Anda di halaman 1dari 11

Ulasan Lengkap

1. Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) berbunyi sebagai berikut :

R. Soesilo hearts “ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal ” menyatakan bahwa pasal Penyanyi biasa disebut DENGAN “ Penggelapan DENGAN
Pemberatan ”, di mana p emberatan nya Adalah hearts Hal :

Sebuah. terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan karena hubungan pekerjaannya
( persoonlijke dienstbetrekking ), misalnya perhubungan antara pemberi kerja dan pembantu rumah
tangga atau pemberi kerja dan pekerja

b. terdakwa menyimpan barang karena jabatannya ( beroep ), misalnya tukang menyetujui


menggelapkan pakaian yang dicucikan, tukang selai, sepatu, sepeda, dsb menggelapkan sepatu, selai dan
sepeda yang diminta untuk diprbaiki

c. karena mendapat upah uang, misalnya pekerja stasiun membawa barang orang pembawa dengan
upah uang, barang itu digelapkannya.

Jadi, Pasal 374 KUHP Adalah merupakan pasal Yang mengatur “ Penggelapan DENGAN Pemberatan ”
sebagaimana Telah dijelaskan di differences.
Mengenai tidak subyektif dan obyektif, kami mengutip penjelasan dalam buku “ Asas-asas Hukum Pidana
di Indonesia dan Penerapannya ” (2002: 218), SR Sianturi mendeklarasikan subyek yang meneliti
manusia , hal ini disilangkan dari:

1. perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah: barangsiapa, warga negara
indonesia, nakhoda, pegawai negeri dsb.

2. Ketentuan tentang pertanggungjawaban hukum yang mengatur dengan mensyaratkan “kejiwaan” .

3. Ketentuan tentang Keputusan Denda yang hanya manusia yang mengerti akan nilai uang.

Sementara tentang tidak obyektif, SR Sianturi dalam buku yang sama (2002: 211) menyatakan bahwa
tidak obyektif ditinjau pada suatu tempat, waktu, dan keadaan . Yang dimaksud, tindakan tersebut harus
terjadi pada suatu tempat di mana ketentuan pengadilan berla k , belum daluarsa, dan merupakan
tindakan tercela.

Jadi, berdasarkan pada penjelasan di atas, yang dibahas tidak subyektif adalah manusia (penindak),
sedangkan tidak obyektif diartikan sebagai tindakan yang didasarkan pada waktu, tempat, dan keadaan.

2. Menjawab pertanyaan Anda, apakah pekerja yang mengajukan pertanyaan atau menolak
mengajukan pertanyaan tentang penggabungan, maka kita perlu melihat pada ketentuan Pasal 372 KUHP
tentang penggelapan .
R. Soesilo hearts bukunya berjudul “ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal ” menyatakan bahwa Penggelapan Adalah kejahatan Yang
hampir sama DENGAN Pencurian tetapi PADA penggelapan PADA Waktu dimilikinya barang tersebut,
Sudah ADA di tangannya TIDAK DENGAN jalan kejahatan / melawan hukum. Dianggap, d alam hal ini, jika
kita dilaporkan tidak -tidak-tidak

- Barang siapa (ada peserta);

- Dengan sengaja dan melawan hukum ;

- Memiliki barang yang penuh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain;

- Barang tersebut ada di dalam kewenangannya Bukan karena kebebasan.

Mengacu pada yang tidak-tidak pada pasal penggabungan di atas, jika orang tersebut lalai dan bukan
dengan sengaja , maka tidak memenuhi yang harus diselesaikan untuk dapat dijerat dengan penggabung
pasal dan tidak dapat didukung sebagai penggelapan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.


Dasar hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);

Setiap artikel menjawab Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau
facebook Klinik Hukumonline .

KLINIK TERKAIT:

Penggelapan dan Penipuan

Apakah Penuntutan Kasus Penggelapan Akan Dihentikan Jika Laporan Dicabut?

Masihkah Dituntut Jika Telah Kembalikan Uang yang Digelapkan?

Penggelapan dalam Jabatan, Pidana atau Perdata?

Pidana Bisa Jadi Perdata?

Masalah Pemalsuan KTP untuk Jual Beli Tanah


Kartika Febryanti dan Diana Kusumasari

Hak Mewaris Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK

Bisakah PHK Karena Lumpur Lapindo Menggunakan Alasan Force Majeure?

Apakah Hewan Ternak Dapat Dijadikan Jaminan Fidusia?

Debitur-Kreditur ataukah Debitor-Kreditor?

Langkah-langkah yang Dapat Dilakukan Pasien Korban Malpraktik

Pertanggungjawaban Hukum Dalam Kecelakaan yang Mengakibatkan Kerugian Materi

Hukum Menerima Paket dari Pengirim yang Tidak Jelas

Kenapa Pelaku Tindak Pidana Ringan Tidak Ditahan?

