Santy
102012074
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebun Jeruk, Jakarta Barat
Email: titaniasanty@gmail.com
Pendahuluan
Kasus
Hasil pemeriksaan seorang anak laki-laki berusia 6 tahun didapati kadar kolestrol
dan trigliserida yang meningkat. Menurut Ibunya anak tersebut selalu bangun
dengan wajah yang sembab terutama di daerah mata setiap paginya. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan berat badan yang meningkat dari sebelumnya dan edema scrotal.
Anamnesis
Hal yang perlu kita lakukan terlebih dahulu sebagai dokter sebelum mendiagnosis
suatu penyakit terhadap adanya temuan klinis pada pasien yaitu dengan anamnesis.
Anamnesis ini dapat dilakukan dalam 2 bentuk : alloanamnesis dan autoanamnesis. Perbedaan
antar kedua bentuk anamnesis tersebut, yaitu:
1. Alloanamnesis: melakukan anamnesis dengan kerabat pasien (seperti orang tua). Hal ini
dilakukan bila pasien dalam kondisi tidak sadar atau terjadi penurunan kesadaran serta
pasien dengan usia anak-anak.
Pendekatan umum: perkenalan diri anda, ciptakan hubungan yang baik, menanyakan
identitas pasien. (Nama pasien,umur, alamat?)
1
Nilai keluhan utama dan riwayatnya: misalnya bengkak pada anggota badan (sejak kapan
bengkak dialami, lokasi bengkak?)
Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan mengenai kebiasaan dalam pembuangan urin dan konsistensi urin:
- Apakah urin pasien terlihat mengandung darah yang nyata? Ini dinamakan
hematuria makroskopik (gross hematuria).
- Ada kesulitan dalam pembuangan urin? Ada rasa nyeri pada saat kencing?
- Berapa kali buang air kecilnya sehari? Berapa banyak air seni yang
dikeluarkan?
- Ada pola perubahan dalam pembuangan urin? (seperti mengejan atau tidak),
dan bagaimana pancaran urinnya?
Keluhan tambahan lainnya dan pola makan pasien:
- Apakah ada rasa nyeri di daerah pinggang atau daerah lainnya, mual muntah,
keringat dingin, lemas?
- Bagaimana pola makan anak teratur atau tidak? nafsu makan si anak
meningkat atau menurun?
Apakah sudah pernah dibawa berobat sebelumnya?
Tanyakan riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat si anak selama dalam kandungan sampai saat ini? (tumbuh kembang si anak)
- Adanya infeksi (apakah si anak sebelumnya pernah mengalami sakit
tenggorokan, infeksi napas berulang, demam?)
- Riwayat kontrol kehamilan dari Ibu?
Riwayat penyakit keluarga?
Riwayat sosial
- Anaknya bermain aktif atau tidak di lingkungannya?
- Imunisasi?
Pemeriksaan
Fisik
1. Pengukuran tanda vital : suhu, tekanan darah, frekuensi pernapasan, denyut nadi.
2. Pemeriksaan fisik:
- Inspeksi:2,3
2
A. Kulit; kemungkinan temuan jaringan parut, striae, vena, pitting dan non pitting
kulit.
- Palpasi:2,4
2. Lakukan dengan tekanan ringan untuk mengetahui adanya nyeri otot, nyeri lepas,
dan nyeri tekan.
3. Palpasi lebih dalam untuk mengetahui adanya massa atau nyeri tekan.
A) Hepar
B) Spleen
C) Ginjal
D) Kandung kemih
Normalnya kandung kemih tidak dapat diperiksa kecuali jika terjdi distensi
kandung kemih hingga di atas simfisis pubis. Pada palpasi, kubah kandungan kemih
3
yang mengalami distensi akan teraba licin dan bulat. Periksa adanya nyeri tekan.
Lakukan perkusi untuk mengecek keredupan dan menentukan berapa tinggi kandung
kemih berada di atas simfisis pubis.
- Perkusi:5
Liver dan lien akan terdengar pekak pada perkusi. Pekak berpindah yang positif
menunjukkan adaya ascites.
