Anda di halaman 1dari 6

E.

Budaya yang harus dikembangkan jaman modern ini

Era Globalisasi dan modernisasi mempengaruhi paradigma kehidupan manusia. Tidak


boleh tidak manusia harus memperbaiki dan meningkatkan berbagai potensi (kesanggupan)
kemanusiaannya, antara lain:

1. Budaya Berfikir Dan Bertindak Kritis

Berfikir dan bertindak kritis membawa manusia mampu mengembangkan diri,potensi,


dan kemanusiaannya. Orang yang berpikiran sendiri dan mampu bertindak kritis tidak akan
membeo, bungkam serta mati rasa sebaliknya akan mampu menyatakan isi hatinya dengan bebas
tanpa diliputi rasa takut, cemas atau kuatir meskipun bertentangan dengan opini publik. Budaya
berfikir dan bertindak kritis ini sungguhamat perlu dikembangkan pada jaman reformasi dan
demokrasi ini. Kita baru saja keluar dari keterkungkungan berfikir dan pemasungan bertindak
kritis pada jaman yang lalu. Pada jaman itu hampir di semua lapisan kehidupan masyarakat
dikungkung dan dipasung khususnya dalam mengeluarkan pendapat dan mengexpressikan
tindakan demokrasi,termasuk dalam hal berserikat, berorganisasi, berkumpul, beragama, hingga
kebebasan beribadah.

Ketahuilah, budaya berfikir dan bertindak kritis, adalah bahagian dari iman Kristen. Kenapa
demikian? Sebab Tuhan Yesus juga mengaiarkan hal itu kepada kita, bukan?. Lihat saja sikap
Yesus kepada orang-orang Farisi, Ahli Taurat dan Saduki yang kerap kali datang mencobai
Yesus dalam diskusi teologis. Yesus menyatakan bagaimana sikapNya menghadapi para
pendemo tersebut dengan menghadirkan sikap berfikir dan bertindak kritis. Ketika orang-orang
Jahudi membawa seorang wanita yang kedapatan berbuat tidak senonoh melanggar susila kepada
Yesus, bagaimana sikap Yesus terhadap orang Yahudi dan perempuan jalang itu? Yesus
mengajak mereka berfikir dan bertanya kepada suara hati masing-masing. Sambil membunglkuk
dan menulis di atas tanah, Yesus mengatakan: Barang siapa di antara kamu tidak berdosa
hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu (Yohanes 8:7b).

Setiap orang diajak berfikir dan mendengar suara hatinya, lalu satu persatu dariantara
mereka pergi meninggalkan Yesus dan perempuan itu. Lalu Yesus berkata lagi kepada wanita
itu: Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari
sekarang (Yohanes 8:11 b). Kepada wanita itu Yesus memberi pelajaran baru, yakni memikirkan
perbuatannya yang jahat dan merobah dirinya untuk bertobat.

Simak apa yang, diangkat Yesus dalam perumpamaan tentang dua orang anak pada
Matius 21:28-32. Pada ayat yang pertama jelas sekali Yesus betul-betul menghidupkan budaya
berfikir dari para pendengarNya: Tetapi apalkah pendapatmu tentang ini, dst. Yesus sama sekali
tidak pernah memaksakan kehendakNya kepada para pendengarNya. Yesus tahu bahwa berfikir
adalah sebahagian dari hak-hak azasi manusia yang harus dijungjung tinggi. Ketika Yesus
diperhadapkan di depan Makamah Agama Yahudi. Kepada Imam Besar Kayafas Yesus
menjawab demikian: Aku berbicara tentang terang kepada dunia: Aku selalu mengaiar di rumah-
rumah ibadat dan di Bait Allah, tempat semua orang Yahudi berkumpul; Aku tidak pernah
berbicara sembunyi-sembunyi. Mengapakah engkau menanyai Aku? Tanyalah mereka, yang
telah mendengar apa yang Kukatakan kepada mereka; sungguh, mereka tahu apa yang telah
Kukatakan (Yohanes 18:20-21).

Yesus begitu kritis, tidak memberi dan tidak narima saja perlakuan para interrogator, Selanjutnya
apa yang teriadi? Setelah Yesus mengknitisi para interrogatorNya, seorang pengawal
mengepalkan tinjunya melayang di wajah Yesus sambil berkata: Begitukah jawabMu kepada
Imam Besar?. Menyikapi tamparan ini Yesus lagilagi menggunakan hak jawabNya: Jikalau kata-
Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-ku itu bena, mengapakah engkau
menampar Aku?, Budaya berfikr dan bertindak knitis ini adalah merupakan sebahagian dari
ekspresi iman Kristen.