Hukum yang Mengatur Pekerja di Kapal Pesiar Dalam Negeri

Definisi Sungai, Anak Sungai, Jurang, Dll

Back »

DISCLAIMER · KATEGORI · MITRA · KIRIM PERTANYAAN

KONSULTASI DENGAN PENGACARA

Ke Atas · Berita · Cari

Lihat Versi Desktop

Beranda · Tentang Kami · Redaksi · Pedoman Media Siber · Kode Etik · Kebijakan Privasi · Bantuan dan
FAQ · Karir ·

Hak Cipta © 2020 hukumonline.com, Semua Hak Dilindungi Undang-Undang

358

Saham

tombol berbagi facebook

tombol berbagi whatsapp


tombol berbagi twitter

tertaut di tombol berbagi

Kasus BTN Timbulkan Ketakutan Bagi Nasabah

Kasus BTN Timbulkan Ketakutan Bagi Nasabah

Pekerja menyelesikan proyek pembangunan perumahan KPR bersubsidi type 30/60,5 dengan dua kamar
dan satu kamar mandi dengan harga jual perunit 141 juta di Desa Rajeg, Kabupaten Tangerang, Banten,
Jumat (10/3). Guna mempercepat program sejuta rumah Bank BTN meluncurkan program KPR BTN
Mikro agar menjawab kebutuhan pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah
(MBR) terutama pekerja di sektor informal yang jumlahnya diprediksi mencapai 6,5 juta orang. Bunga
KPR BTN Mikro sebesar 7,99 persen per tahun (fixed), selain bunga kredit yang rendah, angsuran pun
dibuat dengan skema yang ringan. Berita Satu/SP/Ruht Semiono ( Foto: suara pembaruan / Ruht
Semiono )

Jakarta - Pengamat Perbankan Universita Bina Nusantara (Binus) Qudrat Nugraha menilai pembobolan
dana nasabah yang terjadi di dalam tubuh Bank BTN menimbulkan ketakutan bagi nasabah untuk
menyimpan dananya di bank.

"Itu kasus BTN sangat signifikan pengaruhnya di masyarakat. Apalagi kalau kasus itu terus menerus
menjadi pemberitaan berbagai media atau diketahui banyak. Apalagi, kejahatan seperti ini juga bisa
menimpa lebih banyak orang, sementara banknya cuci tangan,"katanya saat diminta komentar terkait
pembobolan dana beberapa nasabah, diantaranya PT Surya Artha Nusantara Finance (SANF) senilai Rp
110 miliar, di Jakarta, Minggu (2/4).

Menurut Qudrat, bisnis perbankan adalah bisnis yang sangat mengedepankan kepercayaan (nasabah).
Kalau saja bank sudah tidak bisa lagi dipercaya oleh masyarakat, maka industri keuangan di Indonesia
akan hancur berantakan.

Karena itu, Qudrat meminta BTN untuk tidak cuci tangan dan bertanggung jawab atas raibnya dana
masyarakat tersebut. Apalagi kejadian penipuan deposito fiktif tersebut terjadi di BTN. "Dengan kata lain
dapat diilustrasikan kasusnya seperti terjadi ada sebuah kejahatan di dalam atau di halaman rumah
seseorang (BTN). Tetapi kok bisa mereka (BTN) tidak mengtahuinya dan tidak mau bertanggung
jawab,"ujarnya.
Karena itu, sudah menjadi tanggung jawab BTN. oknum (BTN) harus diperiksa intensif oleh tim
independent karena karena ini uangnya cukup besar. Harus dilihat apa betul pemalsuan dan pelaksanaan
bisnis proses bilyet giro BTN dilaksanakan di luar sistem BTN atau di luar rumah mereka.

Sehingga urusan ganti rugi, menurut dia tidak dapat dilemparkan ke Lempaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sebab, LPS sendiri juga tidak mau menanggung beban tersebut karena di luar prosedur atau SOP yang
harus dijalankan. "Pertama, LPS kan besarnya yang ditanggung terbatas dan depositonya juga harus
dilaporkan oleh bank, itu ada formnya, dan masih banyak lagi,"kata Qudrat.

Untuk itu, dia meminta kasus seperti ini untuk tidak ditutup-tutupi, agar dapat membuka mata semua
stakeholders perbankan. Media juga harus ikut terus mengikutinya, karena ini bisa menimpa semua
nasabah (termasuk diri kita sendiri). “Pada intinya, uang nasabah diupayakan untuk bisa dikembalikan,
sebab itu adalah hak mereka. Tetapi harus diupayakan dengan jalur yang benar. Karena ini negara
hukum, maka jalur hukum harus ditempuh secara transparan dan akuntable melibatkan stakeholders
industri keuangan secara komprehensif,” ujar dia.

