Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Visi pembangunan gizi adalah mewujudkan keluarga yang mandiri sadar gizi

untuk mencapai status gizi masyarakat yang optimal. Salah satu tujuan yang ingin

dicapai sesuai dengan rencana aksi pangan dan gizi Nasional 2004 – 2010 adalah

mengurangi gizi kurang pada balita. Status gizi balita merupakan gambaran dari

status gizi masyarakat. Rendahnya status gizi balita akan menjadi masalah pada

sumber daya manusia di masa mendatang. Salah satu dampak gizi buruk pada

balita adalah menurunnya tingkat kecerdasan/IQ. Menurut Hananto Wiryo (2002:

1) ”Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kesehatan dan

kesejahteraan manusia. Baik atau buruknya kesehatan dan kesejahteraan

seseorang akan bergantung pada keadaan gizi orang tersebut. Semakin baik

keadaan gizi seseorang, maka akan semakin baik kesehatannya dan kesejahteraan

hidupnya.”

Keadaan gizi seseorang dalam suatu masa bukan saja ditentukan oleh

konsumsi zat gizi pada saat itu saja, tetapi lebih banyak ditentukan pada masa

yang telah lampau (Hananto Wiryo, 2002: 1). Ini berarti bahwa konsumsi zat gizi

masa kanak-kanak mempunyai peran terhadap status gizi setelah dewasa. Masalah

gizi merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan pertumbuhan dan

perkembangan anak.

Keadaan gizi akan ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor

eksternal yang mempengaruhi antara lain ketersediaan bahan pangan pada suatu

1
daerah, lingkungan tempat tinggal, dan pelayanan kesehatan yang tersedia di

daerah tempat tinggal. Sedangkan faktor internal, antara lain cukup tidaknya

pangan seseorang dan kemampuan tubuh menggunakan pangan tersebut. Cukup

tidaknya pangan dapat dilihat dari pola makan yang dilakukan sehari-hari. Pola

makan tersebut tergantung pada pengetahuan gizi yang dimiliki oleh

penyelenggara makanan. Seperti yang dikemukakan Yetti Nency, dkk. (2005)

bahwa kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan asupan makanan akibat tidak

tersedianya makanan yang adekuat, anak tidak cukup mendapat makanan bergizi

seimbang, dan pola makan yang salah.

Dalam hal ini orang tua sangat berperan untuk memperhatikan masalah gizi

sang anak. Seperti telah diketahui bahwa seorang ibu merupakan sosok yang

menjadi tumpuan dalam mengelola makan keluarga. Jadi, secara tidak langsung

kesejahteraan pangan keluarga akan sangat tergantung pada ibu. Semakin baik

pengelolaan makan yang dilakukan oleh ibu, maka akan semakin pula pola makan

keluarga. Sehingga dalam pemberian makan tersebut penting pula untuk

diperhatikan asupan gizinya karena hal tersebut akan berpengaruh pada status gizi

keluarga, khususnya anak. Semua itu tak lepas dari kemampuan ibu dalam

memilih, mengolah, serta mengatur makan yang dibutuhkan oleh anggota

keluarga. Hal yang mendasari pengelolaan makan keluarga adalah pengetahuan

gizi yang dimiliki oleh ibu. Secara tidak langsung kebiasaan makan yang

dilakukan ibu akan mempengaruhi kebiasaan makan anak.

Pada masa balita anak merupakan golongan konsumen pasif, yaitu belum

dapat mengambil dan memilih makanan sendiri. Sesuai dengan yang

2
dikemukakan Asparno Mardjuki dan Satoto dalam Padma Ernawati (1997: 5),

bahwa gizi memang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan otak yang

98% terjadi pada anak usia balita. Maka bila terjadi kesalahan pemberian gizi

pada anak balita akan mengganggu perkembangan otak anak tersebut. Untuk itu,

pemberian makan pada anak hendaknya lebih memperhatikan kandungan gizi agar

kebutuhan gizi yang diperlukan oleh tubuh anak dapat terpenuhi sehingga

perkembangan dan pertumbuhan anak tidak mengalami hambatan atau gangguan.

Menurut Suhardjo (1996: 25), ”Suatu hal yang harus diketahui adalah

pengetahuan gizi yang didasarkan pada 3 kenyataan, yaitu: (1) Status gizi yang

cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan; (2) Setiap orang hanya

akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi

yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan

energi; (3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat

belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

Hasil Pemantauan Status Gizi Kabupaten Bolaang Mongondow Timur tahun

2014, dari 3630 balita yang diukur terdapat balita Kurangan Energi Protein 605

(16,67%), sedang untuk Kecamatan Motongkad dari 150 balita yang diukur

terdapat 29 balita Kurangan Energi Protein (19,33%) dan untuk Desa Motongkad

Utara dari 30 balita yang diukur terdapat 8 balita Kurangan Energi Protein

(26,67%) (Laporan Hasil Pemantauan Status Gizi Puskesmas di Kecamatan

Motongkad). Kasus Kurangan Energi Protein yang terjadi di Desa Motongkad

Utara berada jauh diatas target yang diharapkan.

