Anda di halaman 1dari 19

Sejarah Negara Hukum

Dapat dilihat jika perkembangan konsep negara hukum itu lahir dari sejarah, sebab rumusan
atau pengertian negara hukum senantiasa berkembang mengikuti pergerakan sejarah dan
perkembangan umat manusia dari masa ke masa. Oleh karena itu dalam rangka memahami
secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah
perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya
konsepsi negara hukum. Selain itu pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah sangat
lama, jauh lebih lama dari usia Ilmu  Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri

Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan
gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang sejak 1800 S.M. (J.J. von Schmid, 1988: 7).
Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani
kuno. Gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan
tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum (Jimly Asshiddiqie, 1994:
11).
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan
perkembangan sejarah manusia. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap
sebagai konsep universal, namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh
karakteristik negara dan manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi di samping pengaruh
falsafah bangsa, ideologi negara, dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan
sejarah manusia.

Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti
negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut
konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo
Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-
konsep negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing. Pada masa Yunani kuno
pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno, seperti
Plato (429-347 S.M) dan Aristoteles (384-322 S.M). Secara embrionik, gagasan negara hukum
telah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai
karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Sementara itu, dalam dua tulisan pertama, Politeia
dan Politicos, belum muncul istilah negara hukum, (M. Tahir Azhary, 1992: 73-74). Dalam
Nomoi, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Plato
mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada
pengaturan (hukum) yang baik. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat
diselenggarakan, pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang
terbentuk tidak melalui jalan hukum.

Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum
yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Bagi
Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran
yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja
Gagasan Plato tentang negara hukum semakin tegas ketika didukung oleh muridnya,
Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Plato mengemukakan konsep nomoi yang
dapat dianggap sebagai cikal-bakal pemikiran tentang negara hukum. Aristotoles mengemukakan
ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait
kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan
pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia
perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan
manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu
“Negara Hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas
keadilan. Dalam negara seperti ini, keadilanlah yang memerintah dan harus terjelma di dalam
negara, dan hukum berfungsi memberi kepada setiap apa yang sebenarnya berhak ia terima.
Ide negara hukum menurut Aristoteles ini, tampak sangat erat dengan “Keadilan”, bahkan suatu
negara akan dikatakan sebagai negara hukum apabila suatu keadilan telah tercapai. Konstruksi
seperti ini mengarah pada bentuk negara hukum dalam arti “ethis” dan sempit, karena tujuan
negara semata-mata mencapai keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut dinamakan
teori-teori ethis, sebab menurut teori ini isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran
ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.

Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan
konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu
pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan
dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum
yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga,
pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan
berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan yang berkuasa. Dalam kaitannya
dengan konstitusi, Aristoteles mengemukakan bahwa konstitusi merupakan penyusunan jabatan
dalam suatu negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa
akhir dari setiap masyarakat. Selain itu, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus
mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988:
153)

Konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles lahir beberapa
puluh tahun sebelum Masehi. Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep negara hukum
sesudah Masehi didasarkan pada sistem pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu, seperti
dikemukakan oleh beberapa ahli.
Nicolo Machiavelli (1469-1527) seorang sejarawan dan ahli negara telah menulis bukunya yang
terkenal “II Prinsipe (The Prince)” tahun 1513. Machiavelli hidup pada masa intrik-intrik dan
peperangan yang terus-menerus di Florence, di mana pada waktu tata kehidupan berbangsa dan
bernegara lebih mengutamakan kepentingan negara. Tata keamanan dan ketentraman, Di
samping keagungan negara, harus merupakan tujuan negara, supaya Italia menjadi suatu negara
nasional. Dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita itu raja harus merasa dirinya tidak terikat
oleh norma-norma agama atau pun norma-norma akhlaq. Raja dianjurkan supaya jangan
berjuang dengan mentaati hukum; raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti
halnya juga binatang, (S.F Marbun dkk, 2001: 4). Penguasa menurut Machiavelli, pimpinan
negara haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil untuk mancari lubang jaring dan menjadi
singa untuk mengejutkan serigala. Raja atau pimpinan negara harus memiliki sifat-sifat cerdik
pandai dan licin ibarat seekor kancil, akan tetapi harus pula memiliki sifat-sifat yang kejam dan
tangan besi ibarat seekor singa; seperti ‘A prince being thus obliged to know well how to act as a
beast must imitate the fox and the lion, for the lion cannot protect himself from traps and the fox
cannot defend himself from wolves. One must therefore be a fox to recognise traps, and a lion to
frighten wolves’, (Luigi Ricci dan E.R.P. Vincent, 1955: 101; R. Kranenburg, 1955: 51).
Demikian beberapa anjuran Machiavelli kepada raja untuk menerapkan absolutisme dalam
negara. Maksudnya agar negara Italia menjadi negara besar yang berkuasa.
Jean Bodin (1530-1596) juga menganjurkan absolutisme raja. Raja harus mempunyai hak mutlak
membuat undang-undang bagi rakyatnya yang diperintah. Kedaulatan itu puissance absolute atau
kekuasaan mutlak yang terletak di dalam tangan raja dan tidak dibatasi oleh undang-undang.
Karena yang membuat undang-undang itu raja, maka tidak mungkin pembuatnya diikat oleh
buatannya sendiri. Akan tetapi berlawanan dengan Machiavelli, Jean Bodin mengatakan bahwa
raja itu terikat dengan hukum alam. Lebih lanjut Jean Bodin memandang kekuasan yang terpusat
pada negara yang makin lama makin tegas tampak dalam bentuk kekuasaan raja. Karena itu
disimpulkannya, bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan, yaitu kekuasaan raja
yang superior, (Theo Huijber, 1995: 57).
Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa manusia sebelum hidup dalam lingkungan
masyarakat bernegara, hidup dalam alam. Dalam keadaan alami itu manusia mempunyai hak
alami yang utama, yaitu hak utama mempertahankan diri sendiri. Dalam situasi demikian itu
manusia merupakan musuh bagi manusia lainnya dan siap saling menerka seperti serigala,
akibatnya ialah merajalelanya peperangan semuanya melawan semuanya. Namun, dibimbing
oleh akalnya manusia mengerti bahwa bila keadaan yang demikian itu diteruskan, semuanya
akan binasa. Oleh karena itu manusia lalu bergabung memilih penguasa yang menjamin hukum
malalui suatu perjanjian sosial. Dalam teori Hobbes, perjanjian masyarakat tidak dipakai untuk
membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang diserahkan
kepada raja. Raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat melainkan ia memperoleh
wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja itu mutlak. (Theo Huijber, 1995: 57)
Dikemukakan di atas beberapa ahli yang secara ekstrim menyatakan pendapatnya untuk
membenarkan sistem pemerintahan yang bersifat absolut guna diterapkan dalam kehidupan
bernegara. Memang apabila ditelusuri lebih jauh pandangan ini, tentu kita akan melihat bahwa
konsepsi mereka dilatarbelakangi oleh adanya situasi negara yang buruk di masa mereka hidup.
Sehingga bagi mereka, negara atau penguasa yang kuat diperlukan untuk mengatasi peperangan
yang terjadi waktu itu.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan dengan
memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu sistem pemerintahan yang berdasarkan konstitusi.
Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan harus didasarkan
pada hukum konstitusi. John Locke (1632-1704) mengemukakan, kekuasaan raja harus dibatasi
oleh suatu “leges fundamentalis”. Namun perlu dicatat bahwa perjuangan konstitusional yang
membatasi kekuasaan raja banyak dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, di antaranya:
1) Reformasi;
2) Renaissance;
3) Hukum Kodrat;
4) Timbulnya kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal (Aufklarung). (Theo Huijber,
1995: 57)
Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir pula gagasan atau
pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir
Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya negara
hukum.
Di Inggris, perlawanan masyarakat terhadap negara (Monarchi Absolutis) telah lama berjalan
(sebelum John Locke menuliskan teorinya tentang negara dan hukum dalam buku “Two treatises
of civil government”, 1690) terjelma dalam pertikaian terus menerus antara “King dan
Parliament”, yang melahirkan piagam-piagam di mana diakui hak-hak asasi bangsa Inggris,
yaitu:
1) Magna Charta (1215);
2) Petition of Rights (1628);
3) Habeas Corpus Act (1679);
4) Bill of Rights (1689).
Pada umumnya kemenangan ada di pihak masyarakat, monarki absolut tidak dapat berkembang,
sedangkan Parlemen langkah demi langkah membesarkan pengaruhnya. Dalam karya Locke
muncul beberapa prinsip hukum yang berlaku dalam negara hukum modern, yakni asas yang ada
hubungannya dengan organisasi negara hukum. (Theo Huijber, 1995: 79-83)
Di Prancis, dipelopori antara lain Charles Louis de Scondat, Baron de La Brede et de La
Montesquieu (1688-1775) dan Jean Jacques Rousseau (1746-1827), Renaissance dan Reformasi
berkembang dengan baik. Perjuangan hak-hak asasi manusia di Perancis itu memuncak dalam
revolusi Perancis pada tahun 1789, yang berhasil menetapkan hak-hak asasi manusia dalam
“Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen”, yang pada tahun itu ditetapkan oleh
“Assemblee National” Prancis, dan pada tahun berikutnya dimasukkan ke dalam Constitution.
Sedangkan di Amerika Serikat sebelumnya, yaitu pada tanggal 4 Juli 1776 sudah dirumuskan
dalam “Declaration of Independent”. Dengan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia,
maka kekuasaan absolut dari raja lama kelamaan semakin susut dan bersama-sama dengan itu
kebutuhan akan negara hukum makin mantap. (Theo Huijber, 1995: 87-93)
Pada babak sejarah kini, sulit untuk membayangkan negara tidak sebagai negara hukum. Setiap
Negara yang tidak mau dikucilkan dari pergaulan masyarakat internasional menjelang abad XXI
setidaknya secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai negara hukum. Dalam negara
hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan
politik. Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan,
termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi. Dengan
demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik sektarian dan primordial melainkan
kepada cita-cita politik dalam kerangka kenegaraan. (Budiono Kusumohamidjojo, 2004: 36-37)
Lebih lanjut para ahli yang menganut faham kedaulatan berpendapat bahwa hukum bukanlah
semata-mata apa yang secara formal diundangkan oleh badan legislatif suatu negara. Hukum
(dan kedaulatan sebagai aspeknya) bersumberkan perasaan hukum anggota-anggota masyarakat.
Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan pencipta hukum. negara hanya memberi bentuk
pada perasaan ini. Hanya apa yang sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar
merupakan hukum, (F Isjwara, 1974: 99).
Hugo Krabbe sebagai salah seorang ahli yang mempelopori aliran ini berpendapat bahwa negara
seharusnya negara hukum (rechtsstaat) dan setiap tindakan negara harus didasarkan pada hukum
atau harus dapat dipertanggungjawabkan pada hukum. Kalau diperhatikan lebih jauh ke
belakang, konsep kedaulatan yang didasarkan pada hukum ini adalah suatu reaksi atas prinsip
ajaran kedaulatan negara. Menurut teori kedaulatan negara, segala sesuatu dijalankan dalam
setiap kebijaksanaan negara, karena negara diberi kekuasaan yang tidak terbatas. Para penganut
paham ini beranggapan bahwa hukum tidak lain dari kemauan negara itu sendiri yang
dikonkretkan. Dalam perkembangan selanjutnya para ahli menganggap bahwa paham kedaulatan
negara tidak sesuai dengan kenyataan.
Pada akhirnya berpaling ke supremasi hukum sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Aliran ini
lebih memperhatikan realitas dengan menyataan-kenyataan sejarah. Bahkan lebih ekstrim lagi
kita melihat prinsip negara dan hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen (1881-1973) yang
mengatakan bahwa pada hahekatnya negara adalah identik dengan hukum, karena itu tertib
hukum tidak ada bedanya dengan tertib negara.
Pandangan Hans Kelsen tersebut paling ekstrim di antara pengikut paham kedaulatan hukum.
Bahkan beranggapan bahwa negara semata-mata konstruksi hukum belaka, karena itu Kelsen
mendapat kritikan-kritikan yang tidak henti-hentinya dari ahli-ahli lain, terutama dari para
sosiolog, karena ia dianggap anti sosiologi. Hans Kelsen dianggap meremehkan peranan dan
manfaat sosiologi di dalam penelaahannya mengenai negara. Disadari bahwa negara bukanlah
semata-mata menjadi objek hukum sendiri atau negara tidak mutlak identik dengan hukum
seperti pendapat Kelsen. Tetapi selain ilmu hukum, masih banyak disiplin ilmu lain yang
menjadikan negara sebagai objek pembahasan. Hal ini dapat dilihat pada beberapa disiplin ilmu,
seperti ilmu politik, ilmu pemerintahan, sosiologi danilmu lainnya.
Meskipun ide tentang negara hukum telah lama diungkapkan oleh para ahli, namun dipandang
dari segi penggunaan istilah “negara hukum”, istilah tersebut baru mulai tampil dalam abad XIX
seperti yang dikembangkan Albert Venn Dicey dengan konsep negara hukum Rule of Law di
negara Anglo Saxon, dan Frederich Julius Stahl dengan konsep negara hukum Rectsstaats di
negara Eropa Continental.