- Auskultasi:3
Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium6
Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk memastikan
apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena hipoalbuminemia
dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (pada protein-losing enteropathy), dan edema dapat
terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (seperti pada angioedema, insufisiensi venosa,
gagal jantung kongestif, dan lain sebagainya). Untuk memastikan diagnosis sindroma
nefrotik, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan: proteinuria, hipoalbuminemia, dan
hiperlipidemia. Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan diantaranya:
4
- Meningkatnya hemoglobin dan hematokrit mengindikasikan adanya
hemokonsentrasi dan deplesi volume intravascular.
- Leukosit
Urinalisis
- Hematuria mikroskopis ditemukan pada 20% kasus.
- Hematuria makroskopik jarang ditemukan.
Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin pagi, atau dengan
protein urin 24 jam.
- Dikatakan proteinuria jika adanya protein di dalam urine manusia yang
melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih
dari 140 mg/m2.
- Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat mengeksklusi
proteinuria orthostatic (dimana protein baru muncul di urin setelah penderita berdiri
cukup lama).
- Nilai protein urin 24 jam > 40mg/m2/jam atau dengan dipstick +2---+4, dapat pula
nilai protein urin sewaktu >100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL.
Albumin serum
- Level albumin serum pada sindroma nefrotik secara umum kurang dari 2.5 g/dL.
Pemeriksaan lipid
- Terjadi peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL (low density lipoprotein).
- Kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein) dapat normal atau menurun
5
Pemeriksaan elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, dan fosfor.
- Pasien dengan SN idiopatik, dapat menjadi gagal ginjal akut oleh karena deplesi
volume intravascular.
Pemeriksaan C3
- Level komplemen yang rendah dapat ditemukan pada nefritis post infeksi, SN tipe
membranoproliferatif, dan pada lupus nefritis.
2) Biopsi Ginjal6
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan pada usia
1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik, maupun hasil
dari pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya kemungkinan SN sekunder
atau SN primer selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi pasien usia <
1 tahun, dimana SN kongenital lebih sering terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun
dimana penyakit glomerular kronik memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal
hendaknya juga dilakukan bila riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium
mengindikasikan adanya SN sekunder.
3) Radiografi6
Diagnosis Kerja
Sindrom nefrotik
6
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit, tetapi manifestasi penyakit yang menyerang
glomerular. Banyak terjadi pada anak-anak. Sindroma nefrotik dibagi menjadi sindroma
nefrotik primer dan sekunder.7
Sindrom ini merupakan sekitar 90% nefrosis pada anak. Penyebab sindrom ini tetap
belum diketahui oleh sebab itu dikatakan Sindrom Nefropatik Idiopatik (SNI) . Kelainan
histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau sangat sedikit
perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephrotic Syndrome atau
Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM).
Kondisi ini bertanggung jawab pada 85% kasus sindroma nefrotik pada masa kanak-
kanak. Dicirikan dengan kepekaan terhadap terapi kortikosteroid; tidak ditemukannya lesi
glomerulus yang bermakna pada pemeriksaan mikroskop cahaya; tidak adanya timbunan
globulin imun glomerulus atau komplemen; dan dengan proteinuria yang sangat selektif.
Etiologi. Tidak diketahui. Pada minoritas kasus ditemukan faktor genetik dan
familial.Dibandingkan dengan populasi umum, antigen HLA B12 lebih sering ditemukan.
Insidens : Di Amerika Utara kasus baru sejak lahir sampai usia 16 tahun sekitar
2/100.000 anak/tahun. Anak laki-laki 2x lebih tingi dibanding anak perempuan.
Umumnya awitan timbul pada usia 2-7 tahun. Pada dewasa MCNS menyusun kurang dari
20% penderita sindroma nefrotik.