2. Budaya Kerja Keras

Alkitab mengajarkan orang Kristen supaya hidup dalam budaya keria keras. Inilah
perbedaan prinsipil antara manusia dengan hewan, makhluk atau benda lainnya. Hewan hidup
berdasarkan insting atau naluri; mesin. mesin bekerja digerakkan atas perintah manusia tanpa
kesadaran apa-apapun. Manusia bekerja dengan menggunakan semua daya-daya dan
kemampuannya untuk kesejahteraannya dan sesamanya.

a. Kerja Sebagai Hakekat Manusia


Banyak orang yang mendasarkan budaya kerja manusia itu pada Kejadian 3:17-19 di
mana ketika manusia itu jatuh dalam dosa, Allah menghukum mereka dengan bersusah payah
mencari rezeki dan makanan seumur hidupnya. Hal ini keliru dan tidak Alkitabiah. Sebab budaya
kerja itu bukan lahir akibat hukuman, apalagi kutukan Allah atas dosa-dosanya. Budaya kerja itu
sudah muncul sejak awal dalam Keiadian 1:28 dan Kej 2:2. Manusia telah diberi mandat untuk
bekerja, meniru Allah yang juga tetap kerja. Tuhan Allah telah menciptakan manusia menurut
gambar dan rupa Allah (imaginem et similitudinem Deil). Allah bekerja selama enam hari penuh
saat menciptakan segala sesuatu dalam alam semesta dan isinya termasuk manusia. Barulah
setelah Allah menyelesaikan dan menyempurnakan pekerjaanNya maka pada hari yang ketujuh
Ia berhenti dari segala pekerjaan yang telah dibuatlya itu. Selain it, Yesus Kristus juga
mengatakain dalam dalam Yohanes 5:17.

b. Kerja Sebagai Berkat

Pada Kejadian 3:17-19 Allah menghukum pemberontakan manusia: dengan bersusah


payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu (ay.17d). Inilah akibat
ketamakan manusia yang menginginkan kesamaan dengan Penciptanya. Tanpa memandang
sepele hukuman ini, manusia tidak boleh berputus asa sebab kasih Allah masih lebih besar
dibandingkan dengan hukuman ini. Penghiburan Allah untuk membebaskan manusia dari laknat
ini telah kita temukan dalam Kejadian 5:29. Kelahiran Nuh memberi penghiburan dalam
pekerjaan yang penuh susah payah di tanah yang telah terkutuk oleh Tuhan. Oleh Yesus Kristus,
laknat dan hukuman untuk kerja dengan susah payah diubah menjadi berkat.

Apa artinya ini bagi kita? Bukan berarti kesakitan, kesusahan dan penderitaan akibat
bekeria mencan nafkah hilang atau ditiadakan. Bukan! Pekerjaan tetap membuat manusia
berkeringat dan bersusah payah. Hanya saja, susah payah oleh karena bekerja bukan lagi
hukuman, kutuk atau laknat. Orang yang percaya kepada Yesus Kristus melakukan pekerjaannya
dipercayai sebagai anugerah dan berkat kepadanya. Dari dan oleh pekeriaan itulah kita
memperoleh hidup, nafkah, rezeki dan kebutuhan sehar-hari bahkan kekayaan atau
kesejahteraan.

c. Meningkatkan Budaya Kerja Keras


Firman Tuhan banyak sekali memotivasi kita untuk berusaha bekeria keras. Apa artinya
bekerja keras? Bekerja keras, artinya bekerja dengan menggunakan semaksimal mungkin segala
potensi, kekuatan, kemampuan yang dimiliki untuk sesuatu jenis pekeriaan yang menjadi
tanggung jawab kita dengan sungguh-sungguh. Potensi dan kekutan atau kemampuan yang
dimilki oleh manusia itu beraneka jenis, mulai dari tenaga, pikiran, keterampilan, pendidikan,
waktu (kesempatan] yang ada, dana dan daya. Semua potensi dan kemampuan ini digerakkan
semaksimal mungkin untuk tujuan memperoleh hasil yang juga semaksimal mungkin. Jika hal
sedemikian teriadi, maka dapat dikatakan bahwa seseorang telah bekerja keras.

Jelaslah bahwa budaya kerja keras adalah budaya Kristen atau budaya Alkitab sendiri
yang juga harus menjadi budaya mahasiswa Kristen. Lebih jelasnya, kita perlu belajar dari Rasul
Paulus sendiri. Paulus adalah profil manusia berbudaya kerja keras, sebagai scorang pekabar Injil
yang super sibuk Paulus hidup dengan bekeria sebagai tukang kemah (Kisah Rasul 18:3). Sangat
mudah kita bayangkan bagaimana Paulus harus banting tulang bekerja keras untuk menjalankan
kedua bidang tugas ini; menginjil dan mencari makan dengan membuat kemah. Demikian
pekerjaannya berhasil, buktinya banyak jemaat yang tumbuh dari hasil pelayanannya. Kerja
keras Paulus ini diakuinya juga dalam 1 Kor15:10 dan 2 Korintus 11:27. Itu sebabnya Paulus
kerap kali mensemangati orang-orang Kristen untuk berbudaya kerja keras.