4 Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.1997. Hlm 4
Konsep Lembaga Negara

Konsepsi pembentukan lembaga negara secara umum berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi
penyelenggaraan negara yang melatarbelakangi dibentuknya suatu lembaga. Secara singkat, teori dan
praktik pengelompokan fungsi-fungsi tersebut dimulai jauh sebelum Montesquieu memperkenalkan
teori Trias Politika. Pemerintahan Perancis pada abad ke-XVI telah membagi fungsi kekuasaan yang
dimilikinya ke dalam lima bagian khusus, yaitu fungsi diplomacie, fungsi defencie, fungsi financie,
fungsi justicie, dan fungsi policie. Fungsi-fungsi
tersebut kemudian dikaji kembali oleh John Locke dan dipersempit menjadi tiga fungsi kekuasaan,
yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan federatif, dengan menempatkan fungsi peradilan 5dalam
kekuasaan eksekutif.
Montesquieu kemudian mengembangkan pendapat tersebut dengan berpendapat bahwa fungsi
federatif merupakan bagian dari fungsi eksekutif dan fungsi yudisial perlu dipisahkan tersendiri.
Sehingga, Trias Politica Montesquieu terdiri atas fungsi eksekutif, fungsi legislatif dan fungsi
yudisial. Ketiga fungsi tersebut kemudian dilembagakan dalam tiga organ negara untuk menjalankan
fungsi masing-masing yaitu pemerintah, parlemen dan pengadilan. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu dan semakin berkembangnya sistem pemerintahan di seluruh dunia serta dengan
muncul dan berkembangnya doktrin welfare state (negara kesejahteraan) maka ketiga organ negara
sederhana tersebut mulai berkembang dengan dibentuknya berbagai lembaga-lembaga negara baru. 6
Jimly Asshidiqie menjelaskan bahwa konsep organ negara dan lembaga Negara adalah sangat luas
maknanya, sehingga sesuai perkembangan tata negara saat ini, lembaga negara dan organ negara
tidak dapat dipersempit hanya pada pengertian ketiga cabang kekuasan seperti yang dimaksud
Montesquieu. Oleh karenanya, terdapat beberapa pengertian yang mungkin, yaitu:7
1. Organ negara paling luas mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi law-creating dan
law-applying

2. Organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu mencakup individu
yang menjalankan fungsi law-creating dan law-applying dan juga
mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan

3. Organ negara dalam arti yang lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi
law-creating dan law-applying dalam kerangka struktur dan sistem kenegaraan

