Anda di halaman 1dari 3

OMNIBUS LAW

KARPET MERAH UNTUK KORPORASI


ATAU
KESET BAGI RAKYAT ?

Optimisme pemerintah dalam menyederhanakan regulasi yang berbelit-belit guna


memperkuat perekonomian nasional dengan memperbaiki ekosistem investasi dan daya
saing Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.
Dimana terdapat sekitar 72 UU dan 1224 Pasal yang akan digabungkan dalam Omnibus
Law yang hal itu dijadikan menjadi 2 RUU yaitu Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan
Omnibus Law RUU Perpajakan. Hal tersebut menurut Airlangga Hartanto Menko
Perekonomian bahwa Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law RUU
Perpajakan telah masuk kedalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Juga sesuai
permintaan Presiden Jokowi kepada DPR agar pembahasan Omnibus Law tersebut segera
selesai dalam 3 bulan.

Upaya pemerintah pusat untuk mengambil alih kewenangan Dewan Perwakilan


Rakyat dan pemerintah daerah melalui omnibus law perdana, Rancangan Undang –
Undang Cipta Kerja harus ditolak. Tak hanya melawan Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, rancangan itu juga bertentangan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi. Pengambilan kewenangan itu tercantum dalam pasal 166 dan pasal 170 RUU
Cipta Kerja yang diserahkan Kementrian Koordinator Perekonomian kepada Dewan
Perwakilan Rakyat pada 12 februari lalu. Jika sampai lolos di senayan , omnibus law ini
akan memutar balik jarum jam sejarah dan mengembalikan Indonesia ke era sentralisasi
kewenangan di tangan presiden seperti pada zaman orde baru.

Pada pasal 166 RUU Cipta Kerja, pasal itu jelas mengubah prinsip dasar
pemerintah daerah yang sebelumnya diatur dalam Undang – Undang Pemerintah Daerah
Nomor 23 tahun 2014. Jika omnibus law tercapai, semua peraturan daerah bisa diubah
lewat peraturan presiden saja. Selain bertentangan dengan semangat desentralisasi pasca –
gerakan Reformasi 1998, rancangan pasal ini bertolak belakang dengan putusan
Mahkamah Konstitusi No.56/PUU-XIV pada 2016 yang tegas menyatakan peraturan
daerah hanya bisa dicabut oleh Mahkamah Agung.

Pemerintah resmi menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada Rabu,
13 Februari 2020. Draf RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat berisi 15 bab dan
174 pasal. Draf itu mudah didapatkan melalui aplikasi percakapan online, tetapi ironisnya
tidak ada satu pun laman resmi pemerintah atau DPR yang menyebarluaskan draf maupun
Naskah Akademik RUU Cipta Kerja. Hal tersebut melanggar salah satu prinsip
pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf g UU
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu asas keterbukaan.
Terkait asas itu, Pasal 170 Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011
mengharuskan pemerintah dan DPR menyebarluaskan RUU sejak tahap penyusunan.
Tidak tersedianya kanal resmi untuk mengakses RUU Cipta Kerja menjadikan
ruang partisipasi publik tertutup. Proses penyusunan draf RUU Cipta Kerja yang
dilakukan oleh pemerintah pusat hanya melibatkan segelintir elite, seperti kepala
daerah dan asosiasi pengusaha. Mengingat RUU Cipta Kerja ini memiliki tingkat
kompleksitas tinggi dan rentang substansi amat beragam, seharusnya pemerintah
sejak awal mengundang keterlibatan publik, terutama kelompok masyarakat yang
akan menjadi pihak terdampak, untuk memberikan masukan. Kesan tertutup dalam
penyusunan RUU Cipta Kerja tersebut mengakibatkan gelombang penolakan besar-
besaran dari berbagai kelompok masyarakat. Alih-alih mengubah pendekatan,
pemerintah justru merespons dengan memposisikan kelompok pengkritik sebagai
pihak yang menolak terciptanya kemudahan berusaha di Indonesia. Narasi publik
yang disampaikan pemerintah dengan meminta aparat penegak hukum dan intelijen
untuk melakukan pendekatan pada organisasi yang kritis pada RUU Cipta Kerja
mengurangi kualitas diskusi yang terjadi di masyarakat.
Di sisi lain, DPR tidak menjalankan perannya sebagai penyeimbang
kekuasan. Adanya gelombang penolakan publik tidak membuat DPR kritis terhadap
pemerintah. Sebaliknya, sejumlah Anggota DPR justru mengeluarkan pernyataan-
pernyataan yang terkesan memberikan karpet merah kepada pemerintah bahwa
mereka akan segera mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.