Manifestasi klinis. Sama seperti gejala pada sindroma nefrotik umunya yakni
edem,proteinuria, pasien biasanya tidak tampak sakit berat, seringkali dengan asites dan
efusi pleura. Cairan edema berkumpul pada tempat-tempat dependen; setelah tidur malam
wajah dan kelopak mata atau daerah sakrum dapat mengalami edema, sementara pada
siang hari pembengkakan kaki dan abdomen lebih nyata. Kehilangan proaktivator C3.
Diagnosis laboratorium. Sama seperti SN. Hematuria ditemukan pada kurang dari 10%
kasus dan umumnya mikroskopis dan bersifat sementara. Terlihat adanya lemak lonjong
7
(oval fat bodies=silinder tubular yang mengandung lemak) dan silinder hialin dalam
sedimen.
Pada biopsi penderita yang menderita lesi sklerosis setempat (10%), sebagian besar
glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang lain, terutama
glomerulus yang dekat dengan medula (jukstamedulare), menunjukkan jaringan parut
segmental pada satu atau lebih lobus. Penyakitnya seringkali progresif, akhirnya
melibatkan semua glomerulus dan menyebabkan gagal ginjal stadium akhir pada
kebanyakan penderita. Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap prednison atau
terapi sitotoksik atau keduanya.
8
teratur, karena padatnya endapan. Jarang adanya pembelahan membran, tetapi sering
adanya bulan sabit.
Diagnosis. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi ginjal. Indikasi biopsi meliputi terjadinya
sindrom nefrotik pada anak berumur lebih dari 8 tahun atau hematuria mikroskopis dan
proteinuria menetap.
5) Glomerulopati membranosa8
Manifestasi klinis. Pada anak, glomerulopati membranosa paling lazim dijumpai pada
umur dekade kedua. Penyakitnya muncul seperti sindrom nefrotik. Namun, hampir semua
penderita menderita hematuria mikroskopis dan kadang-kadang penderita menderita
hematuria makroskopis. Tekanan darah dan kadar C3 normal.
Diagnosa Banding
9
SN sekunder adalah SN berhubungan dengan penyakit/kelainan sistemik, atau
disebabkan oleh obat, alergen, maupun toksin.
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,
miksedema.
Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute Bacterial
Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), trimethadion, paramethadion, probenecid,
penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik, purpura
Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, leukemia, tumor gastrointestinal.
10
untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis.
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut pasca streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedangkan tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60
menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala
klinis.
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal dengan
sindrom nefritik akut.
1. Infeksi Streptokokus
Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau infeksi kulit
(impetigo).Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa prevalensi
glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi infeksi saluran
nafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif rendah, sekitar 5-10%.
2. Gejala-gejala umum
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus tidak memberikan keluhan dan ciri
khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang disertai
panas badan, dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi.
3. Keluhan saluran kemih
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semua
pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi saluran
kemih bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis. Oligouria atau anuria
merupakan tanda prognosis buruk pada pasien dewasa.
4. Hipertensi
Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua
pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi setelah
terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi. Hipertensi berat
dengan atau tanpa ensefalopati hanya dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua
pasien.
5. Edema dan bendungan paru akut
Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata atau
pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila perjalanan
11
penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap atau persisten, tidak jarang
disertai dengan asites dan efusi rongga pleura
Pada penderita glomerulonefritis akut dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut ini:10,11
Pemeriksaan urinalisis dilihat dari segi makroskopis, mikroskopis dan kimia urin
pada glomerulonefritis poststreptococcal sering didapatkan hematuria makroskopis,
jumlah urin berkurang, berat jenis urin meninggi, ada proteinuria (albuminuria +),
eritrosit (+), leukosit (+), dan sedimen urin berupa silinder leukosit, eritorsit, hialin,
dan berbutir.
Leukosit PMN (Polymorphonuclear) dan sel epitel renal biasanya ditemukan pada
pasien glomerulonefritis post streptococcal pada fase awal.
