Anda di halaman 1dari 11

I.

PENDAHULUAN
Sediaan farmasi steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi
yang banyak digunakan terutama pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Sediaan ini sangat membantu pada saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik,
mempunyai luka terbuka yang harus diobati dan sebagainya. Dalam keadaan
tersebut sangat dibutuhkan kondisi steril karena pengobatannya lansung
berhubungan dengan sel tubuh, lapisan mukosa organ tubuh dan dimasukan
langsung ke dalam cairan atau rongga tubuh, hai ini sangat memungkinkan
terjadinya kontaminasi dan dalam hal ini dibutuhkan bentuk sediaan obat yang
steril. Bentuk sediaan steril ini disamping persyaratan steril, dibutuhkan
kondisi lainnya seperti harus isotonis, isohidris dan beberapa diantaranya
harus bebas pirogen (Rahman & Djide, 2009).
Proses pembuatan sediaan steril sama dengan proses pembuatan sediaan
non steril, tetapi pada pembuatan sediaan steril dibutuhkan pemahaman
tentang proses sterilisasi terutama yang berkaitan dengan stabilitas bahan aktif
maupun zat tambahan dalam formulasi. Dengan demikian dalam pembuatan
sediaan steril, bukan hanya pengetahuan tentang formulasi, bentuk sediaan,
tetapi juga dibutuhkan pengetahuan tentang sifat fisika kimia sehingga
dihasilkan sediaan steril yang memenuhi persyaratan (Rahman & Djide,
2009).
Salah satu sediaan farmasi steril adalah sediaan parenteral yang
digunakan per injectionem dan per infus (Lukas, 2006; Rahman & Djide,
2009). Pada umumnya pemberian dengan cara parenteral dilakukan bila
diinginkan kerja obat yang cepat seperti pada keadaan gawat, bila penderita
tidak dapat bekerja sama dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan
menerima pengobatan melalui mulut (oral) atau bila obat itu sendiri tidak
efektif dengan cara pemberian lain (Ansel, 1989).

II. DEFINISI
Parenteral berasal dai kata Yunani, para dan enteron yang berarti di
luar usus halus dan merupakan rute pemberian lain dari rute oral. Istilah
parenteral seperti yang umum digunakan menunjukan pemberian lewat
suntikan seperti berbagai sediaan yang diberikan lewat suntikan (Ansel, 1989).
Sediaan parenteral adalah bentuk sediaan yang digunakan untuk injeksi
atau sediaan untuk infus. Injeksi adalah pemakaian dengan cara
menyemprotkan larutan atau suspensi ke dalam tubuh untuk tujuan terapeutik
atau diagnostik. Injeksi dapat dilakukan langsung ke dalam alairan darah, ke
dalam jaringan atau organ. Asal kata injeksi dai injectio yang berarti
memasukan ke dalam, sedangkan infusio berarti penuangan ke dalam (Lukas,
2006).
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, suspensi atau emulsi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum
digunakan, yang disuntikan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau
selaput lendir. Infus intravena adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi,
bebas pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikan
langsung ke dalam vena dalam volume relatif banyak (Depkes R.I, 1979).
Dalam Farmakope Indonesia Ed. IV (Depkes R.I, 1995), yang dimaksud
dengan larutan parenteral volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk
intravena dan dikemas dalam wadah bertanda lebih dari 100 ml. Injeksi
volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100
ml atau kurang.
Sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis
yang berbeda yaitu (Depkes R.I 1995; Rahman & Djide, 2009) :
1. Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, di tandai
dengan nama Injeksi....... Contoh. Injeksi Vitamin C
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah
penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, dan dapat
dibedakan dari nama bentuknya,......Steril. Contoh Inj.
Dehidrostreptomisin Sulfat Steril.
3. Sediaan seperti tertera pada poin 2 tetapi mengandung satu atau lebih
dapar, penegncer atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan dari
nama bentuknya,......untuk Injeksi. Contoh Inj. Penicillin Oil untuk Injeksi.
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, dan dapat
dibedakan dari nama bentuknya, Suspensi........Steril. Contoh.Inj. Suspensi
Hidrokortison Asetat Steril.
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya,.......Steril untuk Suspensi. Contoh Inj. Prokain Penisilin G steril
untuk suspensi.

III. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN SEDIAAN PARENTERAL


A. Keuntungan
1. Obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat
2. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
3. Biovaibilitas sempurna atau hampir sempurna
4. Kerusakan obat dalam saluran pencernaan dapat dihindarkan
5. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau yang
sedang dalam keadaan koma (Lukas, 2006)
B. Kerugian
1. Dapat menimbulkan rasa nyeri/sakit pada saat disuntik, apalagi bila
pemberiannya berulang.
2. Memberikan efek psikologis pada pasien yang takut disuntik
3. Bila terjadi kekeliruan pada saat pemberian, maka hampir tidak dapat
diperbaiki terutama setelah pemberian intravena.
4. Bila obat sudah masuk ke dalam tubuh pasien, maka sulit untuk ditarik
kembali atau dikeluarkan.
5. Obat hanya dapat diberikan kepada pasien di rumah sakit, atau di
tempat praktek dokter dan hanya dilakukan oleh perawat yang
berpengalaman (Rahman & Djide, 2009).

IV. RUTE-RUTE PEMBERIAN


Sediaan parenteral bisa diberikan dalam berbagai rute. Lima rute yang
paling umum adalah intravena, intramuskular, subkutan, intrakutan dan
intraspinal (Lachman dkk, 1994). Cara pemberian lainnya meliputi
intraperitoneal dan intraartikular (Lukas, 2006). Rute pemberian yang
dimaksud mempunyai efek nyata terhadap formulasi suatu produk parenteral.
Volume di mana suatu dosis obat harus dimasukan merupakan faktor untuk
dipertimbangkan (Lachman dkk, 1994).
A. Subkutan (s.c) atau dibawah kulit.
1. Tempat penyuntikan dibagian tubuh yang sedikit lemak dan masuk ke
jaringan di bawah kulit.
2. Volume tidak lebih dari 1 ml
3. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidri. Larutan yang sangat
meyimpang isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis
dan absorpsi zat aktif tidak optimal
4. Onset (mula kerja) obat berbentuk larutan dalam air lebih cepat
daripada sediaan suspensi. Determinan kecepatan absorpsi ialah total
luas permukaan tempat terjadinya penyerapan.
5. Zat aktif bekerja lambat daripada secara i.v (Lukas, 2006)
B. Intramuskular (i.m)
1. Disuntikan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau paha.
2. Volume sediaan umumnya 2 ml
3. Sediaan berupa larutan, suspensi atau emulsi. Jaringan otot
mentoleransi minyak dan partikel-partikel yang tersuspensi dengan
baik, di dalam minyak sehingga jaringan otot tersebut merupakan rute
yang cocok untuk minyak dan suspensi dalam minyak. Bentuk larutan
sebaiknya isotonis.
4. Onset (mula kerja) bervariasi tergantung besar kecilnya partikel.
5. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta muda terakumulasi.
Pemberian suatu obat ke dalam jaringan otot akan menghasilkan
pengumpulan produk pada tempat injeksi. Dari depo ini, obat
dilepaskan pada suatu laju yang sebagian besar ditentukan oleh
karakteristik formula tersebut. Larutan dalam air lebih cepat diabsorpsi
daripada minyak. (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
C. Intravena (i.v)
1. Disuntikan ke dalam pembuluh darah i.v
2. Volume relatif lebih besar. Volume kecil (< 5 ml) sebaiknya isotonis
dan isohidri, sedangkan volume besar (infus) harus isotonis dan
isohidris.
3. Tidak melalui fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
onset (mula kerja) segera, bioavaibilitas 100% (Lukas, 2006)
D. Intraspinal, Intraperitoneal, Intraartikular dan Intradermal
1. Intraspinal, disuntikan ke dalam susmsum tulang belakang. Larutan
harus isotonik dan isohidris, karena sirkulasi dari cairan serebrospinal
lambat dan gangguan tekanan osmotik dengan cepat menyebabkan
sakit kepala dan muntah (Lukas, 2006; Lachman dkk, 1994).
2. Peritoneal (i.p), yaitu kateter dimasukan dalam perut dengan operasi
untuk memasukan cairan steril dialisis. Larutan harus hipertonis, zat
aktif diabsorpsi dengan cepat dan volume diberikan dalam jumlah
besar (1 atau 2 liter) (Lukas, 2006).
3. Intraartikular, yaitu disuntikan ke dalam sendi, larutan isotonis dan
isohidris (Lukas, 2006)
4. Intradermal/intrakutan (i.c), disuntikan ke dalam kulit. Umumnya
diberikan untuk tujuan diagnostik, desensitasi (alergi) atau imunisasi,
larutan sebaiknya isotonis dan isohidris karena larutan yang
nonisotonik dapat memberikan tanda-tanda iritasi palsu (Lukas, 2006;
Lachman dkk, 1994).
Gambar 1. Rute pemberian obat secara parenteral