Tiga Langkah Mundur Reformasi Regulasi dalam RUU Cipta Kerja :

1. Draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas dalam pembentukan
perundang-undangan, yaitu asas “kejelasan rumusan” dan asas “dapat dilaksanakan”.
RUU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan rumusan karena dalam perumusannya,
pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama sehingga
menyulitkan siapapun yang membacanya. Mengingat pasal-pasal yang harus direvisi
berasal dari 79 UU, seharusnya penyusun RUU Cipta Kerja menggunakan standar
yang sudah diatur dalam UU No. 12/2011. Asas kedua yang berpotensi dilanggar
adalah asas “dapat dilaksanakan”. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 173 RUU
Cipta Kerja yang mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU yang sudah diubah
oleh RUU Cipta Kerja harus disesuaikan dengan RUU Cipta Kerja dalam jangka
waktu 1 bulan. Melakukan perubahan peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun
waktu 1 bulan merupakan sebuah mandat yang sama sekali tidak realistis. Selain itu,
target pengerjaan RUU Cipta Kerja selama 100 hari hingga pengesahan juga akan
menambah kompleksitas permasalahan mengingat tidak mudah bagi pemangku
kepentingan untuk bisa dengan cepat menguasai materi yang diatur dalam RUU Cipta
Kerja.

2. Banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya


oleh RUU Cipta Kerja ini (terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden,
dan 4 Peraturan Daerah) menunjukkan tidak sensitifnya pembuat undang-undang akan
kondisi regulasi kita. Jumlah peraturan pelaksana itu seolah mengabaikan fakta bahwa
saat ini Indonesia mengalami hiper-regulasi. Alih-alih menggunakan pendekatan omnibus
ini sebagai momentum pembenahan, pemerintah sebagai pengusul justru semakin
menambah beban penyusunan regulasi. Hal itu jelas kontraproduktif dengan agenda
reformasi regulasi yang sedang dilaksanakan presiden, khususnya dalam
menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan. Yang patut menjadi catatan
juga adalah penyusunan peraturan pelaksana menunjukkan dominasi eksekutif yang
semakin menjauhkan proses pembahasan dari publik mengingat penyusunan dan
pembahasan regulasi di lingkup eksekutif berlangsung dalam ruang yang lebih tertutup
ketimbang undang-undang. Perlu diwaspadai bahwa pendekatan omnibus hanyalah
merupakan pintu masuk bagi pemerintah dan kelompok kepentingan tertentu untuk
mengatur berbagai substansi RUU Cipta Kerja melalui proses pembahasan yang jauh dari
jangkauan publik.

3. Substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan


Mahkamah Konstitusi serta melanggar ketentuan UU 12/2011. Terdapat dua pasal
yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan
putusan Mahkamah Konstitusi. Pertama, Pasal 170 yang mengatur bahwa Peraturan
Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-undang. Hal itu bertentangan
dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011 yang mengatur bahwa Peraturan
Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang sehingga
tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang. Kedua, pasal 166 RUU
Cipta Kerja menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan
Daerah. Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-
XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi .

Menanggapi optimisme pemerintah terhadap Omnibus Law atau UU Sapu


Jagat tersebut mendapat reaksi dan kontroversi dari berbagai pihak. Selain berbicara
kedudukan Omnibus Law dalam Sistem Perundang-undangan di Indonesia, terhadap
muatan Omnibus Law menjadi pro kontra. Khususnya Omnibus Law RUU Cipta
Kerja.

Anda mungkin juga menyukai