Penentuan titer ASTO (Antibody Streptolisin Titer O) mungkin kurang membantu
karena titer ini jarang meningkat beberapa hari pasca infeksi streprococcus, terutama
yang kena di kulit (impetigo). Penentuan titer antibodi tunggal yang paling baik
untuk glomerulonefritis post streptococcal adalah dengan Tes
antideoksiribonuklease B, yakni mengukur titer terhadap antigen DNAse B.
Uji Streptozime yang merupakan suatu prosedur agglutination slide yang mendeteksi
antibodi terhadap streptolisin O, DNAse B, hialuronidase, streptokinase dan
NADase.
Darah lengkap untuk mengetahui kadar protein darah (albumin serum rendah),
kreatinin serum (meninggi), ureum serum, elektroilit (hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia), pH darah (asidosis), eritrosit, leukosit, trombosit, dan Hb (menurun).
Kadar LED meninggi.
Kadar komplemen C3, pada pasien glomerulonefritis pascastreptococcus didapatkan
90% kadar komplemen C3 rendah. Kadar ini diperiksa sejak 2 minggu pertama sakit.
Epidemiologi12
Sindrom nefrotik idiopatik umumnya dialami anak berusia 1-6 tahun. Satu penelitian
berbasis populasi, menemukan angka insiden sebesar 2/100.000 dan prevalensi 16/100.000.
Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.
12
Negara-negara di Asia tampak memiliki onset rata-rata yang lebih dini, 3,4 tahun,
daripada negara-negara Eropa, yaitu 4.2 tahun. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar
pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi. Selain itu, merupakan penyebab tersering gagal ginjal
anak yang dirawat, antara tahun 1995-2000. Dibandingkan populasi lain, anak-anak keturunan
Afrika-Amerika dan Hispanik memiliki angka insiden sindrom nefrotik yang lebih tinggi dan
lebih virulen, dengan prognosis yang lebih buruk dan progresi penyakit yang lebih cepat
menjadi gagal ginjal.
Etiologi5,7
Pada etiologi sindrom nefrotik hampir 75-80% belum diketahui atau idiopatik, yang
akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun.
Patofisiologi5,6
Proteinuria dan Hipoalbuminemia
Proteinuria masif merupakan kelainan dasar dari sindrom nefrotik. Proteinuria ini
sebagian besar berasal dari kebocoran glumerulus (proteinuria glumerulus) dan hanya
sebagian kecil yang berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubulus). Pada dasarnya
proteinuria masif ini mengakibatkan dua hal :
Jumlah serum protein yang difiltrasi glumerulus meningkat sehingga serum protein
tersebut masuk ke dalam lumen tubulus.
Kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mereabsorbsi serum protein yang telah
difiltrasi glumerulus.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya
terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus
sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Dikatakan hipoalbuminemia apabila kadar albumin dalam darah <2,5 gr/100 ml.
Edema muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan
onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Plasma mengandung banyak macam protein dan sebagian besar akan mengisi ruang
ekstra vaskuler (EV). Plasma atau serum protein terutama terdiri dari IgG, transferin dan
13
albumin yang mempunyai BM kecil (69.000), sehingga mudah diekskresikan melalui urin.
Oleh karena itu istilah hipoproteinemia identik dengan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia
dapat terjadi bila proteinuria lebih dari 3-5 gram/hari, katabolisme albumin meningkat, intake
protein berkurang karena penderita mengalami anoreksia atau bertambahnya utilisasi
(pemakaian) asam amino, kehilangan protein melalui usus atau protein loosing enteropathy.
Hati memegang peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah
protein, renal maupun ekstra renal. Mekanisme kompensasi untuk meningkatkan sintesis
protein (albumin) terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra
vaskuler (EV) dan intravaskuler (IV). Pada sindrom nefrotik sintesis protein oleh hati
biasanya meningkat tetapi mungkin normal atau menurun. Sintesis protein oleh hati bisa
meningkat 2 kali normal tetapi tidak adekuat untuk mengimbangi kehilangan protein sehingga
secara keseluruhan terjadi pengurangan total protein tubuh termasuk otot-otot, bila
mekanisme kompensasi sintesis albumin dalam hati tidak cukup adekuat sering disertai
penurunan albumin (hipoalbuminemia).
