
Bandura menentang teori tahapan (teori Piaget dan Kohlberg) dan teori bawaan
(teori
Allport). Alasan utamanya adalah teori-teori itu memprediksikan kestabilan
perilaku manusia
yang menurut Bandura tidak mungkin terjadi. Teori tahapan, misalnya,
memprediksikan
bahwa kemampuan intelektual atau moral seseorang ditentukan dengan
pendewasaan, dan
karenanya penilaian intelektual atau moral orang ini juga ditentukan oleh usia.
Hal yang
sama juga berlaku untuk teori bawaan, yang mengatakan bahwa orang akan
bertindak secara
konsisten dalam banyak situasi karena mereka adalah tipe orang tertentu atau
karena mereka
memiliki ciri bawaan tertentu. Bandura berpendapat bahwa perilaku manusia
tidak seluruhnya
konsisten. Manusia itu dipengaruhi lingkungan. Dengan kata lain, Bandura
percaya bahwa
perilaku manusia ditentukan oleh situasi dan interpretasinya atas situasi itu,
bukan oleh
tahapan perkembangannya, oleh ciri bawaannya atau oleh tipe orang itu.
Contoh terbaik dari perilaku situasional adalah moralitas. Meskipun seseorang
memiliki
prinsip moral yang kuat, ada beberapa mekanisme yang dapat dipakai untuk
memisahkan
tindakan yang tercela dengan pencelaan diri. Mekanisme ini memungkinkan
seseorang
melanggar prinsip moralnya tanpa merasa perlu mencela diri atau tanpa merasa
bersalah
(Bandura, 1986, h. 375-385):
1. Justifikasi Moral. Dalam moral justification (justifikasi moral) ini, tindakan
yang tercela
itu menjadi cara untuk mencapai tujuan yang lebih luhur dan karenanya
dibenarkan.
2. Pelabelan Eufemistis. Dengan menyebut tindakan tercela sebagai sesuatu
yang lain,
seseorang dapat melakukannya tanpa merasa bersalah.
3. Perbandingan yang Menguntungkan. Dengan membandingkan
tindakannya sendiri
dengan tindakan yang lebih bengis, seseorang bisa menjadikan tindakan
tercelanya tampak
lebih baik dengan menggunakan advantageous comparison (perbandingan
yang menguntungkan):
4. Pengalihan Tanggung Jawab. Melalui displacement of responsibility
(pengalihan tanggung
jawab), beberapa orang dapat melanggar prinsip moral mereka jika mereka
merasa diperintah
oleh otoritas dan karenanya menganggap tanggung jawab ada di pundak
pemberi
perintah.
5. Difusi Tanggung Jawab. Keputusan untuk bertindak tercela yang dilakukan
oleh satu
kelompok akan lebih mudah dilakukan ketimbang keputusan individual. Ketika
banyak orang
bertanggung jawab, yakni ketika ada diffusion of responsibility (difusi atau
penyebaran tanggung
jawab), maka individu tidak merasa bertanggung jawab.
6. Pengabaian atau Distorsi Konsekuensi. Dalam disregard atau
distortion of consequences,
orang mengabaikan atau mendistorsi bahaya yang disebabkan oleh tindakan
mereka dan,
karenanya, tidak perlu merasa bersalah atau mencela diri (menyesal). Semakin
jauh orang
mengabaikan efek buruk dari perilaku tak bermoral mereka, semakin sedikit
tekanan untuk
menahan dirinya.
7. Dehumanisasi. Jika beberapa individu dianggap manusia rendahan, mereka
bisa diperlakukan
secara tak manusiawi tanpa perlu merasa bersalah. Ketika seseorang atau satu
kelompok dehumanized (didehumanisasikan), anggotanya dianggap tak lagi
memiliki perasaan,
harapan, dan perhatian, dan mereka bisa diperlakukan buruk tanpa berisiko
pencelaan
diri.
8. Atribusi Kesalahan. Seseorang selalu dapat menyebut sesuatu yang
dikatakan atau
dilakukan korban sebagai alasan untuk bertindak keras atau tercela. Bandura
memberi
contoh dari attribution of blame (atribusi kesalahan).
Apakah adanya perilaku yang diatur sendiri berarti bahwa manusia bebas untuk
melakukan
sesuatu yang dipilihnya? Bandura (1986, h. 42) mendefinisikan freedom
(kebebasan) dalam
term jumlah opsi yang tersedia dan kesempatan untuk melakukannya. Menurut
Bandura,
pembatas kebebasan personal antara lain adalah inkompetensi, ketakutan tidak
berdasar,
menahan diri secara berlebihan, dan pembatas sosial seperti diskriminasi dan
prasangka.
Bandura (1989) menjelaskan:
Dalam lingkungan yang sama, orang yang memiliki keterampilan untuk menjalankan banyak
opsi dan pandai dalam mengatur motivasi dan perilakunya akan lebih sukses dalam mengejar
tujuannya ketimbang orang yang terbatas kemampuannya. Ini disebabkan pengaruh-diri beroperasi
secara deterministik pada tindakan yang mungkin dilakukan secara bebas. (h. 1182)
Jadi, dalam lingkungan fisik yang sama beberapa individu lebih bebas ketimbang
individu
lainnya. Penghambat kebebasan lainnya adalah proses kognitif yang salah, yang
menyebabkan
orang tidak berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya.
Agen Manusia
Dari perspektif agen ini banyak hal yang kita pelajari sudah
direncanakan terlebih dahulu dan dipandu oleh skema kognisi. Skema itu
mencakup fokus pada tujuan yang direpresentasikan secara kognitif,
antisipasi kejadian positif dan negatif yang mungkin terjadi, dan perilaku
koreksi-diri untuk mempertahankan kemajuan ke arah hasil yang
diharapkan. Dalam pengertian ini, teori agen manusia oleh Bandura
menempatkannya dalam jajaran psikologi kognitif kontemporer dan
menjauhkannya dari teoretisi behavioris awal. Kita akan membahas apa
yang dimaksud Bandura sebagai “ciri utama” dari agen manusia.
Pertama, agen manusia dicirikan oleh intentionality
(intensionalitas) yang didefinisikan
Bandura (2001) sebagai “representasi arah tindakan yang akan dilakukan
di masa depan”
(h. 6). Dengan kata lain, intensionalitas melibatkan perencanaan arah
tindakan untuk tujuan
tertentu. Jadi, seseorang yang ingin belajar main golf atau piano akan
membuat rencana
untuk mengikuti kursus, berlatih setiap minggu pagi, berlangganan
majalah yang relevan,
dan sebagainya. Tetapi, rencana itu sendiri tidak menjamin individu akan
bisa menguasai
ketrampilan itu; ada kemungkinan hasilnya tak sesuai rencana.
Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori
behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan
tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam
mendalami sesuatu yang ditiru.
Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui
peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik
peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan yang tidak
diterima dalam masyarakat.
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena itu
menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif
orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata reflex atas
stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara
lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan
merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan
pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini
berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan
kognitif.
https://www.kompasiana.com/jokowinarto/550094558133119a17fa79fd/teori-belajar-
sosial-albert-bandura
https://en.wikipedia.org/wiki/Albert_Bandura
hergenhahn, b. r. dan olson, matthew h. 2010. Theories of learning. Jakarta: kencana
predana media group.