Pada pasal 166 RUU Cipta Kerja, pasal itu jelas mengubah prinsip dasar
pemerintah daerah yang sebelumnya diatur dalam Undang – Undang Pemerintah Daerah
Nomor 23 tahun 2014. Jika omnibus law tercapai, semua peraturan daerah bisa diubah
lewat peraturan presiden saja. Selain bertentangan dengan semangat desentralisasi pasca –
gerakan Reformasi 1998, rancangan pasal ini bertolak belakang dengan putusan
Mahkamah Konstitusi No.56/PUU-XIV pada 2016 yang tegas menyatakan peraturan
daerah hanya bisa dicabut oleh Mahkamah Agung.
Pemerintah resmi menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada Rabu,
13 Februari 2020. Draf RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat berisi 15 bab dan
174 pasal. Draf itu mudah didapatkan melalui aplikasi percakapan online, tetapi ironisnya
tidak ada satu pun laman resmi pemerintah atau DPR yang menyebarluaskan draf maupun
Naskah Akademik RUU Cipta Kerja. Hal tersebut melanggar salah satu prinsip
pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf g UU
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu asas keterbukaan.
Terkait asas itu, Pasal 170 Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011
mengharuskan pemerintah dan DPR menyebarluaskan RUU sejak tahap penyusunan.
Tidak tersedianya kanal resmi untuk mengakses RUU Cipta Kerja menjadikan
ruang partisipasi publik tertutup. Proses penyusunan draf RUU Cipta Kerja yang
dilakukan oleh pemerintah pusat hanya melibatkan segelintir elite, seperti kepala
daerah dan asosiasi pengusaha. Mengingat RUU Cipta Kerja ini memiliki tingkat
kompleksitas tinggi dan rentang substansi amat beragam, seharusnya pemerintah
sejak awal mengundang keterlibatan publik, terutama kelompok masyarakat yang
akan menjadi pihak terdampak, untuk memberikan masukan. Kesan tertutup dalam
penyusunan RUU Cipta Kerja tersebut mengakibatkan gelombang penolakan besar-
besaran dari berbagai kelompok masyarakat. Alih-alih mengubah pendekatan,
pemerintah justru merespons dengan memposisikan kelompok pengkritik sebagai
pihak yang menolak terciptanya kemudahan berusaha di Indonesia. Narasi publik
yang disampaikan pemerintah dengan meminta aparat penegak hukum dan intelijen
untuk melakukan pendekatan pada organisasi yang kritis pada RUU Cipta Kerja
mengurangi kualitas diskusi yang terjadi di masyarakat.
Di sisi lain, DPR tidak menjalankan perannya sebagai penyeimbang
kekuasan. Adanya gelombang penolakan publik tidak membuat DPR kritis terhadap
pemerintah. Sebaliknya, sejumlah Anggota DPR justru mengeluarkan pernyataan-
pernyataan yang terkesan memberikan karpet merah kepada pemerintah bahwa
mereka akan segera mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
1. Draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas dalam pembentukan
perundang-undangan, yaitu asas “kejelasan rumusan” dan asas “dapat dilaksanakan”.
RUU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan rumusan karena dalam perumusannya,
pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama sehingga
menyulitkan siapapun yang membacanya. Mengingat pasal-pasal yang harus direvisi
berasal dari 79 UU, seharusnya penyusun RUU Cipta Kerja menggunakan standar
yang sudah diatur dalam UU No. 12/2011. Asas kedua yang berpotensi dilanggar
adalah asas “dapat dilaksanakan”. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 173 RUU
Cipta Kerja yang mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU yang sudah diubah
oleh RUU Cipta Kerja harus disesuaikan dengan RUU Cipta Kerja dalam jangka
waktu 1 bulan. Melakukan perubahan peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun
waktu 1 bulan merupakan sebuah mandat yang sama sekali tidak realistis. Selain itu,
target pengerjaan RUU Cipta Kerja selama 100 hari hingga pengesahan juga akan
menambah kompleksitas permasalahan mengingat tidak mudah bagi pemangku
kepentingan untuk bisa dengan cepat menguasai materi yang diatur dalam RUU Cipta
Kerja.