Terkait dengan pengertian kedua dan ketiga, Jimly kemudian lebih jauh menjabarkan dengan teori
tentang norma sumber legitimasi, yaitu dengan memperhatikan bentuk norma hukum yang menjadi
sumber atau yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara, dan berkaitan dengan siapa
yang merupakan sumber atau pemberi kewenangan terhadap lembaga negara yang bersangkutan. Di
Indonesia sendiri dengan mengacu pada UUD Negara RI Tahun 1945 lembaga negara.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan lebih dari 34 buah lembaga, baik yang
hanya disebut secara eksplisit maupun yang disebut dengan implisit dan diatur keberadaannya dalam
UUD 1945. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat ditentukan dari segi fungsi dan hirarki.
Dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga negara tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga lapis, yaitu:
1. Lembaga Tinggi Negara
 Terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK.
2. Lembaga Negara
 Lembaga ini ada yang mendapatkan kewenangannya dari UU, dan ada pula yang
mendapatkan kewenangannya dari UUD, misalnya Komisi Yudisial, TNI, Kepolisian RI.
Sedangkan lembaga yang kewenangannya bersumber dari UU, misalnya Komnas
HAM,Komisi Informasi, dan sebagainya.
Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah Menteri Negara, TNI,
Kepolisian RI, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Bank sentral.
3. Lembaga Daerah
 Merupakan lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang dapat disebut
sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang merupakan lembaga negara yang terdapat di
daerah. Antara lain, Pemerintah Daerah Provinsi, Gubernur, DPRD Provinsi, Pemerintahan
Daerah Kabupaten, Bupati, DPRD Kabupaten, Pemerintahan Daerah Kota, Walikota, dan
DPRD Kota.9
Sedangkan pembedaan dari segi fungsi, yaitu organ utama atau primer (primary constitutional
organ) dan organ pendukung atau penunjang (state auxiliary bodies) yang dapat dibedakan dalam
tiga ranah (domain), yaitu:
1. Kekuasaan Eksekutif atau pelaksana (administratur, bestuurzorg) Terdiri dari Presiden dan Wakil
Presiden yang merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan.

2. Kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan

Dalam fungsi ini terdapat empat organ atau lembaga, yaitu DPR, DPD, MPR, dan BPK. Dalam
kelompok cabang legislatif, lembaga parlemen yang utama adalah DPR, sedangkan DPD bersifat
penunjang. Namun dalam bidang pengawasan yang menyangkut kepentingan daerah, DPD tetap
mempunyai kedudukan yang penting, karena itu DPD dapat disebut sebagai lembaga utama (main
state organ).10 MPR adalah sebagai lembaga perpanjangan fungsi (extension) parlemen atau lembaga
parlemen ketiga meskipun tugasnya tidak bersifat rutin, dan kepemimpinanya dapat dirangkap oleh
pimpinan DPR dan DPD, MPR tetap disebut sebagai lembaga utama. Karena MPR yang berwenang
mengubah dan menetapkan undang-undang dasar dan kewenangan penting lainnya.
10 Ibid, Hlm 113
3. Kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial

Meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman ada dua, yaitu Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi tetapi di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga
pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat
penunjang (auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman dan bukanlah sebagai penegak hukum
tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman.
Sejalan dengan pendapat Jimly sebagaimana yang telah diuraikan di atas, Zoelva kemudian
menjelaskan pula jenis-jenis organ negara dalam UUD 1945. Zoelva menerangkan bahwa UUD 1945
menyebutkan paling tidak 8 (delapan) organ negara yang menerima kewenangan kosntitusional
langsung dari UUD, yaitu DPR, DPD, MPR, BPK, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Selain itu, terdapat banyak institusi atau organ baik
sebelum atau setelah perubahan UUD 1945 yang menjalankan fungsi negara tetapi tidak disebutkan
dalam UUD 1945 baik secara ekspresif verbis maupun tidak. Institusi atau organ ini lahir atau
dibentuk baik berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan presiden.11
11 Hamdan Zoelva, Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia, Jurnal Negarawan, Sekretariat Negara RI, November 2010, hlm. 65.
Jimly Ashiddiqie menjelaskan bahwa lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga
masyarakat dapat disebut sebagai lembaga Negara. Lembaga Negara dapat beradudikatifa dalam
ranah legislative, eksekutif maupun yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Lebih lanjut, menurut
jimlly, baik pada tingkat pusat maupun daerah, bentuk organisasi Negara dan pemerintahan dalam
perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat. Karena itu doktrin trias politica yang
biasadinisbatkan dengan tokoh Montesqieu yang
mengendalikan bahwa tiga fungsi kekuasaan Negara selalu harus tercermin di dalam tiga jenis organ
Negara, seiring terlihat tidak relevan lagi utnuk dijadikan acuan Negara.12
Namun karena pengaruh gagasan Montesqieu sangat mendalam dalamcara berfikir banyak sarjana,
seringkali sangat sulit melepaskan diri dari pengertian bahwa lembaga Negara itu terlalu terkait
dengan tiga cabang alat alat perlengkapan Negara, yaitu legislative, eksekutif, dan yudikatif. Seakan
akan konsep lembaga Negara juga harus terkait dengan pengertian tiga cabang kekuasaan itu.
Menurut Montesqieu:
“disetiap Negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur
pemerintahan yaitu: legislative, Eksekutif, dan yudikatif yang berhubungan dengan pembentukan
hokum dan undang-undang Negara kita. Dari kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan
penerapan hokum sipil, tidak lain adalah the judiciary (kekuasaan yudikatif). Ketiga fungsi
kekuasaan tersebut adalah legislative, eksekutif, atau pemerintah dan judiciary”
Hakikat dari pandangan Montesqieu tentang trias politica adalah pemisahan kekuasaan atau
separation of power. Dengan berpatokan pada hal ini, diadakan oleh Montesqiey bahwa ketiga fungsi
kekuasaan organ hanya boleh menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan
masing-masing dalam artian mutlak. Bila tidak demikian, kebebasan warga Negara menjadi
terancam.

