Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung
turut memperkaya kehidupan kita , sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian
objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah
penjelajahan yang bersifat transcendental yang berada di luar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa
menjawab pertanyaan kepada siapa saja, seperti kalau kita sesat jalan dan bertanya kepada
seseorang yang kebetulan nongkrong di tikungan. Bagaimana kalau kita ingin ke surga malah
ditujukan ke neraka ( Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105).
Setiap pengetahuan yang dimiliki manusia selalu dipertanyakan dan dikritisi oleh diri sendiri
maupun orang lain. Bahwa pengetahuan yang dimilikinya adalah pengetahuan tentang “apa” ?
atau apanya yang perlu diketahui maka jawabannya ada pada ontologi pengetahuan itu sendiri.
Sedangkan pertanyaan bagaimana cara menemukannya atau metode apa yang dipergunakan oleh
kita dalam menemukan dan memperoleh pengetahuan itu adalah kajian Epistemologi.
Selanjutnya pertanyaan apa kegunaan pengetahuan itu bagi manusia, dan makhluk lainnya,
termasuk lingkungan dimana manusia berada, disebut kajian aksiologi.
Seperangkat “alat” yang diperlukan untuk menangkap fenomena alam, fakta realitas empiris, dan
realita metafisika, antara lain adalah: Indera, naluri, akal , intuisi, dan hati nurani. Pencapaian
manusia pada tingkat tertinggi dalam menagkap kebenaran fenomena tersebut, Al-Ghazali
menyebutnya dengan akselerasi atau penanjakan (Mi’raj) nya manusia yang berpengetahuan
yaitu menghambakan diri kepada Nya, sehingga terbuka pintu kebenaran, tergenggam kunci
pembuka hal yang di luar jangkauan empiris dan rasional yaitu Metafisika. Maslow
menyebutnya dengan Motif Self Transcendental (Nadiroh: 2008).
Akal manusia memikirkan sesuatu dan mempersepsinya sesuai dengan tingkat ketajaman
berpikir dan kecerdasannya masing-masing , karenanya maka butuh masyarakat ilmiah dan
masyarakat awam, yang membedakannya secara tajam. Namun demikian keawaman akan
meningkat jika terus belajar, artinya meningkat ke ilmiah, danmasyarakat ilmiah akan meningkat
ke yang lebih tinggi dari ilmu baik dari sisi ontologi, epistemologi maupun aksiologinya, yaitu
filsafat dan agama. Dengan tetap memegang yang pernah dimilikinya, sebagai tambahan dalam
menyelesaikan persoalan kehidupan dan kematian serta kehidupan setelah kematian.
Dalam tulisan ini hanya membatasi diri pada yang bisa ditangkap panca indera dan rasio, yang
kaluapun lewat batas metafisika yang masih bisa relatif dilihat dan dipikirkan. Sebagaimana,
contoh sebuah sajak berikut ini:
(Taufik Ismail Membaca Puisi, Taman Ismail Marzuki, 30-31 Januari 1980 h. 23 sebagaimana
dikutip oleh Jujun S . Suriasumantri, dalam buku Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
2000: 63).
Jika dilakukan refleksi, ternyata dunia ini bukan sebuah peti, karena peti adalah benda mati,
tidak memiliki kehidupan, dinamika perubahan, transformasi nilai dan metamorfosa.Hal ini
terjadi hampir dialami oleh sebagian makhluk hidup terlebih- lebih manusia. Sehingga manusia
selalu ingin tahu , ingin berubah dan ingin hidup lebih berkualitas. Tapi, namanya juga sajak,
tentu sesuai persepsi dan imajinasi kontekstual saat itu, jadi ya sah-sah saja.
Hal ini berimplikasi pada peningkatan keluasan, kedalaman, dan keberagaman kajian atau
wilayah kajian pengetahuan, ilmu, filsafat dan agama. Dengan kata lain Cakupan Ontologi
pengetahuan, ilmu, filsafat dan agama semakin meluas, mendalam, dan beragam sesuai dengan
peningkatan pola pikir manusia, tingkat kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup
lebih efektif, efisien, dan berkualitas. Tujuan hidup ini tidak hanya diorientasikan untuk dirinya
saja melainkan untuk segenap keturunannya, dan lingkungan masyrakat, bangsa dan negara.