3
Berkaitan dengan hal tersebut, menunjukkan bahwa pengetahuan yang

dimiliki ibu tentang gizi balita akan mendasari pemberian makan yang dilakukan

kepada anak, sehingga akan menentukan pola makan anak. Selanjutnya akan

menentukan status gizi dari anak tersebut. Berdasarkan pertimbangan pemikiran

di atas maka peneliti mengambil judul “Hubungan tingkat pengetahuan ibu

tentang gizi dengan status gizi anak balita di desa motongkad kecamatan

motongkad kabupaten bolaang mongondow timur”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang tersebut dapat diidentifikasikan beberapa masalah, yaitu:

1. Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan berkurangnya

kemampuan menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari, hal ini

merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi.

2. Dari 30 balita Desa Motongkad yang diukur terdapat 8 balita Kekurangan

Energi Protein (26,67%) yang perlu ditangani segera.

3. Tidak diketahui bagaimana pengetahuan gizi Ibu dan hubungannya dengan

status gizi balita di Desa Motongkad.

C. Batasan Masalah

Pokok permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini akan dibatasi pada

hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak balita.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

4
1. Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang gizi balita

dengan status gizi balita pada anggota Posyandu di desa Motongkad

Kecamatan Motongkad?

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara pengetahuan Ibu tentang gizi dengan status gizi

anak balita di Desa Motongkad Kecamatan Motongkad Kabupaten Bolaang

Mongondow Timur

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi.

b. Mendeskripsikan status gizi anak balita.

F. Manfaat Penelitian

Dari hal-hal yang diungkapkan dalam penelitian ini, diharapkan dapat

memberi kegunaan antara lain:

1. Memberi informasi kepada masyarakat terutama anggota posyandu di Desa

Motongkad Kecamatan Motongkad untuk mengetahui pentingnya informasi

tentang gizi balita sebagai acuan dalam pemberian makanan balita.

2. Meningkatkan motivasi tenaga kesehatan terkait dalam pemberian edukasi gizi

pada ibu dengan balita di Desa Motongkad Kecamatan Motongkad

3. Memberi referensi kepada peneliti selanjutnya untuk pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya terkait masalah gizi pada balita.

5
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengetahuan

Menurut Poerwodarminto (1976: 104) pengetahuan dapat diartikan

sebagai segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal. Jadi pengetahuan

ibu tentang gizi balita dapat diartikan sebagai segala apa yang diketahui oleh ibu

tentang zat makanan pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kesehatan

badan balita. Balita merupakan anak usia di bawah lima tahun (0-5) tahun. Pada

usia tersebut merupakan masa pertumbuhan yang memerlukan perhatian khusus

dari orangtua. Orangtua yang paling berperan dalam tumbuh kembang anak

adalah ibu, terutama dalam hal makanan agar asupan gizi yang diberikan balita

dapat seimbang. Hal tersebut dikarenakan balita merupakan usia yang rentan akan

gizi dan perlu pemantauan khusus masalah gizi agar mampu tumbuh dan

berkembang secara optimal.

Sumber pengetahuan tentang gizi balita yang dimiliki oleh ibu dapat

diperoleh dari jenjang pendidikan, yaitu a) Pendidikan formal, b) Pendidikan

informal, c) Pendidikan non formal.

a. Pendidikan Formal

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan formal adalah pendidikan di

sekolah teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan dibagi dalam waktu-waktu

tertentu yang berlangsung dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.

Tempat untuk melaksanakan pendidikan formal disebut lembaga pendidikan

formal, karena mempunyai bentuk yang jelas dan program yang telah

6
direncanakan dengan peraturan dan ditetapkan secara resmi. Tujuan pendidikan

formal adalah untuk memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan serta

membina sikap kepribadian kepada anak didik sesuai dengan kebutuhannya.

b. Pendidikan Informal

Pendidikan yang diperoleh sekarang dari pengalaman sehari-hari dengan

sadar atau tidak sadar sejak seseorang lahir sampai mati di dalam keluarga, dalam

pekerjaan atau pergaulan sehari-hari (S.T. Vembrianto, 1981: 22). Dalam

pendidikan informal berlangsung setiap saat tidak terikat waktu dan tempat.

c. Pendidikan Non-formal

Pendidikan yang teratur dengan sadar dilakukan tetapi tidak terlalu

mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat (S.T. Vembrianto 1981: 23).

Pendidikan non formal mempunyai bentuk dan aktivitas yang luas dan beraneka

ragam dengan tujuan yang berbeda dan di bawah tanggung jawab Departemen

yang berbeda tergantung dari tujuannya. Dewasa ini, pendidikan non formal pada

umumnya dalam bentuk kursus-kursus.

Menurut Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2003), pengetahuan

merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt

behavior). Dari pengalaman penelitian tertulis perilaku yang didasari oleh

pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Pengetahuan dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan sebagai

berikut:

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari Sebelumnya.