Sementara kuasa hukum PT SANF TM Mangunsong, mengatakan, berdasarkan dengar pendapat (RDP)
DPR dengan bank BTN sangat jelas dikatakan oleh anggota dewan bahwa BTN diwajibkan mengganti
uang milik para nasabah yang hilang, termasuk dana PT SANF yang hilang Rp 110 miliar.

Ini tentunya sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mewajibkan Bank untuk
menjamin dana nasabah yang disimpan di bank Bank dan PBI No16/1/PBI/2014, dimana bank harus
bertanggung jawab atas kerugian yang dialami konsumen. "Jadi kalau BTN memahami ketentuan
perbankan di atas, maka sudah seharusnya direksi BTN tidak berusaha untuk cuci tangan dan lempar
tanggung jawab dengan mencari-cari alasam. Bila itu yang terjadi jelas Direksi BTN menunjukkan ketidak
mengertiannya akan tanggung jawabnya sebagai direksi,"kata Mangunsong.

Dikatakannya, BTN terbukti telah gagal menerapkan tata kelola perbankkan secara benar. Karena, tidak
menerabkan management pengolaan atau SOP secara benar alias ugal ugalan. Selain itu, prinsip
kepercayaan, kehati-hatian dan pengenalan nasabah, tidak dilakukan secara benar. Dengan tidak
diterapkannya prinsip diatas, maka hal ini juga merupakan tindak pidana perbankan yang dapat
dikenakan kepada dewan direksi atas pelanggaran terkait pengelolaan yang buruk atas perbankan.
"Sebab sesuai dengan UU No.40 thn 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka direksilah yang bertanggung
jawab terhadap pengurusan Perseroan,"ujarnya.
Untuk itu, lanjut Mangunsong, bila tidak ada penyelesaian pengembalian atas dana nasabah PT SANF ini,
pihaknya juga akan melaporkan Direksi BTN ke Mabes Polri, terkait tindak pidana perbankan yang
dilakukan BTN.

Selain itu, kata Mangunsong, selaku penasehat PT SANF, pihaknya mendesak Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dalam otoritasnya sebagai pengawas perbankkan agar tidak berpangku tangan melihat situasi ini.
"OJK Harus bertindak tegas dengan memerintahkan BTN segera mengembalikan dana para nasabah,
guna menjaga kepercayaan masyaakat terhadap industri perbankkan,"katanya.

Sedangkan Sularsi, Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan dalam kasus
penggelapan dana deposito nasabah di bank BTN. Ada dua hal yang harus dilakukan.

Secara perdata Bank BTN harus mengembalikan dana nasabahnya yang hilang tersebut. Alasannya.
Nasabah telah mempercayakan dananya ditempatkan di institusi keuangan tersebut dan institusi
keuangan seperti BTN harus menjaga kepercayaan nasabahnya yang telah mempercayakan dananya di
BTN. "Hal itu, sesuai dengan aturan dalam UU Perlindungan konsumen. Jumlah dana deposito yang
dikembalikan ke nasabah harus sebesar dana yang hilang,” tandas Sularsi.

Kalo secara pidana, lanjut dia, itu adalah tindakan pencurian yang dilakukan oleh oknum bank tersebut.
Tetapi karena nasabah berhubungan dengan BTN selaku lembaga keuangan. Maka nasabah punya hak
untuk memperoleh uangnya kembali. Dan oknum BTn yang mencuri itu adalah urusan internal BTN.

Ulasan Lengkap

Tindak Pidana Penggelapan

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kita perlu bertanya tentang tindakan yang dikategorikan sebagai
tindak pidana penggelapan. Perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan haruslah
memenuhi syarat dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) sebagai berikut:

Barang siapa yang dengan sengaja dan melawan benda yang seluruhnya atau sebagian besar kepunyaan
orang lain, tetapi yang ada di dalam kekuasaannya bukan karena diancam karena penggelapan, dengan
penjara selama empat tahun atau penjara denda paling banyak dari sembilan ratus rupiah.
Pasal 372 KUHP ini telah dilengkapi berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP :

Tiap jumlah maksimum denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis
ayat 1 dan ayat 2, dilipat gandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.

Artikel terkait Penggelapan dan Penipuan , yang termasuk penggelapan adalah mengambil barang milik
orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu harus ada di perusahaan, tapi
penguasaan itu dilakukan oleh sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh sebab terjadi karena
pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh karena terjadi karena tugas atau
jabatannya, misalnya pengangkatan barang. Tujuan dari penggelapan adalah milik barang atau uang yang
ada di dalam penguasaannya yang mana barang / uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.