Konsepsi trias politica yang diidealkan Montesqiu jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat
tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara
ekslusif dengan salah satu dariketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukan
bahwa hubungan antarcabang kekuasan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan satu sama
lain sesuai dengan prisnip checks and balences.
Hukum administrasi negara telah berkembang sejalan dengan gerak pemerintah mulai

menata masyarakat. Dalam kaitan itu pemerintah menggunakan sarana hukum sebagai instrumen

pengaturan. Sebagai perwujudannya, pemerintah mengeluarkan/ melaksanakan undang-undang,

peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah, dan keputusan-keputusan yang

mengandung suatu larangan maupun berupa kebolehan (izin). Oleh karna itu, sejak awal, bahkan,

sejak dahulu kala pemerintah telah terlibat atau telah menggunakan sarana hukum dalam

penataan dan pengelolaan masyarakat.

Dengan berkembangnya kehidupan masyarakat menyebabkan pula berkembangnya tugas-

tugas pemerintahan yang dapat di lihat pada berbagai bidang urusan pemerintahan telah terjadi

penumpukan aturan-aturan dan keputusan-keputusan pemerintah yang saling melengkapi,

bahkan dapat pula bersifat mengubah karna terjadinya perubahan situasi dan kondisi dalam

masyarakat.

Hukum administrasi telah berkembang dalam suasana manakala pihak pemerintah mulai

menata masyarakat dan dalam kaitan itu menggunakan sarana hukum seperti yang di nyatakan di

atas, umpamanya dengan menetapkan keputusan-keputusan larangan tertentu atau dengan

menerbitkan sistem-sistem perizinan. Perkembangan hukum administrasi umum boleh dikatakan

baru saja tumbuh sejak Perang Dunia Kedua.

Suatu perkembangan telah terjadi dalam kajian hukum administrasi yakni timbulnya

pemikiran tentang kebutuhan pengembangan secara ilmiah terhadap unsur-unsur bersama yang

mewarnai setiap bagian dan setiap urursan pemerintahan yang bersifat khusus untuk suatu asas-

asas umum pemerintahan1[1]

1
Jadi kesimpulannya, perkembangan Hukum administrasi negara berkembang sejalan dengan

gerak pemerintah dari mulai menata masyarakat.yang Dalam kaitan itu pemerintah

menggunakan sarana hukum sebagai instrumen pengaturan. Sebagai perwujudannya, pemerintah

mengeluarkan/ melaksanakan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri,

peraturan daerah, dan keputusan-keputusan yang mengandung suatu larangan maupun berupa

kebolehan (izin). demi terbentuknya negara yang berkedaulatan adil dan makmur.

Menurut Van Vollenhoven, hukum administrasi negara adalah hukum yang membatasi
kebebasan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sementara menurut Prajudi Atmosudirjo,
hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur tentang seluk beluk administrasi
negara dan hukum yang merupakan hasil ciptaan administrasi negara itu sendiri. Kesimpulannya,
hukum administrasi negara adalah hukum yang mempelajari negara dalam keadaan dinamis.
HAN merupakan bagian dari hukum tata negara.

Seperti yang telah disebutkan, hukum administrasi diperlukan untuk mengawasi jalannya
pemerintahan. Tanpa adanya hukum administrasi, pemerintahan akan berjalan dengan sewenang
– wenang. Kekuasaan berjalan hanya menguntungkan pemerintah, sementara rakyat tertindas,
tidak memiliki hak apapun atas negara. Inilah yang dinamakan absolutisme.

Hukum administrasi negara berkembang dari masa ke masa, mengikuti bentuk negaranya, mulai
dari negara absolut, negara hukum, sampai negara kesejahteraan. Selama perkembangan itu pula
wewenang dari hukum administrasi negara selalu berubah – ubah sesuai dengan perubahan
zaman. Perkembangan ini sangat penting dipelajari agar kita dapat mengetahui fungsi dan tugas
HAN sebenarnya.

Identifikasi Masalah

Dari latar belakang dapat kita tarik masalah yang ingin dibahas dalam makalah ini adalah, seperti
apakah perkembangan hukum administrasi sejak masa absolutisme sampai dengan masa
dianutnya negara kemakmuran? Apakah pengaruh perkembangan tersebut dengan hukum
administrasi negara di Indonesia?

Manfaat Penulisan Makalah Ini Bagi Saya Pribadi

Manfaat yang saya harapkan akan saya dapat dari pembuatan makalah ini adalah saya jadi
mengetahui bagaimana perkembangan hukum administrasi sejak masa absolutisme sampai
dengan masa dianutnya negara kemakmuran. Sejak masa itu sampai masa sekarang, bentuk
pemerintahan negara telah banyak berubah. dimulai dari masa ketika mayoritas negara menganut
sistem kekerajaan, lalu masa ketika negara menjadi negara hukum, kemudian menjadi negara
kesejahteraan.

Perkembangan hukum administrasi dari masa ke masa sangatlah penting untuk dipelajari karena
Indonesia sedang berada di masa transisi dari negara hukum ke negara kesejahteraan. Bila kita
telah mengetahui tentang perkembangan hukum administrasi maka kita akan dapat pula
memperkirakan seperti apa dampak yang akan terjadi pada masyarakat seandainya bentuk negara
Indonesia berubah menjadi negara kesejahteraan. Hal – hal yang merugikan akan dapat dicegah,
sementara hal – hal yang diperkirakan akan menguntungkan dapat disambut dengan persiapan
yang lebih baik.