7
b. Memahami (Comprehensio)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam

komponen-komponen.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi yaitu kemampuaan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap

suatu materi atau objek.

B. Gizi

1. Pengertian Gizi

Gizi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan

fungsinya (Almatsier, 2002). Gizi merupakan suatu proses organisme dalam

menggunakan bahan makanan yang dikonsumsi melalui proses digesti, absorpsi,

transportasi, penyimpanan metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak

digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi dari

organ-organ, serta menghasilkan energi (Supariasa, 2001).

8
2. Bahan Makanan

Bahan makanan sering juga disebut bahan pangan, adalah apa yang kita

makan dan konsumsi, misalnya: nasi, sayur, buah, daging, dll. Dalam susunan

hidangan Indonesia, berbagai jenis bahan makanan dapat dikelompokkan ke

dalam:

1) Bahan makanan pokok

2) Bahan makanan lauk pauk

3) Bahan makanan sayur

4) Bahan makanan buah – buahan (Almatsier, 2002).

Susunan hidangan yang mengandung keempat jenis kelompok bahan

makanan tersebut, masing – masing dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan

badan, dikenal oleh para ahli gizi di Indonesia sebagai susunan ”Empat Sehat”,

jika ditambah dengan susu dalam jumlah yang mencukupi, menjadi ”Empat Sehat

Lima Sempurna”. Susunan “Empat Sehat Lima Sempurna” ini terutama ditujukan

bagi anggota masyarakat yang disebut kelompok rawan gizi (bayi, balita, ibu

hamil dan menyusui) (Soediatama, 2000).

Slogan “Empat Sehat Lima Sempurna” merupakan bentuk implementasi

PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang). PUGS diwujudkan dalam bentuk

“Pesan Dasar Gizi Seimbang”, yang pada hakikatnya merupakan perilaku

konsumsi yang sehat untuk bangsa Indonesia (Almatsier, 2002).

3. Zat Makanan

Setelah dikonsumsi di dalam alat pencernaan, bahan makanan diurai

menjadi berbagai zat makanan atau zat gizi. Zat makanan inilah yang yang diserap

9
melelui dinding usus masuk ke dalam cairan tubuh. Fungsi zat – zat makanan

secara umum adalah:

1) Sebagai sumber energi atau tenaga (karbohidrat, lemak, protein).

2) Menyokong pertumbuhan badan.

3) Memelihara jaringan tubuh, mengganti sel-sel yang rusak (protein).

4) Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan misalnya

keseimbangan air, keseimbangan asam-basa dan keseimbangan mineral di

dalam cairan tubuh (vitamin dan mineral).

5) Berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit,

misalnya sebagai antioksidan dan antibodi lainnya (Soediatama, 2000).

C. Status Gizi

a. Pengertian.

Status gizi bisa diartikan suatu keadaan tubuh manusia akibat dari

konsumsi suatu makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang

dibedakan antara status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih

(Almatsier, 2002).

b. Penilaian status gizi.

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan:

1) Antropometri

Antropometri gizi adalah hal-hal yang berhubungan dengan berbagai

macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat

umur dan tingkat gizi. Penilaian status gizi dengan antropometri digunakan untuk

10
melihat ketidakseimbangan antara energi dan protein (Supariasa, 2001). Indeks

antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi adalah:

a. BB/U (Berat Badan menurut Umur)

Indeks antropometri dengan BB/U mempunyai kelebihan

diantaranya lebih mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum, baik

untuk mengukur status gizi akut atau kronis, berat badan dapat berfluktuasi,

sangat sensitif terhadap perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan

(Supariasa, 2001).

b. TB/U (Tinggi Badan menurut Umur)

Tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan

keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh

seiring dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TB/U diantaranya

adalah baik untuk menilai status gizi masa lampau, pengukur panjang badan

dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa (Supariasa, 2001).

c. BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan)

Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan

pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan dari indeks

BB/TB adalah tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi

badan (gemuk, normal dan kurus) (Supariasa, 2001).

2) Klinis dan Biokimia

Pemeriksaan klinis didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi dan

dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Pemeriksaan biokimia merupakan

11
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris dilakukan pada jaringan tubuh

(Supariasa, 2001).

3) Biofisik

Penilaian status gizi dengan cara biofisik dilakukan dengan melihat

kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur dari jaringan tersebut

(Supariasa, 2001).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

Menurut Prawirohartono (1996), masalah gizi dipengaruhi oleh dua faktor,

yaitu faktor langsung dan tidak langsung:

1) Faktor Langsung

a. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi dan keadaan gizi anak merupakan 2 hal yang saling

mempengaruhi. Dengan infeksi nafsu makan anak mulai menurun dan

mengurangi konsumsi makanannya, sehingga berakibat berkurangnya zat gizi

ke dalam tubuh anak. Dampak infeksi yang lain adalah muntah dan

mengakibatkan kehilangan zat gizi. Infeksi yang menyebabkan diare pada

anak megakibatkan cairan dan zat gizi di dalam tubuh berkurang. Kadang-

kadang orang tua juga melakukan pembatasan makan akibat infeksi yang

diderita dan menyebabkan asupan zat gizi sangat kurang sekali bahkan bila

berlanjut lama mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Moehji, 1992).