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan
aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila
kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Dikatakan hiperlipidemia karena bukan
hanya kolesterol saja yang meninggi ( kolesterol > 250 mg/100 ml ) tetapi juga beberapa
konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol, Low Density
Lipoprotein(LDL), Very Low Density Lipoprotein(VLDL), dan trigliserida (baru meningkat
bila plasma albumin < 1gr/100 mL. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk
membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel sel hepar
juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh
lipoprotein lipase. Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh adanya
hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya
aktivitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma
sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urine.
Edema
14
Klinis edema menunjukkan adanya penimbunan cairan dalam ruang interstisial di
seluruh tubuh, dapat diketahui dengan cara inspeksi dan palpasi. Mekanisme terjadinya edema
dipengaruhi beberapa faktor yaitu dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glumerulus,
albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia, sehingga menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma intravaskuler dan keadaan ini menyebabkan meningkatnya
cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang
menyebabkan terbentuknya edema.
Mekanisme renal, penurunan tekanan onkotik plasma protein dalam kapiler glumerulus
menyebabkan penurunan volume darah efektif dan diikuti aktivitas sistem Renin-
Angiotensin-Aldosteron, rangsangan ini menyebabkan kenaikan plasma renin dan angiotensin
untuk sekresi hormon aldosteron. Kenaikan hormon aldosteron ini akan mempengaruhi sel-sel
tubulus proksimal untuk mereabsorbsi ion Na+ sehingga ekskresi natrium atau natriuresis
menurun. Kemudian dapat juga terjadi aktifitas saraf simpatik dan kenaikan konsentrasi
circulating catecholamine, sehingga menyebabkan kenaikan tahanan atau resistensi vaskuler
renal.yang dapat juga menyebabkan penurunan dan berkurangnya filtrasi garam Na + dan air.
Dari kedua hal diatas akan menyebabkan kenaikan volume cairan seluler (VCES) dan edema.
Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema
yang hebat/anasarca sering disertai edema genitalia eksterna. Edema anasarca terjadi bila
kadar albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarca ini dapat menimbulkan diare
dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus.
Gejala Klinis5,6,8
Secara klinik SNKM ini dapat dibedakan dari SN dengan kelainan histologis tipe lain
yaitu pada SNKM dijumpai hal-hal sebagai berikut pada umumnya:
Anak berumur 1-6 tahun
Tidak ada hipertensi
Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis
Fungsi ginjal normal
Titer komplemen C3 normal
Respons terhadap kortikosteroid baik sekali.
15
Oleh karena itulah, bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala diatas dan mengingat
bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa penelitian tidak dilakukan
biopsi ginjal.
Edema
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak
pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat
sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal edema sering bersifat
intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan
yang rendah (misalnya daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka).
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema muka pada
pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada
siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada
penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih tipis. Edema biasanya tampak lebih hebat
karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering
dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa usus. Hepatomegali
disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa
pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang
sedang kambuh karena edema dinding perut atau pembengkakan hati.
Nafsu makan menurun karena edema
Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada
pasien sindrom nefrotik resisten-steroid.
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL.
Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi
terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat,
sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah
remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat
dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
16
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan
fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom
nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat udem dan secara tidak langsung dengan kadar
albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal
meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas
yang normal
Penatalaksanaan13
Medika Mentosa
Terapi edema:
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia
atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1
g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat
diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah
terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.
Terapi Inisial
17
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai
dengan anjuran ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children) adalah diberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari selama 28 hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari)
dalam 3 dosis/hari. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Kalau 4 minggu tidak remisi berarti sindrom nefrotik resisten steroid.
Bila remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x
sehari setelah makan pagi selama 4-12 minggu. Bila tidak remisi dalam 4 minggu terapi
prednisone full dose selama 6 minggu dilanjutkan alternate dose selama 6 minggu.
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik.