BAB II

PEMBAHASAN

Sebelum membahas bagaimana perkembangan hukum administrasi negara dari masa absolutisme
sampai dengan masa negara kesejahteraan, ada baiknya kita membahas lebih banyak tentang
pengertian hukum administrasi negara itu sendiri dari berbagai ahli.

1. Pengertian Hukum Administrasi Negara[1]

1. Oppen Hein : “ Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-
ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila badan-badan itu
menggunakan wewenagnya yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara.”

2. J.H.P. Beltefroid : “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan tentang


cara bagaimana alat-alat pemerintahan dan badan-badan kenegaraan dan majelis-majelis
pengadilan tata usaha hendak memenuhi tugasnya.”

3. Logemann : “ Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat dari norma-norma yang


menguji hubungan Hukum Istimewa yang diadakan untuk memungkinkan para pejabat
administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus.”

4. De La Bascecoir Anan : “ Hukum Administrasi Negara adalah himpunan peraturan-peraturan


tertentu yang menjadi sebab Negara berfungsi bereaksi dan peraturan-peraturan itu mengatur
hubungan-hubungan antara warga Negara dengan pemerintah.”

5. L.J. Van Apeldoorn : “ Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan yang
hendaknya diperhatikan oleh para pendukung kekuasaan penguasa yang diserahi tugas
pemerintahan itu.”

6. A.A.H. Strungken : “ Hukum Administarsi Negara adalah aturan – aturan yang menguasai
tiap-tiap cabang kegiatan penguasa sendiri.”

7. J.P. Hooykaas : “Hukum Administarsi Negara adalah ketentuan mengenai campur tangan dan
alat-alat perlengkapan Negara dalan lingkungan swasta.”
8. Sir. W. Ivor Jennings : “Hukum Administarsi Negara adalah hukum yang berhubungan
dengan Administrasi Negara, hukum ini menentukan organisasi kekuasaan dan tugas-tugas dari
pejabat-pejabat administrasi.”

9. Marcel Waline : “Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan-aturan yang


menguasai kegiataqn-kegiatan alat-alat perlengkapan Negara yang bukan alat perlengkapan
perundang-undangan atau kekuasaan kehakiman menentukan luas dan batas-batas kekuasaan
alat-alat perlengkapan tersebut, baik terhadap warga masyarakat maupun antara alat-alat
perlengkapan itu sendiri, atau pula keseluruhan aturan-aturan yang menegaskan dengan syarat-
syarat bagaimana badan-badan tata usaha negara/ administrasi memperoleh hak-hak dan
membebankan kewajiban-kewajiban kepada para warga masyarakat dengan peraturan alat-alat
perlengkapannya guna kepentingan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan umum.”

10. E. Utrecht : “Hukum Administrasi Negara adalah menguji hubungan hukum istimewa yang
diadakan agar memungkinkan para pejabat pemerintahan Negara melakukan tugas mereka secara
khusus.

Sementara menurut ahli hukum Indonesia,

1. R. Abdoel Djamali : ”Hukum administrasi negara adalah peraturan hukum yang mengatur
administrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahnya yang menjadi sebab hingga
negara itu berfungsi.”

2. Kusumadi Poedjosewojo : ”Hukum administrasi negara adalah keseluruhan aturan hukum


yang mengatur bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi
tugasnya.”

3. Djokosutono : ”Hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur tentang hubungan-
hubungan hukum antara jabatan-jabatan dalam negara dengan warga masyarakat.”

4. Prajudi Atmosudirjo : ”Hukum administrasi Negara adalah hukum mengenai operasi


pengendalian kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap penguasa administrasi.”

Dalam sejarah tercatat tiga masa penting yang mempengaruhi konsep hukum administrasi
negara. Masa – masa itu adalah masa absolutisme, masa negara hukum klasik, dan masa negara
hukum modern.

2. Masa Absolutisme[2]

Masa absolutisme mulai dicatat dalam sejarah imperium Romawi, sejak masa republik. Pada
masa itu pimpinan Negara dipegang oleh konsul – konsul yang menyelenggarakan dan
menjalankan pemerintah demi kepentingan umum. Biasanya pemerintahan itu dipegang oleh dua
orang konsul. Akan tetapi bila ada keadaan bahaya atau darurat, maka warga Negara memilih
seseorang untuk ditunjuk sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan itu selama keadaan
bahaya tersebut. Si pemegang kekuasaan tunggal itulah yang disebut sebagai diktator. Lama atau
tidaknya kekuasaan itu tergantung oleh keadaan bahaya yang terjadi. Cincinnatus menjadi
diktator selama 6 bulan lalu mengembalikan kekuasaannya kepada rakyat. Tapi tidak semua
diktator seperti Cincinnatus. Mayoritas diktator yang berkuasa di masa romawi mengindahkan
konstitusi lalu memegang kekuasaan dengan absolut dan menindas rakyat, seperti yang
dilakukan Marius dan Caesar. Keadaan seperti ini dinamakan diktator purba.

Setelah masa republik, ada masa prinsipat. Pada waktu ini, para raja Romawi belum memiliki
kewibawaan, namun mereka pada hakikatnya merupakan orang yang memerintah secara mutlak.
Kemutlakan ini didasarkan kepada caesarismus yaitu adanya perwakilan yang menghisap, dari
pihak Caesar terhadap kedaulatan rakyat (absorptieve representation). Untuk keperluan ini
beberapa ahli hukum romawi kemudian mencari landasan hukumnya agar segala tindakan raja
yang menyeleweng dari kedaulatan rakyat dapat dibenarkan. Ulpianus, salah satu ahli kemudian
menelurkan Konstruksi Ulpianus, yang berisi “kedaulatan rakyat itu diberikan kepada raja
melalui suatu perjanjian yang termuat di dalam undang – undang yang termaktub dalam Lex
Regia”.