Penyakit infeksi dapat menyebabkan keadaan gizi kurang baik, karena

taraf gizi yang buruk tersebut anak akan semakin lemah dalam melawan

infeksi tersebut akibat dari reaksi kekebalan tubuh yang menurun. Sebaliknya,

12
jika keadaan gizi anak baik tubuh akan mempunyai kemampuan untuk

mempertahankan diri dari penyakit infeksi (Moehji, 1992).

b. Asupan makanan

Makanan merupakan kebutuhan dasar bagi hidup manusia. Makanan yang

dikonsumsi beragam jenis dengan berbagai cara pengolahannya. Bayi dan

anak balita sangat membutuhkan makanan untuk pertumbuhan dan

perkembangannya. Makanan yang diberikan pada bayi maupun balita juga

harus disesuaikan dengan kemampuan mencernanya. Untuk itu diperlukan

makanan yang cocok bagi usia mereka dan mengandung cukup zat gizi yaitu

ASI dan MP ASI (Santoso, 1999).

2) Faktor Tidak Langsung

Faktor-faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi balita

meliputi:

a. Pengetahuan Gizi

Pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kesehatan akan

mempengaruhui terjadinya gangguan kesehatan pada kelompok tertentu.

Dengan memiliki pengetahuan khususnya kesehatan, seseorang dapat

mengetahui berbagai macam gangguan kesehatan yang memungkinkan terjadi

serta dapat dicari pemecahannya (Notoatmodjo, 1997).

Aspek-aspek pengetahuan gizi diantaranya pangan dan gizi (pengertian,

jenis, fungsi, sumber, akibat kekurangan), pangan / gizi bayi (ASI, MP ASI,

umur pemberian, jenis), pangan dan gizi balita, pangan dan gizi ibu hamil,

pertumbuhan anak, kesehatan anak serta pengetahuan tentang pengasuhan

13
anak. Kurangnya pengetahuan gizi mengakibatkan berkurangnya kemampuan

menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan salah satu

penyebab terjadinya gangguan gizi (Suhardjo, 2002).

b. Usia Penyapihan

Masa penyapihan adalah masa dimana bayi mulai proses pengurangan

ketergantungan pada ASI dan mulai dikenalkan denganmakanan keluarga.

Proses penyapihan dapat dilakukan dengan 2 cara yakni dengan mengurangi

frekuensi pemberian ASI yang diikuti makanan tambahan dan mengkonsumsi

obat-obatan yang dapat berdampak menghentikan produksi ASI (Tara, 2004).

Dari segi ilmu gizi, penyapihan yang baik pada usia anak mencapai 24

bulan, karena zat gizi dan zat antibodi dalam ASI diproduksi sampai usia anak

2–3 tahun. Selain itu penghentian pemberian ASI atau berkurangnya

pemberian ASI akan menimbulkan penyakit kwashiorkor pada usia anak 1–3

tahun (Suharyono, 1998).

c. BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah)

Angka kejadian BBLR di Indonesia sekitar 12%-22%. BBLR merupakan berat

badan lahir rendah yakni berat badan bayi yang dilahirkan kurang dari 2,5

kilogram.

Bayi dengan berat badan lahir rendah mempunyai daya tahan tubuh yang

rendah karena semasa dalam kandungan immunologinya belum sempurna.

Bayi BBLR mempunyai kencenderungan rawan gizi karena melihat

kemampuan yang dimiliki dan kebutuhan akan zat-zat gizi bayi BBLR relatif

lebih tinggi dibandingkan bayi normal (Tara, 2004).

14
d. Pemberian Makanan Terlalu Dini

Dilihat dari sudut pandang kematangan fisiologis dan kebutuhan gizi,

pemberian makanan selain ASI kepada bayi sebelum usia 4 bulan biasanya

sering dilakukan sehingga mengundang resiko, seperti bayi akan mudah

terkena diare/penyakit-penyakit lain (Akre, 1993).

Sebelum bayi berusia 4 bulan, bayi belum siap untuk menerima makanan

semi padat juga makanan yang belum dirasa perlu, sepanjang bayi tersebut

masih tetap memperoleh ASI, kecuali pada keadaan tertentu. Di usia ini

produksi dari enzim-enzim pencernaan terutama amilase masih rendah.

Biasanya makanan yang diberikan diusia tersebut mempunyai nilai gizi yang

lebih rendah dari ASI sehingga dapat merugikan bayi (Akre, 1993).

e. Besar Keluarga

Besar keluarga atau banyaknya anggota keluarga berhubungan erat dengan

distribusi dalam jumlah ragam pangan yang dikonsumsi anggota keluarga

(Suhardjo, 1996).