3. Budaya Bijaksana

Kata bijaksana sering dipadankan dengan kata hikmat; schingga menjadi hikmat
kebijaksanaan. Buku yang paling banyak menggunakan kata hikmat dan kebijaksanaan ini dalam
Alktab adalah Kitab Amsal Salomo.

a. Berhikmat berarti berTuhan

Dari uraian di atas cukup jelas bagi kita bahwa perkataan hokmah atau hikmat atau
bjaksana (Batak: bisuk, hapistaran, parbinotoan, hapantason) bukan hanya menunjuk kepada
orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Kecerdasan dan akal budi manusia tetapi juga
kerohanian (sipiritualitas) yang baik, kejujuran, kerendahan hati dan hubungan yang baik dengan
Allah. Dengan demikian orang yang berhikmat (Batak: nabisuk.) tidak hanya sekedar
berilmupengetahuan, cerdas, cakap, pintar dan menguasai keahlian, tetapi Tuhan yang juga
dianugerahi oleh Tuhan sipiritualitas yang baik, rendah hati, taat, takut akan Tuhan, jujur dan
teladan dalam hal iman.

Ini sangat penting bagi kita, sebab ukuran orang yang berhikmat itu bukanlah ilmu
pengetahuan atau kecerdasan berfikir semata-mata, tetapi juga mencakup hidup kerohanian
(sipiritualitas) yang baik di hadapan Tuhan dan masyarakat, Tanpa sipiritualias yang baik dan
benar, maka semua ilmu, kepintaran, kecakapan, dan segala bentuk kecerdasan yang dimilikinya
akan berijalan timpang, berat sebelah dan menyimpang dari kehendak Allah. Itu sebabnya tidak
jarang, dan bahkan banyak orang yang pintar dan cerdas tetapi koruptor, penipu, penjahat,
berbuat mesum dan terlibat tindakan kiminal,bBerhikmat berarti hidup dan berfikir sesuai
dengan kebenaran, jalan dan pola Allah. Berhikmat artinya, mendekati seluruh kehidupan dari
Sudut pandangan Alah, percaya bahwa segala scsuatu yang dikatakan Alah itu benar, dan
merupakan satu-satunya standard hidup yang layak.

b. Sumber Hikmat Dan Kebijaksanaan

Semua Hikmat adalah dari Tuhan Allah sendiri.. Alkitab sunguh-sunguh kaya akan
informasi ini, misalnya kita temukan informasi tentang hal ini, misalnya kita temukan dalam
Keluaran 36:1, 2; 1 Raja 4:29, 5:12; Ayub 11:6;12:13;28:20, Amsal 2:6;3:19, Yeremia 10:12.
Amsal 1:7 tegas merumuskan demikian: Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi
orang bodoh menghina hikmat dan didikan. Hikmat sebagaimana dimaksudkan oleh Raja
Salomo dalam kitab Amsal ini hanya dimiliki olch orang-orang yang dekat dengan Tuhan Alah,
yakni orang saleh, rendah hati dan berbadah kepada Tuhan. Orang atheis, dan yang tidak
mengenal Allah pasti tidak memiliki hikmat dalam arti yang sesungguhnya. Mungkin mereka
hanya sampai kepada tingkat ilmu pengetahuan biasa yang dengan usaha manusia, melalui
pendidikan formal atau non-formal atau dengan cara-cara lainnya.

c. Mengembangkan Budaya Hikmat, Kebijaksanaan

Bagaimana agar kita sampai kepada budaya hikmat dan kebijaksanaan?. Tidak ada cara
lain, kecuali kita harus hidup di dalam Firman Allah, percaya sungguh-sunguh kepada Tuhan
Yesus Kristus. Di luar itu tidak ada dengan mempedomani ketegasan ini, tentulah akan kita tolak
ungkapan klasik yang mengatakan bahwa hidup ini perlu bijaksana-bijaksini. Apa pun kata orang
tentang arti dan makna ungkapan ini, maka pada hakekatnya istilah ini dimunculkan orang dalam
konteks pengertian yang sangat negatif. Istilah ini melegalisir segala perbuatan akal-akalan yang
senafas dengan penipuan untuk mendapatkan apa saja yang kita inginkan. Tentu hikmat yang
sejati tidak akan melegalisir perbuatan sedemikian sebab hal itu bertentangan dengan kehendak
Pembeni Hikmat itu sendiri yakni Tuhan Allah didalam Yesus Kristus.

Untuk menjadikan Hikmat dan Kebijaksanaan ini menjadi budaya kita haruslah kita
resapi kembali pribadi Tuhan Yesus sendiri. Dialah profi ldan tokoh Alkiab yang hidup dengan
kerja keas, berfikir dan berindak krits serta bijaksana. Orang Kristen harus senantiasa kreatif dan
mcmiliki inisiatif serta bertanggung jawab dalam segala perbuatannya meneladani Tuhan Yesus
Kristus.

Anda mungkin juga menyukai