Anda di halaman 1dari 6

Nama : I Dewa Ayu Ahadhita

Nim : 1904551054
Kelas :X

Hukum Administrasi Negara

Konsep Negara Hukum

Dapat dilihat jika perkembangan konsep negara hukum itu lahir dari sejarah, sebab
rumusan atau pengertian negara hukum senantiasa berkembang mengikuti pergerakan sejarah
dan perkembangan umat manusia dari masa ke masa. Oleh karena itu dalam rangka memahami
secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah
perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya
konsepsi negara hukum. Selain itu pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah sangat
lama, jauh lebih lama dari usia Ilmu  Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri
Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti
negara hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut
konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo
Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-
konsep negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing.
Gagasan Plato tentang negara hukum semakin tegas ketika didukung oleh muridnya,
Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Plato mengemukakan konsep nomoi yang
dapat dianggap sebagai cikal-bakal pemikiran tentang negara hukum. Aristotoles mengemukakan
ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait
kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan
pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia
perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan
manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu
“Negara Hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas
keadilan.

Konsep Lembaga Negara

Konsepsi pembentukan lembaga negara secara umum berkaitan langsung dengan tugas
dan fungsi penyelenggaraan negara yang melatarbelakangi dibentuknya suatu lembaga. Secara
singkat, teori dan praktik pengelompokan fungsi-fungsi tersebut dimulai jauh sebelum
Montesquieu memperkenalkan teori Trias Politika. Pemerintahan Perancis pada abad ke-XVI
telah membagi fungsi kekuasaan yang dimilikinya ke dalam lima bagian khusus, yaitu fungsi
diplomacie, fungsi defencie, fungsi financie, fungsi justicie, dan fungsi policie. Fungsi-fungsi
tersebut kemudian dikaji kembali oleh John Locke dan dipersempit menjadi tiga fungsi
kekuasaan, yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan federatif,
Di Indonesia sendiri dengan mengacu pada UUD Negara RI Tahun 1945 lembaga negara.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan lebih dari 34 buah lembaga, baik
yang hanya disebut secara eksplisit maupun yang disebut dengan implisit dan diatur
keberadaannya dalam UUD 1945. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat ditentukan dari
segi fungsi dan hirarki. Dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga negara tersebut dapat dibedakan ke
dalam tiga lapis, yaitu:

1. Lembaga Tinggi Negara


 Terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK.
2. Lembaga Negara
 Lembaga ini ada yang mendapatkan kewenangannya dari UU, dan ada pula yang
mendapatkan kewenangannya dari UUD, misalnya Komisi Yudisial, TNI, Kepolisian RI.
Sedangkan lembaga yang kewenangannya bersumber dari UU, misalnya Komnas
HAM,Komisi Informasi, dan sebagainya. mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur
jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan Lembaga-lembaga negara sebagai organ
konstitusi lapis kedua itu adalah Menteri Negara, TNI, Kepolisian RI, Komisi Yudisial,
Komisi Pemilihan Umum, Bank sentral.
3. Lembaga Daerah
 Merupakan lembaga daerah yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang dapat
disebut sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang merupakan lembaga negara yang
terdapat di daerah. Antara lain, Pemerintah Daerah Provinsi, Gubernur, DPRD Provinsi,
Pemerintahan Daerah Kabupaten, Bupati, DPRD Kabupaten, Pemerintahan Daerah Kota,
Walikota, dan DPRD Kota

Pengertian Hukum Administrasi

Hukum administrasi negara telah berkembang sejalan dengan gerak pemerintah mulai
menata masyarakat. Dalam kaitan itu pemerintah menggunakan sarana hukum sebagai instrumen
pengaturan. Sebagai perwujudannya, pemerintah mengeluarkan/ melaksanakan undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah, dan keputusan-keputusan yang
mengandung suatu larangan maupun berupa kebolehan (izin). Oleh karna itu, sejak awal, bahkan,
sejak dahulu kala pemerintah telah terlibat atau telah menggunakan sarana hukum dalam
penataan dan pengelolaan masyarakat.