Keberhasilan penyelenggaraan pangan dalam satu keluarga akan

mempengaruhi status gizi keluarga tersebut. Salah satu faktor yang

menentukan keberhasilan tersebut adalah besarnya keluarga/jumlah anggota

keluarga. Besarnya keluarga akan menentukan besar jumlah makanan yang

dikonsumsi untuk tiap anggota keluarga. Semakin besar jumlah anggota

keluarga maka semakin sedikit jumlah asupan zat gizi atau makanan yang

15
didapatkan oleh masing-masing anggota keluarga dalam jumlah penyediaan

makanan yang sama (Jellife, 1994).

f. Pola Asuh Anak

Pola asuh dapat berupa sikap dan perilaku ibu maupun pengasuh lain

dalam kedekatannya dengan anak. Pola pengasuhan balita berhubungan erat

dengan pola pemberian konsumsi, karena balita mempunyai hubungan

kelekatan yang kuat terutama ibu atau pengasuh lain, sehingga pola asuh

mempunyai peran yang cukup besar terhadap peningkatan status gizi balita

(Setyaningsih, 2008).

g. Kesehatan Lingkungan

Kurang energi protein merupakan permasalahan ekologis dimana tidak

saja disebabkan oleh ketidakcukupan ketersediaan pangan atau zat-zat gizi

tertentu tetapi juga dipengaruhi kemiskinan, sanitasi lingkungan yang kurang

baik dan ketidaktahuan ibu terhadap gizi (Suhardjo, 1996).

Sebagian besar penduduk umumnya mengkonsumsi makanan secara

terbatas dan hidup di lingkungan yang kurang sehat sehingga resiko bayi yang

mendapat ASI dan mendapat makanan pelengkap terlalu dini adalah penyakit

diare. Terbukti ditemukannya sejumlah bakteri pada makanan. Faktor

kontaminasi tangan oleh mikrobakteri juga menyebabkan diare. Kualitas dan

kuantitas air merupakan faktor penting penentu morbiditas pada anak balita

(Akre, 1993).

h. Pelayanan Kesehatan

16
Fasilitas pelayanan kesehatan penting dalam menyokong status kesehatan

dan gizi anak, bukan hanya segi kuratif, tetapi juga preventif, promotif dan

rehabilitatif. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan disebabkan oleh jarak

yang jauh/ketidakmampuan membayar, kurangnya pendidikan dan

pengetahuan merupakan kendala dalam memanfaatkan sarana pelayanan

kesehatan (Depkes, 2000).

D. Balita

Masa balita merupakan kehidupan yang sangat penting dan diperlukan

perhatian yang lebih dan khusus. Dimasa ini proses tumbuh kembang sangat pesat

diantaranya pertumbuhan fisik, perkembangan psikomotorik, mental dan sosial.

Pertumbuhan balita sangat di pengaruhi beberapa hal diantaranya jumlah dan

mutu makanan, kesehatan balita, tingkat ekonomi, pendidikan dan perilaku orang

tua (Depkes, 2000).

Kelompok balita merupakan salah satu kelompok yang rawan gizi dan rawan

penyakit serta paling banyak menderita KEP. Beberapa kondisi yang dapat

menyebabkan balita rawan gizi dan kesehatan antara lain:

a. Anak balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke

makanan dewasa.

b. Anak balita mempunyai ibu yang bekerja sehingga perhatian ibu sudah

berkurang.

c. Anak balita sudah mulai main di tanah, lingkungan yang kotor sehingga

memungkinkan untuk terjadi infeksi.

17
d. Anak balita belum bisa memilih makanannya, peran perilaku orang tua

yang didasari pengetahuan sangatlah penting (Notoatmodjo, 1997).

Balita membutuhkan zat-zat gizi untuk tumbuh kembang, perbaikan atau

pengganti sel-sel yang rusak, pengaturan tubuh, kekebalan terhadap penyakit. Zat-

zat gizi yang dibutuhkan diantaranya karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan

mineral dengan jumlah kalori di dalam makanan berdasarkan komposisi

banyaknya zat gizi yang terkandung. Balita membutuhkan kalori lebih banyak

perkilogram berat badannya daripada orang dewasa untuk pertumbuhannya selain

untuk kebutuhan fisik (Husaini, 2002).

Kebutuhan protein bayi dan anak relatif lebih besar bila jika dibandingkan

orang dewasa. Angka kebutuhan tersebut tergantung pula pada mutu protein.

Semakin baik mutu protein, semakin rendah kebutuhan protein (Persagi, 2003).

E. Kerangka Berpikir

 Pengetahuan gizi
 Usia penyapian
 BBLR Asupan
 Pemberian makan makanan
terlalu dini
Status gizi anak balita
 Besar keluarga
berdasar indeks
antropometri BB/U
 Pola asuh anak
dan TB/U dalam Buku
 Kesehatan Penyakit KMS
lingkungan infeksi
 Pelayanan
kesehatan
F. Hipotesis

18
Hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang masih perlu diuji

kebenarannya. Adapun hipotesis yang diajukan adalah: Ada hubungan antara

tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak balita.