Sehingga tidak heran manusia akan mengekplorasi, mengelaborasi, menganalisis deduktif
daninduktif, refleksi kritis dan perenungan yang panjang untuk meneropong objek empiris jagat
raya dan segala isinya, termasuk keunikan, keanekaragamannya baik dari klasifikasi jenis
maupun kompleksitas perubahannya.
Sebanyak kajian atau ontologi yang dikuasai dan disukainya dalam perjalanan pengalaman
manusia, maka sebanyak itulah kekayaan pengetahuan manusia dalam menangkap dan merespon
alam jagat raya ini.
Syair lagu yang berjudul “Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar
Descartes mengemukakan bahwa Cogito ergo sum! (saya berpikir maka saya ada!), Locke
sendiri menganggap bahwa pikiran manusia pada mulanya dapat diibaratkan sebuah lempeng
lilin yang licin (tabularasa) di mana pengalaman indera kemudian melekat pada lempeng itu
(Jujun S. Suriasumantri : 2000: 68), yang dapat menimbun dan mengakumulasi sampai pada
tingkatan pengalaman indera yang kompleks dan lengkap. Berbeda dengan Berkeley yang
terkenal dengan pernyataan, “To be is to be perceived” yaitu ada adalah disebabkan oleh
persepsi (Jujun S. Suriasumantri : 2000: 68).
Untuk mengurai benang kusut tentang “keberadaan” pengetahuan, bagaimana cara
memperolehnya dan “Nilai” kegunaannya bagi manusia dan sekitar seluk beluknya, maka kita
urai beberapa persoalan yang dipikirkan dan dipelajari secara mendalam yaitu berikut ini:
1. a. Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Persoalan keberadaan atau
eksistensi bersangkutan dengan cabang filsafat metafisika.
2. Persoalan pengetahuan (knowledge) atau kebenaran (truth). Pengetahuan ditinjau dari
isinya bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi. Sedangkan kebenaran ditinjau
dari segi bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat logika.
3. Persialan nilai-nilai (values). Nilai-nilai dibedakan menjadi dua, nilai-nilai kebaikan
tingkah laku dan nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebaikan tingkah laku bersangkutan
dengan cabangfilsafat etika. Nilai-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat
estetika (Ali Mudhofir: 1997: 16).
Berdasarkan ketiga persoalan di atas maka selanjutnya akan dibahas tentang ontologi,
epistemologi dan aksiologi pengetahuan dan pengetahuan ilmiah.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuwan yang bisa dipikirkan manusia secara
rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas
pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaah yang berada
dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga
dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Ilmu adalah bagian kecil
dari serangkaian pengetahuan yang dapat ditemukan dan di pelajari serta dibutuhkan dalam
mengatasi berbagai dilema dunia dan isinya. Dengan kata lain ilmu yang banyak orang
mengatakan dengan sebutan pengetahuan ilmiah, hanya merupakan salah satu pengetahuan dari
sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan, dengan melakukan berbagai
penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologi (http://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Ontologi&action).
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang: (1) kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau
jamak? dan (2) kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut
memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar
yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme
Naturalisme di dalam seni rupa adalah usaha menampilkan objek realistis dengan penekanan
seting alam? Istilah- istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah: yang ada (being),
kenyataan/realitas (reality), eksistensi (existence), esensi (essence), substansi (substance),
perubahan (change), tunggal (one) dan jamak (many) (http://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Ontologi&action).
