Anda di halaman 1dari 2

Mata Kuliah : Bahasa Indonesia

Dosen : Suprianto Annaf, M.Pd

Jenderal Kardus
Suprianto Annaf
Redaktur Bahasa Media Indonesia

Sindiran memang sering kali memunculkan banyak penafsiran. Walaupun tanpa kelugasan,
laras bahasa seperti ini laris manis digunakan. Setelah kata kecebong dan kampret diviralkan,
kini jenderal kardus pun disusulkan. Pangkalnya, kader Partai Demokrat Andi Arief yang
mencetuskan. Ya, lagi-lagi ini soal kekecewaan. Ia mengatakan upaya penjajakan koalisi
buyar lantaran sikap inkonsitensi Ketua Umum Partai Gerindra itu di Pilpres 2019.

Sontak saja deretan kata jenderal kardus mendapat tanggapan. Masyarakat pengguna bahasa
pun kian mengait-ngaitkan atau mencoba memerikan. Secara bahasa, jenderal kardus
bukanlah istilah, melainkan kiasan. Dalam ranah ini, antara kata dan makna tidak langsung
dihubungkan. Artinya, makna hanya dapat ditentukan karena kesamaan pengalaman atau
kebiasaan.

Dalam kepangkatan militer, kata jenderal menunjukkan keparipurnaan: karier tertinggi yang
disematkan. Di dalam kata itu, terkandung banyak kesuksesan dan prestasi yang dilalui. Sang
jenderal bukanlah orang biasa dan pangkatannya bukan pemberian cuma-cuma. Penyandang
status jenderal dihormati dan disegani. Karena itu, banyak yang berjuang menggapai karier
ini demi status tinggi. Biasanya pula, pemilik status jenderal ini akan melanjutkan karier
politik sebagai presiden atau setidaknya menteri.

Akan tetapi, ketika kata kardus ditambahkan, roh kemuliaan jenderal menjadi tak berarti.
Kata itu cenderung menjadi hinaan dan makian. Rasa hormat dan segan lepas tak karuan.
Sang jenderal dianggap manusia yang kehilangan kemanusiaannya. Ia telah menjadi
komoditas yang bergerak tanpa pendirian. Ia mudah sekali untuk berpaling dari awal niatan.

Sang jenderal kardus pun dianggap tidak memiliki komitmen, kesetiaan, ataupun kemapanan
sikap dan ideologi. Ia selalu mengikuti arus besar ke mana berarah. Benda kardus
dipersepsikan wadah yang akan mudah difungsikan sebagai tempat mi instan, beras, uang,
atau tempat hadiah sebelum diberikan.
Setidaknya makna itu yang ditangkap dari pengirim pesan. Perasaan dan emosi Andi Arief,
kader Partai Demokrat, terwakili dalam frasa jenderal kardus. Kata kardus yang setali dengan
wadah (tempat untuk menaruh, menyimpan sesuatu) dianggap murahan. Tak berhaluan.

Praanggapan yang muncul dari kata jenderal kardus seperti di atas akan menurunkan rasa
hormat dan menghilangkan bangga pada sosok yang diwakili. Karier militer yang tinggi itu
hanya disepadankan dengan benda yang yang disebut ‘kardus’.

Memang tidak berkorelasi antara kardus dan inkonsistensi. Namun, sindiran dan cuitan
seperti ini akan mudah ditanggapi. Apalagi, belakangan ini ‘suara’ politisi dengan mudah
saling melabeli. Bahasa yang seharusnya santun disesaki hawa dengki.

Sadarkah! Bukankah kata yang sudah terucap itu tidak bisa ditarik lagi. Sindiran Andi Arief
pun rupanya tidak bisa menghalangi Demokrat untuk tetap membangun koalisi. Nah, kini
Demokrat harus memoles si jenderal kardus menjadi bergengsi.

Komentar:

Saya sangat setuju dengan tulisan karya Pak Suprianto Annaf yang berjudul Jendral Kardus
yaitu janganlah mencetuskan kekecewaan serta emosi dengan perkataan yang dapat
menjatuhkan seseorang meskipun dengan tidak sadar atau tidak sengaja, bahasa yang
seharusnya santun disesaki hawa dengki menjadi penghalang seseorang untruk maju. Apalagi
bila seseorang itu merupakan orang yang dapat berpengaruh dan memiliki peranan penting
dalam kemajuan suatu forum atau seseorang yang memiliki pangkat tinggi seperti berpangkat
jendaral yang dihormati dan disegani banyak orang. Dalam artikel Jendral yaitu sesosok
orang yang disegani dan dihormati, sedangkan kardus sebaliknya yang menjadikan kemuliaan
seorang jendral menjadi tidak berarti. Dengan demikian, memilih bahasa yang baik dan benar
pun penting.

Anda mungkin juga menyukai