19
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik korelasional dengan pendekatan

yang digunakan adalah cross sectional. Analitik korelasional karena mencari

hubungan dua variabel yang kemudian akan dicari koefisien korelasinya

(Arikunto, 2002).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu penelitian dilaksanakan selama 1 bulan pada bulan Juli 2019.

2. Tempat penelitian dilaksanakan di Puskesmas Wilayah Desa Motongkad

Utara Kecamatan Motongkad Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek / subyek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2005). Populasi

pada penelitian ini adalah seluruh anak balita yang berada Di Desa Motongkad

Kecamatan Motongkad Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik

Accidental Sampling yaitu penentuan sampel yang diambil dari responden atau

kasus yang kebetulan ada (Notoatmodjo, 2003). Didapatkan sampel sejumlah 30

sampel.

20
D. Variabel Penelitian

Variabel adalah gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati. (Sugiyono,

2005). Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel bebas dan

variabel terikat.

1. Variabel bebas, yaitu variabel yang menjadi sebab timbulnya variabel

dependen (Sugiyono, 2005). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

pengetahuan ibu tentang gizi.

2. Variabel terikat adalah variabel yang menjadi akibat karena adanya variabel

bebas (Sugiyono, 2005). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah status

gizi anak balita.

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional variabel penelitian disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Instrumen Skala Hasil Ukur


Pengetahu Pemahaman Ibu Kuesioner Ordinal Baik ≥ Median
an Ibu terkait gizi balita Kurang < Median
tentang (Median = 13)
Gizi balita
Status gizi Klasifikasi gizi anak KMS Ordinal Gizi Baik
anak balita berdasarkan Balita Gizi Cukup
balita indikator WHO Gizi Kurang
(BB/U) yang telah
dikaji oleh tenaga
kesehatan dan
dicantumkan dalam
Buku KMS
F. Instrumen Penelitian

21
Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner untuk variabel pengetahuan

dan data KMS Balita untuk status gizi balita.

Kuesioner disusun berdasarkan kisi-kisi sebagai berikut:

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Kuesioner

Jumlah Nomor
Variabel Sub Variabel
Item Soal
Pengetahuan 1) Pengetahuan makanan sehat 2 1-2

tentang gizi 2) Sumber gizi pada makanan 4 3-6

3) Makan makanan berkadar lemak 1 7

sedang dan rendaa lemak jenuh

4) Frekuensi makan 1 8
5) Makan aneka ragam makanan 2 9-10

6) Minum air bersih, aman dan cukup 1 11

jumlahnya

7) Akibat kekurangan zat gizi 2 12-13

8) Mengkonsumsi garam beryodium 3 14-16

9) Memberikan ASI sampai usia 6 4 17-20

bulan

10) Membiasakan makan pagi 1 21

11) Pengolahan bahan makanan 2 22-23

12) Mengkonsumsi makanan yang 1 24

aman bagi kesehatan

13) Pemberian makanan tambahan 1 25

Kuesioner yang digunakan terdiri dari:

22
1. Identitas, berisikan identitas responden meliputi nama responden, alamat,

umur, pendidikan terakhir serta identitas balita yang meliputi nama

balita, jenis kelamin, umur, berat badan, status gizi.

2. Pengetahuan tentang gizi balita berisikan soal – soal, melalui kuesioner.

Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup dengan jawaban

benar diberi nilai 1 dan jawaban salah diberi nilai 0. Nilai Median untuk

Skor pengetahuan adalah 13. Untuk mendapatkan kategori pengetahuan

dilakukan perhitungan dengan ketentuan :

Pengetahuan Baik ≥ Median

Pengetahuan Kurang < Median

Status gizi balita menggunakan indikator yang terdapat dalam Buku KMS

Balita yang telah diisi oleh tenaga kesehatan. Status gizi balita diklasifikasikan

sebagai berikut :

Gizi Baik

Gizi Cukup

Gizi Kurang

G. Analisa Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat

dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing

variabel dalam frekuensi dan persentase. Analisis bivariat digunakan untuk

menganalisis hubungan antara dua variabel. Adapun uji yang digunakan adalah

chi-square.

Hipotesis penelitian dalam penelitian ini yaitu :

23
H0 : Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan Ibu dan status gizi balita

Ha : Terdapat hubungan antara pengetahuan Ibu dan status gizi balita

Pengambilan keputusan hipotesis berdasarkan nilai p pada uji chi-square

dengan nilai α=0,05 dituliskan sebagai berikut,

p<0,05: H0 ditolak dan Ha diterima


p>0,05: H0 diterima dan Ha ditolak
H. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpuan data yang peneliti lakukan yaitu dengan cara observasi,

kuesioner dan dokumentasi yang meliputi:

1. Observasi

Dalam kaitanya dengan penelitian ini observasi yang dilaksanakan adalah

untuk memperoleh gambaran umum serta permasalahan yang terjadi pada objek

penelitian.

2. Kuesioner

Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk

memperoleh informasi dari responden tentang hal-hal yang diketahui (Arikunto,

2002).

3. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu mencari data pengukuran antropometri balita yang tercatat

dalam buku KMS balita.