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan
substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka
(sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri
sendiri). http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ontologi&action)
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alami ini sebagaimana adanya. Kalau
memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada di
dalamnya, bukan ? akan jauh kita beravontur dalam penjelajahan ilmiah, masalah-masalah
tersebut di atas mau tidak mau akan timbul : apakah dalam batu-batuan yang saya pelajari di
laboratorium terpendam proses kimia-fisika atau bersembunyi roh yang halus ? apakah manusia
yang begitu hidup; tertawa, menangis dan jatuh cinta; semua itu proses kimia-fisika juga ?
apakah pengetahuan yang saya dapatkan ini bersumber pada kesadaran mental ataukah hanya
rangsang penginderaan belaka ? ( Jujun, S. Suriasumantri : 2000: 69-70).
Buku ini akan dibaca antara lain oleh mahasiswa Pascasarjana UNJ maka, alangkah baiknya
kalau di dalam kajian ontologi ini diberi beberapa contoh penerapannya untuk masing- masing
program Studi yang ada di Pascasarjana UNJ. Hal ini penting agar ruang lingkup penelitian
masing-masing Program Studi jelas ontologi disiplin keilmuannya.
Contoh:
Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup :
o Pendidikan (formal, nonformal dan informal) merupakan instrumen kuat yang efektif
untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi, penyadaran, pembelajaran dan
dapat untuk memobilisasi massa/komunitas, serta menggerakkan bangsa ke arah
kehidupan masa depan yang berkembang secara lebih berkelanjutan sustain ably
developed) Education for Sustainable Development (EfSD);
o Melalaui cara menyisipkan wawasan dan konsep secara luas, mendalam dan
futuristiktentang perkembangan kependudukan , lingkungan, dan PKLH secara
global Hubungan sebab dan akibat, dan cara pengatasannya;
Penanaman kesadaran, rasa tanggungjawab dan kemampuan kepada semua orang
(utamanya generasi muda)) untuk berkontribusi lebih baik bagi pengembangan
berkelanjutan pada masa sekarang dan yang akan datang;
kapasitas komunitas atau bangsa yang mampu membangun,
mengembangkan dan meng-implementasikan rencana kegiatan yang mengarah
kepada sustainable development, yaitu kegiatan yang mendukung pertumbuhan
ekonomi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan beberapa eco-
system, antara lain:
o
Pengembangan kualitas SDM dan teknologi,
Pemeliharaan lingkungan dan diversitas
Keadilan sosial
Keselarasan dan kelestarian budaya
Keseimbangan produksi dan konsumsi, dll.
Aspek yang dapat diangkat dalam penelitian antara lain berikut ini:
1. Pendidikan Akhlak Mulia (Ethics) yakni etika lingkungan dari usia dini s/d PT
2. Menyiapkan manusia atau SDM yang memiliki kepedulian, pengetahuan, sikap dan
perilaku agar dapat mengatasi masalah-masalah kependudukan dan lingkungan Hidup
baik tataran lokal, regional, nasional dan global:
Ketahanan Pangan:
Climate Change:
– Konservasi Hutan atau Penghijauan (Carbon ‘sink’)
– Pengurangan emisi (Reduction of Emission from Deforestration and Degradation = REDD)
Energi:
Lingkungan:
– Biodiversitas
EPISTEMOLOGI
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and
limits of human knowledge) http://telagahikmah.org/id/index.php.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari
kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan
ilmiah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.
Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?” sedangkan dalam epistemologi
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Epistemologi&action
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah :
a) Apakah pengetahuan itu ?
http://telagahikmah.org/id/index.php.
Untuk membahas, apa itu pengetahuan, apa saja yang diisebut pengetahuan ilmiah, dengan
pengetahuan tidak ilmiah. Apakah filsafat juga disebut pengatahuan dan bagaimana filsafat ilmu
masuk dalam klasifikasi filsafat atau klasifikasi ilmu ? secara mendalam ditulis pada Bab
tersendirioleh Martini Djamaris.
Epistemologi dalam tulisan ini dibatasi pada aspek epistemologi ilmu yang sering disebut dengan
metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalm mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak
semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode
ilmiah.
Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ini secara filsafat termasuk dalam apa
yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan : apakah sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang
lingkup pengetahuan ? apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan ? sampai
tahap mana pengetahuan yang mungin untuk ditangkap manusia ? ( Jujun, S. Suriasumantri :
2000).
Sebagaimana halnya berpikir yang selalu dilakukan kita sebagai kegiatan mental yang
menghasilkan pengetahuan, maka metode ilmiah merupakan ekspresi cara bekerja pikiran.
Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai
karakteristik–karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan
teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang
dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba membangun tubuh
pengetahuannya
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan
kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat
pluralistik, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu objek pemikiran
tertentu.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain : mengapa manusia mulai mengamati
sesuatu ? Perhatian tersebut dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang
dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.
Dan pertanyaan ini timbul disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris yang
menimbulkan berbagai ragam permasalahan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa “ ada masalah”
baru ada proses kegiatan berpikir dan berpikir baru dimulai, dan karena masalah ini berasal
dari dunia empiris, maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan objek empiris.
Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-
hukum tertentu, yang terlepas dari kekuasaan dunia mistis, yang menguasai gejala-gejala
empiris. Dalam tahap ontologis ini maka manusia mulai mengambil jarak dari objek
disekitarnya, tidak seperti apa yang terjadi dalam dunia mistis, dimana semua objek berada
dalam kesemestaan yang bersifat difusi dan tidak jelas batas-batasnya.
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apa pun juga teori yang
menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksudkan disini adalah penjelasan mengenai
gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual
dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori
ilmumerupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya.
Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris
untuk dapat dinyatakan benar.
Disinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris sebagai langkah-langkah
yang sempuna yang dapat mengkonstruksi pengetahuan ilmiah. Langlah-langkah inilah yang
ditelaah dalam epistemologi ilmu yang juga disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu
menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan antara pengetahuan ynag sesuai dengan fakta atau tidak. Secara sederhana maka hal
ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yakni : (1) harus
konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam
teori keilmuan secara keseluruhan; dan (2) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori
yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat
diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika
deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan. Oleh
sebab itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang
diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara. Penjelasan sementara ini biasanya disebut
hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap masalah yang sedang
kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seorang
ilmuwan seakan-akan melakukan suatu “interograsi terhadap alam”. Hipotesis dalam hubungan
ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan jawaban,
karena alam itu sendiri membisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan. Harus kita
sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang membantu
kita dalam melakukan penyelidikan. Sering kita temui kesalahpahaman dimana analisis ilmiah
berhenti pada hipotesis ini tanpa upaya selanjutnya untuk melakukan verifikasi apakah hipotesis
ini benar atau tidak. Kecenderugan ini terdapat pada ilmuwan yang sangat dipengaruhi oleh
paham rasionalisme dan melupakan bahwa metode ilmiah merupakan gabungan dari
rasionalisme dan empirisme.
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan
mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Sering sekali dalam hal ini kita harus
melakukan langkah perantara yakni menentukan faktor-faktor apa yang dapat kita uji dalam
rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut.
Proses pengujian ini merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis Yang
diajukan. Fakta -fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap secara
langsung dengan panca indera kita. Kadang-kadang kita memerlukan instrumen yang membantu
pancaindera kita umpamanya teleskop dan mikroskop.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang
mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang
berintikanproses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah
sebagai berikut :
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-
batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya;
(2) Penyusunan kerangka berpikir dlam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi
yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait
dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-
faktor empiris yang relevan dengan permasalahan; dan
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipoesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak.
Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu
ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang
mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian
tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipoteis maka hipotesis itu ditolak (Jujun, S.
Suriasumantri : 2000).