Menurut Van Vollenhoven, hukum administrasi negara adalah hukum yang membatasi
kebebasan pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Sementara menurut Prajudi Atmosudirjo,
hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur tentang seluk beluk administrasi
negara dan hukum yang merupakan hasil ciptaan administrasi negara itu sendiri. Kesimpulannya,
hukum administrasi negara adalah hukum yang mempelajari negara dalam keadaan dinamis.
HAN merupakan bagian dari hukum tata negara.Seperti yang telah disebutkan, hukum
administrasi diperlukan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Tanpa adanya hukum
administrasi, pemerintahan akan berjalan dengan sewenang – wenang. Kekuasaan berjalan hanya
menguntungkan pemerintah, sementara rakyat tertindas, tidak memiliki hak apapun atas negara.
Inilah yang dinamakan absolutisme.
1. Masa Absolutisme

Masa absolutisme mulai dicatat dalam sejarah imperium Romawi, sejak masa
republik. Pada masa itu pimpinan Negara dipegang oleh konsul – konsul yang
menyelenggarakan dan menjalankan pemerintah demi kepentingan umum. Biasanya
pemerintahan itu dipegang oleh dua orang konsul. Akan tetapi bila ada keadaan bahaya atau
darurat, maka warga Negara memilih seseorang untuk ditunjuk sebagai pemegang
kekuasaan dalam pemerintahan itu selama keadaan bahaya tersebut. Si pemegang kekuasaan
tunggal itulah yang disebut sebagai diktator. Lama atau tidaknya kekuasaan itu tergantung
oleh keadaan bahaya yang terjadi. Cincinnatus menjadi diktator selama 6 bulan lalu
mengembalikan kekuasaannya kepada rakyat. Tapi tidak semua diktator seperti Cincinnatus.
Mayoritas diktator yang berkuasa di masa romawi mengindahkan konstitusi lalu memegang
kekuasaan dengan absolut dan menindas rakyat, seperti yang dilakukan Marius dan Caesar.
Keadaan seperti ini dinamakan diktator purba.

Setelah masa republik, ada masa prinsipat. Pada waktu ini, para raja Romawi belum
memiliki kewibawaan, namun mereka pada hakikatnya merupakan orang yang memerintah
secara mutlak. Kemutlakan ini didasarkan kepada caesarismus yaitu adanya perwakilan yang
menghisap, dari pihak Caesar terhadap kedaulatan rakyat (absorptieve representation).

2. Masa Negara Hukum

Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum telah dikembangkan oleh para
filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M).
Dalam bukunya Politikos, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin
dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan;
pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak
melalui jalan hukum.
Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dan
bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan
fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan
keseimbangan saja.

Kemudian muncullah teori Trias Politica dari Montesquieu . Teorinya adalah teori
pemisahan kekuasaan atau separation of power , yang memisahkan badan kekuasaan
menjadi tiga, yaitu;

1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)


2. Kekuasaan Eksekutif (menjalankan undang-undang)
3. Kekuasaan Yudikatif (mengkontrol jalannya undang-undang)
Sedangkan pembedaan dari segi fungsi, yaitu organ utama atau primer (primary
constitutional organ) dan organ pendukung atau penunjang (state auxiliary bodies) yang
dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain), yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif dan fungsi pengawasan


 Dalam fungsi ini terdapat empat organ atau lembaga, yaitu DPR, DPD, MPR,
dan BPK. Dalam kelompok cabang legislatif, lembaga parlemen yang utama
adalah DPR, sedangkan DPD bersifat penunjang. Namun dalam bidang
pengawasan yang menyangkut kepentingan daerah, DPD tetap mempunyai
kedudukan yang penting, karena itu DPD dapat disebut sebagai lembaga utama
(main state organ). MPR adalah sebagai lembaga perpanjangan fungsi
(extension) parlemen atau lembaga parlemen ketiga meskipun tugasnya tidak
bersifat rutin, dan kepemimpinanya dapat dirangkap oleh pimpinan DPR dan
DPD, MPR tetap disebut sebagai lembaga utama. Karena MPR yang
berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar dan kewenangan
penting lainnya.