24
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Analisis Univariat

Penelitian telah dilakukan terhadap 30 Ibu dengan balita di Desa Motongkad

Kecamatan Motongkad. Data karakteristik Ibu sebagai responden terdiri dari umur

dan pendidikan terakhir disajikan dalam tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Karakteristik Ibu

Karakteristik n %
Umur
20-30 15 50
31-40 12 40
>40 3 10
Pendidikan Terakhir
Tidak Sekolah / Tidak Tamat SD 2 6,7
SD 5 16,7
SMP 7 23,2
SMA 14 46,7
Perguruan Tinggi 2 6,7
Total 30 100

Dari tabel 4.1 diatas, diketahui bahwa sebagian besar Ibu berada dalam

rentang usia 20-30 (50%), disusul rentang usia 31-40 tahun (40%) dan yang

paling sedikit adalah diatas 40 tahun (10%). Dari segi pendidikan terakhir,

sebagian besar Ibu merupakan tamatan SMA (46,7%) sementara yang paling

sedikit adalah yang tidak sekolah/tidak tamat SD (2%) dan tamat perguruan

tinggi (2%).

25
Karakteristik Balita terdiri dari umur dan jenis kelamin balita. Distribusi

balita menurut karakteristiknya disajikan dalam tabel 4.2 berikut

Tabel 4.2 Karakteristik Balita

Karakteristik n %
Umur
<12 Bulan 2 6,67
12-23 Bulan 5 16,67
24-35 Bulan 6 20
36-47 Bulan 7 23,33
48-59 Bulan 10 33,33
Jenis Kelamin
Laki-laki 18 60
Perempuan 12 40
Total 30 100

Berdasarkan tabel 4.2 diatas, diketahui bahwa balita terbanyak berusia 48-59

bulan (33,33%) dan yang paling sedikit adalah balita berusia dibawah 12 bulan.

Berdasarkan jenis kelamin, diketahui balita laki-laki (60%) lebih banyak

dibandingkan balita perempuan (40%).

Pengetahuan Ibu tentang gizi balita diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu

baik dan kurang. Pengetahuan Ibu disajikan dalam tabel 4.3.

Tabel 4.3 Pengetahuan Ibu tentang Gizi

Pengetahuan n %
Baik 14 46,67
Kurang 16 53,33
Total 30 100

Berdasarkan tabel 4.3, diketahui bahwa Ibu yang memiliki pengetahuan yang

kurang baik (53,33%) lebih banyak dibandingkan Ibu dengan pengetahuan yang

baik (46,67%).

26
Status gizi balita yang dikaji oleh tenaga kesehatan di Posyandu dan dicatat

dalam Buku KMS Balita disajikan dalam tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4 Status Gizi Balita


Status Gizi n %
Baik 12 40
Cukup 10 33,33
Kurang 8 26,67
Total 30 100

Berdasarkan tabel 4.4 diatas, diketahui bahwa sebagian besar balita memiliki

status baik (40%), gizi cukup (33,33%), dan yang paling sedikit adalah gizi

kurang 26,67%.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang digunakan untuk menguji hubungan antara variabel

pengetahuan Ibu dengan status gizi balita adalah uji chi-square. Berikut

merupakan hasil analisis bivariat yang disajikan dalam tabel 4.5

Tabel 4.5 Hubungan Pengetahuan Ibu dan Status Gizi Balita

Status Gizi p value

Baik Cukup Kurang Total

Pengetahuan Baik 10 4 0 14
(33,33%) (13,33%) (0%) (46,67%)

Kurang 2 6 8 16 0,001
(6,66%) (20%) (26,67) (53,33)

Total 12 10 8 30
(39,99%) (33,33%) (26,67%) (100%)

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa Ibu dengan pengetahuan baik

cenderung memiliki balita dengan status gizi yang baik (33,33%). Sementara Ibu

dengan pengetahuan yang kurang lebih cenderung memiliki balita dengan status

27
gizi kurang. Analisis chi-square diperoleh p value sebesar 0,001 (<α = 0,05),

dengan demikian diambil keputusan H0 ditolak dan Ha diterima atau dapat

disimpulkan terdapat hubungan antara pengetahuan Ibu dengan status gizi balita.

B. Pembahasan

Status gizi merupakan isu penting dalam kesehatan masyarakat. adapun status

gizi khususnya gizi pada balita sangat bergantung pada pengetahuan dari penyedia

asupan gizi yaitu Ibu secara khusus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

hubungan antara pengetahuan Ibu tentang gizi dengan status gizi pada anak Balita

yang ada di Desa Motongkad.

Analisis chi-square yang telah dilakukan menunjukkan nilai p 0,001, dimana

nilai ini berarti terdapat hubungan antara pengetahuan Ibu tentang gizi dengan

status gizi pada anak balita. Hasil ini sejalan dengan studi oleh Miftahul (2016)

yang dilakukan terhadap anak dibawah lima tahun di Posyandu Wilayah kerja

Puskesmas Nusukan Surakarta dengan p value 0,001. Demikian pula hasil yang

diperoleh Kurniawati (2012), didapatkan nilai p=0,001 terdapat hubungan antara

tingkat pengetahuan Ibu tentang gizi dengan status gizi balita di Kelurahan

Baledono Kecamatan Purworejo.