Namun menurut Conny R. Semiawan:2007: 152, bahwa Konteks peradaban dunia yang
melampaui batas-batas nasional juga ditandai oleh ciri-ciri reseptualidsasi masyarakat. Apabila
peradaban global mengalami era agraris (gelombang ke 1), era industri (gelombang ke 2), era
informatika (gelombang ke 3), maka era ke empat juga diiringi oleh suatu peradaban baru yang
ditandai oleh respiritualisasi masyarakat (gelombang ke 4). Kecenderungan global yang
mengakibatkan suasana sekuler telah juga menyadarkan umat manusia dan wawasan dunia. Visi
yang dikedepankan, dalam era ini adalah a deep inner reflection yang ditandai oleh suatu Mind
shift yang bersumber dari suatu authority form within. Ternyata juga bahwa wawasan dunia yang
berubah, yang dilandasi pada disertai kesadaran bahwa bukan rasio dan logika saja yang
menjadi landasan intelektual, melainkan juga inspirirasi, kreativitas, moral dan intuisi.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Meskipun
langkah-langkah ini secara konseptual tersususun dalam urutan yang teratur, dimana langkah
yang satu merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya, namun dalam praktiknya sering
terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya
tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak
semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi bahwa
langkah yang satu bukan saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya namun
sekaligus juga merupakan landasan-landasan koreksi bagi langkah yang lain. Dengan jalan ini
diharapkan diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan
sebelumnya serta teruji kebenarannya secara empiris.
Dengan metode ilmiah sebagai paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai
pengetahuan lainnya dapat dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor yang
mendorong perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilmiah dimana penemuan
individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan-lainnya (Jujun, S.
Suriasumantri : 2000: 119-133).
Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar,
2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam Amsal
Bakhtiar (2004: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu
tindakan moral yang melahirkan etika; Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat sosio-politik.
Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan
dengan value danvaluation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu :
1. Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak. Dalam pengertian sempit: berupa sesuatu yang
baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian luas, berupa: kewajiban,
kebenaran dan kesucian. Dalam kaitan ini terkait dengan Teori nilai atau aksiologi.
Aksiologi sebagai bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Sebagai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai
inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsic atau
menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai nilai contributor atau nilai yang merupakan
pengalaman yang memberikan kontribusi;
2. Nilai sebagai kata benda konkret, contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-
nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya,
nilai dia, dan sistem nilai. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau
bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
3. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan
dinilai. Menilai sama dengan evaluasi yang digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey
membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevalusi (Paul
Edwards, (ed) dalam Amsal Bakhtiar, 2004: 165).
Sama halnya dengan ontologi dan epistemologi, aksiologi juga melakukan beberapa pertanyaan
yaitu beputar sekitar pada pertanyaaan-pertanyaan: untuk apa pengetahuan ilmiah itu
digunakan? bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan ilmiah dengan kaidah-kaidah
moral? bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? bagaimana
kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesional?
(http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Aksiologi&action)
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembanganya melahirkan sebuah polemik
tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan
nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul
antaranetralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai, telah berimplikasi pada kemajuan
perkembangan ilmu akan lebih cepat terjadi.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi
sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
terkait dengan pendekatan aksiologi dalam filsafat ilmu maupun dalam ilmu maka muncullah
dua penilain yang sering digunakan yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang
membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Etika merupakan salah-satu
cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Socrates. Di
situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, dan keadilan
(http://mswibowo.blogspot.com/2009/01/aksiologi-nilai-dan-etika.htm).
Ilmu merupakan salah satu pengetahuan yang dipentingkan manusia dalam memenuhi kebutuhan
dan keinginan secara lebih cepat dan lebih mudah. Sebagai sebuah kenyataan yang tidak bida
dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat tergantung pada kemajuan ilmu
Pertanyaan yang juga akan muncul seputar aksiologi, antara lain: apakah ilmu selalu merupakan
berkah dan penyelamat bagi manusia ? Atau sebaliknya ilmu juga dapat dipergunakan untuk hal-
hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Semua
jawabannya ada pada sikap ilmuwan itu sendiri dan hakikat dari ilmu yang berfungsi untuk
keselamatan dan kebahagiaan manusia.