V. BIOFARMASETIKA OBAT PARENTERAL


Hubungan antara ilmu fisika, kimia, dan biologi yang menyangkut obat,
bentuk dan absorpsi obat disebut biofarmasetika. Respon farmakologis suatu
obat, termasuk cara kerja dan intensitas kerja obat sangat tergantung pada cara
pemberiannya (Lukas, 2006).
A. Obat Masuk ke Dalam Tubuh
Obat masuk ke dalam tubuh dengan cara intravaskular dan ekstravaskular
(Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009)
1. Cara intravaskular ialah obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan
didistribusikan ke seluruh tubuh seperti pada cara pemberian intravena
(injeksi dan infus). Obat tidak mengalami fase absorpsi. Konsentrasi
obat dalam plasma ditentukan oleh kecepatan biotransformasi dan
kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari tubuh.
2. Cara ekstravaskular ialah obat harus diabsorpsi dulu sebelum masuk ke
peredaran sistemik seperti pemberian i.m, s.c, i.c, dan i.p. Syarat untuk
diabsorpsi adalah obat harus dibebaskan dari bentuk sediaannya yang
tergantung dari faktor fisikokimia obat, faktor lingkungan tempat
absorpsi dan teknik pembuatan.
Hubungan antara nasib obat dalam tubuh dengan rute pemberiannya
(Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009).
1. Intravena (i.v)
Obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke
seluruh tubuh. Konsentrasi obat dalam plasma ditentukan oleh
kecepatan biotransformasi dan kecepatan ekskresi/eliminasi obat dari
tubuh. Cara pemberian intravena sebagai berikut :
a. Secara bolus, injeksi diberikan secara langsung dengan kadar
tinggi dan pada waktu yang pendek.
b. Secara intermitant infus, injeksi i.v diberikan melalui infus dengan
periode pemberian 20 menit sampai 4 jam dalam sehari.
c. Secara continous infus, injeksi i.v melalui infus dengan waktu
pemberian lebih dari 6 jam sampai 24 jam.
2. Intramuskular (i.m)
a. Obat yang berbahaya bila diberikan secara intravena, maka
diberikan secara i.m.
b. Respon terhadap obat yang diberikan secara i.m tidak secepat i.v
tetapi secara kuantitatif hasil absorpsi i.m baik, biovaibilitas
mencapai 80-100%.
c. Larutan obat dalam air lebih cepat diabsorpsi daripada bentuk
suspensi atau larutan dalam minyak.
d. Kecepatan absorpsi tergantung pada vaskularitas tempat suntikan
dengan kecepatan darah antara 0,02-0,07 ml/menit.
e. Molekul kecil langsung diabsorpsi ke dalam kapiler. Molekul besar
masuk ke sirkulasi melalui saluran getah bening.
f. Obat tertentu (ampisilin, klodiazepoksida, diazepam) tidak
terabsorpsi secara sempurna karena terjadi presipitasi yang
menyebabkan redisolusi sangat lambat atau terjadinya fagositosis
partikel obat.
3. Subkutan (s.c)
a. Faktor yang mempengaruhi absorpsi secara s.c sama dengan i.m.
Namun karena kecepatan peredaran darah pada s.c dan sirkulasi
regional kurang, maka kecepatan absorpsi obat kurang pula.
b. Absorpsi dapat diperlambat dengan penambahan Adrenalin, yang
menyebabkan konstriksi pembulu darah, sehingga difusi obat
tertahan atau diperlambat.
c. Absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakharida dan matriks
jaringan yang menyebabkan penyebaran dipercepat.
4. Intradermal (i.c)
a. Obat-obat tertentu diberikan secara i.c di bawah epidermis, lokasi
biasanya pada bagian lengan bawah.
b. Volume yang diberikan tidak lebih dari 0,2 ml karena volume
jaringan kecil dan kompak, absorpsi lambat karena kurangnya
pembulu darah
B. Farmakokinetika Obat Parenteral
Farmakokinetika berarti berhubungan dengan nasib obat dalam tubuh,
yang mencakup proses ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eksresi/eliminasi) (Lukas, 2006; Rahman & Djide, 2009).
1. Absorpsi obat parenteral