Hasil-hasil studi sebelumnya mendukung hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan faktor penting dalam pembentukan

pola asupan gizi yang baik bagi anak balita. Nampak dari hasil penelitian ini,

bahwa Ibu dengan pengetahuan baik cenderung memiliki balita dengan status gizi

yang baik (33,33%). Sementara Ibu dengan pengetahuan yang kurang lebih

cenderung memiliki balita dengan status gizi kurang. Hal tersebut berarti untuk

28
meningkatkan status gizi balita di Desa Motongkad, maka diperlukan upaya untuk

meningkatkan pengetahuan Ibu tentang gizi.

Upaya peningkatan pengetahuan Ibu harus diupayakan pada semua kalangan

usia Ibu. Dari hasil penelitian ini, Ibu yang memiliki pengetahuan yang kurang

baik (53,33%) lebih banyak dibandingkan Ibu dengan pengetahuan yang baik

(46,67%). Selisih persentase pengetahuan Ibu yang baik dan yang kurang tidak

terlalu besar. Diketahui bahwa persentase Ibu dengan usia lebih muda lebih

banyak dibandingkan persentase Ibu dengan usia lebih tua (>40 tahun). Pada studi

lainnya oleh Miftahul (2016), diuraikan bahwa Ibu yang lebih muda lebih

berpotensi untuk memiliki anak balit dengan status gizi yang baik. Hal ini dapat

dipengaruhi keterpaparan dengan informasi yang semakin mudah diakses oleh Ibu

yang lebih muda. Oleh karena itu, penting bagi Ibu untuk meningkatkan

pengetahuannya melalui media informasi dan teknologi yang berkembang saat ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita sudah memiliki

status baik (40%), gizi cukup (33,33%), dan yang paling sedikit adalah gizi

kurang 26,67%. Meskipun balita dengan status gizi kurang baik adalah yang

paling sedikit, tetapi hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Menurut Wagi

(2015), keadaan gizi kurang sering terjadi pada bayi saat masa menyusui, yaitu

berkisar umur 9 bulan sampai 2 tahun. 5 Anak diberi ASI eksklusif hingga

berumur 6 bulan dan setelah itu anak sudah diberikan MP-ASI (Makanan

Pendamping ASI). Pada tahun kedua, anak belajar makan porsi makanan orang

dewasa dan ibu harus memperhatikan .jumlah makanan yang berhasil dikonsumsi

oleh anak.

29
Status gizi balita pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu: makanan yang

dimakan dan keadaan kesehatan. Kualitas dan kuantitas makanan seorang balita

tergantung pada kandungan zat gizi makanan tersebut, ada tidaknya pemberian

makanan tambahan di keluarga, daya beli keluarga dan karakteristik ibu tentang

makanan dan kesehatan. Keadaan kesehatan anak juga berhubungan dengan ada

tidaknya penyakit infeksi dan jangkauan terhadap pelayanan kesehatan. Selain itu

pemeliharaan kesehatan, lingkungan, dan budaya juga mempengaruhi status gizi

(Wagi, 2015). Kekurangan dari penelitian ini yaitu tidak adanya analisis terkait

variabel perancu seperti faktor pendapatan keluarga dan pemberian makanan

tambahan dalam keluarga.

Bertolak dari hasil penelitian ini yang menemukan adanya hubungan antara

pengetahuan Ibu tentang gizi dan status gizi anak balita di Desa Motongkad, maka

diharapkan upaya peningkatan pengetahuan Ibu sebagai langkah awal untuk

meningkatkan status gizi anak balita di Desa Motongkad. Diperlukan peran aktif

tenaga kesehatan setempat maupun inisiatif dari Ibu sebagai bentuk perhatian

terhadap kesehatan anak balita.

30
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan hasil

sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan antara pengetahuan Ibu tentang gizi dengan status gizi

anak balita di Desa Motongkad Kecamatan Motongkad Kabupaten Bolaang

Mongondow Timur.

2. Sebagian besar Ibu memiliki pengetahuan tentang gizi yang kurang baik.

3. Status gizi balita yang terbanyak berada pada klasifikasi gizi baik, diikuti gizi

cukup dan yang paling sedikit adalah balita dengan gizi kurang.

B. Saran

1. Bagi Ibu sebagai anggota posyandu di Desa Motongkad Kecamatan

Motongkad untuk meningkatkan pengetahuan tentang gizi balita sebagai

acuan dalam pemberian makanan balita.

2. Bagi tenaga kesehatan untuk dapat mengedukasi Ibu di Desa Motongkad

terkait kebutuhan gizi balita

3. Bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya terkait masalah gizi pada balita dengan memperhatikan faktor

lainnya yang mungkin berhubungan.

31

Anda mungkin juga menyukai