Perbuatan penggelapan ini dicontohkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258), misalnya A sepeda sepeda,
kemudian dengan seizin B dijualnya atau A (bendaharawan) lalu uang itu digunakan untuk keperluan
sendiri.

Lebih lanjut R.Soesilo (hal.258) menambahkan, kadang-kadang sulit sekali untuk membedakan antara
pencurian dengan penggelapan, misalnya A membelanjakan uang di jalanan lalu diambilnya. Jika pada
waktu mengambil itu sudah ada maksud untuk memiliki uang tersebut, maka maka ini adalah pencurian.
Ketika pada waktu megambil itu pikiran A adalah:

“Uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi” dan betul diserakannya, maka A tidak perlu perdebatan
tentang, akan tetapi jika sebelum sampai di kantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang
itu dan dibelanjakan, maka A telah melakukan penggabungan.

Penggelapan yang dilakukan Oleh Keluarga

Lantas bagaimana jika pelakunya adalah saudara sendiri atau kakak dari ibu Anda? Perlu Dilihat bahwa
berdasarkan Pasal 376 KUHP , KETENTUAN hearts Pasal 367 KUHP Berlaku Bagi kejahatan-kejahatan Yang
dirumuskan hearts bab penggelapan.
Untuk ITU Perlu dijabarkan rumusan hearts Pasal 367 ayat (2) KUHP Yang berbunyi sebagai berikut:

JIKA dia (Pembuat ATAU pembantu Dari shalat Satu kejahatan hearts bab Penyanyi) Adalah suami (Istri)
Yang terpisah meja Negara Dan Ranjang ATAU terpisah harta Kekayaan, ATAU JIKA dia Adalah Keluarga
sedarah ATAU semenda, baik hearts Garis lurus maupun Garis menyimpang derajat kedua, Maka
Terhadap orang itu hanya mungkin memegang penuntutan jika ada pengaduan yang diakibatkan
kejahatan .

R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 256) juga mengatakan bahwa jika melakukan penggabung itu
adalah sanak keluarga yang dimaksud pada alinea dua dalam artikel ini, maka si pembuat hanya dapat
dituntut atas pengaduan dari orang yang memiliki barang itu (delik aduan).

Menurut Drs. PAF Lamintang , dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 217-218):

Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang
dirugikan. Sedangkan Delik biasa Adalah Tindak Pidana Yang DAPAT dituntut Tanpa diperlukan adanya
Suatu Pengaduan .

Selengkapnya simak artikel Cara Membedakan Delik Formil dan Delik Materil .

Jadi Menjawab Pertanyaan Andari , walaupun kakak Dari ibu Andari DAPAT dituntut differences Tindak
Pidana penggelapan berdasarkan Pasal 372 KUHP differences dasar dasar Pengaduan Dari Andari ATAU
ibu Andari selaku pemilik Uang (Delik aduan), kami differences menyarankan permasalahan Penyanyi
untuk review diselesaikan Beroperasi kekeluargaan terlebih PT KARYA CIPTA PUTRA, KARENA penerapan
hukuman pidana merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum.

Sebagai referensi, Anda dapat simak artikel Arti Ultimum Remedium .

Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Pemantang Siantar No. 287 /
Pid / B / 2013 / PN.Pms , terdakwa merupakan anak dari keluarga bersama, gabungan yang dipersiapkan
kompilasi (ayah terdakwa) dari satu bank ke bank lain, dengan maksud akan mendapat izin dan demi
usaha lancarnya. Setelah korban memberikan uang sejumlah Rp 1 miliar untuk terdakwa untuk
dimasukkan ke rekening korban di bank tujuan, akan tetapi terdakwa tidak akan memasukkan uang
tersebut ke dalam rekening korban yang menerima rencana awal, yang dimasukkan ke dalam rekening
terdakwa sendiri.

Setelah ditagih beberapa kali, terdakwa dinyatakan nanti, belum jatuh tempo yang pada akhirnya
terdakwa menyatakan uang saksi (memahami) tidak ada dengan terdakwa. Atas tindakan tersebut,
terdakwa dinyatakan oleh majelis hakim telah terbukti sah dan terbukti melakukan tindak pidana
"penggelapan yang dilakukan dalam keluarga" disetujui dirumuskan dalam Pasal 372 jo. 376 KUHP dan
dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun dan 6 bulan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ;

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan
dan Jumlah Denda Dalam KUHP .

Putusan:

Putusan Pengadilan Negeri Pemantang Siantar No. 287 / Pid / B / 2013 / PN.Pms .

Referensi :

Drs. PAF Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia . Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap .
Politeia: Bogor

Anda mungkin juga menyukai