Pada dasarnya pemerintahan untuk kepentingan umum dan kepentingan itu dirumuskan dalam
bentuk undang – undang, sehingga kepentingan umum itu derajatnya lebih tinggi daripada
undang – undang (solus publica suprema lex). Akan tetapi dengan timbulnya undang – undang
tersebut maka yang merumuskan kepentingan umum itu bukanlah rakyat, melainkan raja
(princep legibus solutus est). Sudah pasti dalam merumuskan itu raja akan memikirkan
kepentingannya sendiri, bukan kepentingan umum. Di masa ini sesungguhnya romawi telah
berwujud sebagai monarki mutlak yang memuat caesarismus akibat penyalahgunaan Lex Regia.

Masa dominat hadir setelah masa principat. Di masa ini, kaisar Romawi bertindak sewenang –
wenang, kejam dan tanpa prikemanusiaan. Selang beberapa abad kemudian, abad ke 4 dan 5,
imperium romawi jatuh diserang oleh kaum barbar bangsa jerman kuno dan turki. Meski begitu,
kekuasaan yang timbul setelahnya pun masih bersifat absolut. Bukan Cuma di roma, tetapi di
seluruh daratan Eropa. Pada masa pertengahan, pemerintahan sangat religius karena Gereja
memegang kuasa. Masa Renaissance, Abad 16, di prancis terdapat pemerintahan absolut Henry
IV. Jean bodin kemudian membenarkan pemerintahan absolut tersebut dengan memberikan
landasan hukum. Ia berkata, tidak ada kedaulatan mutlak melainkan kedaulatan terbatas baik di
dalam maupun di luar wilayah negara. Suatu kedaulatan yang dibatasi oleh hak – hak pokok
manusia dan oleh hukum yang berlaku dalam hubungan antar negara. Menurut pendapatnya,
bentuk negara terbaik adalah monarki secara turun temurun dan hanya laki – laki yang boleh
memerintah. Teori kedaulatan ala Jean Bodin ini kemudian dipakai sebagai landasan hukum
Louis XIV dalam memerintah secara mutlak pada abad ke 17.

3. Masa Negara Hukum

Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum telah dikembangkan oleh para filusuf
besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M)[3] . Dalam
bukunya Politikos, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan.
Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang
dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.
Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dan bagi
Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran
yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.

Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang Negara Hukum lahir sebagai perjuangan
melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel
Geschriften, deel I, tahun 1949, hlm. 383, dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah
Negara Hukum itu berasal dari abad XIX, tetapi gagasan tentang Negara Hukum itu tumbuh di
Eropa sudah hidup dalam abad tujuh belas. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar
belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan
yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great
Britain), yang berisi hak dan kebebasan daripada kawula negara serta peraturan penganti raja di
Inggris.

Kemudian muncullah teori Trias Politica dari Montesquieu[4]. Teorinya adalah teori pemisahan
kekuasaan atau separation of power , yang memisahkan badan kekuasaan menjadi tiga, yaitu;

1. kekuasaan membuat undang – undang (legislatif),


2. kekuasaan menjalankan undang – undang (eksekutif),
3. kekuasaan mengawasi jalannya undang – undang (yudikatif).

Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham
rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang
rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa
didominir oleh absolutisme raja. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa
Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl[5]. Sedangkan
paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan
bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu
pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system. Konsepsi Negara Hukum menurut
Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre,
mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant[6] mengemukakan
paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya
sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang
bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini
terkenal dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats, yaitu negara sebagai
penjaga malam. Paham ini menurut Van Vollenhoven membatasi negara dalam bertindak dan
menjamin pada yang diperintah. Immanuel Kant menjelaskan teori Trias Politica Montesquieu;

1. Maksud dari teori pemisahan adalah menginginkan jaminan kemerdekaan individu


terhadap kesewenang – wenangan penguasa,
2. Tujuan negara adalah membuat dan mempertahankan hukum. Negara bukan menjadi alat
kekuatan melainkan alat hukum.

Teori pemisahan kekuasaan hanya dapat dipraktekkan dalam negara hukum dalam arti sempit
saja. Kelebihan dari teori ini adalah, badan Negara diberi fungsi yang berlainan sehingga bisa
saling mengawasi, tidak ada kesewenang – wenangan dan kemerdekaan individu terjamin.
Kelemahannya adalah bila terjadi pemisahan kekuasaan secara mutlak, tidak akan ada
pengawasan kepada setiap lembaga sehingga tiap lembaga dapat melampaui batas kekuasaannya
dan merugikan rakyat.

4. Masa Negara Kesejahteraan

Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state.[7] Bagi Negara
kesejahteraan, konsep modernitas dimaknai sebagai kemampuan Negara dalam memberdayakan
masyarakatnya. Peran Negara menjadi begitu besar terhadap warga karena negara akan
memposisikan dirinya sebagai “teman” bagi warga negaranya. Makna kata teman merujuk pada
kesiapan dalam memberikan bantuan jika warga negaranya mengalami kesulitan. Pemerintah
dikehendaki agar terlibat secara aktif dalam kehidupan masyarakat sebagai langkah untuk
mewujudkan kesejahteraan umum di samping menjaga ketertiban dan keamanan.