Obat yang diberikan secara ekstravaskular (i.m, s.c) akan mengalami
absorpsi dan obat yang diberikan secara intravaskular (i.v) tidak
mengalami absorpsi. Molekul obat diabsorpsi dalam bentuk bebas
(tidak terikat dengan zat lain) dan utuh ke dalam darah atau peredaran
sistemik.
Umumnya, obat baru memberikan efek terapi bila kalau mencapai
kadar minimal tertentu dalam darah (MEC = minimum effective
concentration). Selama kadar obat masih dalam darah masih berada di
atas MEC, obat akan memberikan efek farmakologis. Setelah ekskresi
berlanjut dan kadar obat turun di bawah MEC.
Kecepatan absorpsi mempengaruhi cepat atau lambatnya obat
mencapai kadar MEC, yang merupakan onset atau mula kerja obat dan
waktu obat (tmax) mencapai kadar maksimum (puncak) dalam darah
(Cmax). Selanjutnya obat berangsur-angsur akan dieliminasi dengan
cara diekskresikan atau biotransformasi atau keduanya. Lama kerja
obat (durasi) atau obat memberikan respon terapi yang dikehendaki
adalah kadar obat tersebut dalam darah berada di atas MEC.
Untuk menjamin efektivitas klinik, maka perlu dipertahankan
konsentrasi obat dalam darah tetap dalam dosis yang cukup, misalnya
pemberian antibiotika, sitostatika, hormon dan sebagainya. Oleh
karena itu dalam praktek sehari-hari ditemukan pemberian berulang
misalnya 2 kali atau 3 kali sehari.
2. Distribusi obat parenteral
Pada pemberian secara i.v molekul obat langsung masuk ke dalam
peredaran darah. Bila pemberian secara i.m atau s.c, molekul obat
bercampur dengan cairan tubuh atau jaringan, lalu masuk ke dalam
peredaran darah dan kemudian didistribusikan ke jaringan tempat obat
bekerja.
Tubuh manusia terdiri atas berbagai struktur jaringan dengan
perbedaan karakteristik lipofilik. Perbedaan sifat dan struktur jaringan
menyebabkan konsentrasi obat tidak sama dalam jaringan tubuh.
Maka, karakteristik distribusi obat, erat kaitannya dengan respon
farmakologi.
3. Metabolisme obat parenteral
Proses metabolisme obat di dalam tubuh melibatkan proses
biotransformasi obat secara kimiawi, hal ini terjadi dalam lingkungan
biologis. Sebagian besar reaksi metabolisme merubah obat menjadi
bentuk metabolit yang lebih larut dalam air daan siap dieksresikan
melalui ginjal. Tempat utama metabolisme obat parenteral adalah di
hati, namun dapat terjadi di ginjal dan jaringan otot.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yaitu
faktor genetik, umur, lingkungan dan penyakit yang diderita.
4. Eksresi Obat Parenteral
Eksresi obat dan metabolitnya merupakan tahapan terakhir dari
aktivitas serta keberadaan obat dalam tubuh. Molekul obat yang masuk
ke dalam tubuh dikeluarkan melalui beberapa saluran. Obat akan
diekskresikan dari tubuh bersama dengan berbagai cairan tubuh
melalui beberapa perjalanan. Ginjal merupakan organ utama untuk
mengeliminasi obat bersama urin. Organ lain yang dapat
mengeksresikan obat yaitu : empedu, paru, air ludah, ASI dan kulit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ansel H.C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi ke-4. Penerbit


Universitas Indonesia, Jakarta. 1989. Hal. 399-436
2. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia. Edisi III, Jakarta. 1979.
Hal.13
3. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia. Edisi IV, Jakarta. 1995.
Hal. 10
4. Lachman L., Lieberman H.A., Kanig J.L., Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi III (Buku III), Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1994.
Hal. 1321-1322
5. Latifah R., Djide M.N., Sediaan Farmasi Steril, Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanuddin (Lephas), Makassar, 2009.
6. Lukas S., Formulasi Steril. Penerbit Andi. Yogyakarta. 2006.

Anda mungkin juga menyukai