2. Kekuasaan Eksekutif atau pelaksana (administratur, bestuurzorg)


 Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan satu kesatuan institusi
kepresidenan.

3. Kekuasaan kehakiman atau fungsi Yudikatif


 Meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman ada dua, yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tetapi di samping keduanya ada
pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan
perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang
(auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman dan bukanlah sebagai
penegak hukum tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman.

Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law.
Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide
tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik
Eropa didominir oleh absolutisme raja. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli
hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius
Stahl.

Montesquieu kemudian mengembangkan pendapat tersebut dengan berpendapat bahwa


fungsi federatif merupakan bagian dari fungsi eksekutif dan fungsi yudisial perlu dipisahkan
tersendiri. Sehingga, Trias Politica Montesquieu terdiri atas fungsi eksekutif, fungsi
legislatif dan fungsi yudisial. Ketiga fungsi tersebut kemudian dilembagakan dalam tiga
organ negara untuk menjalankan fungsi masing-masing yaitu pemerintah, parlemen dan
pengadilan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin berkembangnya sistem
pemerintahan di seluruh dunia serta dengan muncul dan berkembangnya doktrin welfare
state (negara kesejahteraan) maka ketiga organ negara sederhana tersebut mulai berkembang
dengan dibentuknya berbagai lembaga-lembaga negara baru.
3. Masa Negara Kesejahteraan

Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state. Bagi Negara
kesejahteraan, konsep modernitas dimaknai sebagai kemampuan Negara dalam
memberdayakan masyarakatnya. Peran Negara menjadi begitu besar terhadap warga karena
negara akan memposisikan dirinya sebagai “teman” bagi warga negaranya. Makna kata
teman merujuk pada kesiapan dalam memberikan bantuan jika warga negaranya mengalami
kesulitan. Pemerintah dikehendaki agar terlibat secara aktif dalam kehidupan masyarakat
sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum di samping menjaga ketertiban dan
keamanan.

4. Perkembangan Hukum Administrasi Dari Masa Ke Masa

Pada masa nachtwachkerstaat, negara hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan dan
ketertiban. Peran hukum administrasi negara sangatlah kecil karena semakin kecil campur
tangan negara dalam masyarakat, semakin kecil pula peran han didalamnya. Dalam konsepsi
legal state (nama lain negara penjaga malam), terdapat prinsip staatsonthounding atau
pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik yang bertumpu pada dalil
”the best government is the least government”. Akibat pembatasan ini administrasi negara
menjadi pasif, inilah mengapa negara hukum disebut sebagai negara penjaga malam.
Pembatasan ini menyengsarakan kehidupan warga negara yang kemudian memunculkan
reaksi dan kerusuhan sosial.

Kegagalan implementasi konsep nachtwachkerstaat tersebut kemudian memunculkan


gagasan yang membuat pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyatnya, yaitu welfare state (welvaarstaat, negara kesejahteraan). Dalam
konsep welfare state, administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif di seluruh
segi kehidupan masyarakatnya. Dengan begitu sifat khas dari suatu pemerintahan modern
(negara hukum modern) adalah, terdapatnya pengakuan dan penerimaan terhadap peranan-
peranan yang dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk
kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan fungsinya.

Makin meningkatnya kebutuhan manusia modern juga merupakan salah satu faktor
peralihan menjadi negara kesejahteraan. Banyak fasilitas yang bila diusahakan oleh pihak
swasta akan menimbulkan ketidakadilan sosial, sehingga masyarakat memercayakannya
pada pemerintah. Lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi
negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg).
Agar dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, menyelenggarakan
pengajaran bagi semua warga negara, dan sebagainya secara baik, maka administrasi
memerlukan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam
penyelesaian soal – soal genting yang timbul dan yang peraturan penyelenggaraannya belum
ada.

Anda mungkin juga menyukai