5. Perkembangan Hukum Administrasi Dari Masa Ke Masa

Pada masa nachtwachkerstaat, negara hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban.
Peran hukum administrasi negara sangatlah kecil karena semakin kecil campur tangan negara
dalam masyarakat, semakin kecil pula peran han didalamnya.[8] Dalam konsepsi legal state
(nama lain negara penjaga malam), terdapat prinsip staatsonthounding atau pembatasan peran
negara dan pemerintah dalam bidang politik yang bertumpu pada dalil ”the best government is
the least government”. Akibat pembatasan ini administrasi negara menjadi pasif, inilah mengapa
negara hukum disebut sebagai negara penjaga malam. Pembatasan ini menyengsarakan
kehidupan warga negara yang kemudian memunculkan reaksi dan kerusuhan sosial.[9]

Kegagalan implementasi konsep nachtwachkerstaat tersebut kemudian memunculkan gagasan


yang membuat pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya,
yaitu welfare state (welvaarstaat, negara kesejahteraan). Dalam konsep welfare state,[10]
administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif di seluruh segi kehidupan
masyarakatnya. Dengan begitu sifat khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum
modern) adalah, terdapatnya pengakuan dan penerimaan terhadap peranan-peranan yang
dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk kondisi sosial,
ekonomi dan lingkungan fungsinya.

Makin meningkatnya kebutuhan manusia modern juga merupakan salah satu faktor peralihan
menjadi negara kesejahteraan.[11] Banyak fasilitas yang bila diusahakan oleh pihak swasta akan
menimbulkan ketidakadilan sosial, sehingga masyarakat memercayakannya pada pemerintah.
Lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara diserahi kewajiban
untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg). Agar dapat menjalankan tugas
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi semua warga
negara, dan sebagainya secara baik, maka administrasi memerlukan kemerdekaan untuk dapat
bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian soal – soal genting yang timbul dan
yang peraturan penyelenggaraannya belum ada.[12]
Pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu
lazim dikenal dengan freies ermessen atau discretionary power.[13] Nata Saputra mengartikan
bahwa freies ermessen adalah kebebasan yang diberikan pada alat administrasi, yaitu kebebasan
yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan
tercapainya suatu tujuan daripada berpegang teguh pada ketentuan hukum, atau kewenangan
untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas – tugas untuk mewujudkan
kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga negara. Dengan berdasar pada konsep
ini, administrasi negara memiliki kewenangan luas untuk melakukan berbagai tindakan hhukum
dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kepentingan umum, dan
untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum. Artinya, administrasi negara, selain
diberi kewenangan untuk bertindak, diberi juga kewenangan untuk membuat peraturan atau
instrumen hukum.

Menurut E. Utrecht, kekuasaan administrasi negara dalam bidang legislasi ini meliputi[14];

1. Kewenangan untuk membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi
keadaan genting yang belum ada peraturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang – undang
pusat.

2. Pemerintah diberi tugas menyesuaikan peraturan yang diadakan dengan kejadian yang
sesungguhnya terjadi dalam masyarakat.

3. Droit Function, yaitu kekuasaan administrasi negara untuk menafsirkan sendiri berbagai
peraturan, yang berarti administrasi negara berwenang mengoreksi (corrigeren) hasil pekerjaan
pembuat undang – undang.

BAB III

KESIMPULAN

Hukum administrasi negara pada hakikatnya adalah hukum yang bertugas untuk mengawasi
jalannya pemerintahan, yang dalam trias politica berarti kekuasaan yudikatif. Pada masa
absolutisme, tidak ada hukum administrasi negara yang benar – benar dijalankan karena
penguasa bertindak sebagai diktator yang lalim terhadap rakyatnya. Raja adalah pembuat
peraturan sekaligus yang menjalankan peraturan tersebut. Tidak ada pengawasan dan peraturan
yang mengikat dari pihak lain terhadap raja, karena raja adalah pemegang kekuasaan mutlak.

Pada masa negara hukum klasik atau nachtwachkerstaat (negara penjaga malam), hukum
administrasi diterapkan, tapi hanya bersifat pasif. Hukum administrasi negara hanya berfungsi
sebagai penjaga ketertiban sosial. Negara dilarang keras untuk mencampuri perekonomian
maupun bidang kehidupan sosial lainnya. Dengan perkataan lain, administrasi negara bertugas
untuk mempertahankan suatu staatsonthouding, yakni prinsip pemisahan negara dari kehidupan
sosial – ekonomi masyarakat.

Pada masa negara hukum modern atau welvaarstaat (negara kesejahteraan), hukum administrasi
diterapkan secara aktif. Konsep welfare state atau sosial service-state, yaitu negara yang
pemerintahannya bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial
dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal,
merupakan anti-tesis dari konsep “negara penjaga malam” (nachtwakerstaat). Tugas negara yang
semula sangat terbatas menjadi makin luas. Administrasi negara tidak lagi hanya menjalankan
tata pemerintahan dan tata usaha negara, melainkan juga organisasi dan manajemen usaha besar
kecil yang mengurusi kepentingan hidup bersama. administrasi negara diharuskan untuk
menyejahterakan masyarakat umum, bukan lagi hanya terfokus pada masyarakat kelas atas
seperti yang terdapat di nachtwachkerstaat. Karena itu, selain untuk mengawasi jalannya
pemerintahan (kekuasaan yudikatif), administrasi negara juga diberi wewenang untuk membuat
peraturan (kekuasaan legislasi) dan bertindak sesuai peraturan (kekuasaan eksekutif) sendiri.
Negara diperbolehkan melanggar hak asasi individu demi kepentingan umum, seperti contohnya
membayar pajak.

Anda mungkin juga menyukai