Remisi Proteinuria negatif, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut.
Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana
sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4 kali kambuh pada
setiap periode 12 bulan.
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam
waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari
selama 4 minggu.
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi
lain.
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.
18
diberi 1-2 mg/hari. Pembatasan cairan bila terdapat gejala-gejala gagal ginjal.
Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal.
Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin
konsentrat.
Berantas infeksi.
Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Metode
yang lebih efektif dan fisiologik untuk mengurangi edema ialah merangsang diuresis
dengan pemberian albumin (salt poor albumin) 0,5-1 mg/kgBB selama 1 jam disusul
kemudian oleh furosemid IV 1-2 mg/kbBB/hari. Pengobatan ini dapat diulang setiap
6 jam kalau perlu. Diuretik yang biasa dipakai ialah diutetik jangka pendek seperti
furosemid atau asam etakrinat. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis
sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi
spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak
perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan
keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
19
CD imunosupresan + CD prednisone 0,2 mg/kg/hr
Diberikan kombinasi pengobatan imunosupresan lain dan prednisone 0,2 mg/kgBB/hr,
keduanya secara CD.
20
Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi). Bila diberi
diet rendah protein akan terjadi Malnutrisi Energi Protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema. Kolesterol dibatasi < 300mg.
Komplikasi8
Infeksi sekunder : mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia
Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1 gm/100 ml) yang menyebabkan
hipovolemi berat sehingga terjadi syok.
Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan system koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma atau factor V,VII,VIII dan X. Trombus lebih sering terjadi
di system vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid.
Komplikasi lain yang bisa timbul ialah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
Edukasi
Istirahat cukup
Prognosis13
21
Kesimpulan
Hipotesa diterima bahwa anak tersebut menderita sindrom nefrotik idiopatik yang
penyebabnya tidak jelas diketahui. Ini disebabkan karena gejala klinis yang sering terjadi
yaitu edema pada mata setiap pagi, juga scrotalnya dan didapatkan kadar trigliserida dan
kolesterol yang meningkat. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah simptomatik. Untuk
mengurangi edema kita dapat berikan loop diuretic dan dapat pula diterapi dengan
kortikosteroid sebagai pengobatan awal.
Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar IKA FK UI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI. Vol.2. Edited by Dr.Rusepno
Hasan dan Dr.Husein Alatas. Infomed Jakarta; 2007.h.2015-30.
2. Yasavati K, Mardi S, Johanna S P, Gracia W, et al. Buku panduan keterampilan medik.Jakarta :
FK UKRIDA;2010.h.28-40.
3. Sri. Ilmu kesehatan anak: Pemeriksaan fisik pada anak. Diunduh dari : ikextx.weebly.com. 25
Oktober 2014.
4. Lynn S, Bates B. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2009.h..333-353.
5. Meadoy R, Simon W. Pediatrika. Ed.7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;2007.h.40-57.
6. Shinta Pratiwi. Sindrom nefrotik dengan komplikasi hiperlipidemia. Di unduh dari :
www.fkumyecase.net. 25 Oktober 2014.
7. Muhammad SN, Ninik S. Sindrom nefrotik. Diunduh dari : www.pediatrik.com. 25 Oktober 2014.
8. Waldo E.Nelson.Neloson : Ilmu kesehatan anak. Ed.12.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2007.h.1987-98.
9. Schwartz W. Pedoman klinis pediatri. Penerbit Buku Kedokteran EGC:Jakarta;2005.h.308-11.
10. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH.[et al].
Diagnosis fisis pada anak. Ed.2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2009.h.270-89.
11. Markum. M.S, Wiguno .P, Siregar.P. Glomerulonefritis, ilmu penyakit dalam II.Balai Penerbit
FKUI: Jakarta;2009.h.274-81.
12. Pediatric Nephrology.Diunduh dari : http://www.mwd.umn.edu. 25 Oktober 2014.
13. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus tata laksana sindrom
nefropatik idiopatik. Ed.2. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta;2008.h.22-36.
22