Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nur Ulina M. Br.

Turnip
Nim : 1970140015
Prodi : Magister Ilmu Farmasi
Mata Kuliah : Biofarmasetika
Dosen Pengampu : Dr. Edy Suwarso, S.U.,Apt
Kelas : Gabungan

Soal

Jelaskan sistem pengembangan obat dari sediaan padat secara biofarmasi

Jawab :

Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi


obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif
yang mencapai sirkulasi sistemik.

Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat


permberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Peristiwa tersebut tergantung pada
cara pemberian dan bentuk sediaan. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap
utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi (pelarutan) dan absorpsi (penyerapan).

1. Liberasi (Pelepasan)
Apabila pasien menerima obat berarti ia mendapat zat aktif yang diformulasi dalam
bentuk sediaan dan dosis tertentu. Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan tergantung
pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan serta dapat terjadi secara cepat. Pelepasan zat aktif
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan mekanisme pada tempat pemasukan obat,
misalnya gerak peristaltik usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang
kenyal (tablet, supositoria dan lain-lain). Tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap
yaitu tahap pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk sebuah tablet (Aiache, 1993).

2. Disolusi (Pelarutan)

Setelah terjadi pelepasan, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif. Tahap kedua ini
merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan (Aiache, 1993).

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu :

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi :


 Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam
menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi
yang cepat.
 Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas
permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi
meningkat.
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi :
 Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur
dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat
hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh
karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat
mengurangi laju disolusi.
 Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju
disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat
hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan
menambah laju disolusi.
c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi :
 Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai
pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan
sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium
disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga
menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan
penambahan surfaktan ke dalam medium disolusi.
 Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju
disolusi bahan obat.
 pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih
cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi
(Gennaro, 2000). Obat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam,
karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar pada medium basa karena
terionisasi dan pembentukan garam yang larut (Martin,dkk., 1993).

3. Absorpsi (Penyerapan)

Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekulmolekul obat ke
dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati membran biologik.
Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila zat aktif berada dalam bentuk terlarut. Tahap ini
merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan tahap awal dari fase farmakokinetika.
Penyerapan zat aktif bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisikokimia molekul
obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sudah dibebaskan dari
sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologis (Aiache, 1993).

Menurut Shargel dan YU (2005) pada umumnya produk obat mengalami absorpsi
sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses itu meliputi:

1. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat.


Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam
partikel–partikel kecil melepaskan obat.
2. Pelarutan obat dalam media “aqueous”
Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam
suatu pelarut. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam media “aqueous” merupakan
suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi sistemik.
3. Absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat tersebut harus
melewati berbagai membrane sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai struktur
lipoprotein yang bertindak sebagai membrane lipid semipermeabel. Banyak obat
mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat–obat yang lebih larut dalam lemak
lebih mudah melewati membrane sel daripada obat yang kurang larut dalam lemak atau
obat yang lebih larut dalam air.
Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) Adapun faktor–faktor yang mempengaruhi
proses absorpsi obat di saluran cerna antara lain:
1. Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-bahan
tambahan dalam sediaan.
2. Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal.
3. Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu
pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam usus, aliran (perfusi) darah dari
saluran cerna.
4. Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat dengan
obat lain, penyakit tertentu.

Selanjutnya perkembangan ilmu biofarmasi , melihat bentuk sediaan sebagai suatu


“drug delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari sediaannya, absorpsi
dari obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang sudah diabsorpsi oleh cairan
tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi obat dari tubuh. Proses yang disebutkan
di atas dapat dilihat dari skema pemberian obat secara oral ( misal tablet) berikut ini :

Kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh bentuk sediaan, formula dan cara
pembuatan sehingga bisa terjadi sebagian obat dilepas disaluran cerna dan sebagian lagi
masih belum dilepas sehingga belum sempat diabsorpsi sudah keluar dari saluran cerna.
Malah sekarang ini pelepasan obat dari sediaan bisa diatur atau dikontrol sehingga absorpsi
bisa terjadi lama di saluran cerna, maka timbulah sediaan farmasi yang semula dipakai tiga
kali sehari menjadi satu kali sehari. Umumnya obat yang sudah terlarut dalam cairan saluran
cerna bisa diabsorpsi oleh dinding saluran cerna, tetapi dilain pihak obat yang sudah terlarut
itu bisa terurai tergantung dari sifatnya , sehingga sudah berkurang obat yang diabsorpsi.
Menyadari kenyataan ini maka munculah produk sediaan yang melalui kulit untuk tujuan
pemakaian sistemik seperti untuk obat jantung, hormon, obat anti mabuk dan lain-lain . Tidak
mungkin menempelkan obat di kulit berbulan bulan, apalagi bertahun tahun, sehingga
munculah obat diimplantasi di bawah kulit seperti obat untuk keluarga berencana yang bisa
bertahan sampai tiga tahun.

Sesudah obat didistribusikan dalam tubuh maka konsentrasinya akan ditentukan oleh
parameter farmakokinetikanya. Walaupun kita kontrol atau perlambat pelepasannya dari
sediaan tetapi kalau tidak memperhatikan parameter farmakokinetikanya bisa terjadi kadar
obat di bawah MEC sehingga tidak memberikan kemanjuran. Biofarmasi dan
farmakokinetika menjadi dasar utama dalam pekerjaan pengembangan produk baru.

Suatu produk baru yang akan dikeluarkan oleh suatu industri haruslah diyakini
kemanjurannya, sehingga perlu dilakukan uji kemanjuran. Ada beberapa uji produk yang
dianggap memberikan gambaran terhadap kemanjuran sediaan tersebut yaitu uji secara in
vitro, in situ dan in vivo seperti ditunjukkan oleh bagan berikut ini :

Compendia seperti Farmakope hanya mensyaratkan uji in vitro terhadap produk obat
seperti waktu hancur dan atau uji kecepatan disolusi obat dari sediaan untuk tablet/kapsul.
Test in vitro ini tidak memberikan jaminan terhadap kemanjuran produk tersebut. Uji
farmakokinetika yang betul-betul memberikan jaminan. Tetapi untuk melakukan uji
farmakokinetika suatu produk baru dari obat lama adalah terlalu lama, terlalu mahal dan
hasilnya masih diperdebatkan . Cara yang terbaik adalah melakukan uji bioavailabilitas yang
merupakan ukuran kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi oleh tubuhUji bioavailabilitas
ini haruslah uji bioavailabilitas komparatif terhadap produk innovator, yaitu suatu produk
yang sudah lama digunakan dan mendapat pengakuan pengalaman klinis dari para dokter.

Anda mungkin juga menyukai