Setiap ilmu akan menghasilkan teknologi yang dapat diterapkan kepada masyarakat. Proses ilmu
menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak
terlepas sikap ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan
pribadi ataukah kepentingan masyarakat, akan berimplikasi pada persoalan etika keilmuan.
Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah dijaga dengan baik, dalam hal
tanggung jawab dalam bidang akademis maupun tanggung jawab moral sebagai seorang
ilmuwan.
Apakah kegunaan ilmu itu bagi kita ? tak dapat disangkal lagi bahwa ilmu telah banyak
mengubah dunia dalam memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah
kehidupan yang duka. Apakah ilmu selalu merupakan berkat dan penyelamat bagi manusia ?
Bukankah atom yang diciptakan memiliki dua sisi mata uang, dimana satu sisi bisa
dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi pemenuhan hajat manusia di muka bumi, sedangkan
sisi sebaliknya, dipergunakan sebagai bahan perakit bom atom yang berakibat dashat bagi
penghancuran eksistensi keberadaan manusia dan makhluk hidup lainnya di area dan sekitar
ledakan. Begitu juga berbagai upaya yang telah dilakukan manusia, sebagai contoh, yaitu usaha
untuk memerangi kuman yang membunuh manusia sekaligus menghasilkan senjata kuman yang
dipakai sebagai alat untuk membunuh sesama manusia. Einstein mengeluh di hadapan
mahasiswa California Institute of Technology, “Dalam peperangan ilmu menyebabkan kita
saling meracuni dan saling menjegal. Di kerumunan dua, yang sedang tercipta perdamaian,
ilmu membuat hidup kita dikejar waktu dan penuh dengan ketidakpastianu. Mengapa ilmu yang
amati indah ini, yang menghemat kerja dan membuat hidup lebih mudah, hanya membawa
kebahagiaan yang sedikit sekali kepada kita ?” (Jujun S. Suriasumantri, 2000:35).
Kalau kita mengkaji pertanyaan Einstein itu dalam-dalam maka masalahnya terletak dalam
hakekat ilmu itu sendiri. Seperti dicanangkan oleh Francis Bacon berabad-abad yang silam :
pengetahuan adalah kekuasaan. Apakah kekuasaan itu akan merupakan berkat atau malapetaka
bagi umat manusia, semua itu terletak pada orang yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu
itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk dan si pemilik pengetahuan
itulah yang harus mempunyai sikap. Jalan mana yang akan ditempuh dalam memanfaatkan
kekuasaan yang besar itu terletak pada sistem nilai si pemilik pengetahuan tersebut.
Terkait dengan uraian di atas maka Conny R. Semiawan:2009: 3, melanjutkan pemikiran di atas
bahwa era respiritualisasi, yang merupakan gelombang peradaban keempat dalam sejarah evolusi
budaya manusia (Mayerand, 1997), menghadirkan a mind shift dalam masyarakat kita yang kini
mengacu pada suatu transformasi (dalam Transformasi disini termasuk transformasi nilai-nilai
spiritual yang digandrungi manusia di era ini.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi saja: Jika hitam katakana hitam, jika
ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaran
yang nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai antara
yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan dia menentukan
sikap (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan, bahwa
seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Oleh karena itu telah diulas
dalam Buku yang sama, Jika ilmuwan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa
terjadilah kembali peristiwa yang dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan
terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S.
Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada Ilmuwan, sebagaimana juga
dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan
nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta
terbuka terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai Sosial : dalam kaitannya dengan nilai
sosial, manusia modern dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi,
menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi
perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modern
dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan
dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai Pengambilan keputusan: manusia modern
dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya
bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai
Agama: dalam hubungannya dengan nilai agama, manusia modern dicirikan oleh sikapnya yang
tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis .
[1]
Tentu, ada beberapa nilai yang harus disaring sesuai dengan ciri adat ketimuran dan ciri bangsa
Indonesia yang menganurt ideologi Pancasila.
Semoga hal ini disadari oleh kita semua, terutama oleh para pendidik kita, bahwa tak cukup
hanya mendidik ilmuwan yang berotak besar, tetapi mereka pun harus pula berjiwa
besar (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36)..
Hal ini Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan objek penelaahan ilmiah yang mengkaji
fenomena alam jagat raya, maka penggunaan ilmu juga dibarengi dengan asas moral yang
relevan. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia,
yakni sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup, dengan tetap memperhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian / keseimbangan alam. Sehingga kajian
ontologi ilmu dibatasi pada dunia empiris dan rasional yang tidak bersentuhan atu tidak mau atau
bahkan tidak boleh mencampuri masalah kehidupan secara ontologis. Hal ini semata-mata
sebagai wujud dari sebuah kekhawatiran akan berdampak pada upaya mengganggu
keseimbangan kehidupan.
Untuk kepentingan umat manusia yang terus berjuang menghadapi hidup dan kehidupan yang
dinamik serta penuh dengan keunikan, bahkan melahirkan fenomena misteri kehidupan yang
sulit terdeteksi secara pasti. Maka manusia melahirkan dan menemukan pengetahuan ilmiah
untuk dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal yang bermakna bahwa ilmu
merupakan pengetahuan milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut
kebutuhannya, sesuai dengan asas bersama. Universal bermakna bahwa ilmu tidak mempunyai
konotasi parochialseperti ras, ideologi, atau agama. “ilmu Jawa atau ilmu Sakti, merupakan
sesuatu yang diberi atribut oleh ilmu.” Itu sendiri. Sehingga ilmu adalah universal, artinya lintas
ras, ideologi dan agama. Kemungkinan besar strategis maknanya dan kekuasaannya dalam
mengendalikan kebenaran yang bisa diterima secara bersama lintas parochial. Ilmu lah yang
dapat mampu mempersatukan keberbedaan. Namun demikian tetap saja, di bumi ini tidak ada
yang sempurna, karenanya kita perlu meletakkan ilmu pada tempatnya yang sewajarnya, dan kita
terima hakikat kenyataannya dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Bersama
pengetahuan-pengetahuan lainnya, termasuk pengetahuan filsafat dan agama, ilmu turut
memperkaya khazanah kebahagiaan kita, seperti apa yang dinyatakan sajak dalam sebuah
majalah keluarga mahasiswa :
Berilah hamba kearifan
O, Tuhan !
Seperti sebuah teropong bintang ;
Tinggi mengatas galaksi
Rendah hati di atas bumi
Bukankah manfaat pengetahuan
Penggali hakikat kehidupan ?
Lewat mikroskop
Atau teleskop
Bimbinglah si goblok dalam menemukan :
Sebuah ujud maknawi
Dalam kenisbian sekarang…
(Jujun S. Suriasumantri, 2006:40)
Etika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat moral (moral phylosophy). Secara etimologi,
etika berasal dari kata Yunani ethos = “watak”, “cara seseorang berbuat dalam kehidupan”,
“dorongan moral”. Sedang moral bentuk jamak mores = kebiasaan). Perbuatan dikatakan
menyangkut moral jika dilakykan karena kebiasaan dan tidak karena ditentukan oleh peraturan
hukum. Termasuk juga disini sikap, nilai-nilai yang berlaku dalam suatu kelompok. Istilah etika
atau moral dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kesusilaan. Etika berbeda dengan “etiket”.
Etika disini berarti “moral” sedangkan etiket berarti “sopan santun” atau dapat juga “secarik
kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan barang”. Objek material etika adalah tingkah
laku atau perbuatan manusia. Perbuatan itu dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika
adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral (immoral) dari tingkah laku
tersebut. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas tidak
dapat dikenaik pernilaian bermoral atau tidak bermoral.
Persoalan-persoalan dalam etika di antaranya adalah :
d) Bagaimanakah peranan hati nurani (conscience) dalam setiap perbuatan manusia ?
e) Bagaimanakah pertimbangan moral berbeda dari dan bergantung pada suatu pertimbangan
yang bukan moral ?